BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pengelolaan Sumber Daya
4. Administrasi
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :
4.1. Administrasi umum.
Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.2. Administrasi pelayanan.
Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
b. Pelayanan
1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep.
Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif :
- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.
- Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya.
1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur
tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
1.2.2. Etiket.
Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
1.2.4. Penyerahan obat.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
1.2.5. Informasi obat.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
1.2.6. Konseling.
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
1.2.7. Monitoring penggunaan obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.
2) Promosi dan edukasi.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.
3) Pelayanan residensial (Home Care).
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya
untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medicationrecord).
c. Evaluasi mutu pelayanan
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket
atau wawancara langsung.
2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).
3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk :
• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;
• Adanya pembagian tugas dan wewenang;
• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;
• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;
• Membantu proses audit.
Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:
• Tujuan : merupakan tujuan protap.
• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.
• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.
• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.
• Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar.
• Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.
(Anonim, 2004)
D. Sumpah Apoteker
Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan
melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sebelum seorang apoteker
melakukan jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut cara agama
Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan
bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau
pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan
keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya,
sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan
membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun
akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada
lampiran 5.
E. Kode Etik Apoteker
Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai
rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan
keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker
dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184
tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan
yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu
memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini, 2006). Kode Etik Apoteker dapat
F. Etika Bisnis
Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu :
1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)
Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai
dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan
masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai
penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan
sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak
melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus
mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya
yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang
ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan
lainnya.
2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)
Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi
keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer
untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan
bekal ilmu manajerial demi kelangsungan “hidup” apotek itu sendiri.
(Anief, 1995)
Apotek sebagai sarana bisnis maka dalam menjalankan praktiknya apotek
seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan
memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi
terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah
studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip
maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam
menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan
kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).
Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan
bisnis adalah :
1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak
berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil
keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan
tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik
perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat
yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.
2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak,
mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.
3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal,
minimal tidak merugikan orang lain.
4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan
5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan
orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.
(Isdaryadi, 2005)
Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang bersangkutan
dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada anggota yang
melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah dikeluarkan dari
keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005).
G. Keterangan Empiris
Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu : pengelolaan
sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Dari hasil penelitian
diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan
penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang
observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa
adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001).
Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang
memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada
perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).
Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau
keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk
mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara
obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).
B. Batasan Operasional Penelitian
1. Kajian adalah studi yang dilaksanakan untuk memperdalam atau mengetahui
dengan lebih jelas suatu hal.
2. Pelaksanaan adalah penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menurut
3. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan
sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian
ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.
4. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
5. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan secara menyeluruh
apabila persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50%
maka dikatakan belum dilaksanakan secara menyeluruh.
6. Apotek adalah 9 apotek sampel yang berada di Kabupaten Gunungkidul.
7. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping
yang bersedia mengisi kuisioner.
8. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan
selama bulan Februari – Mei 2007.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang :
1. karakteristik responden.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia,
benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau
peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam
suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah Apoteker
Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping di semua apotek yang ada di
Kabupaten Gunungkidul. Pemilihan Apoteker Pengelola Apotek atau
Apoteker Pendamping sebagai responden dalam penelitian ini adalah dengan
tujuan sebagai bahan introspeksi diri atau perenungan bagi Apoteker Pengeloa
Apotek atau Apoteker Pendamping pada saat pengisian kuisioner.
Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Gunungkidul, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Gunungkidul
sebanyak 9 apotek (periode Februari – Mei 2007).
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data
sebenarnya dalam penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah seluruh populasi yang ada. Jadi dalam penelitian ini, tidak dilakukan
teknik sampling. Dengan kata lain, penelitian ini disebut juga dengan
penelitian populasi.
Apotek yang terdapat di Kabupaten Gunungkidul yaitu : 1. Apotek
Apotek Sambipitu, 6. Apotek Farmasari, 7. Apotek Arga Nirmala, 8. Apotek
Istana, 9. Apotek Moro Sehat.
E. Tata Cara Penelitian
1. Pembuatan kuisioner
Kuisioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam
penelitian sosial. Dengan kuisioner tersebut peneliti menggali informasi dari
responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004).
Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang
di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis
oleh responden. Kuisioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi
responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan.
2. Pengujian kuisioner
a. Uji pemahaman bahasa
Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana
bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner
dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan
pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman
bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada apotek
b. Uji validitas isi
Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen
pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat
tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang
sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003).
Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu
untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).
Validitas yang diukur dalam kuisioner ini adalah validitas isi.
Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi
pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana
dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan
analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan
hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang
akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner
akan tercapai.
c. Uji reliabilitas
Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap
apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut
berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan
tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan
homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur
suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004).
Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena
pertanyaan dalam angket/kuisioner berupa pertanyaan yang langsung
terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas
data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden
menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan
asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang
mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi
reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).
3. Penyebaran kuisioner
Kuisioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan
mendampingi dalam pengisian kuisioner agar dapat menjelaskan kepada
responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuisioner
tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuisioner
tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil
kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan
4. Pengumpulan kuisioner
Kuisioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil
setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuisioner yang dikembalikan
sama dengan jumlah kuisioner yang disebarkan yaitu sebanyak 9 buah sesuai
jumlah populasi yang telah ditentukan sebelumnya.
5. Wawancara
Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan
sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985).
Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis,
2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dengan menitikberatkan pada
persentase pelaksanaan di bawah 50% serta tiga aspek penting yaitu ruangan
tertutup untuk konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden yang bersedia untuk
diwawancarai dan hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 8.
F. Tata Cara Analisis Data
Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada
penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik
(Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif
Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga
parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian
menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah
melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes
RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh apabila persentasenya
lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2007 secara menyeluruh..
G. Kesulitan Penelitian
Kesulitan dalam penelitian ini, yaitu tidak dilakukannya wawancara secara
mendalam kepada responden berkaitan dengan alasan responden terhadap tiap
jawaban yang diberikan. Wawancara hanya menitikberatkan pada persentase
pelaksanaan di bawah 50% serta tiga aspek penting yaitu ruangan tertutup untuk
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengisian kuisioner dari 9 responden kemudian diolah dengan
menggunakan metode statistik-deskriptif di mana jawaban yang sama
dikelompokkan dan dihitung persentasenya kemudian hasilnya disajikan dalam
bentuk tabel atau gambar (diagram). Berikut hasil dari rekapitulasi data.
A. Karakteristik Responden.
1. Usia responden
Gambaran mengenai usia responden dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
Usia Responden
78% 22%
21-35 thn >50 thn
Gambar 1. Usia Responden
Gambar di atas menunjukkan sebagian besar responden yaitu sebanyak 78%
responden berusia antara 21-35 tahun dan sebanyak 22% responden berusia di atas
50 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan mereka memiliki pengetahuan dan
pengalaman kerja yang cukup dalam pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan
2. Lama kerja di apotek
Data yang diperoleh menunjukkan 11% responden telah bekerja di apotek
selama kurang dari satu tahun; 45% responden telah bekerja antara 1-5 tahun;
11% responden bekerja selama 6-10 tahun; dan sebesar 33% responden bekerja
lebih dari 10 tahun.
Tabel I. Lama Kerja Responden di Apotek
No Lama bekerja di apotek Jumlah Persentase (%) n = 9 1 < 1 tahun 1 11 2 1 - 5 tahun 4 45 3 > 6 – 10 tahun 1 11 4 > 10 tahun 3 33 Total 9 100
Terlihat bahwa sebagian besar responden baru bekerja di apotek selama
1-5 tahun bahkan ada yang kurang dari 1 tahun. Meskipun tidak dapat dinyatakan
secara mutlak, dengan pengalaman kerja kurang dari 5 tahun belum bisa dikatakan
bahwa apoteker tersebut memahami tugas dan tanggung jawabnya sepenuhnya.
Dengan begitu Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek tidak dapat
dilakukan secara maksimal.
Persentase terbesar kedua yaitu 33% responden telah bekerja di apotek
selama lebih dari 10 tahun dan 11% responden telah bekerja selama 6-10 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki
responden benar-benar memahami Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek dan
selanjutnya akan membantu dalam pengisian kuisioner.
3. Posisi responden di apotek
Gambaran mengenai posisi responden di apotek, dapat dilihat pada gambar
2 di bawah ini.
Posisi Responden di Apotek
11% 89% Apoteker Pengelola Apotek Apoteker Pendamping
Gambar 2. Posisi Responden di Apotek
Dari 9 responden, 89% bekerja sebagai Apoteker Pengelola Apoteker dan
11% lainnya bekerja sebagai Apoteker Pendamping di Apotek. Adanya responden
yang bekerja sebagai Apoteker Pendamping di apotek karena Apoteker
Pendamping yang menggantikan tugas Apoteker Pengelola Apotek bersedia untuk
menjadi responden menggantikan Apoteker Pengelola Apotek. Selain itu
penelitian ini pun sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada Apoteker Pengelola
Apotek saja melainkan seluruh Apoteker yang bekerja di apotek di kabupaten
Gunungkidul, jadi baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker
Pendamping (jika di Apoteker Pengelola Apotek sedang tidak berada di tempat)
4. Pekerjaan lain selain sebagai Apoteker
Tabel II berikut memberikan gambaran mengenai jumlah responden yang
memilki pekerjaan lain selain apoteker di apotek yang bersangkutan.
Tabel II. Pekerjaan Responden Selain Sebagai Apoteker di apotek
No Pekerjaan lain selain sebagai
apoteker Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Memiliki 4 44 2 Tidak memiliki 5 56 Total 9 100
Dari tabel II terlihat bahwa sebanyak 44% responden memiliki pekerjaan
lain selain sebagai apoteker di apotek yang bersangkutan. Pekerjaan yang digeluti
antara lain sebagai pegawai negeri, wiraswasta, apoteker pendamping di apotek
lain dan apoteker di rumah sakit. Kepmenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh
seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker
diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai
apoteker di apotek walaupun memiliki pekerjaan lainnya sehingga tugas dan
tanggung jawabnya di apotek tidak terbengkalai atau tidak ditinggalkan.terutama
dalam Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Tabel II juga memperlihatkan sebanyak 56% responden tidak memilki
pekerjaan lain selain sebagai apoteker di apotek yang bersangkutan. Pada
umumnya, responden ini merupakan apoteker-apoteker yang baru saja
diharapkan mereka dapat berkonsentrasi pada tugas dan tanggung jawabnya di
apotek sehingga Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dapat dilakukan secara
optimal.
5. Waktu kerja di apotek dalam seminggu
Waktu Kerja di Apotek Dalam Seminggu
44%
56%
3-5 hari 6-7 hari
Gambar 3. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu
Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar, yaitu sebanyak
56% responden berada di apotek dalam seminggu. Hal ini sesuai dengan
Permenkes No. 26/Menkes/Per/1/1981 bahwa Apoteker Pengelola Apotek
harus berada di Apotek selama apotek dibuka. Selain itu, menurut pasal 77
ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
waktu kerja adalah 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dan sebagian besar responden bekerja 6-7 hari sehingga dapat