• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

4. Pekerjaan lain selain sebagai apoteker

Tabel II berikut memberikan gambaran mengenai jumlah responden yang

memilki pekerjaan lain selain apoteker di apotek yang bersangkutan.

Tabel II. Pekerjaan Responden Selain Sebagai Apoteker di apotek

No Pekerjaan lain selain sebagai

apoteker Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Memiliki 4 44 2 Tidak memiliki 5 56 Total 9 100

Dari tabel II terlihat bahwa sebanyak 44% responden memiliki pekerjaan

lain selain sebagai apoteker di apotek yang bersangkutan. Pekerjaan yang digeluti

antara lain sebagai pegawai negeri, wiraswasta, apoteker pendamping di apotek

lain dan apoteker di rumah sakit. Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh

seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker

diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai

apoteker di apotek walaupun memiliki pekerjaan lainnya sehingga tugas dan

tanggung jawabnya di apotek tidak terbengkalai atau tidak ditinggalkan.terutama

dalam Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

Tabel II juga memperlihatkan sebanyak 56% responden tidak memilki

pekerjaan lain selain sebagai apoteker di apotek yang bersangkutan. Pada

umumnya, responden ini merupakan apoteker-apoteker yang baru saja

diharapkan mereka dapat berkonsentrasi pada tugas dan tanggung jawabnya di

apotek sehingga Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dapat dilakukan secara

optimal.

5. Waktu kerja di apotek dalam seminggu

Waktu Kerja di Apotek Dalam Seminggu

44%

56%

3-5 hari 6-7 hari

Gambar 3. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu

Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar, yaitu sebanyak

56% responden berada di apotek dalam seminggu. Hal ini sesuai dengan

Permenkes No. 26/Menkes/Per/1/1981 bahwa Apoteker Pengelola Apotek

harus berada di Apotek selama apotek dibuka. Selain itu, menurut pasal 77

ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,

waktu kerja adalah 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari

kerja dan sebagian besar responden bekerja 6-7 hari sehingga dapat

disimpulkan bahwa responden telah memenuhi ketentuan yang berlaku.

Gambar 3 juga memeperlihatkan sebanyak 44% responden berada di

bahwa ada hari-hari tertentu dimana apoteker tidak berada di apotek. Tetapi

tugas apoteker dapat digantikan oleh apoteker pendamping.

6. Waktu kerja di apotek dalam satu hari

Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam 1 (hari). Dari

tabel di bawah dapat dilihat bahwa kehadiran responden tidak sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, padahal kehadiran respoden, dalam hal ini apoteker di

apotek dapat memastikan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

sepenuhnya dilaksanakan.

Tabel III. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Satu Hari

No Waktu Kerja Responden di

Apotek dalam Satu hari Jumlah

Persentase (%) n = 9 1 < 4 jam 3 34 2 4 – 6 jam 3 33 3 > 6 jam 3 33 Total 9 100

B. Pengelolaan Sumber Daya

1.a. Sumber daya manusia

Dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apoteker di apotek harus mampu

mengambil keputusan yang tepat. Salah satu peran Apoteker dalam pelayanan

kesehatan adalah sebagai leader, di mana diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi

keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan

untuk mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek

farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek salah satunya adalah

merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan

standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku dan bertanggung jawab

terhadap setiap keputusan profesional yang diambil.

Berdasarkan Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 20, Apoteker

Pengelola Apotek bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang

dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti di dalam

pengelolaan apotek. Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh

dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja asisten

apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Karena itulah

sudah seharusnya keputusan yang diambil di apotek selalu berdasarkan

Pengambilan Keputusan Di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA 89% 11% Ya Tidak

Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA

Gambar 4 menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di Apotek

berdasarkan persetujuan APA sebesar 89% dan 11% sisanya tidak selalu

berdasarkan persetujuan APA. Keputusan yang diambil berdasarkan

persetujuan APA dalam penelitian ini mencakup perencanaan, pengadaan dan

penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

b Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

sumber daya manusia.

11% 89% 0% 50% 100% Ya Tidak

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sumber daya manusia

telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di

atas 50%, yaitu sebesar 89%.

2. Sarana dan prasarana

a. Papan petunjuk apotek

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek menyebutkan bahwa “Apotek berlokasi

pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman

terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek

harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat”. Dalam

lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 disebutkan

papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan

tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm.

Pada pasal 6 ayat 1 dan 3 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981

tentang persyaratan apotek menyebutkan bahwa “Setiap Apotik harus

memasang papan nama pada bagian muka Apotik, yang terbuat dari papan,

seng atau bahan lain yang memadai”. Selanjutnya ayat 3 menyebutkan

“Papan nama harus memuat : nama apotek, nama Apoteker Pengelola

Apotek, nomor surat izin apotek, alamat apotek dan nomor telepon, kalau

Tabel IV. Ketersediaan Papan Petunjuk Apotek

No Papan yang tertulis kata

apotek Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Ada 9 100 2 Tidak Ada 0 0 Total 9 100

Tabel IV menunjukkan bahwa semua apotek (100%) telah memilki

papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek, selain itu letak

papan petunjuk cukup strategis sehingga sangat mudah dikenali dan

diakses oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan Standar Pelayanan

Kefarmasian Di Apotek seperti yang termuat dalam Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004.

b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya

Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 6 tentang “Persyaratan

Apotek” ayat 2 disebutkan bahwa sarana apotek dapat didirikan pada

lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar

sediaan farmasi dan ayat 3 apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan

komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Selanjutnya pada Kepmenkes RI

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 diberi batasan antara produk

kefarmasian dengan produk lainya dengan menyebutkan bahwa pelayanan

produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas

menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko

kesalahan penyerahan.

Pemisahan Produk Kefarmasian dengan Produk Lainnya

78% 22%

Ya Tidak

Gambar 6. Pemisahan Produk Kefarmasian dengan Produk Lainnya

Gambar 6 menunjukkan bahwa apoteker yang menempatkan produk

kefarmasian terpisah dari produk lainnya sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 78% dan sisanya 22% menempatkan

produk kefarmasian tidak terpisah dari produk lainnya. Adapun penjualan

produk non kefarmasian di apotek merupakan diferensiasi usaha apotek, di

mana produk-produk tersebut masih berhubungan dengan bidang

kesehatan. Contoh produk non kefarmasian yang dijual adalah makanan

bayi, susu, dan food supplement.

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

apotek di Gunungkidul telah menerapkan Standar Kefarmasian Di Apotek

lainnya seperti yang ditetapkan dalam Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004.

c. Ruang tunggu bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien,

yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Hal ini

juga diatur dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 ayat 2 yang

pada salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki

ruang tunggu.

Tabel V. Ketersediaan Ruang Tunggu Bagi Pasien

No Ruang tunggu bagi pasien Jumlah Persentase (%) n = 9

1 Ada 9 100

2 Tidak Ada 0 0

Total 9 100

Tabel V menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki ruang

tunggu bagi pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004. Fungsi ruang tunggu sangat penting bagi

pasien, yaitu memberikan rasa nyaman bagi pasien sambil menunggu obat

ditebus, bahkan untuk lebih memberikan rasa nyaman bagi pasien apotek

biasanya menyediakan koran, majalah maupun layanan televisi sebagai

d. Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplay informasi bagi

pasien, termasuk penempatan brosur / materi informasi. Informasi disini

contohnya berupa brosur, leaflet atau poster yang berisi informasi tentang

misalnya obat-obat baru.

Tabel VI. Ketersediaan Informasi Bagi Pasien

No Brosur/informasi mengenai kesehatan Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Ada 9 100 2 Tidak Ada 0 0 Total 9 100

Tabel VII. Ketersediaan Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi

No Tempat khusus untuk

mendisplay Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Ada 9 100 2 Tidak Ada 0 0 Total 9 100

Tabel VI menunjukkan bahwa semua apotek (100%) tersedia brosur /

informasi mengenai dan selanjutnya pada tabel VII menunjukkan bahwa

dari apotek yang menyediakan informasi bagi pasien tersebut, juga telah

memiliki tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut. Informasi

dapat meningkatkan pengetahuannya tentang kesehatan lewat membaca

brosur-brosur tersebut.

e. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi

pasien. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga privacy dan kenyaman pasien selama melakukan konseling.

Ruang Tertutup untuk Konseling

56% 44%

Ada Tidak Ada

Gambar 7. Ketersediaan Ruang Tertutup untuk Konseling

Gambar 7 menunjukkan bahwa 56% apotek yang mempunyai

ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien dan sisanya sebesar 44%

belum mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Alasan

yang dikemukakan adalah keterbatasan ruangan sehingga apotek tidak

menyediakan ruang tertutup untuk konseling bagi pasien, selanjutnya

f. Ruang racikan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur pada

Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3

Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek

harus memiliki ruang peracikan.

Tabel VIII. Ketersediaan Ruang Racikan di Apotek

No Ruang racikan Jumlah Persentase (%) n = 9

1 Kering 3 33

2 Basah+kering 6 67

Total 9 100

Tabel VIII menunjukkan bahwa 67% apotek memiliki ruang racikan

kering dan hanya 33% apotek yang belum memiliki ruang racikan basah.

Alasan yang dikemukan oleh Apoteker pengelola atau Apoteker

pendamping adalah hanya sedikit resep yang masuk ke apotek dengan

meminta racikan basah dan keterbatasan ruang/efisiensi tempat karena

apotek yang dikelola cukup kecil sehingga ruang racikan kering dan basah

dijadikan satu. Ruang racikan kering dan basah seharusnya dipisahkan

untuk memudahkan pencarian bahan obat berdasarkan sifat fisiknya dan

g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf

maupun pasien. Pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun

2002 disebutkan bahwa apotek harus memiliki sanitasi yang baik serta

memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan salah satu fasilitas untuk menjaga sanitasi di apotek agar dapat terjaga

dengan baik.

Tabel IX. Ketersediaan Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien

No Keranjang sampah Jumlah Persentase (%) n = 9

1 Staf saja 0 0

2 Pasien saja 0 0

3 Staf +pasien 9 100

Total 9 100

Tabel IX menunjukkan bahwa semua apotek (100%) mempunyai

keranjang sampah untuk staf dan pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor

h. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sarana dan prasarana 100% 78% 100% 100% 56% 67% 100% 0% 50% 100%

papan petunjuk apotek

tempat produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya ruang tunggu

tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan

keranjang sampah untuk staf+pasien

Gambar 8. Diagram Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan

prasarana sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan

sarana dan prasarana yang telah dilaksanakan dengan baik memiliki

persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi adanya papan petunjuk

apotek (100%), tersedianya ruang tunggu (100%), tersedianya tempat

display informasi (100%), tersedianya ruang konseling tertutup (56%),

tersedianya ruang racikan (67%) dan tersedianya keranjang sampah untuk

staf dan pasien (100%). Walaupun persentase pelaksanaan Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek lebih dari 50% tetapi tetap perlu

ditingkatkan lagi terutama dalam penyediaan ruang konseling tertutup.

Karena dengan peningkatan persentase penyediaan ruang konseling

diharapkan masyarakat dapat benar-benar merasakan pelayanan keeshatan

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan,

pengadaan, penyimpanan dan pelayanan.

a. Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan

harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan

jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari

kekosongan obat (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dalam

membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang perlu diperhatikan

adalah pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat.

1) Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit

yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi

kebutuhan masyarakat tentang obat-obat untuk penyakit tersebut.

2) Tingkat perekonomian masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di

sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap

obat-obatan. Jika masyarakat sekitar memiliki tingkat perekonomian

menengah ke bawah, maka apotek perlu menyediakan obat-obat yang

harganya terjangkau seperti obat generik berlogo. Demikian pula

sebaliknya, jika masyarakat sekitar memiliki tingkat perekonomian

maka apotek juga harus menyediakan obat-obat paten yang sering

diresepkan.

3) Budaya masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat,

bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan

obat-obatan khususnya obat-obat tanpa resep. Demikian juga dengan

budaya masyarakat yang lebih senang berobat ke dokter, maka apotek

perlu memperhatikan obat-obat yang sering diresepkan oleh dokter

tersebut (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Tabel X. Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek

No Latar Belakang Perencanaan Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Pola penyakit dan kemampuan

masyarakat 1 11

2

Pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat

8 89

Total 9 100

Tabel X menunjukkan bahwa apoteker yang memperhatikan pola

penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat dalam

perencanaan pengadaan sediaan farmasi sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 89%, sisanya sebesar 11% hanya

memperhatikan pola penyakit dan kemampuan masyarakat, tanpa melihat

b. Pengadaan

Persediaan barang di apotek dilakukan berdasarkan perencanaan

yang telah dibuat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada.

Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian dan penerimaan

barang (Hartini dan Sulasmono, 2006). Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk menjamin

kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus

melalui jalur resmi.

Pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk di dalamnya golongan

obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika

dapat berasal langsung dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (pasal

3 Permenkes 918 Nomor 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar

Farmasi) maupun apotek lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Berdasarkan

penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur pengadaan sediaan

farmasi yang resmi hanya melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain.

Tabel XI. Sumber Perolehan Obat di Apotek

No Sumber Perolehan Obat Jumlah Persentase (%) n = 9 1 PBF+apotek lain 3 34 2 PBF+pabrik farmasi+apotek lain 2 22 3 PBF+apotek lain+toko obat 2 22 4 PBF+apotek lain+toko

obat+swalayan 1 11 5 PBF+pabrik farmasi+apotek

lain+toko obat+swalayan 1 11

Tabel XI menunjukkan bahwa apotek yang memperoleh obat-obatan

melalui jalur resmi sesuai Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 56%, sisanya memperoleh obat

melalui jalur tidak resmi Obat yang diperoleh melalui jalur tidak resmi,

pada umumnya adalah obat bebas. Bagan jalur distribusi obat dapat dilihat

pada lampiran 7.

c. Penyimpanan

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah

lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis

informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya

memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa.

Pencantuman nomor batch bertujuan untuk penelusuran obat, apabila ada obat yang sudah beredar namun tidak memenuhi syarat, sehingga

mempermudah penarikan dari peredaran untuk segera dimusnahkan.

Sedangkan pencantuman tanggal kadaluarsa bertujuan untuk menjamin

kepercayaan masyarakat terhadap apoteker, bahwa obat yang dibelinya

dari apotek tersebut bermutu baik, dalam hal ini belum melewati tanggal

Pemindahan Isi Obat ke Wadah Lain

11%

89%

Ya Tidak

Gambar 9. Pemindahan Isi Obat ke Wadah Lain

Gambar 9 menunjukkan bahwa 89% apoteker selalu menyimpan

obat/bahan obat dalam wadah asli dari pabrik, dan hanya 11% apotek yang

pernah memindahkan isi obat dari wadah asli ke wadah lain. Pada

umumnya, apotek memindahkan obat ke wadah baru dalam jumlah

tertentu, di mana jumlah tertentu tersebut berdasarkan kebiasaan dokter

meresepkan suatu obat dalam jumlah tertentu. Hal ini akan mempercepat

pelayanan kepada pasien dengan hanya mengambil dari wadah baru

tersebut. Pasien juga lebih efisien karena dapat membeli obat dalam

jumlah yang dibutuhkan dan tidak harus membeli seluruh obat dalam

wadah asli. Pemindahan yang dilakukan apotek juga telah menyertakan

informasi yang jelas pada wadah baru yaitu produsen (pabrik), nomor

Batch, tanggal kadaluarsa, aturan pakai, dan cara penyimpanan.

Selanjutnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga

menyebutkan bahwa semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang

tahun 1981 pasal 4 menyebutkan bahwa apotek harus mempunyai ruang

penyimpan obat.

Tabel XII. Ketersediaan Tempat Penyimpanan Khusus

No Tempat penyimpanan khusus Jumlah Persentase (%) n = 9

1 Ada 9 100

2 Tidak Ada 0 0

Total 9 100

Tabel XII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki

tempat penyimpanan khusus untuk obat-obat tertentu. Tempat

penyimpanan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini contohnya

adalah tempat penyimpanan khusus untuk narkotika (pasal 7 Kepmenkes

Nomor 278 tahun 1981) dan lemari pendingin yang digunakan untuk

menyimpan obat-obat tertentu yang mudah rusak atau meleleh pada suhu

kamar seperti serum dan vaksin (pasal 9 Kepmenkes RI Nomor 278 tahun

1981). Dengan mengetahui adanya tempat penyimpanan khusus di apotek

tersebut secara tidak langsung dapat menggambarkan apakah apotek

tersebut memperhatikan kesesuaian dan kelayakan tempat dengan

d. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian

pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

89% 56% 89% 0% 50% 100%

perencanaan meliputi : pola penyakit+kemampuan masyarakat+budaya masyarakat

pengadaan melalui jalur resmi

penyimpanan dalam wadah asli pabrik

Gambar 10. Diagram Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan

perbekalan kesehatan lainnya sebagian besar telah dilaksanakan dengan

baik. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang

telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas

50%, meliputi perencanaan (89%), pengadaan (56%), dan penyimpanan

dalam wadah asli pabrik (89%).

4. Administrasi

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan

bahwa dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu

dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan

a) Administrasi umum

Administrasi umum ini meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan

narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

1. Pencatatan dan pengarsipan transaksi pembelian

Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan

bahwa dalam apotek harus tersedia buku pembelian dan penerimaan.

Tabel XIII. Pencatatan dan Pengarsipan Transaksi Pembelian

No Selalu disertai bukti/faktur

pembelian dan dicatat Jumlah

Persentase (%) n = 9

1 Ya 9 100

2 Tidak 0 0

Total 9 100

Tabel XIII menunjukkan bahwa semua apoteker (100%) selalu

menyertakan bukti/faktur pembelian untuk setiap obat yang mereka

pesan/beli dan selalu dicatat dalam buku penerimaan.

Faktur pembelian harus disertakan pada saat transaksi obat. Hal

ini berfungsi untuk menghindari kemungkinan adanya pemalsuan obat

bila pembelian obat tidak melalui jalur distribusi yang resmi. Faktur

tersebut akan menjamin keaslian obat sehingga khasiat dan keamanan

obat terjamin. Selain itu, adanya faktur pembelian akan mempermudah

proses pengecekan jika terjadi keraguan terhadap obat yang telah

dibelinya. Apabila obat yang sudah diterima tidak sesuai dengan

mempermudah komplain dan meretur obat tersebut kembali,

sedangkan buku penerimaan berfungsi untuk kelengkapan administrasi

apotek, jadi apotek mengetahui obat apa saja yang sudah masuk ke

dalam apotek.

2. Pencatatan dan pengarsipan transaksi penjualan

KepMenKes Nomor 278 yahun 1981 pasal 13(d) menyatakan

bahwa dalam apotek harus tersedia blangko faktur dan blangko nota

penjualan. KepMenKes RI Nomor 280 tahun 1981 Pasal 12 ayat (2)

menyatakan bahwa setiap penjualan harus disertai dengan nota

Dokumen terkait