• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hospitalisasi Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hospitalisasi Pada Anak"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Hospitalisasi

1.1.1. Pengertian Hospitalisasi Pada Anak

Hosptalisasi pada anak merupakan suatu keadaan krisis yang terjadi pada anak. Hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal atau dirawat dirumah sakit. Kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak, orang tua, maupun keluarga (Saprianto 2019). Selain itu, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang sifatnya menekan (Saprianto 2019). Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengencam ketika anak menjalani hospitalisasi karena stressor yang dihadapi dapat menimbulkan perasaan tidak aman (Utami 2014). Anak yang mempunyai pengalaman hospitalisasi sebelumnya akan memiliki kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang belum memiliki pengalaman sama sekali (Hulinggi et al. 2018).

Anak yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan selama dirawat di rumah sakit sebelumnya akan membuat anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila pengalaman anak di rawat di Rumah Sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka akan lebih kooperatif (Saputro and Intan Fazrin 2017). Hospitaisasi pada anak dapat meningkatkan stress bagi anak dan keluarga, tetapi hal tersebut dapat membantu anak dan orang tua lebih dekat secara emosional (Merdekawati 2018). Hospitalisasi merupakan sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan dan dianggap

(2)

mengancam, sehingga menjadi pengalaman buruk bagi setiap orang yang pernah mengalaminya. Selama proses tersebut, anak dapat mengalami berabagai pengalaman traumatic seperti: ketakutan saat melihat perawat, ketakutan saat melihat obat-obatan, dan ketakutan saat ingin mulai berinteraksi dengan orang baru disekitarnya (Supartini, 2012).

1.1.2. Faktor-faktor hospitalisasi

Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress ketika anak saat menjalani hospitalisasi yaitu: Faktor lingkungan rumah sakit, faktor berpisah dengan orang yang sangat berarti, faktor kurangnya informasi, faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian, faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit (Hulinggi et al. 2018). Faktor lain yang mempengaruhi stress akibat hospitalisasi adalah cemas akibat perpisahan, respon cemas akibat perisahan oleh anak ada 3 bagian yaitu: Tahap protes, tahap ini biasanya anak melakukan protes dengan cara menangis, menjerit, menendang, atau memanggil ibunya. Tahap putus asa, tahap ini anak mengalami ketegangan, lebih pendiam, tidak berkomunikasi, putus asa, sedih, dan apatis. Tahap keintiman kembali, tahap ini merupakan tahap penerimaan kembali oleh anak dengan orang yang baru dikenal (Kudus et al. 2017).

1.1.3. Angka Kejadian Hospitallisai

Angka kejadian anak yang terpaksa berada di lingkungan baru karena menjalani hospitalisasi meningkat tiap tahun. Berdasarkan laporan Profile Kesehatan Ibu Dan Anak,2018) ditahun 2016 data anak dengan hospitalisasi yang mendapat jaminan kesehatan sebanyak 3,88%, dan pada

(3)

tahun 2017 meningkat menjadi 4,43%. Diakhir tahun 2018 kejadian anak dengan hospitalisasi bertambah menjadi 5,21%. Sedangkan jumlah anak yang pernah mengalami hospitalisasi yang menggunakan jaminan lebih banyak yaitu tahun 2016 sebanyak 53,74%, ditahun 2017 menurun hingga 49,36%, dan pada tahun terakhir 2018 lebih kurang menjadi 48,68%.

(4)

1.1.4. Dampak Hospitalisasi

Dampak yang sering terjadi pada anak dengan hospitalisasi adalah stress. Stress seringkali dialami anak dengan hospitalisasi, tress yang dirasakan anak merupakan suatu dampak yang dapat menimbulkan kecemasan terutama pada anak yang mengalami hospitalisasi (Noviati, Imas, and Anisa 2018). Stress anak dengan hospitalisasi meningkatkan rasa cemas yang berlebihan pada anak dan orang tua. Gangguan perkembangan juga merupakan dampak negatif lain yang terjadi akibat hospitalisasi, semakin sering anak menjalani hospitalisasi akan semakin beresiko tinggi mengalami gangguan pada perkembangan motorik anak (Utami 2014). Stress yang dialami anak dengan hospitalisasi mempengaruhi tingkat kesembuhan pada anak. Anak yang mengalami stress akan mengalami gangguan perkembangan (Noviati et al. 2018). Stress terdiri dari keadaan emosional, dengan komponen psikologis, social dan fisiologis yang dapat mempengaruhi individu pada setiap tahap perkembangannya (Vageriya, 2019). Stress yang dialami anak mempengaruhi tingkat kesembuhan anak saat dirumah sakit. Stress yang dirasakan seorang anak dapat memberikan efek negatif dalam perkembangan hidup anak. Perubahan yang terjadi dapat dapat berupa psikis atau fisik. (Dian, 2008). Perubahan secara fisikyang terjadi pada anak dengan hospitalisasi yaitu reaksi negatif yang akan dikeluarkan anak adalah seperti menendang-nendang, berteriak-teriak dan perlawanan sampai tingkat diperlukan pengendalian fisik oleh beberapa orang (Langthasa, Yeluri, Jain, & Munshi, 2012). Perubahan psikisyang terjadi pada anak yaitu bisa disebabkan karena anak harus berpisah dengan keluarga dan lingkungan bermain. Pada kondisi tersebut

(5)

anak memberikan respon perubahan perilaku (Utami 2014), yaitu menolak untuk makan, memberikan reaksi menangis, memanggil orang tua, dan menunjukan tingkah laku yang agresif (Mulyatiningsih, 2014).

1.1.5. Pengalaman Anak

Pengalaman adalah sesuatu kejadian yang pernah terjadi atau dialami, baik itu pengalaman yang baik atau buruk (KBBI, 2013). Menjalani perawatan di rumah sakit dapat menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak dan orang tua. Secara umum, anak akan merasakan kecemasan karena perpisahan dengan orang tua/orang terdekat, kehilangan kontrol diri, dan ketakutan akan rasa sakit. Anak akan menangis, menjerit, dan menolak petugas kesehatan. Berada di lingkungan yang asing, petugas kesehatan yang asing, pelengkapan dan prosedur pengobatan dan pembedahan, perubahan aktivitas rutin, melihat kondisi sakit pasien lain, dan membuat anak kehilangan kontrol untuk melakukan aktivitas yang biasa mereka lakukan (Chodidjah and Syahreni 2015).

1. Pengalaman negativ

Pengalaman negativ yang terjadi yaitu seperti menendang-nendang, berteriak-teriak dan perlawanan sampai tingkat diperlukan pengendalian fisik oleh beberapa orang (Langthasa, Yeluri, Jain, & Munshi, 2012). Pada kondisi tersebut anak memberikan respon perubahan perilaku (Utami 2014), yaitu menolak untuk makan, memberikan reaksi menangis, memanggil orang tua, dan menunjukan tingkah laku yang agretif.Adanya masalah negativistik, temper tantrum yang cenderung destruktif, ketergantungan terhadap orang tua, ketakutan terhadap dokter, perawat, dan rumah sakit pada anak pasca dirawat di rumah sakit. Masalah-masalah yang terjadi pada saat anak mengalami hospitalisasi tersebut dapat berlanjut

(6)

setelah anak sehat dan dipulangkan. Umumnya masalah-masalah tersebut mempengaruhi anak setelah anak dipulangkan dari perawatan dan menghilang sejalan dengan perjalanan waktu. Meskipun demikian,selain meninggalkan dampak negative terhadap psikologis anak, hospitalisasi juga dinilai dapat memberikan dampak positif terhadap anak. (Chodidjah and Syahreni 2015).

2. Pengalaman positve

Mengalami sakit dan stres selama proses hospitalisasi memberikan kesempatan kepada anak untuk beradaptasi mengatasi masalah dan kecemasan yang dihadapi selama proses perawatan kesehatannya. Ketika anak mampu mengatasi masalah dan stress yang dihadapi, hal ini akan menumbuhkan kepercayaan diri yang tinggi pada anak (Chodidjah and Syahreni 2015).

Anak yang mempunyai pengalaman hospitalisai sebelumnya akan memiliki kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang belum memiliki pengalaman sama sekali. Anak yang pernah mengalami hospitalisasi memiliki respon yang menunjukan peningkatan sensitivitas terhadap lingkungan dan mengingat dengan detail kejadian yang dialaminya dan lingkungan sekitar. Pengalaman yang pernah dialami dengan perawatan juga membuat anak menghubungan kejadian sebelumnya dengan perawatan saat ini. Anak yang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan selama dirawat dirumah sakit sebelumnya akan membuat anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila pengalaman anak dirawat dirumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih kooperatif (Saputro 2017).

(7)

1.1.6. Konsep Anak

1.1.6.1. Pengertian Anak

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (A. Aziz Alimul Hidayat 2009). Pada usia sekolah dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat memberikan reaksi rangsangan intelektual dalam kemampuan kognitif (seperti: membaca, menulis, dan menghitung). Pada usia sekolah, daya pikir anak sudah perkembang kea rah berpikir rasional (dapat diterima akal) (Dahlan 2017). Menurut (Susilaningrum 2013) anak merupakan seseorang yang selalu dipenuhi dengan rasa ingin tahu, aktif, serta penuh harapan.

Masa anak-anak merupakan awal kehidupan untuk kehidupan selanjutnya.Agar menjadi pribadi yang mandiri dan generasi yang berkualitas, anak perlu mendapatkan perlindungan dan perlakuan khusus sesuai kemampuan tumbuh kembangnya.Namun, anak yang berasal dari kelompok masyarakat kurang sejahtera (kurang mampu) sering mengalami eksploitasi (pemerasan), ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan kurang memiliki kesempatan untuk membela diri.

1.1.7. Konsep Perkembangan

1.1.7.1. Pengertian Perkembangan

Menurut (Dahlan 2017), perkembangan adalah perubahan fisik atau tubuh manusia mulai dari periode prenatal (dalam kandungan). Masa perkembangan anak merupakan periode yang cepat dan terjadinya perubahan dalam banyak aspek perkembangan.Berkaitan dengan

(8)

perkembangan fisik individu meliputi empat aspek. Yaitu: pertama system syaraf, system syaraf sangat mempengaruhi perkebangan kecerdasan dan emosi; kedua otot-otot yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan mempengaruhi perkembangan motoric; ketiga kelenjar endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; dan keempat struktur tubuh/fisik, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.

1.1.7.2. Macam- Macam Perkembangan 1. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif berhubungan dengan perkembangan cara anak mencari alasan (berpikir), membentuk bahasa, memecahkan masalah, dan menambah pengetahuan. Belajar adalah proses pengalaman yang berpengaruh terhadap kemampuan perkembangan anak. Anak belajar melalui pengulangan, meniru, asosiasi, dan observasi yang disebut dengan cognition teory. (soetjiningsih 2015)

2. Perkembangan motorik

Perkembangan motorik meupakan perkembangan kontrol pergerakan badan melalui koordinasi aktifitas syaraf pusat, saraf tepi, dan otot. Kontrol pergeraka ini muncul dari perkembangan refleks-refleks yang dimulai sejak lahir. Anak tidak berdaya sampai perkembangan ini muncul. Perkembangan motorik dibagi menjadi 2 yiatu perkembangan motorik kasar dan halus, perkembangan mototrik kasar melibatkan otot-otot besar meliput; perkembangan gerakan kepala, badan, anggota badan, keseimbangan dan pergerakan. Perkembangan motorik halus adalah koordinsai halus yang

(9)

melibatkan otot-otot kecil yang dipengaruhi oleh matangnya fungsi motorik, fungsi fisual yang akurat, dan kemampuan intelek nonverbal. (soetjiningsih 2015).

3. Perkembangan Adaptif (Adaptive Development)

Perilaku adaptif adalah kemampuan manusia untuk bereaksi dan belajar dari pengalaman untuk menciptakan aktifitas baru. Perkembangan adaptif merupakan inteligensi nonverbal yang dapat diukur. Konsep angkat, matematika, dan pengetahuan adalah contoh kemampuan adaptif. Sementara itu yang dimaksud dengan perilaku adaptif sosial adalah kemampuan seseorang untuk mandiri, menyesuaikan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya (soetjiningsih 2015).

4. Perkembangan presepsi (Preception Development)

Untuk mengeksplorasi lingkungan, aak kecil menggunakan indranya (sentuhan, pengecapan, penciuman, penglihatan, dan pendengaran), dengan tujuan belajar tentang dunia sekelilingnya . anak juga berpikir denganindera dan gerakan serta membentuk presepsi dari aktivitas sensori. Sensory-perceptual development adalah informasi yang dikumpulkan melalui indra. Pemikiran terbentuknya suatu benda atau yang terkait adalah hasil dari anak belajar melalui indranya. Bila pengalaman diulang terbentuklah sebuah rangkaian presepsi. Ini membimbing anak untuk membentuk konsep (concept formation) (soetjiningsih 2015).

5. Perkembangan Personal Sosial

Aspek perkembangan persoal sosial berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi denan lingkungan. Aspek personal menyakut kepribadian, konsep bahwa dirinya terpisah dari orang lain,

(10)

perkembangan emosi, perkembangan indivualitas, percyaa diri, dan kritik diri sendiri. Ssedangkan aspek sosial menyangkut hubungna degan orang sekitarnya yang dimulai dengan ibunya kemudian orang lain yang ada di sekitar anak, sehingga anak mampu menyesuaikan diri dan mempunyai tanggug jawab sosial sesuai dengan umur dan budayanya (soetjiningsih 2015).

6. Perkembangan Bahasa (Lenguage Development)

Perkembanagan bahasa adalah kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, megikuti perintah, dan berbicara spontan. Kemampuan berkomunikasi pada manusia mempunyai fungsi tertinggi, dibandingkan dengan hewan. Komuikasi tidak hanya berbicara, tetapi juga perilaku nonverbal seperti mimik wajah dan sikap tubuh. Pendengaran dan komunikasi saling terkait. Selain itu dibutuhkan fungsi intelektual yang lebih tinggi untuk mengerti dan bebricara. Bayi akan berusaha mengenali suara ibunya untuk membedakan dengan suara wanita lain. Pada usia 3-4 bulan bayi belajar ngoceh (bubbling) dan in merupakan latihan sosial untuk berkomunikasi antara dia dan ibunya. Kemudian bayi akan belajar menirukan suara yang diikuti denan kata-kata yang mempunyai arti. Selanjutnya anak akan terbiasa berbcara dengan bahasa ibunya baik dalam kompleksi kalimat maupun pengelolaan katanya. Pada anak yang mengalami deprivasi, perkembangan baahasanya lebih lambat. (soetjiningsih 2015)

Referensi

Dokumen terkait

‘You want me to dress up in an enemy uniform in an enemy city to arrest someone I don’t know and hand him over to some very weird people who are probably going to kill him.. Is there

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu diadakan penelitian mengenai ‘Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Makanan Jajanan Dengan Status Gizi Siswa

Daging merupakan sumber protein yang tinggi, protein ini disebut sebagai asam amino esensial, asam amino ini sangat penting dan merupakan protein yang.. dibutuhkan

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN

Walau bagaimanapun, masih terdapat di kalangan guru-guru yang tidak bersedia terhadap penggunaan BBM dalam P&P mereka di sekolah dari aspek amalan, kemahiran dan sikap

Dari hasil desain awal yang dilakukan, secara teoritis, berdasarkan kajian yang dilakukan, telah berhasil meminimalkan secara maksimal agar tidak terjadi

Pada saat pengakuan awal, Perusahaan mengklasifikasikan instrumen keuangan dalam kategori berikut: aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi

Hasil penelitian ini tidak mendukung teori agensi yang menyatakan bahwa perusahaan dengan proporsi hutang yang lebih banyak dalam struktur permodalannya atau tingkat