• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama, Ideologi, dan Pembangunan

Dalam dokumen Prisma Pemikiran Gus Dur.pdf (Halaman 39-56)

Hubungan antara agama dan ideologi negara pada dasarnya telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Apalagi kalau dikaitkan dengan masalah pembangunan, yang pada dirinya mengandung urgensi tersendiri pula. Dengan demikian, terdapat bahaya sangat besar berupa keinginan untuk menimbulkan minat belaka dalam membicarakan topik tersebut, tanpa dapat dikemukakan sesuatu yang fundamental untuk menjadi bahan renungan kita bersama. Apalagi kalau pendekatan yang diambil hanya untuk mencari kaitan di permukaan belaka antara agama dan ideologi negara, seperti sering dilakukan juru penerang pemerintah di mana-mana di negara-negara yang sedang berkembang dewasa ini.

Gerakan Keagamaan dan Ideologi Negara

Guna menghindarkan bahaya seperti itu, baiklah tulisan ini dimulai dengan mengemukakan sebab-sebab mengapa dianggap relevan untuk membicarakan topik di atas, tanpa keinginan hanya mencari efek sensasional belaka. Yang paling utama, menurut pendapat penulis, adalah: semakin banyaknya bukti yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, yang diakibatkan oleh kesalahpahaman sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara dan pimpinan gerakan-gerakan keagamaan di kalangan negara-negara yang sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh menghantui hubungan antara agama dan ideologi negara, sehingga kehidupan politik di kebanyakan negara yang sedang berkembang lalu menjadi sangat labil. Tenaga sangat besar dihabiskan, sudah tentu dengan beban sangat besar atas jalannya pembangunan, hanya untuk membatasi meluasnya pengaruh gerakan-gerakan keagamaan yang dianggap menjadi musuh potensial bagi ideologi negara. Lambat laun beban itu membengkak sedemikian rupa, sehingga akhirnya sangat melambatkan, kalau tidak boleh

40

dikatakan menghentikan sama sekali roda pembangunan yang semula diperhitungkan akan terlindung dari “gangguan” gerakan keagamaan dengan pengambilan tindakan-tindakan “pengamanan politis” seperti itu.

Retorika politik disusun sedemikian rupa, untuk membungkus kenyataan pahit tersebut serapat mungkin, guna tidak menimbulkan gejolak baru yang akan membuat keadaan semakin parah. Dalam pada itu, retorika politik tersebut dikemukakan bersamaan dengan tindakan-tindakan berganda untuk melemahkan gerakan-gerakan keagamaan. Di satu pihak, gerakan-gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara dalam jumlah sangat besar untuk peribadatan ritual, sedang di pihak lain didukung upaya untuk memojokkan gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki aspirasi politis yang berwatak korektif terhadap politik pemerintah. Upaya pemojokan biasanya dilakukan dengan menciptakan gerakan-gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas sangat besar dari aparat kenegaraan. Dalam istilah yang umum digunakan di kalangan gerakan keagamaan yang merasa dipojokkan, penciptaan gerakan alternatif tersebut dinamai politik “memotong baja harus dengan baja”.

Dalam hal hierarki gerakan-gerakan keagamaan mampu menghalangi pembentukan alternatif terhadap eksistensi mereka itu, melalui kohesi yang sangat tinggi dan organisasi yang tidak kalah rapinya dengan organisasi pemerintah, maka tidak dapat dihindarkan konfrontasi langsung antara penguasa dan gerakan-gerakan keagamaan. Baik yang menyuarakan aspirasi mayoritas bangsa, seperti perjuangan membela hak-hak petani kecil (campesinos) oleh beberapa gerakan Katolik di beberapa negara Amerika Latin, maupun yang menyuarakan aspirasi minoritas seperti perjuangan sejumlah gerakan Islam di Filipina untuk mempertahankan hak-hak adat suku-suku bangsa muslim di selatan negeri itu dari jangkauan penguasa pemerintah pusat dengan aparatnya yang menindas dan korup.

Konfrontasi langsung itu dapat mengambil bentuk bentrokan bersenjata dalam lingkup luas atau pun hanya terbatas di sebuah lingkungan kecil, maupun pertentangan fisik yang tidak seimbang antara para aktivis keagamaan yang tidak bersenjata dan menggunakan cara-cara damai (betapa militannya sekalipun) melawan aparat keamanan dengan kelengkapan pengawasan gerak-gerik dan penyidikan (termasuk penyiksaan fisik untuk mendapatkan informasi dari pihak

41

tertahan) yang sering sekali bersifat ultramodern. Tidak selamanya gerakan keagamaan berada dalam kedudukan lemah, terlebih-lebih jika mereka mampu membuat koalisi dengan sektor-sektor politik yang lain, seperti terbukti dengan kasus Iran.

Perlawanan pasif dari pihak gerakan keagamaan, dalam artian sepenuhnya tidak mendasarkan diri pada perjuangan bersenjata (walaupun tidak dapat menghindarkan munculnya tindakan-tindakan kaum teroris di kalangan mereka sendiri), dalam beberapa hal sanggup membelokkan jalannya kehidupan bernegara dari acuan yang telah ditentukan semula. Kasus Turki masa kini langsung masuk ke ingatan kita dalam hal ini. Munculnya penolakan militan (walaupun tetap secara damai) terhadap pengikisan nilai-nilai keagamaan oleh proses modernisasi yang secara formal menganut paham sekularisme di negeri itu, yang membawa kepada labilitas sangat besar dalam “pergaulan politik” antara kekuatan-kekuatan yang terwakili dalam lembaga perwakilan rakyat, akhirnya berakhir pada penggulingan kekuasaan kabinet parlementer oleh sebuah junta militer yang mengajukan program pemulihan keadaan yang dirumuskan sudah “menjurus kepada anarki”. Demikian pula, gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir berkali-kali mampu memaksa pemerintah untuk mengambil politik yang berbeda dari garis yang semula dianut, walaupun dalam masalah perundingan langsung dengan Israel mereka tidak mampu memaksakan sesuatu kepada Presiden Anwar Sadat.

Tidak Mundur dari Ketetapan Pendirian

Yang jelas, sekali gerakan-gerakan keagamaan memutuskan untuk mengemukakan pikiran-pikiran alternatif terhadap apa yang dijalankan oleh pemerintah, biasanya jarang sekali mereka mundur dari ketetapan mereka itu, walaupun besar risiko yang harus mereka hadapi dalam bentuk persekusi dan penindasan atas aspirasi mereka. Kasus para “pemimpin oposisi” Korea Selatan, seperti Kim Dae Jung, yang mendasarkan gerakan moral politis mereka atas keyakinan agama Nasrani dan para pemimpin Partai Keselamatan Nasional di Turki, di bawah pimpinan Nejmedin (ejaan Turki: Necmettin) Erbakan, adalah contoh yang nyata dalam hal ini. Ketahanan ini sudah terbukti sebelumnya, yaitu di masa perjuangan kemerdekaan dari tangan penjajah, dan dalam perkembangannya di masa pembangunan mengambil bentuk

42

perlawanan terhadap apa yang dirumuskan sebagai “penjajahan terselubung” oleh perusahaan-perusahaan multinasional, persekutuan-persekutuan militer, dan sebagainya.

Ketetapan pendirian gerakan-gerakan alternatif yang berlandaskan pada aspirasi keagamaan itu datang dan tumbuh dari kemampuan merumuskan pemikiran mereka dari sumber-sumber ajaran agama, sehingga apa pun yang mereka yakini memiliki dimensi keabadian perjuangan dan kelanggengan cita-cita. Pengorbanan yang harus diberikan hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan perjuangan yang tidak akan pernah berhenti. Kegagalan demi kegagalan hanya menjadi susunan bata yang akan membentuk gedung indah yang dicita-citakan, darah dan keringat yang tercurah adalah penyiram bagi tumbuhnya cita-cita itu sendiri. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat tindakan persekutif dan penindasan fisik dalam kerangka yang sama sekali berlainan dari apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melaksanakan persekusi itu sendiri. Munculnya ketahanan luar biasa untuk terus memperjuangkan aspirasi di hadapan segala macam kesulitan dalam intensitas sedemikian besar, sebagai studi yang praktis dicapai oleh setiap gerakan alternatif kalau telah menemukan “diri”nya, membawakan problema besar berupa “lingkaran setan” eskalasi perlawanan versus “tindakan pengamanan pemerintah” di banyak negara yang sedang berkembang. Eskalasi dalam konflik antara gerakan keagamaan di satu pihak dan pemerintah di pihak lain, dengan bebannya yang demikian besar atas kelangsungan pembangunan, adalah persoalan dasar yang dihadapi oleh umumnya negara yang sedang berkembang.

Memang ada upaya untuk menutupi wujud persoalan dasar ini, dengan mengetengahkan berbagai “persoalan dasar” lain, seperti kesulitan sangat besar dalam mengubah sikap hidup tradisional, kecilnya kemampuan untuk segera mengembangkan sumber-sumber alam atas tenaga swakarsa mandiri, tidak tersedianya kelengkapan teknis untuk mendirikan infrastruktur sosial-ekonomi yang diperlukan dalam mutu dan lingkup yang cukup bagi kebutuhan pembangunan, dan seterusnya. Namun, masalah-masalah “teknis” seperti itu, betapa mendasarnya sekalipun, tidak memunculkan kerawanan situasi yang dibawakan oleh kesalahpahaman antara ideologi negara dan keyakinan agama yang muncul di sejumlah besar negara berkembang dalam dua dasawarsa terakhir ini. Bagaimana pun juga, akan sia-sialah kecenderungan menutupi permasalahan sebenarnya,

43

karena ia hanya akan menunda saja penyelesaian persoalan dasar itu sendiri secara tuntas, dengan bahaya ledakan-ledakan sosial yang hebat sebagai “jalan penyelesaian”. Sikap menutup mata terhadap persoalan dasar di atas akan membuat konflik yang ditimbulkan tak terkendalikan lagi (unmanageable conflict) dalam jangka panjang.

Pertentangan yang Berlarut

Tinjauan atas kesulitan-kesulitan dalam hubungan antara aspirasi agama dan ideologi negara harus dipusatkan pada pertumbuhan ideologi negara itu sendiri di kebanyakan negara-negara yang sedang berkembang, yang prosesnya belum menetap. Pemusatan perhatian seperti ini akan membawa kepada pengenalan mendalam atas sumber-sumber kesulitan hubungan di atas, sehingga pemecahan masalah yang diusulkan juga dapat dilakukan secara tuntas karena berpijak pada persoalan yang nyata.

Kesulitan-kesulitan itu bermula pada proses penumbuhan ideologi negara yang berjalan secara labil. Pertentangan antara ideologi-ideologi sekuler dan teokratis senantiasa berjalan berlarut-larut, dan biasanya tidak selesai dengan hanya tercapainya kompromi formal saja. Kasus penetapan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia dapat dikemukakan dalam hal ini. Aspirasi sekularistis dari gerakan-gerakan nasionalis dan gerakan-gerakan keagamaan non-Islam berbenturan dengan aspirasi “golongan Islam” dengan hebatnya di saat-saat kritis menjelang tercapainya kemerdekaan formal dari tangan tentara pendudukan Jepang.

Segera setelah tercapainya “penyelesaian” formal berupa ideologi negara yang dinamai Pancasila,10 perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya “pengamanan“ Pancasila itu sendiri di lingkungan masing-masing pihak, dari kemungkinan “penyimpangan” oleh lawan politik (political adversaries) yang berbeda

10 Hingga kini belum ada pengkajian oleh lembaga resmi kenegaraan akan peranan pihak “golongan Islam” dalam perumusan Pancasila, sebuah kenyataan yang menunjukkan dengan jelas betapa masih timpangnya pengetahuan kita sendiri akan ideologi negara yang sudah diterima oleh semua pihak. Perumusan ideologi negara ini adalah proses tolak angsur antara dua pihak, mustahil ia hanya dirumuskan oleh satu pihak saja, betapa di-“suci”-kannya sekalipun pihak itu di kemudian hari sebagai perumus ideologi negara.

44

dari musuh politik atau political enemies. Upaya itu terutama ditumpukan pada tindakan-tindakan politik untuk sejauh mungkin menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), masa “Demokrasi” Terpimpin (1959-1966), maupun di masa Orde Baru sejak 1966, “pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran” senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintahan dan kelengkapan negara dan “mendayagunakannya” bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara. Di saat ini, upaya tersebut mengambil bentuk penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) secara tidak berkeputusan, walaupun dalam kenyataannya muncul juga “perlawanan politis” (political adversity) terhadap rancangan Ketetapan MPR yang melandasinya dalam Sidang Umum yang lalu, karena ketakutan justru kepada besarnya kemudahan untuk melakukan penyelewengan penafsiran melalui rancangan ketetapan itu sendiri.

Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara seperti dikembangkan di atas, bukanlah kasus yang unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi negara dan kemudian proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara pihak-pihak yang berbeda pendapat. Ada yang berupa dialog terbuka untuk mendiskusikan penafsiran konstitusi, seperti dilakukan kaum federalis dan kaum republiken (terutama Hamilton melawan Jefferson) di Amerika Serikat pada dua dasawarsa pertama abad kesembilan belas, dan kemudian antara kaum konfederasi yang menghendaki dilanjutkannya perbudakan dan kaum abolisionis yang berpendirian sebaliknya pada pertengahan abad yang sama. Tetapi dialog itu ada pula yang mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings), seperti yang berlangsung di negeri kita dalam dasawarsa enam puluhan dan tujuh puluhan dan kemungkinan besar masih berlanjut dalam dasawarsa delapan puluhan ini. Proses tolak angsur (tug-of-war) antara aspirasi teologis dan aspirasi sekuler yang berlangsung di negeri kita dewasa ini adalah bagian dari jalannya “tawar-menawar yang sepi” itu.

Dialog di seputar ideologi negara itu mengambil cara penyelesaian sementara yang berbeda-beda pula pada tahap yang berlainan, sebelum pada akhirnya dicapai kesepakatan yang lebih-kurang berwatak menetap. Penyelesaian sementara itu ada kalanya pertumpahan darah dalam skala besar, seperti perang saudara di Amerika

45

Serikat di abad yang lalu, perang Biafra di Nigeria, dan “perang kemerdekaan” bangsa Bengali di Pakistan Timur melawan otoritas “penjajahan” Pakistan Barat yang berkesudahan pada lahirnya negara baru Banglades. Tetapi yang lebih sering terjadi adalah penumpasan pendirian yang dianggap menentang konstitusi, seperti aspirasi gerakan-gerakan separatis DI, RMS, PRRI-Permesta, dan OPM di negeri kita. Penumpasan itu dapat terjadi secara fisik, dalam bentuk tindakan militer atas gerakan yang dianggap sebagai separatis, tetapi dapat juga terjadi dalam bentuk pelarangan sesuatu paham melalui proses perundang-undangan, seperti terjadi atas “ideologi” kasta dari beberapa kelompok Hindu konservatif di India, beberapa gerakan politik seperti Masyumi dan PKI di negeri kita (walaupun yang terakhir ini melalui pertumpahan darah dalam skala besar pula), dan gerakan Ikhwanul Muslimin di sementara negara Arab (Mesir, Siria, dan Irak).

Penyelesaian sementara itu juga tidak selamanya berakhir pada kerugian pihak yang semula dituduh sebagai “gerakan separatis”, walaupun harus diakui kebanyakan memang berakhir seperti itu. Dua buah kasus menonjol yang dapat dikemukakan di sini, masing-masing mewakili model penyelesaian tersendiri, adalah kasus Iran dan Pakistan. Pada kasus Iran, gerakan keagamaan semula dipojokkan sebagai reaksioner, terbelakang, tradisional, kolot, dan sebagainya. Pada waktu perlawanan tak kunjung padam, gerakan keagamaan bahkan dituduh sebagai penyimpang dari garis modernisasi dan kemajuan, tidak mengerti tujuan “revolusi putih” yang dilancarkan bekas Syah Reza Pahlevi. Kalaupun tidak langsung dituduh sebagai “kelompok separatis” dalam artian fisik, gerakan keagamaan yang dipimpin para mullah dicap sebagai “separatis maknawi”. Setelah mengalami pergulatan seru semenjak tahun 1964, dengan puncak kemelut pada tahun 1977-1978, justru “gerakan separatis” tersebut yang berhasil memenangkan konflik yang berkepanjangan itu. Pola kemenangan tersebut, dengan menggunakan cara memunculkan agama sebagai “ideologi tandingan” terhadap ideologi negara yang ada, sebagaimana diistilahkan oleh Muhammed Ayub dari Australian National University, bagaimana sementaranya sekalipun penyelesaian politis yang dicapainya, jelas sekali telah memberikan bekasnya sendiri atas perkembangan pemikiran keagamaan di perempat terakhir abad kedua puluh ini.

Kasus Pakistan menunjukkan penyelesaian yang sedikit-banyak juga berbeda dari jalur umum penyelesaian atas kerugian “gerakan separatis” di mana-mana. Pada

46

mulanya, gerakan-gerakan keagamaan juga berada di pinggiran kekuasaan, dengan predikat “gerakan separatis” yang membahayakan kelangsungan proses membangun di masa berbagai macam pemerintahan semenjak Ayub Khan merebut kekuasaan melalui kudeta militer. Puncak “pemojokan” itu terjadi pada saat pemerintahan Partai Rakyat Pakistan di bawah pimpinan Zulfiqar Ali Bhutto. Politik Bhutto untuk memunculkan kerakyatan (populisme) yang dikombinir dengan nasionalisme, ternyata diterima oleh para pemimpin gerakan agama di Pakistan sebagai penciptaan “ideologi tandingan” terhadap ideologi keagamaan yang telah lebih dua puluh tahun menjadi kesepakatan bersama (walaupun dalam berbagai corak formalitas kenegaraan). “Provokasi” Ali Bhutto itu ternyata harus dibayar mahal sekali olehnya, yaitu dalam bentuk koalisi antara unsur-unsur militer yang bersikap keras dan gerakan-gerakan keagamaan Pakistan. Koalisi yang berwatak “memelihara status quo” (kembali meminjam istilah Ayub) itu menunjuk pada jenis penyelesaian sementara yang berbeda dari kasus Iran, yaitu kemampuan gerakan keagamaan untuk menghalau posisi terpojok sebagai “gerakan separatis” dengan jalan memasuki koalisi dengan pihak-pihak lain yang lebih toleran kepadanya.

Tanggapan Terhadap Krisis Ideologis

Ketiga jenis penyelesaian sementara dalam kemelut ideologi negara di atas, yaitu pelarangan atas “gerakan separatis”, kemenangan paham yang semula dianggap “separatis”, dan penyertaan “paham separatis” dalam pemerintahan berkat koalisi dengan unsur-unsur status quo (tentara dan sebagainya), menunjukkan dengan jelas betapa besar ragam responsi terhadap krisis ideologi yang berlangsung berkepanjangan. Pendekatan beberapa raja muslim kepada gerakan-gerakan keagamaan, sebagian karena pengaruh kejadian-kejadian di Iran dan sebagian lagi karena kesulitan masing-masing yang semakin sulit dipecahkan, dapat dilihat di Maroko, Yordania, dan Malaysia, sebagai salah satu cara mencari penyelesaian sementara di antara spektrum yang sebenarnya cukup luwes variasinya.

Kemelut di sekitar ideologi negara dan munculnya berbagai jenis penyelesaian sementara untuk mengatasi kemelut itu (bahkan justru munculnya penyelesaian sementara itu sendiri, tanpa mampu dicapai penyelesaian secara tuntas), menunjukkan betapa pekanya persoalan yang dihadapi oleh negara-negara yang

47

baru berdiri dalam abad ini. Upaya untuk menutupi persoalan sebenarnya justru tidak membantu mencari pemecahan yang sebenarnya dibutuhkan. Persoalan utamanya adalah tetap besarnya persepsi di kalangan gerakan-gerakan keagamaan akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi nilai-nilai transendental yang mereka yakini dan anut.

Kesibukan menciptakan infrastruktur kenegaraan yang berwatak rasional dan berfungsi teknis secara efisien sering mengakibatkan sikap untuk mengabaikan persepsi di atas. Sebagian karena oportunisme politik dan sebagian lagi karena ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat diterima secara tulus oleh semua kalangan, proses pengabaian persepsi akan kerugian yang diderita nilai-nilai transendental berjalan semakin lama semakin jauh, hingga saat munculnya tantangan gerakan-gerakan keagamaan yang memajukan paham-paham alternatif terhadap penafsiran resmi atas ideologi negara. Pemecahan yang serba berkeseimbangan dan berwatak rasional sudah sangat lambat untuk diajukan sebagai responsi terhadap tantangan yang sejak semula tidak berhasil dideteksi itu. Terbuka pilihan hanya antara dua hal yang sama-sama tidak menguntungkan sebagai pemecahan sementara: konfrontasi langsung dengan paham-paham alternatif itu (seperti dilakukan pemerintahan Marcos di Filipina terhadap gerakan Katolik yang mengajukan konsep “pembangunan manusiawi” atau human

development) atau akomodasi oportunistis yang tidak memuaskan sama sekali

(seperti yang terjadi di Pakistan sekarang).

Penyelesaian sementara yang dicapai, dalam keadaan demikian, membawa dalam dirinya benih-benih bagi perbedaan paham yang fundamental di belakang hari. Koalisi karena kebutuhan sementara (marriage of convenience) tidak akan berumur panjang, karena ketegangan akan timbul antara pihak-pihak yang terlibat, ketika masing-masing harus menentukan responsi terhadap tantangan dari paham alternatif terhadap ideologi negara. Larinya sejumlah pemikir keagamaan yang dinamis dari Pakistan untuk hidup di luar negeri sekarang ini, seperti Fazlur Rahman dan A. Kazi, dalam jangka panjang hanya akan menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi pemerintahan Zia Ul Haq. Memanggil mereka kembali pulang ke Pakistan akan membuat marah partner-partnernya dalam koalisi yang memerintah, tetapi membiarkan para pemikir itu tinggal di negeri orang hanya akan menambah kesulitan-kesulitan di bidang pemikiran keagamaan, karena justru dari mereka

48

sajalah dapat diharapkan pemecahan yang kreatif di bidang yang dianggap paling menentukan sekarang ini: merumuskan hubungan agama dan negara secara dewasa dan rasional.

Pendekatan oportunistis antara Presiden Anwar Sadat dan kelompok inti dalam gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir beberapa tahun yang lalu, ternyata tidak tahan terhadap “tantangan” yang muncul dari kebutuhan akan pendekatan antara Mesir dan Israel yang akhirnya bermuara pada Persetujuan Camp David. Tantangan Ikhwanul Muslimin terhadap perdamaian Mesir-Israel dengan segera memaksa Anwar Sadat untuk mengambil tindakan keras terhadap gerakan tersebut. Koalisi untuk tujuan sedemikian sederhana antara aspirasi keagamaan dan kekuasaan yang pada dasarnya berwatak sekuler, sedang mengalami ujian berat di banyak negara, seperti El Salvador, Meksiko, Maroko, Tunisia, Malaysia, Indonesia, dan Banglades.

Pembangunan Membawa “Titik Tengkar”

Masukan (input) “tahap membangun” sering membawakan permasalahan baru ke dalam suasana hubungan yang sudah labil antara ideologi negara dan aspirasi agama, sehingga menambah labilitas itu lebih jauh lagi. Beberapa aspek pembangunan, seperti tujuannya, polanya, pembiayaannya, dan struktur aparat pelaksananya secara bersama-sama atau terpisah satu dari yang lain membawakan “titik tengkar” (points of contention) tersendiri dalam dialog yang sudah tersendat-sendat jalannya antara kekuasaan yang pada dasarnya memiliki orientasi sekuler dan gerakan-gerakan keagamaan.

Tujuan pembangunan yang umum diambil oleh negara-negara yang sedang berkembang dalam dasawarsa yang lalu, yaitu peningkatan produktivitas melalui insentif-insentif material, banyak sekali dikritik oleh pihak yang saling berbeda (bahkan bertentangan) dalam pandangan hidup masing-masing, seperti antara golongan intelektual kosmopolitan dan gerakan-gerakan marxis-leninis di beberapa negara. Tetapi pada umumnya hanya kelompok-kelompok vokal dalam berbagai gerakan keagamaan yang secara tekun membina tantangan terhadap perumusan tujuan pembangunan seperti itu. Keluhuran nilai hidup manusia, sebagai nilai

49

tertinggi yang mereka anut dalam kehidupan, membawa mereka kepada penolakan langsung atas tujuan pembangunan yang sedemikian materialistis. Karena tujuan pembangunan menyangkut strategi membangun yang akan diambil, dengan sendirinya tantangan yang mereka ajukan segera merembet ke lain-lain sektor, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama menjadi penolakan terhadap keseluruhan konsep pembangunan yang dirumuskan oleh kekuasaan yang sedang memerintah. Dalam situasi di mana dialog antara kekuasaan negara dan aspirasi gerakan keagamaan dapat dilangsungkan secara terbuka dalam diskusi bebas, penolakan artikulatif atas konsep dasar pembangunan itu akan berakhir pada penyediaan

Dalam dokumen Prisma Pemikiran Gus Dur.pdf (Halaman 39-56)