• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA. Gambar 4.1. Foto Kantor Wisma Jerman Sumber: Database Wisma Jerman, 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA. Gambar 4.1. Foto Kantor Wisma Jerman Sumber: Database Wisma Jerman, 2015"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

34

Universitas Kristen Petra 4. DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gambar 4.1. Foto Kantor Wisma Jerman Sumber: Database Wisma Jerman, 2015

Wisma Jerman berawal dari Goethe Institut yang berdiri 12 Juni 1964 di Surabaya. Karena pergolakan kondisi politik tahun 1965, Goethe Institut di Surabaya berubah status menjadi branch office. Pada tahun 1969, Goethe Institut Surabaya pindah ke alamat Jalan Taman AIS Nasution no. 15. Namun karena terjadi krisis ekonomi, pada tahun 1996 Goethe Institut di Surabaya harus ditutup, walaupun minat masyarakat untuk belajar Bahasa Jerman tinggi. Pada tahun 1997, Yayasan Goethe Surabaya didirikan sebagai funding organization untuk Goethe Zentrum, partner dari Goethe Institut Indonesia, yang terus menawarkan kursus Bahasa Jerman.

Akhirnya pada tahun 2010, Goethe Institut Indonesia ingin melakukan terobosan baru, yaitu mendirikan Yayasan Mitra Indonesia Jerman yang terdiri dari AHK EKONID, Kedutaan Besar Republik Federal Jerman, dan Goethe Institut Indonesia. Tepatnya pada 2012, Wisma Jerman diresmikan sebagai yayasan berbadan hukum Indonesia dan satu-satunya

(2)

35

Universitas Kristen Petra organisasi di dunia yang terdiri dari Kamar Dagang dan Industri Jerman-Indonesia (AHK-EKONID) dan Goethe Institut Jerman-Indonesia, didukung oleh Kedutaan Republik Federal Jerman.

Wisma Jerman memperkenalkan kehidupan negara Jerman dalam bidang ekonomi, pendidikan (bahasa) dan budaya kepada masyarakat Indonesia. Di samping itu, Wisma Jerman juga berperan penting dalam mempererat kerjasama dan persahabatan Jerman dan Indonesia. Wisma Jerman memberikan pelayanan dalam bidang pendidikan bahasa, budaya, dan ekonomi Jerman dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Sebagai perwakilan Goethe Institut di Surabaya, Wisma Jerman menyediakan kursus Bahasa Jerman dan ujian Bahasa Jerman resmi serta berbagai even kebudayaan lainnya. Wisma Jerman melayani sebagai partner bagi pelajar dan guru Bahasa Jerman, alumni Jerman, dan siapapun yang tertarik dengan Jerman di daerah Jawa Timur. b. Sebagai perwakilan EKONID di Surabaya, Wisma Jerman membangun

jaringan para pelaku politik dan ekonomi untuk mendorong perdagangan dan investasi Jerman di Jawa Timur. Wisma Jerman berperan sebagai:

1. merepresentasikan perekonomian Jerman di Jawa Timur.

2. membangun dan mengembangkan struktur jaringan dan anggota lokal.

3. mengadakan acara-acara yang berkaitan dengan perekonomian di Jawa Timur.

4. menyediakan pelayanan berbasis Kamar Dagang dan Industri bagi perusahaan Jerman dan Indonesia.

Beberapa layanan yang disediakan Wisma Jerman:

a. Pendidikan bahasa: kursus Bahasa Jerman, ujian Bahasa Jerman, pameran studi di Jerman, dan Infopoint Deutsch (memuat berbagai informasi bagi mereka yang ingin bekerja di Jerman).

b. Budaya: melalui program Arthouse Cinema, German Young Cinema, Open House Wisma Jerman, Science Film Festival, German Cinema

(3)

36

Universitas Kristen Petra Film Festival, dan berbagai aktivitas-aktivitas lainnya seperti konser, pembacaan puisi, pameran, dan sebagainya.

c. Perekonomian: melalui program German Business Club Surabaya, Oktoberfest, delegation meeting, dan sebagainya.

Bagan 4.1. Bagan Struktur Organisasi Wisma Jerman Sumber: Olahan Penulis, 2016

Dapat dilihat dalam bagan, Birgit Steffan menjabat sebagai

Managing Director sekaligus mengepalai Seksi Program dan Ekonomi.

Findi merupakan Asisten Seksi Program. Sedangkan Seksi Bahasa dan Infopoint Deutsch & Perpustakaan dikepalai oleh Barbara Stoklossa (WNA) dan memiliki bawahan staf orang Indonesia.

Sebagai Head of Program Section, Birgit memiliki beberapa tugas dan tanggung jawab, yaitu:

a. Mempersiapkan dan mengorganisasi program atas nama Goethe Institut ataupun program dari Wisma Jerman secara keseluruhan.

b. Membuat laporan evaluasi program dan memberikannya pada pihak yang berwenang, seperti perwakilan Goethe Institut di Jakarta.

Managing Director Birgit Steffan (WNA)

Head of Language Section Barbara Stoklossa (WNA) Language Courses (WNI) Administration Staff (WNI) Staff of Study Consultation (WNI) Head of Infopoint Deutsch & Library Barbara Stoklossa (WNA) Administration Staff (WNI) Head of Economy Section Birgit Steffan (WNA)

Assistant (WNI)

Head of Program Section Birgit Steffan (WNA)

Assistant (WNI) Mochammad

(4)

37

Universitas Kristen Petra c. Menyetujui dan menandatangani kontrak dengan vendor dan partner. d. Berperan sebagai Public Relations atas program yang dijalankan,

seperti menjadi narasumber bagi liputan media, menjadi contact

person, melakukan publikasi program dan membangun komunikasi

dengan stakeholder, dan sebagainya.

e. Bertanggung jawab atas redaksi dan desain publikasi program. Dalam hal ini Head of Program Section memberi keputusan atas desain dan bentuk publikasi program yang akan dilaksanakan.

f. Mengatur personalia dalam program yang dilakukan, misalnya merekrut tim panitia, mengatur penempatan dalam panitia, ataupun memberhentikan seseorang dari kepanitiaan tersebut.

g. Melaksanakan dialog evaluasi tahunan dengan staff. Pada akhir tahun,

Head of Program Section akan mengadakan dialog tertutup dengan satu

persatu staff di Wisma Jerman untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan tahun ini dan apa yang akan dilakukan di tahun depan. Notulen dari dialog ini akan ditandatangani oleh kedua belah pihak. h. Bertanggung jawab atas material Public Relations, secara khusus untuk

program dari Wisma Jerman karena mayoritas program Wisma Jerman menggunakan material publikasi yang didesain sendiri.

i. Merencanakan program pelatihan dan pendidikan lanjut untuk staff sesuai kebutuhan, misalnya pelatihan manajemen, penyuluhan perangkat keamanan dalam perusahaan, dan sebagainya.

j. Merencanakan dan melakukan controlling atas anggaran program. Findi yang bekerja sebagai Program Section Assistant juga memiliki beberapa tanggung jawab dalam pekerjaannya, antara lain: a. Melakukan persiapan teknis dan organisasional serta menangani proses

pasca program, seperti berkoordinasi dengan vendor, membuat susunan acara, melakukan briefing acara, menangani perlengkapan acara, melakukan persiapan di venue, dan sebagainya.

b. Melakukan supervisi terhadap kinerja partner atau vendor yang bekerjasama dengan Wisma Jerman untuk suatu program.

(5)

38

Universitas Kristen Petra c. Menjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang terlibat untuk memperoleh berbagai data, masukan, dan evaluasi; misalnya dengan pengunjung yang hadir, vendor, sponsor, komunitas yang hadir. d. Melakukan pekerjaan kantor umum, seperti administrasi, inventarisasi,

dan sebagainya.

e. Menangani keperluan bintang tamu, artis, pembicara, pengisi acara dan sebagainya dalam hal akomodasi dan teknis.

f. Membuat desain dan melakukan kompilasi atas materi dan berbagai informasi dari program, seperti desain materi publikasi, fakta-fakta mengenai program, data vendor dan peserta program .

g. Membantu berperan sebagai Public Relations, seperti menjalin hubungan dengan stakeholder dan media, mengirimkan press release.

4.2. Profil Informan 4.2.1. Birgit Steffan

Birgit Steffan yang biasa dipanggil Birgit terlahir di kota Calw, Jerman selatan pada 3 April 1964. Orang tuanya adalah pemilik generasi kedua dari perusahaan penggergajian kayu. Birgit tumbuh besar di sebuah desa berpenduduk sekitar 1200 orang di pinggiran hutan Black Forest sebagai anak sulung dengan 2 adik laki-laki. Semasa kecil, ia sering menghabiskan waktu berjalan-jalan dan membaca buku di hutan. Di waktu senggangnya kini ia suka membaca buku, fotografi dan memasak.

Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, ia mengikuti pendidikan kejurusan landscape gardening di Stuttgart. Setelah pendidikan tersebut selesai, ia bekerja selama dua tahun. Setelah itu Birgit pindah ke Bonn untuk studi pascasarjana. Birgit memilih

major musicology dan minor-nya comparative literature dan communication science di bidang phonetics di Rheinische Friedrich

Wilhelms University. Selama studi, ia sempat melakukan internship di Goethe Institut Bandung selama 3 bulan pada tahun 1991. Setelah menamatkan pendidikannya, pada 1993-1994 ia tinggal di Indonesia

(6)

39

Universitas Kristen Petra (di Jogja dan Bali) selama satu tahun untuk melakukan penelitian terhadap karawitan. Saat kembali ke Jerman, ia mendapat tawaran pekerjaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin sebagai Asisten di bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Ia membantu mahasiswa yang ingin studi S3 ke Jerman dan terlibat membantu dalam event kebudayaan. Ia telah bekerja di KBRI Berlin selama 13 tahun hingga tahun 2011, lalu pada 2012 pindah bekerja ke Wisma Jerman sebagai Managing Director. Selain itu ia juga menjabat sebagai Head of Program Section dan Head of Economy Section. Kontrak kerjanya di Wisma Jerman akan berakhir pada Desember 2016 dan ia berencana untuk kembali ke Jerman.

4.2.2. Mochammad Findiansyah

Mochammad Findiansyah, biasa dipanggil Findi, lahir di Surabaya pada 24 Juni 1987. Ayahnya berasal dari Lamongan dan bekerja sebagai pegawai di perusahaan supplier barang-barang kapal. Ibunya kelahiran Toraja dan berperan sebagai ibu rumah tangga. Findi mempunyai kakak dan adik perempuan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang demokratis. Ia suka membaca buku bergenre karya sastra dan sejarah.

Saat SMA, Findi mengambil jurusan Bahasa karena ingin belajar Bahasa Jepang. Ternyata Bahasa Jepang tidak diajarkan di sekolahnya, namun sebagai gantinya ia belajar Bahasa Jerman. Setelah lulus, pada tahun 2005 ia melanjutkan studi Strata S1 di Universitas Negeri Surabaya dengan program studi Sastra Jerman. Selama menjalani proses kuliah, ia sempat tinggal di Jerman selama 3 tahun dalam program beasiswa. Setelah menamatkan pendidikannya ia sempat bekerja di travel agent lalu menjadi

volunteer yang sering terlibat dalam persiapan event di Wisma

Jerman. Beberapa bulan kemudian, ia mengirimkan lamaran pekerjaan ke Wisma Jerman. Di samping itu ia membuka bisnis warung kopi bersama temannya. Pada 2013 ia diterima sebagai pegawai paruh waktu selama setahun di Wisma Jerman. Akhirnya ia

(7)

40

Universitas Kristen Petra berhenti dari usaha warung kopi dan menjadi pegawai full time sebagai Asisten Seksi Program di Wisma Jerman.

4.3. Setting Penelitian

Peneliti melakukan wawancara kepada dua informan secara terpisah. Peneliti mengenal kedua informan dari pengalaman melakukan Magang Kerja Nyata sebagai Public Relations dalam Seksi Program di Wisma Jerman pada bulan Agustus hingga November 2015. Peneliti menghubungi Birgit dan Findi untuk menceritakan latar belakang penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediaan mereka untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Birgit dan Findi menyatakan kesediaannya dan peneliti segera mengatur jadwal wawancara.

Wawancara berlangsung pada bulan Mei 2016. Lokasi wawancara adalah ruang rapat di Wisma Jerman agar peneliti dan informan memperoleh privasi dan suasana yang tenang. Wawancara dilakukan secara terpisah antara informan satu dengan yang lain, sebanyak dua sesi wawancara untuk masing-masing informan. Satu sesi wawancara berdurasi sekitar 1 sampai 1,5 jam. Peneliti menanyakan pertanyaan yang telah dirancang sebelumnya dan informan memberikan respon secara lisan dan seluruh proses wawancara direkam suaranya oleh peneliti. Observasi dilakukan selama peneliti melakukan Magang Kerja Nyata tahun lalu.

4.4. Epoche

Epoche merupakan pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki sebelumnya (Kuswarno, 2009, hal. 48). Epoche harus dilakukan dalam penelitian fenomenologi untuk memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya untuk memunculkan kemurniannya. Dengan epoche, peneliti akan mendapatkan cara pandang yang baru terhadap objek sehingga memunculkan ide, perasaan, kesadaran, dan pemahaman yang baru.

Peneliti mengenal kedua informan melalui pengalaman Magang Kerja Nyata sebagai Public Relations dalam Seksi Program di Wisma

(8)

41

Universitas Kristen Petra Jerman dari bulan Agustus hingga November 2015. Peneliti bekerja di bawah pengawasan langsung Birgit dan Findi. Selama pengalaman magang tersebut, peneliti mendapat banyak kesempatan berinteraksi dengan kedua informan dan terlibat dalam proses persiapan dan pelaksanaan beberapa kegiatan seperti Open House Wisma Jerman, pemutaran film Metropolis, German Cinema Film Festival, Dunia Budaya, Arthouse Cinema, Science Film Festival, Jerman Negeri Penemuan, Oktoberfest, German Business Club Surabaya, dan sebagainya. Peneliti sendiri juga merupakan warga negara Indonesia yang dibesarkan dalam lingkungan berbudaya Indonesia (dengan latar belakang keluarga keturunan Tiong Hoa) di Surabaya. Peneliti menyadari bahwa persepsi, penilaian dan perasaan terhadap kedua informan harus dikesampingkan dalam proses ini. Ketika wawancara, peneliti berusaha untuk tidak menunjukkan kesetujuan atau ketidaksetujuannya terhadap jawaban informan dan berusaha mengkonfirmasi kembali kepada informan atas jawaban-jawaban yang diterima. Dalam proses analisis temuan, peneliti berusaha terbuka dan jujur dengan diri sendiri, tanpa dipengaruhi oleh segala hal yang ada dalam diri peneliti dan orang lain.

4.5. Reduksi Fenomenologi

Dalam reduksi fenomenologi, peneliti akan menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Secara singkat, reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya. Pada akhirnya, proses ini akan membawa peneliti pada kualitas dari fenomena, memunculkan sifat alamiah dan makna yang ada padanya dan menjadikannya pengetahuan. Reduksi fenomenologi dilakukan dengan tahap bracketing, horizonalizing, horizon, dan pengelompokan tema. (Kuswarno, 2013, hal. 49)

4.5.1. Bracketing dan Horizonalizing

Tahap bracketing atau proses menempatkan fenomena ke dalam “keranjang” dan memisahkan hal-hal yang dapat mengganggu untuk memunculkan kemurniannya. Kemudian tahap horizonalizing adalah proses membandingkan dengan persepsi orang lain mengenai

(9)

42

Universitas Kristen Petra fenomena yang diamati, sekaligus mengoreksi atau melengkapi proses bracketing (Kuswarno, 2013, hal. 51). Peneliti menyatukan proses bracketing dan horizonalizing dalam satu tabel karena

horizonalizing sendiri dapat dianggap sebagai proses yang

mengoreksi dan melengkapi bracketing. Peneliti mengelompokkan inti dari hasil wawancara kedua informan untuk membandingkan persepsi keduanya mengenai fenomena yang diamati.

Tabel 4.1. Tabel Bracketing dan Horizonalizing

Pertanyaan Jawaban Birgit Findi Ceritakan proses Anda mengenal negara Jerman (untuk Findi) atau Indonesia (untuk Birgit)!

 Iya, 3 bulan, waktu saya studi.

Internship di Goethe di

Bandung

 After my study, I went to

Indonesia for one year to study karawitan. (setelah studi saya, saya pergi ke Indonesia selama 1 tahun untuk mempelajari karawitan)  Waktu itu saya kenal dengan

Indonesia dan saya kira ya.. Saya jatuh cinta dengan Indonesia ya. ... I like the

people, I like Bandung very much (saya suka

orang-orangnya, saya sangat suka Bandung) dan sehingga saya memutuskan saya ingin memperdalam pengetahuan saya tentang budaya Indonesia dan tentu saja sebagai musicolog saya mengambil musik ya. dan waktu saya setengah tahun di Jogja ... Setelah setengah tahun di Jogja saya pindah ke Bali, setengah tahun. Dan di sana lebih mendalam lagi ya.  Waktu saya balik dari Indonesia ke Jerman, saya dapat pekerjaan di Kedutaan Besar RI di Jerman dan

 Dari SMA. ... Masuk kelas bahasa kalau dulu masih ada bahasa.

 Kirain di bahasa dapat bahasa Jepang.. Ternyata ga ada, adanya Jerman.. Ya udah

kadung nyemplung (terlanjur

masuk) juga.

 Ya terus yang satu - satunya diandalkan ya itu bahasa sastra Jerman itu.

 Ya sebentar tok, sempet

ngicipin juga atmosfir Jerman

dulu waktu kuliah

 Beasiswa... Aku baca pengumuman di mading gitu dengan deadline sekian sebulan itu terus persiapan ini ini itu aku persiapin

semuanya, kirim berkasnya, dites dosen trus...

 Ya pelajaran, pelajaran budaya. Kultur gitu lo nda cuma, cuma dari kultur orang Jerman. Bener – bener yang lihat langsung

 Iya, volunteer gitu sudah, iya

volunteer. Aku itu dulu sama

bu Irene. Di sini, itu ada program apa ya.. Jerman untuk pemula

(10)

43

Universitas Kristen Petra karena saya kerja banyak dan

saya senang kerja juga.. Orang

Indonesia itu seperti apa menurut Anda?

 Yang waktu saya di Bandung.. Geng saya itu semua seumur saya dan mereka semua sangat berorientasi ke dunia barat ya. Mereka ke diskotik, ke bioskop, mereka juga minum alkohol

 Aku punya rasa bahwa kalangan muda di Indonesia atau di Bandung yang saya kenal itu sangat-sangat optimis melihat ke depan. Mereka sangat penuh dengan ide-ide dan kreativitas dan pokoknya punya banyak energi

 But, in the Embassy, most of

the people were older than me

and they much more

traditional. But I think it’s a question of age. (tetapi di

Kedubes, kebanyakan orang lebih tua daripada saya dan mereka lebih tradisional. Tetapi untuk saya itu masalah usia)

 Where as Indonesian can

changes the plan up to the last minute and I think this is something which is a very high quality, it’s a very good. ... it’s very good in work, to be spontaneous, to adapt to a different situation. And it took me 7 years until I accept that.

(Di mana orang Indonesia bisa mengubah rencana mereka di saat terakhir dan saya pikir ini adalah sesuatu yang berkualitas tinggi, sangat baik.... sangat bagus di pekerjaan, bisa spontan, beradaptasi dengan situasi yang berbeda. Hal ini memakan waktu 7 tahun

 Iya, bisa dibandingin, kamu sama bukan jelekin Indonesia, tapi kok ya itu tadi, masalah ketepatan waktu. Ketepatan waktu aja kita sering meremehkan ya kan, kita janji jam 10, ternyata baru datang jam 11 dan itu santai

 Kalau aku bandingin Jerman sama Indonesia, ya Indonesia masih kalah maju. Belum bisa kayak Jerman. Gimana ga maju, sejarah aja ditutup –

tutupin

 Nah kayak gitu ya berhubung saya orang Indonesia, budayanya kan masih bisa toleransilah, 30 menit sampai satu jam gitu

(11)

44

Universitas Kristen Petra hingga saya bisa

menerimanya)

 Ya, it’s happen so often. I still

get angry about that, but they’re also in the planning ya, they have new ideas and then you bringing your new idea. You make your event a little bit better, maybe it’s not that perfect but it’s a little bit better. Also I think this flexibility which is very good.

The characteristic of

Indonesian way of thinking.

(Ya, itu terjadi sangat sering. Saya masih marah tentang itu, tapi mereka juga dalam perencanaan ya, mereka punya ide-ide baru dan kamu membawa ide barumu. Kamu membuat acara sedikit lebih baik, mungkin tidak sempurna tetapi lebih baik. Saya pikir fleksibilitas ini sangat bagus. Karakter dari cara pikir orang Indonesia.)  Pejabat kadang-kadang ini,

pejabat-pejabat ya, saya tidak suka di sini.

 Don’t say Indonesia, say

Surabaya, because I am directly thinking of a Javanese person from Jogja for example there are difficulties i do not have with

people from Surabaya.

Definitely that people laughing at all the times ... the style, the positive basis. You seldom meet Indonesian when you have the feeling already only from his face expression “ah this guy in badmood and actually its better not to talk to him”. But you have that

often in Germany for

example. If i meet somebody at the first reaction is they

(12)

45

Universitas Kristen Petra

smiling, being polite. (Jangan

menyebutnya, Indonesia, sebutlah Surabaya karena saya langsung berpikir orang Jawa dari Jogja contohnya, ada kesulitan yang saya tidak miliki dengan orang Surabaya. Pastinya bahwa orang-orang tertawa setiap saat... Gayanya, dasar yang positif. Kamu jarang menemui orang Indonesia ketika kamu punya perasaan hanya dari ekspresi wajahnya “ah orang ini sedang tidak enak hati dan lebih baik tidak bicara dengannya”. Tetapi kamu sering menemukannya di Jerman. Jika saya bertemu dengan seseorang, reaksi pertama ialah mereka tersenyum, sopan.

 Yap, thats for whole indonesian. We have a very polite way of communicating in Indonesia, and i really love that very much because Germany is different. (yap, itu

untuk semua orang Indonesia. Kita mempunyai cara yang sangat sopan untuk berkomunikasi di Indonesia, dan saya sangat menyukainya karena berbeda dengan Jerman)

 Especially Javanese, sometimes uh.. can be very easily hurt. (terutama orang

Jawa, kadang mereka bisa tersinggung dengan mudah)  Ya, I like the people ... I like

politeness of Indonesian, of course i love the nature of indonesia i love them,

pemandangan (Ya, saya suka orang-orangnya ... Saya suka kesopanan dari orang Indonesia, tentu saya suka

(13)

46

Universitas Kristen Petra alamnya Indonesia, saya suka

pemandangan)

 I hate the climate, way to hot

for me. Thats all, ada plus, ada

minus, i think its a pity that

indonesian do not really appreciate they enviroment very much. It hurts my feelings really. (saya benci

iklimnya, terlalu panas buat saya. Itu semua, ada plus ada minus, saya pikir sayangnya orang Indonesia tidak terlalu menghargai lingkungannya. Itu sungguh menyakiti saya)  So my feeling to Indonesia are

very mixed yeah.. Its even the same about my own country i mean, i dont love germany or i hate ... There are things I love and I don’t like. But you have to be careful with what you said. I need to remember that I am a foreigner. (jadi

perasaan saya tentang Indonesia sangat bercampur yah.. Bahkan itu sama dengan negara saya sendiri, maksud saya, saya tidak cinta atau benci Jerman.. Ada hal yang saya suka dan tidak. Tetapi kamu harus hati-hati dengan apa yang kamu katakan. Saya harus ingat bahwa saya orang asing.)

Orang Jerman itu seperti apa?

 But, as in Germany, actually I

don’t remember the detail, but our futures were not that.. we are not that optimistic looking our future, no. (Tapi di

Jerman, sebenarnya saya tidak ingat detailnya, tetapi masa depan kami tidak terlalu.. Kami tidak sebegitu optimisnya melihat masa depan, tidak.)

 Mereka (orang tua saya) sampai sekarang sebenarnya

 Mobil, teknologinya, industrinya oh hebat - hebat emang. ... Ya memang kalo teknologinya mereka paling maju paling canggih.

 Tapi juga jangan lupa juga di Jerman itu juga banyak melahirkan sastrawan itu semua. Kayak misalnya Goethe dan kawan - kawannya juga di sastra mereka, jadi Jerman sastra

(14)

47

Universitas Kristen Petra masih nggak bisa diam ya,

mereka harus kerja.

 I do not scold him that’s

enough of appreciation. If I’m quiet, he must know that this is enough of appreciation. I’ll never appreciate him. This is a saying which is very difficult for generation that grow up after war. (Saya tidak menegurnya, itu sudah merupakan apresiasi yang cukup. Kalau saya diam, dia harus tahu bahwa ini adalah apresiasi yang cukup. Saya tidak akan pernah memujinya. Ini adalah perkataan yang sangat sulit untuk generasi yang tumbuh sesudah perang)  You know Steffi, the person

before Barbara. She was complete opposite, very German, very direct in critic and she very hard. I always try to find compromises. If i feel i had another opinion than the person that i talking too, then I think, oke i have to find a compromise. But Steffi for example very German, she wanted her opinion to be the winner. Maybe that is very German ya. (Kamu tahu

Steffi, orang sebelum Barbara. Dia sangat berkebalikan, sangat Jerman, sangat terang-terangan dalam mengkritik dan sangat keras. Saya selalu berusaha menemukan kompromi. Jika saya merasa saya punya opini berbeda dari lawan bicara saya, maka saya pikir, oke saya harus menemukan kompromi. Tetapi Steffi contohnya sangat Jerman, dia mau opininya menang.

maju, filsafat apalagi ya filsafat apalagi, musik juga  Hmm… Iya. Soalnya orang

Jerman itu, negara Jerman ya itu negara yang sangat menghargai, sangat menghargai sejarah

 Jadi memang Jerman jadi bangsa yang besar jadi bangsa yang kuat di saat Eropa semua, semua apa... Goncang ekonomi. Justru Jerman yang paling kuat sendiri ya kayak mungkin ga ada apa – apa.  Kayak gitu manajemennya ini

mereka, mereka yang bagus.

Kayak gitu, jadi orang Jerman

ngomongnya arbeit moral. Jadi moral kerjanya orang Jerman itu jadi bener – bener dijunjung tinggi. Jadi orang Jerman bisa dikatakan etos kerjanya, etos kerjanya bagus. Aku ga bilang nomer satu karena banyak yang giat juga, tapi paling nggak bisa dicontoh dari orang Jerman ya itu etos kerjanya

 Kalo kamu janjian sama orang Jerman jam sembilan, mereka akan datang jam sembilan kurang lima. Orang Jerman udah datang.

 Iya mereka sangat detail dan rumit misalnya kita, mereka itu cari jalan yang sulit banget padahal kita udah tahu jawabannya.

 Mereka maklum, toleransi nya, toleransinya tinggi  Orangnya blak - blakan sih..

Orangnya blak - blakan dan kadang - kadang juga, kadang - kadang juga rasis orang – orangnya

 Ya blak – blakannya mereka

nunjukin. Nunjukin perasaan

(15)

48

Universitas Kristen Petra Mungkin itu sangat Jerman

ya.

 Something which i really

learn and which I think is German less spontanity. So

German have to plan

everything and run the plan then it’s better not to change it. (Suatu hal yang saya

pelajari dan saya pikir adalah orang Jerman kurang memiliki spontanitas. Jadi orang Jerman harus merencanakan semuanya dan menjalankannya lalu lebih baik tidak mengubahnya)  They can be very rude in

communication. They very honest, very bad tempered. Very hurting, they can hurt you, if you are too soft

(Mereka bisa sangat kasar dalam komunikasi. Mereka sangat jujur, sangat pemarah. Sangat menyakiti, mereka bisa menyakitimu, jika kamu terlalu lembek)

 I can see already from his

facial expression, actually will be better not to talk to him today, because he is probably in the badmood. And then he open his mouth and then I know that the discussion will not be good discussion (saya

bisa melihat dari ekspresi wajahnya, sebenarnya lebih bak tidak bicara dengannya hari ini karena mungkin perasaannya buruk. Dan ia membuka mulutnya dan saya tahu bahwa diskusi ini tidak akan baik.)

 But i think German are much

quicker to criticize directly. They are not always better to taking critics or accepting critics... (Tapi saya pikir

gak kayak orang Asia kan

masih ada sopan santunya. Bukan berarti mereka ga sopan, bukan juga ga sopan santun. Ya tapi ya itulah budaya mereka

 Di kereta orang nunggu itu udah 10 menit sebelumnya. Jadi sebelum berangkat itu, orang di dalam itu nunggunya itu mbaca, bener - bener

mbaca

 Ngelihat orang Jerman

ngomel gara – gara waktu itu

sudah biasa. Bagi mereka itu jam karet itu menjengkelkan.  Dengan orang menghargai waktu itu orang juga punya target. Paling nggak aku, dalam waktu segini misalnya aku harus kerja gini gini gini. Ya yang bikin mereka disiplin dalam kerja itu ya kayak gitu.  Iya mereka ngeplan banget  Oh, kalo makan lama mereka  Ga tau sih kalo mereka itu..

Eee.. Aku lihat juga budaya makan itu, makan itu sesuatu yang penting jadi, ya mereka itu kayak menemukan sesuatu yang menyenangkan dalam proses makan apalagi sama teman.

 Yah, tapi orang Jerman juga misalnya kadang juga

nyebelin juga apalagi

misalnya waktu stres gitu.. Apa gitu mintanya aneh – aneh kalau misalnya bu Birgit. Dia minta yang aneh – aneh. Kan cerewet, ya

nyebelin juga ya ... Tapi ya itu

konteks pekerjaan. Pekerjaan selesai ya wes. Dan dia jadi, jadi lagi ke pribadi yang menyenangkan.

 Orang Jerman kebetulan sangat demokratis gitu lo.

(16)

49

Universitas Kristen Petra orang Jerman jauh lebih cepat

mengkritik langsung. Mereka tidak selalu lebih baik dalam menerima kritik ...)

 Excluding someone from the

group... Germany it’s happen also in working. And I have never had that with my Indonesian surrounding... That’s what i’m really afraid of. You have to be strong character sometimes in

German surrounding.

(Mengucilkan seseorang dari kelompok... Di Jerman hal itu juga terjadi dalam pekerjaan. Dan saya tidak pernah mengalaminya di lingkungan Indonesia... Itu yang saya khawatirkan. Kadang kamu harus berkarakter kuat di lingkungan Jerman)

Sangat, sangat, buka perundingan kalo misal ada apa – apa

 Birgit selalu bilang kita harus cari solusi kayak gini, gini. Kita harus cari solusi. Dan kalo misal aku baca email - email dari Jakarta, bos-bos di Jakarta, sama intinya harus cari solusi kayak gimana. Ya harus cari solusi bukan semena – mena. Jadi di sini ga ada otoriter. Jadi semua kalau ya aku, aku bisa bilang sih ini

bener - bener demokratis. Iya,

 Harus cari solusi semua, jadi

ga cuma dia sendiri yang

mutusin ini jangan kayak gini. Tapi dia minta saran, minta masukan dari bawahnya juga. Dan semua saran diterima

Bagaimana proses belajar Bahasa Indonesia (untuk Birgit) atau Bahasa Jerman (untuk Findi)?

 Enggak, saya hanya 1 kali ambil kursus, 1 semester, sebelum saya ke Indonesia pertama kali.

 Sebenarnya saya belajar bahasa Indonesia waktu saya di Indonesia 1 tahun. ... tapi waktu saya berada di Indonesia selama 1 tahun, 93-94, di situ saya mulai belajar bahasa Indonesia, tapi paling banyak saya belajar waktu di KBRI.

 Di Sekolah Tinggi Seni biasanya orang-orang dari kampung ya, ... jadi mereka

nggak terlalu berbicara bahasa Inggris, jadi mau

nggak mau harus berbicara

dengan bahasa Indonesia.  Sebenarnya di sana saya

belajar bahasa sehari-hari ya, dengan bahasa sehari-hari sudah bisa, sudah bisa semua. Jadi waktu saya di KBRI

tiba- Uniknya… Sulit sih bukan unik

 Misalnya, kamu tanya orang Jerman juga ya… Belajar bahasa Indonesia. Sulit tapi bukan berarti, sulit terus habis

gitu gak, ga dipelajari gitu.

Soalnya di lingkungan saya lingkungan Jerman. Ya lingkungan Jerman, dan saya harus bicara bahasa Jerman.  Misalnya dialek orang Jerman,

dimana – dimana kan Jerman tuh dialeknya banyak toh kayak gitu ya. Logatnya

macem – macem, kayak gitu.

Kalo Bu Birgit sih, ya bahasa Jerman umum

(17)

50

Universitas Kristen Petra

tiba saya harus

menerjemahkan teks tentang infrastuktur, atau saya sering jadi MC harus mencari sejarah tarian. Jadi waktu itu saya belajar banyak bahasa Indonesia. Apa yang dipelajari dari pengalaman bekerja dengan orang Jerman (untuk Findi) atau Indonesia (untuk Birgit)?

 Yeah maybe other foreigner

are more to honest, daring to say what they think about. i do not want to offend anybody...

(Yeah mungkin orang asing lainnya lebih jujur, berani mengatakan apa yang mereka pikir. Saya tidak ingin menyinggung siapa saja)

 Oh itu sih kalau aku pelajari sekaligus mbandingin gitu lo. Ya itu tadi yang moral kerjanya ya itu sama tepat waktu, ketepatan waktunya juga yang tak pelajari sampe sekarang itu sih. Kalau misalnya kamu pelajari apa yang orang Jerman pelajari dimana aja bisa kayak gitu. Dalam konteks keilmuan lo

ya. Apa hambatan selama bekerja di Wisma Jerman?

 Secara spontan sebenarnya saya mau jawab dengan staf saya yang dari Indonesia tidak pernah ada hambatan, hanya dengan staff dari Jerman.  Umm.. Mungkin 1 hambatan

yang agak sulit untuk saya bahwa ada beberapa orang, untungnya bukan staf saya langsung ... yang aku selalu merasa mereka, hmm.. mempunyai pikiran jelek tentang saya, tapi tidak pernah bilang. Kalau dengan staf saya Retno, Findi atau Rommy, dalam komunikasi tidak ada pernah ada hambatan. ... Tapi yang saya betul-betul tidak, hmm.. apa ya, membuat saya tidak suka atau tidak senang itu kalau saya bicara dengan orang dan saya punya feeling (perasaan) di dalam pikirannya ada sesuatu lain dibandingkan dengan apa yang dia bilang kepada saya.

 Ya, komunikasi ya satu aku cuma orang Indonesia yang apa namanya belajar bahasa, bahasa asing. Bahasa Jerman ya aku bukannya native. Ya wajar kalau misalnya ada salah - salah, aku ga paham. Salah - salah kesulitan komunikasi itu pasti, pasti perlu lah tapi untung aja aku

kebantu di sini bu Birgit itu cas cis cus (lancar) bahasa

Indonesia.

 Ya kalau misal kesulitan komunikasi ya sering terjadi. Ya sering terjadi sampe lo kita kan emang udah gini kemarin lo kita ya gini.. Ya itu sering juga ya karena perbedaan bahasa. Tapi kalau sampai terjadi masalah besar karena komunikasi gitu, ga sih ga pernah sih.

 Ada pasti beda. Beda, beda apa, beda ide itu pasti. Sering... Justru serunya di situ  Ya salah satu harus ngalah. Tapi kebanyakan ya, yang

(18)

51

Universitas Kristen Petra  Dia senyum di depan, tetapi di

belakang dia tidak senyum. Punya pikiran jelek. Dan saya juga tahu dari KBRI memang ada, khususnya wanita, ibu-ibu, yang kadang-kadang memang begitu.

 That’s why i also think that i

will have difficulties to go back into work in Germany. Because i enjoy very much the way Indonesian, our working because is very polite to each other. ... or maybe, it’s also because they never criticize me. And German, German they criticize me of course, because they have learn to criticize the Boss. So the distance between powers is very far with my Indonesian staff and it’s very close with my German colleague. ...but i also sometime feel sorry for my Indonesian staff when I hear that one of my German colleague offended them by doing something or saying something, terlalu keras, atau

bila sesuatu salah, terlalu

direct. (Itulah kenapa saya

pikir saya akan kesulitan ketika kembali bekerja di Jerman. Karena saya sangat menikmati cara orang Indonesia, pekerjaan kami karena sangat sopan satu dengan yang lain ... Atau mungkin karena mereka tidak pernah mengkritik saya. Dan orang Jerman mengkritik saya tentu saja, karena mereka belajar untuk mengkritik bos. Jadi jarak kekuatan sangat jauh dengan staf Indonesia dan sangat dekat dengan kolega Jerman. ... tapi kadang saya sedih untuk staf

bawahan yang harus ngalah. Tapi tetep ide ada kayak gitu. Kamu ngotot, pokoknya

ngotot dulu. Ya kamu

berargumen dulu, gitu terus ya keputusan final ya tetep ada di di boss dan kamu harus hargai itu.

 Tapi kalo misalnya kita udah capek, udah ga saling paham ya kita ngomong pake bahasa Indonesia

 Paham. Soalnya pas aku ga paham, aku pasti pake bahasa Indonesia. Kalo misalnya aku ngomong pake bahasa Jerman terus itu artinya aku selalu paham

(19)

52

Universitas Kristen Petra Indonesia saya saat saya

dengar kolega Jerman saya menyinggung mereka dengan melakukan atau mengatakan sesuatu, terlalu keras atau bila sesuatu salah, terlalu terang-terangan) Apa pekerjaan Anda di Wisma Jerman?

 I responsible for the administration together with Rommy. I responsibility for, especially for the program section together with Findi, and for the economy section together with Retno. (Saya

bertanggung jawab dalam administrasi bersama dengan Rommy. Saya bertanggung jawab terutama dengan seksi program bersama Findi dan untuk seksi ekonomi bersama Retno)

 Pelaksana lapangan ya, pelaksana mulai budgeting, persiapan, sampai eksekusi hari-H nya kaya gitu

Apakah Anda bisa memahami pola pikir dan perasaan orang Indonesia (atau Jerman)?

 Nggak tahu.. sesuatu yang bikin saya bangga sekali ya kalau saya ketemu orang Jawa dan dia bilang ya, saya berpendapat bahwa saya setelah sekian tahun sudah tahu apa dia bermaksud iya atau tidak... Is it the real yes,

or the false yes. (apakah itu

iya yang sesungguhnya atau iya yang palsu)

 Ah no, I don’t think I can tell

the emotion. Indonesian very often leave me very bingung. Sometimes i say something and then i think oh maybe i offended this person. Maybe what i said was wrong, maybe. And then i watch this person and then i don’t know that i really offend this person. (Ah tidak, saya pikir

saya tidak bisa menerka emosi. Orang Indonesia sering membuat saya sangat bingung. Kadang saya mengatakan sesuatu dan saya

 Ya itu memang bener – bener karakternya. Yang selama ini aku orang Jerman yang saya temui, iya

 Mereka mencari banyak kemungkinan soalnya, sering mencoba juga. Padahal kalau misalnya kita pikir, ini pasti

nyampe kalo lewat satu jalan.

 orang Jerman kan rata – rata kalau menunjukkan perasaan dengan jelas

(20)

53

Universitas Kristen Petra pikir oh mungkin saya

menyinggung orang ini. Mungkin apa yang saya katakan salah. Lalu saya melihat orang ini dan saya tidak tahu apakah saya sungguh menyakitinya) Jika Anda diminta untuk memilih, relasi baik tapi pekerjaan tidak sempurna, atau pekerjaan selesai dengan sempurna tapi ada relasi yang dikorbankan , Anda memilih yang mana?

 I will choose the feelings. i

think in the end, this is the better with respecting the feelings the people who you work with. If you are too professional and sacrifice feelings, i think sooner or later you will have the bad impact of this. Maybe that

one project was very

profesional, but you dont know what the next one, because people will not to be honest to you anymore... I mean the middle would be the best, a hundred a hundred, yah... (Saya akan memilih

perasaan... Saya pikir di akhir, lebih baik menghargai perasaan teman kerjamu. Jika kamu terlalu profesional dan mengorbankan perasaan, saya pikir cepat atau lambat kamu akan mendapatkan dampak negatif. Mungkin proyek yang itu profesional tapi kamu tidak tahu yang selanjutnya karena orang-orang tidak akan jujur lagi padamu... Maksud saya di tengah yang terbaik, seratus-seratus yah ...)

 Ya menempatkan tugas… Tugas yang dipercayakan ke kamu itu, kamu pasti tempatkan diatas segalanya  Kalo misalnya Birgit. Iya

Birgit ya kayaknya awalnya misalnya kayak masih

ngambek atau apa kayak gitu

padahal Birgit harus menyelesaikan tugas dulu yang bener – bener urgent. Si Birgit itu ga akan bilang ya

udah kamu pulang jangan ngambek ya udah selesai

kok. Padahal tugasnya belum selesai. Selesaikan dulu tugasmu ya… Ada orang yang perasaannya harus dikorbankan gitu ya pasti ada lah Bagaimana cara Anda berkomuni-kasi ketika berhadapan dengan orang Jerman dan Indonesia?

 Actually, i would treat

German the same, i wouldnt difference between German and Indonesia. It just my character. (Sebenarnya saya

akan memperlakukan orang Jerman sama, saya tidak akan membedakan orang Jerman

 Hmm…. Tergantung yang punya acara. Kalau misalnya, yang punya acara kan langsung dari Jerman kan?

Kayak gitu ya. Ya kita harus

berkomunikasi layaknya orang Jerman berkomunikasi kayak gitu.

(21)

54

Universitas Kristen Petra dan Indonesia. Itu karakter

saya.)

 Maybe i will treat Indonesian

sometimes more be like children ways, while for foreigner i will treat them for roughness (Mungkin saya

akan memperlakukan orang Indonesia kadang seperti anak-anak, sedangkan orang asing akan saya perlakukan lebih keras)

 Jadi istilahnya ngomong langsung kayak gitu. Jadi prinsipnya orang Jerman kalo

ngomong itu kan, ngomong

apa adanya kayak gitu lo,

ngomongo apa adanya. Kalau

misalnya orang Indonesia kan kalau berkomunikasi, kalau ngomong gitu kan ga langsung gitu lo. Kayak ada maksud - maksud tertentu

kayak gitu kan. Ya gak? Nah,

kalau orang Jerman kan

nggak.

 Nah soalnya yang punya acara orang Jerman, jadi kita terbiasa ngomong ala orang Jerman yang langsung blak-

blakkan kayak gitu.

 Yang penting itu etika. Ya etikanya. Kalo misalnya kamu tahu orang Jerman tepat waktu orangnya, kamu janji wawancara misalnya jam 3 ya udah. Itu harus mulai jam 3.

 Yang perlu diperhatikan ya, layaknya kamu orang kerja dan kamu memang posisi yang butuh informasi kayak gitu. Kamu orang yang perlu. Ya kamu berlakulah selayaknya orang yang perlu

kayak gitu Apa artinya politeness dan friendliness ?

 I know that in family ya, my

father for example, if there a problem with somebody, he cannot say. Yes it’s difficult for him to say it directly and i think i have the same. ... So in communication we always have to be very polite, we’re also polite to people, maybe we don’t really like that much, but we don’t dare to tell them. I think it’s not only Indonesia that has influenced me and maybe it’s also the way of my

 Ya.. Friendliness ini relatif ya, ngeliat dulu gimana. Soalnya kalo misalnya sama

temen kan ngomong masih

ada guyonnya, tapi kalau sama bos kan kadang nggak bisa kaya gitu. Kalau ngomong sama atasan tapi gayanya kaya sama temen kan ya nggak etis juga ya..  Kalau aku sih, kalau

konteksnya atasan sama bawahan, friendliness itu etika bicara, etika

(22)

55

Universitas Kristen Petra

family ya. (Saya tahu di

keluarga saya, contohnya ayah saya, jika ada masalah dengan seseorang dia tidak bisa bilang. Ya sangat sulit baginya untuk bilang langsung dan rasanya saya pun begitu.... Dalam komunikasi kita harus selalu sopan, kita juga sopan kepada orang yang mungkin kita tidak suka, tapi kita tidak berani mengatakannya. Saya pikir tidak hanya Indonesia yang mempengaruhi saya tapi juga keluarga saya ya)

 But i always thought that’s the

reason i feel so well with Indonesian surrounding ya. I think of myself, I’m kind of polite person, I want to be polite to everybody. And i really don’t like for example someone has a bad mood because of something, and he let everybody feel that he is in the bad mood. ... so I think everybody has, we need a certain degree of politeness to be able to get along. (Tapi

saya merasa itu alasan saya sangat baik di lingkungan Indonesia ya. Saya pikir saya orang yang sopan, saya ingin sopan ke semua orang. Dan saya tidak suka contohnya seseorang sedang badmood karena sesuatu, dan dia membiarkan semua orng tahu bahwa dia sedang badmood... Jadi saya pikir semua orang perlu kesopanan pada derajat tertentu untuk bisa akrab)  I mean to be polite does not

automatically have to come from the heart yeah.. you’re

polite because you’re

educated to be polite. Politeness is, for example i

nyampaikan sesuatu itu

gimana. Tahu kapan harus

ketawa atau serius. Kalau

friendliness sesama karyawan

kan lebih bebas, nggak terlalu formal. Liat konteksnya dulu sih, ngomong sama siapa.

(23)

56

Universitas Kristen Petra

sneeze and i say,“oh sorry..” or i have a cough and i put my hand in mouth. ... I thinks that is politeness. But friendliness is come from the hearts, so

friendliness is more

characters, where politeness is more education. (Saya

maksud bahwa kesopanan tidak secara otomatis datang dari hati yah.. Kamu sopan karena kamu dididik untuk jadi sopan. Kesopanan contohnya saya bersin dan saya bilang “oh maaf..” atau saya batuk saya meletakkan tangan di mulut... Saya pikir itu kesopanan. Tetapi keramahan datang dari hati, jadi keramahan itu karakter, sedangkan kesopanan itu pendidikan.)

 You have people friendly in

Germany and you have people friendly in Indonesia, but i would say that overall average is more friendly in

Indonesia compared to

Germany. (Ada orang ramah

di Jerman dan Indonesia, tapi secara umum orang Indonesia lebih ramah daripada orang Jerman)

 Friendly is the communicate

to, at the certain level of we do not offend other people, it’s more than that maybe. We dont let them know that we are in the bad mood, we have the ability to hide our bad mood, and to have a certain

level of a good

communication atmosphere.

(Keramahan adalah berkomunikasi pada suatu level di mana kita tidak menyakiti orang lain. Mungkin lebih dari itu. Kita

(24)

57

Universitas Kristen Petra tidak membiarkan mereka

tahu bahwa kita sedang

badmood, dan mempunyai

atmosfer komunikasi yang baik pada level tertentu)  Smilling, being helpful, show

interest, giving respond that you are really interested, yah things like that, not playing around with your handphone while someone tells you his love story or.. (tersenyum,

mau menolong, menunjukkan minat, memberi respon bahwa kamu sungguh tertarik, tidak bermain dengan handphone saat seseorang bercerita)

Sumber: Olahan penulis, 2016

4.5.2. Horizon

Selanjutnya adalah tahap horizon yaitu proses menemukan esensi dari fenomena yang sudah terlepas dari persepsi orang lain serta mengelompokkannya ke dalam tema-tema tertentu dan mengorganisasikannya ke dalam deskripsi tekstural dari fenomena yang relevan (Kuswarno, 2013, hal. 52). Dari Tabel 4.1., peneliti mengambil inti-inti data yang penting dan mengelompokkannya ke dalam tema-tema yang ditemukan dari kedua informan.

Tabel 4.2. Tabel Horizon

Tema Jawaban

Birgit Findi

Pengalaman berkomunikasi antarbudaya

 Pernah mengambil kursus Bahasa Indonesia 1 semester

 Pernah internship di Goethe Institut Bandung selama 3 bulan

 Pernah tinggal 1 tahun di Indonesia (6 bulan di Jogja

 Belajar Bahasa Jerman di kelas bahasa waktu SMA  Kuliah jurusan Sastra

Jerman di UNESA

 Tinggal di Jerman selama 3 bulan dengan program beasiswa

(25)

58

Universitas Kristen Petra dan 6 bulan di Bali) dan

belajar Bahasa Indonesia untuk keperluan sehari-hari  Bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia Berlin selama 13 tahun. Saat bekerja ia menjadi penerjemah Bahasa Jerman – Indonesia, sering melakukan public speaking, bekerja dengan orang

Indonesia, dan

mempersiapkan materi dalam Bahasa Indonesia  Bekerja di Wisma Jerman

sejak tahun 2012.

 Menjadi volunteer dalam acara Wisma Jerman sebelum bekerja full time  Bekerja di Wisma Jerman

sejak tahun 2013.

Motivasi untuk berkomunikasi antarbudaya

 Menyukai pengalamannya saat internship di Bandung sehingga ingin kembali ke Indonesia

 Menyukai optimisme dan energi teman-teman yang dikenalnya di Bandung  Menyukai gaya komunikasi

orang Indonesia yang sopan dan positif (selalu tersenyum)

 Tertarik untuk mempelajari karawitan

 Menyukai pemandangan dan alam Indonesia

 Tertarik dengan karya sastra, filsafat, dan musik dari Jerman

 Mengapresiasi negara Jerman yang menghargai sejarahnya

 Menyukai ketepatan waktu orang Jerman

 Menyukai etos kerja orang Jerman  Mengapresiasi kemajuan teknologi Jerman Pengetahuan tentang budaya sendiri

 Orang Jerman (terutama yang hidup sesudah Perang Dunia Kedua) memiliki sikap terus aktif bekerja dan tidak banyak memuji orang lain

 Orang Jerman terang-terangan dalam mengkritik dan ingin agar argumennya unggul.

 Orang Jerman sangat terencana

 Orang Jerman bisa sangat kasar, terang-terangan dan dapat menyinggung perasaan orang lain dalam

 Orang Indonesia lebih fleksibel dalam penggunaan waktu

 Orang Indonesia menutup-nutupi sejarah kelamnya

(26)

59

Universitas Kristen Petra komunikasi, terutama jika

lawan bicaranya terlalu lembek

 Orang Jerman lebih cepat mengkritik secara langsung dibanding orang Indonesia, tetapi tidak selalu lebih baik dalam menerima kritik Pengetahuan

tentang budaya lain

 Orang Indonesia optimis dalam memandang masa depan dan berenergi

 Orang Indonesia sangat fleksibel dalam proses perencanaan, spontan, membawa ide-ide baru, dan beradaptasi dalam berbagai situasi berbeda

 Orang Indonesia suka tersenyum dan sopan saat berkomunikasi

 Orang Jawa bisa tersinggung dengan mudah  Orang Indonesia lebih

ramah daripada orang Jerman

 Kualitas teknologi Jerman sangat maju

 Jerman melahirkan banyak sastrawan, musisi, dan filsuf  Negara Jerman menghargai

sejarah

 Orang Jerman menjunjung tinggi etos kerjanya

 Orang Jerman tepat waktu  Orang Jerman detail dan

rumit

 Orng Jerman memiliki toleransi tinggi terhadap orang asing yang tidak bisa berbahasa Jerman

 Orang Jerman sangat terang-terangan dalam berekspresi dan merespon sesuatu  Orang Jerman

kadang-kadang rasis

 Orang Jerman

merencanakan sebelum melakukan

 Orang Jerman memandang budaya makan sebagai sesuatu yang penting

 Orang Jerman demokratis, suka berdiskusi, mendengar opini, dan mencari solusi bersama-sama

Sikap  Non-stereotyping: Tidak menggeneralisasi Indonesia sebagai 1 budaya, tapi sebagai negara yang terdiri dari banyak budaya

 Nonjudgmentalism: Tidak memandang budaya lain menurut standar budaya sendiri

 Non-stereotyping: Suatu budaya tidak bisa dipandang 100% buruk atau 100% bagus

 Nonjudgmentalism: Tidak memandang budaya lain menurut standar budaya sendiri

(27)

60

Universitas Kristen Petra  Empathy: Merasakan apa

yang dirasakan orang lain

 Empathy: Merasakan apa yang dirasakan orang lain Adopsi budaya  Fleksibilitas dalam

merencanakan sesuatu  Kemampuan beradaptasi

dalam situasi yang berbeda

 Etos kerja orang Jerman, yaitu displin dalam penggunaan waktu sehingga memiliki target dalam bekerja

Perilaku  Compromise: Berkompromi ketika terjadi perbedaan pendapat

 Self control: Berhati-hati dalam bersikap dan berbicara karena menyadari status sebagai orang asing

dan tidak mau

menyinggung orang lain  Respect: Sopan santun dan

mengikuti tata krama saat berkomunikasi.

 Friendliness: menciptakan atmosfer yang baik dalam komunikasi.

 Priority: Lebih memilih menjaga perasaan orang

lain daripada

keprofesionalitasan pekerjaan

 Compromise: Menganggap perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang baik dan wajar terjadi

 Self control: Mengendalikan emosi saat berkomunikasi dengan orang lain

 Respect: Memandang etika sebagai hal yang penting

dalam komunikasi

(misalnya ketepatan waktu)  Respect: Memposisikan diri

sebagai “orang yang membutuhkan”. Berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain, karena kita memiliki kebutuhan untuk berkomunikasi dan bekerjasama.

 Friendliness: Menempatkan diri sesuai konteks lawan bicara

 Priority: Lebih memilih menjaga keprofesionalitasan pekerjaan daripada perasaan orang lain

Sumber: Olahan penulis, 2016

4.6. Variasi Imajinasi

Variasi imajinasi adalah pencarian makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan, dan pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan, dan fungsi yang berbeda. Tujuan proses ini ialah mencapai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman, yaitu bagaimana fenomena berbicara mengenai dirinya (Kuswarno, 2013, hal. 52). Melalui proses ini, peneliti menemukan beberapa tema yang menjadi esensi dari kompetensi

(28)

61

Universitas Kristen Petra komunikasi interultural yang dimiliki oleh staf berkewarganegaraan Jerman dan Indonesia di Wisma Jerman.

4.6.1. Pengalaman Berkomunikasi Antarbudaya

Pengalaman interaksi antarbudaya yang dialami oleh individu dapat berasal dari kejadian-kejadian yang direncanakan ataupun tidak direncanakan. Peristiwa pertemuan atau “encounter” dengan budaya lain ini kemudian dapat menuntun individu tersebut kepada kejadian-kejadian selanjutnya dan memungkinkan adanya akumulasi pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan komunikasi interkultural. Seperti halnya pengalaman Findi yang dimulai dengan peristiwa tidak sengaja ketika ia memilih kelas bahasa, kemudian menjadi mahasiswa strata 1 dengan program studi Sastra Jerman, berkesempatan untuk tinggal di Jerman, menjadi volunteer, dan akhirnya bekerja di Wisma Jerman. Berbeda pula dengan Birgit yang mengawali pengalamannya dengan internship di Bandung, lalu tinggal di Jogja dan Bali untuk studi tentang karawitan, bekerja di Kedutaan Besar RI Berlin, dan akhirnya bekerja di Wisma Jerman. Dari satu peristiwa, kedua individu ini akhirnya mengalami peristiwa-peristiwa kultural lain hingga akhirnya bertemu di Wisma Jerman.

Berdasarkan dua fenomena ini, peneliti melihat bahwa adanya faktor eksternal yaitu kesempatan interaksi interkultural dan faktor internal yakni keputusan individu untuk mengambilnya merupakan hal yang mempengaruhi pengalaman komunikasi antarbudaya seseorang. Beberapa pengalaman Birgit dan Findi merupakan hasil dorongan dari luar (seperti tawaran bekerja) dan keputusan dari dalam diri individu (misalnya keputusan untuk memilih program studi).

Menurut Thongprayoon (1988), pengalaman kultural seperti tinggal di luar negeri, meningkatkan kemungkinan kesuksesan beradaptasi pada budaya berbeda karena wawasan dan pelajaran yang didapatkan dari pengalaman sebelumnya (dalam Kim, 2004).

(29)

62

Universitas Kristen Petra Pengalaman Findi tinggal di Jerman dan Birgit tinggal di Indonesia membantu mereka untuk menjadi komunikator yang kompeten ketika harus berhadapan dengan orang dari budaya Jerman dan Indonesia. Spitzberg (2000) mengatakan bahwa pengalaman juga membentuk pengetahuan akan budaya lain, memperkaya kemampuan linguistik (terutama penguasaan bahasa asing), mempengaruhi cara berpikir dan sikap seseorang terhadap perbedaan budaya. Selain itu, kemampuan untuk menerapkan perilaku-perilaku yang efektif dan tepat dalam berbagai konteks budaya diperoleh secara akumulatif dari pengalaman (dalam Gudykunst, 2003). Pengalaman interkultural Findi dan Birgit menjadi faktor penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan komunikasi interkultural mereka.

Spitzberg mengatakan bahwa pengalaman individu dapat memunculkan kepercayaan diri. Semakin familiar seseorang dengan situasi yang dihadapinya, semakin tinggi kepercayaan dirinya akan apa yang harus ia lakukan. Ia juga menyebutkan “As a person’s

exposure to a culture increases, his or her stores of relevant subject matters, topics, language forms, and so on, as well as procedural competencies, are likely to increase.” (Semakin tinggi paparan

seseorang pada budaya, dia menyimpan subjek relevan, topik, bentuk bahasa, dan sebagainya, serta kompetensi prosedural, cenderung meningkat) (2000, hal. 384). Pengalaman akan mempermudah interaksi komunikasi interkultural selanjutnya karena rasa percaya diri dan pemahaman proseduralnya yang meningkat.

4.6.2. Motivasi Berkomunikasi Antarbudaya

Motivasi mencakup perasaan, maksud, kebutuhan, dan hasrat seseorang yang berkaitan dengan berlangsungnya komunikasi antarbudaya (Wiseman dalam Gudykunst, 2003). Pengalaman yang dialami individu kemudian dievaluasi dan dapat berfungsi sebagai motivasi untuk melakukan interaksi antarbudaya. Motivasi sangat

(30)

63

Universitas Kristen Petra berpengaruh pada Kompetensi Komunikasi Interkultural. Spitzberg mengatakan bahwa “As communicator motivation increases,

communicative competence increases” (saat motivasi komunikator

meningkat, kompetensi komunikatif meningkat). Semakin seseorang ingin membuat kesan yang bagus dan berkomunikasi secara efektif, semakin mudah dirinya dan orang lain untuk memandangnya sebagai orang yang kompeten. (2000, hal. 381)

Pengalaman positif akan mengarah pada motivasi yang positif, dan hal tersebut akan mendorong orang menjadi semakin kompeten dalam interaksi interkultural. Seperti yang telah dipaparkan di teori bahwa jika kepercayaan diri, ketertarikan dan maksud baik mendominasi perasaan kita, maka motivasi positif akan muncul dan kita akan lebih tertarik untuk melakukan interaksi (Morreale, Spitzberg, & Barge dalam Gudykunst, 2003). Pengalaman yang menyenangkan seperti yang dialami oleh Birgit saat di Bandung akhirnya mengarahkannya untuk memperdalam studi tentang karawitan selama 1 tahun di Indonesia. Perasaan seperti rasa nyaman, kagum, dan rasa suka dapat menjadi pendorong seseorang untuk menjalin komunikasi antarbudaya. Hal ini sesuai dengan perkataan Chen dan Starosta bahwa ketertarikan akan menuntun pada penghargaan dan penghormatan pada perbedaan budaya (Kim, 2004). Selain itu adanya kebutuhan juga dapat menjadi motivasi pendorong. Kebutuhan ini berkaitan dengan tujuan komunikasi yang ingin dicapai. Misalnya Findi yang tengah membutuhkan pekerjaan akhirnya memutuskan untuk melamar pekerjaan di Wisma Jerman.

4.6.3. Pengetahuan Budaya Sendiri

Pengetahuan atau knowledge dapat dibagi menjadi 2, yaitu pengetahuan tentang budaya sendiri dan budaya lain. Self-knowledge atau pengetahuan akan diri sendiri ialah memahami bagaimana kita dipandang sebagai komunikator dan mengenal kekurangan dan kelebihan kita (Martin & Nakayama, 2007). Chen dan Starosta

(31)

64

Universitas Kristen Petra menyebutnya sebagai self awareness yang termasuk dalam dimensi kognitif dalam model Kompetensi Komunikasi Interkultural mereka. Menyadari latar belakang budaya sendiri dan orang lain sangat diperlukan untuk dapat memahami dan mempersepsikan kesamaan dan perbedaan dengan partner budaya lain. Mencari dan mengenali kemiripan membuat perbedaan yang ada terasa tidak begitu mengancam, sedangkan memuaskan rasa ingin tahu akan perbedaan memfasilitasi pemahaman. (dalam Kim, 2004)

Pengetahuan tentang budaya sendiri dan diri sendiri juga didapatkan dari peristiwa masa lalu. Salah satu hal yang berpengaruh kuat dalam hal ini adalah lingkungan keluarga dan pendidikan. Birgit menyadari bahwa ia sedikit berbeda dari kultur orang Jerman umumnya karena pengaruh keluarganya. Ayahnya bukanlah orang yang sangat direct seperti orang Jerman pada umumnya, sehingga Birgit juga dibesarkan dengan karakter seperti itu. Birgit akhirnya memiliki kecenderungan berhati-hati dalam berkomunikasi demi menjaga perasaan orang lain, yang ternyata sejalan dengan kultur orang Indonesia. Kemiripan ini akhirnya membuat dirinya lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan orang Indonesia. Ia malah merasa khawatir untuk kembali ke lingkungan orang Jerman ketika telah menyelesaikan masa tugasnya di Wisma Jerman.

Pengetahuan budaya sendiri menjadi dasar pembanding dengan budaya lain. Dengan begitu, kita menyadari perbedaan dengan budaya lain dan kita mencari strategi untuk mengatasinya.

Self-knowledge mencakup kekurangan dan kelebihan yang

ditemukan dengan cara membandingkan budaya (Martin & Nakayama, 2007). Findi melihat bahwa ketepatan waktu dalam kultur Indonesia adalah sesuatu yang perlu ditingkatkan sehingga ia mengadopsi kedisplinan waktu dari budaya orang Jerman.

4.6.4. Pengetahuan Budaya Lain

Pengetahuan mengenai budaya lain didapatkan melalui pengalaman interkultural yang dialami secara akumulatif. Spitzberg

(32)

65

Universitas Kristen Petra mengatakan bahwa semakin beragam terpaan seseorang terhadap berbagai jenis orang dan peran, semakin besar kemampuannya untuk memahami berbagai peran dan perilakunya dalam pertemuan budaya (2000, hal. 384). Awalnya individu hanya mengenal budayanya sendiri dan dapat membuat asumsi-asumsi tentang budaya lain. Hal inilah yang dialami oleh Birgit dan Findi sebelum mengenal budaya lain. Setelah mengalami intercultural encounter, ia mulai mengenali karakteristik budaya lain tersebut, membandingkannya dengan budaya sendiri, dan menyimpulkan perbedaan-perbedaan budaya yang ada. Pengetahuan ini akan terus dibuktikan keajegannya dengan melihat populasi umum dan diperbarui sesuai dengan pengalaman kultural yang dialami. Lalu, individu akan mendasarkan perilaku komunikasinya pada pengetahuan yang ia miliki tentang budaya lain. Spitzberg mengatakan, semakin tinggi pengetahuan seseorang akan bagaimana berkomunikasi dengan baik, makin kompeten orang tersebut. (2000, hal. 383)

Birgit awalnya mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan kultur orang Indonesia di KBRI Berlin yang fleksibel dalam penggunaan waktu. Kultur ini begitu berbeda dengan kulturnya sendiri yang sangat terjadwal dan tepat waktu. Ternyata pengetahuan ini tidak banyak berubah setelah ia bekerja di Wisma Jerman. Ia tetap saja menjumpai orang Indonesia yang fleksibel dalam hal waktu dan kemudian ia memandang hal tersebut sebagai salah satu karakteristik budaya orang Indonesia. Findi juga menemukan banyak perbedaan antara perilaku orang Indonesia dan orang Jerman secara umum dan mengkategorikannya sebagai kultur orang Jerman, seperti sangat tepat waktu, menjunjung tinggi moral kerja, terang-terangan dalam memberikan respon, dan terencana. Pengetahuan ini kemudian mempengaruhi perilaku individu dalam berinteraksi dengan budaya lain. Misalnya Birgit belajar untuk lebih fleksibel terhadap penggunaan waktu saat berhadapan dengan orang Indonesia

(33)

66

Universitas Kristen Petra sedangkan Findi berusaha tepat waktu saat berurusan dengan orang Jerman.

4.6.5. Sikap

Attitude, atau peneliti menyebutnya juga sebagai sikap,

mentalitas atau cara berpikir seseorang dalam memandang perbedaan budaya dapat mempengaruhi kualitas interaksi antarbudaya tersebut. “Mental sets” ini akan mempengaruhi perilaku yang nampak dalam proses interaksi. Jika pengetahuan berbicara tentang apa yang kita ketahui tentang budaya diri sendiri dan orang lain, attitude berbicara tentang bagaimana kita mempersepsi perbedaan budaya yang ada. Kita mungkin dapat mengenali perbedaan budaya yang ada, tetapi jika kita tidak memiliki pola berpikir yang tepat dalam menyikapi perbedaan tersebut, maka komunikasi interkultural tidak akan terlaksana dengan efektif dan tepat.

Beberapa pola pikir yang tampak dari kedua informan ialah

non-stereotyping dan non-judgmentalism. Stereotype adalah sikap

menggeneralisasikan sebuah populasi ke dalam label-label sederhana (yang cenderung bersifat negatif) yang kita buat dalam pikiran kita. Karena stereotype mempersempit persepsi kita, sikap ini biasanya merugikan dalam interaksi interkultural dan cenderung bernada negatif (Samovar, Porter, McDaniel, 2007, hal. 320). Sikap menghindari stereotype yang dimiliki oleh Birgit dan Findi mendukung terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif dan tepat. Birgit menyadari bahwa orang Indonesia tidak dapat digeneralisasikan dengan mudah karena memiliki banyak sekali subkultur, sedangkan Findi memandang bahwa tidak mudah untuk “melabeli” budaya lain karena tidak ada budaya yang selalu baik dan selalu buruk. Selain itu sikap nonjudgmentalism yakni berusaha untuk tidak menilai budaya lain menurut standar budaya kita sendiri juga sikap yang mencerminkan Kompetensi Komunikasi Interkultural. Sikap menilai budaya lain berdasarkan budaya sendiri

Gambar

Gambar 4.1. Foto Kantor Wisma Jerman  Sumber: Database Wisma Jerman, 2015
Tabel 4.1. Tabel Bracketing dan Horizonalizing
Tabel 4.2. Tabel Horizon

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini yang berjudul “Rancang

Seringkali kita dengar apabila mata pelajaran Operasi Perkhidmatan Makanan dijalankan, pensyarah menghadapi masalah menyediakan bahan bantu mengajar yang berkaitan dengar

Entrepreneurship adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda dalam nilai dengan mencurahkan waktu dan usahanya, menanggung penyertaan keuangan,. psychologis, resiko sosial

JMLH SAT 1 Penetapan rasio dosen dan mahasiswa sesuai standar ideal Terealisasi rasio dosen dibanding mahasiswa 1 : 20 1:20 Rasio 2 Meningkatnya penyerapan

Gangguan perkembangan juga merupakan dampak negatif lain yang terjadi akibat hospitalisasi, semakin sering anak menjalani hospitalisasi akan semakin beresiko tinggi mengalami

Skizogoni banyak terjadi pada organ dalam (hati, limpa, dan sumsum tulang) dan kelainan patologis pada organ tersebut sering ditandai dengan adanya pigmen malaria yang dideposit

Praktikum terhadap sampel hiu paus yang telah dilakukan menggunakan metode ekstraksi chelex dan dilanjutkan dengan kegiatan PCR (polymerasi Chain Reaction) dan

Ulkus kaki diabetik adalah luka yang dialami oleh penderita diabetes pada area kaki dengan kondisi luka mulai dari luka superficial , nekrosis kulit, sampai luka dengan