• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.6. Variasi Imajinasi

4.6.6. Adopsi Budaya

Gudykunst berargumentasi bahwa orang yang bersedia untuk mengintegrasikan ide baru dan lama serta mengubah sistem kepercayaannya lebih cenderung berkomunikasi secara efektif dalam interaksi interkultural (dalam Kim, 2004, hal.50). Dari pengetahuan dan pengalaman budaya lain yang dimiliki seseorang, individu dapat melakukan adopsi atau penyerapan fitur-fitur budaya asing sebagai salah satu strategi untuk melakukan interaksi antarbudaya secara efektif dan tepat.

Beradaptasi dengan budaya lain bukan berarti seseorang harus seolah-olah menjadi bunglon yang menjiplak budaya lain. Fokusnya bukan menjadi seperti orang lain. Adaptasi budaya ini merupakan variasi kecil dari perilaku individu dengan perilaku orang lain. Adaptasi juga merupakan proses pengubahan dan penyeimbangan tujuan pribadi dan maksud dari pihak lain. (Spitzberg, 2000, hal. 385) Jadi adopsi budaya merupakan titik temu yang mengakomodasi tujuan pribadi dengan tujuan orang lain. Unsur tujuan pribadi tidak dihilangkan dalam adopsi budaya ini.

68

Universitas Kristen Petra Birgit yang awalnya kesulitan untuk menerima fleksibilitas penggunaan waktu orang Indonesia akhirnya belajar untuk melakukannya saat bekerja dengan orang Indonesia. Selain itu ia juga belajar untuk lebih fleksibel dan meningkatkan kemampuan beradaptasi dalam perencanaan agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja di Indonesia. Sedangkan Findi yang berasal dari kultur Indonesia belajar mengadopsi moral kerja orang Jerman dengan lebih disiplin dalam penggunaan waktu. Dari contoh ini, terlihat bahwa Birgit yang awalnya memiliki budaya high

uncertainty avoidance (menghindari ketidakpastian dan ambiguitas)

mengadposi budaya low uncertainty avoidance, sedangkan Findi melakukan hal sebaliknya. Adopsi budaya ini dapat menjadi jembatan di antara perbedaan budaya sendiri dan budaya lain. 4.6.7. Perilaku

Dari peristiwa-peristiwa yang dialami, seorang individu melakukan evaluasi apakah ia telah mencapai tujuan komunikasinya secara efektif dan tepat. Dari situ ia dapat mengetahui strategi-strategi komunikasi yang efektif dan tepat untuk diterapkan dalam konteks budaya dan komunikasi yang berlangsung saat itu. Strategi-strategi ini kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dalam proses komunikasi. Hal ini berkaitan dengan behavioral

flexibility yang dikemukakan dalam model Kompetensi Komunikasi

Interkultural Chen dan Starosta, yaitu kemampuan untuk beradaptasi dalam situasi dan konteks yang berbeda melalui pemilihan perilaku yang tepat. Berperilaku hati-hati dengan berusaha menghindari perilaku yang ofensif dan melakukan perilaku yang diharapkan dapat menuntun pada komunikasi interkultural yang efektif. (dalam Kim, 2004)

Beberapa perilaku yang dimiliki oleh Findi dan Birgit antara lain:

a. Compromise: Findi dan Birgit memandang perbedaan yang muncul sebagai hal yang wajar terjadi dalam kehidupan kerja.

69

Universitas Kristen Petra Jika muncul perbedaan, hal yang baik untuk dilakukan ialah berdiskusi untuk menemukan win-win solution atau jalan tengah yang memberi kepuasan untuk kedua belah pihak. Dalam hal ini, sikap memaksakan kehendak kepada lawan bicara adalah hal yang lebih baik dihindari. Kedua pihak perlu melakukan adaptasi satu dengan yang lain agar terjadi penyeimbangan tujuan pribadi dan pihak lain (Spitzberg, 2000, hal. 385)

b. Self control: Birgit dan Findi mementingkan pengendalian emosi dalam komunikasi agar tidak menimbulkan kerugian berupa kerusakan hubungan dan kegagalan pencapaian tujuan. Birgit mencapai hal tersebut dengan berhati-hati dalam berkata-kata sedangkan Findi mencapainya dengan mengatur perberkata-kataan dan timing yang tepat. Pada budaya kolektivis, terdapat kekhawatiran untuk tidak menyakiti perasaan orang lain yang lebih kuat dalam daripada budaya individualis (Kim, 2004). Hal inilah yang mendorong Findi yang berlatar belakang budaya Indonesia untuk melakukan hal ini. Sedangkan Birgit terlahir dalam lingkungan keluarga yang cukup berhati-hati dalam mengungkapkan pendapat sehingga ia memiliki self control yang baik.

c. Respect: Display of respect merupakan perilaku yang secara universal dapat berfungsi dengan baik dalam berbagai konteks budaya menurut Brent D. Ruben (dalam Samovar, Porter, McDaniel, 2007, pg 442). Birgit dan Findi memandang bahwa rasa hormat dan menghargai adalah hal yang diperlukan dalam interaksi interkultural. Keduanya memandang bahwa mematuhi etika kesopanan adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan untuk menunjukkan penghargaan terhadap budaya lain. Untuk mencapai hal ini, diperlukan pengetahuan yang baik tentang tata krama kesopanan budaya lain karena bisa saja berbeda dengan budaya sendiri. Menurut Birgit, kesopanan merupakan hal yang diajarkan lewat pendidikan. Selain itu rasa menghargai juga

70

Universitas Kristen Petra ditunjukkan oleh Findi melalui kesediaan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan budaya lain. Kita menunjukkan usaha lebih untuk menyesuaikan diri dengan budaya lain.

d. Friendliness: atau keramahan. Birgit memandang bahwa itikad untuk menciptakan atmosfer yang positif dalam komunikasi interkultural dapat menunjang Kompetensi Komunikasi Interkultural. Keramahan membuat komunikasi menjadi menyenangkan sehingga orang akan termotivasi untuk melakukannya. Hal ini dapat diwujudkan misalnya dengan tersenyum, mau menolong, dan menunjukkan ketertarikan. Booth-Butterfield & Noguchi mengatakan bahwa kemampuan sosial yang mengkomunikasikan penerimaan dan kesukaan terhadap individu lain biasanya efektif secara general (Kim, 2004). Sedangkan Findi memandang keramahan sesuai konteks dengan siapa kita berkomunikasi. Keramahan yang ditunjukkan pada atasan akan lebih mengarah pada etika berbicara sedangkan dengan rekan sepantaran akan mengarah pada suasana yang santai dan tidak kaku. Hal ini dapat muncul karena budaya Indonesia yang memiliki power distance yang tinggi, ketika berhadapan dengan atasan, bawahan diharapkan untuk lebih sopan dan formal. Keformalan pada atasan ini lebih terlihat dibandingkan dengan orang Jerman.

Di samping kesamaan perilaku, perbedaan prioritas dapat ditemukan di antara Birgit dan Findi. Birgit lebih memprioritaskan relasi di atas pekerjaan, sedangkan Findi lebih memprioritaskan pekerjaan daripada relasi. Birgit berasal dari Jerman yang menganut

cold climate culture yang task oriented. Sedangkan Findi berasal

dari Indonesia yang termasuk dalam hot climate culture yang memiliki ciri-ciri relationship based (Lanier, 2000). Namun yang unik, pilihan prioritas mereka terbalik dengan ciri-ciri kultural tersebut. Bisa jadi hal ini merupakan salah satu strategi interkultural yang mereka adopsi untuk saling beradaptasi satu dengan yang

71

Universitas Kristen Petra lainnya. Birgit memandang dirinya sebagai pribadi yang menjaga perasaan orang lain dan memandang relasi sebagai hal yang sangat penting karena pengaruh lingkungan keluarga dan tempat tinggalnya waktu kecil. Birgit menilai bahwa relasi yang baik akan meningkatkan kualitas pekerjaan dalam tim. Sedangkan Findi mementingkan pekerjaan karena hal tersebut merupakan tanggung jawab yang harus dituntaskan dalam kehidupan bekerja.

Dokumen terkait