• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prisma Pemikiran Gus Dur.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prisma Pemikiran Gus Dur.pdf"

Copied!
211
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

(3)

3

K.H.Abdurrahman Wahid

PRISMA

PEMIKIRAN

GUS DUR

LKiS

(4)

4 Prisma Pemikiran Gus Dur

K.H. Abdurrahman Wahid

© 1999 LKiS Yogyakarta

Penyunting: Muh. Shaleh Isre Desain sampul: Agung Istiadi Lay-out: Arief

Penerbit

LKiS Yogyakarta

Gambiran UHV/48 A Yogyakarta 55161 Telepon/facsimile (0271) 382868, 418255 Homepage: http://www.lkis.org

e-mail: redaksi@lkis.org

Cetakan I November 1999 ISBN 979-8966-38-4

(5)

5

SALAM REDAKSI

Untuk kesekian kalinya kami menerbitkan karya Abdurrahman Wahid. Kali ini bahan-bahan tulisan seluruhnya berasal dari majalah Prisma, majalah ilmu sosial terkemuka di tahun 1970-an hingga 1980-an. Dengan alasan praktis bahan-bahan ini sekarang sulit dilacak, kami merasa perlu menerbitkannya.

Spektrum yang menjadi perhatiannya dalam tulisan ini demikian sangat luas meliputi politik, ideologi, nasionalisme, gerakan keagamaan, pemikiran sosial dan budaya. Kendati Gus Dur sendiri tidak pernah belajar di universitas dalam negeri dan mancanegara yang terdepan dalam ilmu sosial, sebagaimana umumnya para penulis Prisma, namun jelas terasa dalam tulisan-tulisan ini pemahaman Gus Dur yang dalam terhadap ilmu-ilmu sosial yang diramunya dengan pengetahuan keagamaan.

Kami berharap kumpulan tulisan ini bisa memberi bahan lebih lengkap untuk memahami pemikiran keagamaan dan politik Gus Dur secara lebih kritis, apalagi yang bersangkutan kini telah menjadi Presiden Republik Indonesia. Kendati kami juga harus mafhum, bahwa Gus Dur sendiri mungkin sudah beranjak dari pemikirannya ini, atau situasi sosialnya sendiri telah jauh berubah. Tetapi harus kami katakan sebelumnya bahwa rencana buku ini jauh sebelum beliau menjadi presiden, bahkan saat itu terbayang pun tidak.

Buku ini kami beri judul Prisma Pemikiran Gus Dur, dengan alasan karena pertama-tama tulisan-tulisan ini memang berasal dari jurnal Prisma. Kedua, karena sifat tulisan-tulisan ini yang kontemplatif dan reflektif seakan telah didahului oleh suatu pandangan melalui prisma. Perlu diketahui pula beberapa tulisan ini, yaitu bab 8, 12, 14, dan 15, tidak ditulis langsung oleh Gus Dur tetapi merupakan olahan dari wawancara yang dilakukan oleh redaksi Prisma. Karena itu, gaya bertutur dan spontanitas tampak pada keempat tulisan itu.

Terakhir, kami mengucapkan terima kasih kepada Gus Dur atas kesediaan merestui penerbitan kembali tulisan-tulisan ini. Juga kepada Mas Abdul Mun‟im Dz dan Entjeng Shobirin Nadj yang pertama kali menyarankan penerbitan ini, serta kepada Ngatawi Al-Zastrouw yang banyak membuka kontak kami dengan Gus Dur. Tak lupa

(6)

6

penghargaan kepada kedua penulis Greg Barton dan Hairus Salim HS yang menyumbangkan pengantar. Selamat membaca!

Redaksi November 1999

(7)

7

GUS DUR DAN KENANGAN CENDEKIAWAN ZAMAN

PRISMA

Hairus Salim HS

1

Buku yang ada di hadapan sidang pembaca ini semula merupakan kepingan artikel Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah dimuat di jurnal Prisma. Prisma dikenal sebagai jurnal ilmu sosial berpengaruh yang mewakili cita-cendekia tahun 70-an hingga 80-an. Para cendekiawan terkemuka pada zaman itu atau calon cendekiawan yang kelak terkemuka di kemudian hari, tentu pernah memamerkan gagasannya di dalam jurnal itu. Arkian, pemuatan tulisan dalam Prisma seperti sebuah penahbisan seorang cendekiawan. Sementara, hampir bisa dipastikan, mereka yang berminat pada pemikiran sosial dan penjelajahan intelektual saat itu, tak akan melewatkan membaca Prisma. Dengan demikian, dua hal tampaknya relevan dikemukakan dalam pengantar ini: yaitu tempat jurnal Prisma dalam konstelasi pemikiran sosial, dan Gus Dur sebagai salah seorang tokoh cendekiawan yang bergulat di dalamnya.

Baik Prisma maupun Gus Dur hingga sekarang masih ada, namun yang pertama lebih tampak sebagai semangat yang lusuh dan yang kedua seakan kenangan yang kusam. Prisma, seperti kebanyakan kehidupan jurnal ilmu kita sekarang, mempertahankan kehadirannya dengan nafas terengah-engah. Beberapa gelintir isu yang dikedepankannya memang masih cukup menarik, tetapi pada keseluruhannya justru memperlihatkan ketelatan mengejar isu dan kegagapan dalam memetakan masalah-masalah sosial karena demikian massifnya perubahan yang dialami masyarakat. Sedangkan Gus Dur – seperti yang kita saksikan belakangan ini – lebih tampil sebagai politisi kawakan. Pemikiran yang baru dan mendalam seperti tak lagi menjadi perhatiannya. Gagasannya lebih banyak disemprotkan melalui media massa, yang tidak memunculkan suasana diskursif. Hal ini bukan berarti antara ranah politik dan kecendekiaan merupakan sesuatu yang sama sekali terpisah, kendati tetap ada jarak antara keduanya. Pada pemikiranlah jarak antara keduanya dapat dipertautkan. Tulisan-tulisan dalam buku ini – dengan tetap

1

(8)

8

mempertimbangkan berbagai perubahan yang telah melampaui perhatiannya – barangkali bisa menjadi rujukan untuk meneropong keterkaitan antara pemikiran dan praktik politik. Seberapa dekat politik bisa dipertautkan dengan kecendekiaan dan seberapa akurat diksi politisi-cendekiawan atau cendekiawan-politisi bisa dilekatkan pada Gus Dur?

***

Prisma dilansir pertama kali bulan November 1971. Berbeda dengan

majalah-majalah sebelumnya yang lahir di masa “revolusi belum selesai”, seperti Basis,

Konfrontasi, Siasat, Zenith, Sastra, Horison, dan Budaya Djaja, yang berorientasi

semata pada kebudayaan, di mana orang menanyakan eksistensi manusia, maka

Prisma lebih pragmatis dan berorientasi pada problem solving. Masalah-masalah

eksistensi manusia yang terefleksikan dalam kebebasan, pertengkaran, dan sekaligus tuntutan kepastian dalam pilihan ideologi, partai politik, pandangan filsafat, dan keagamaan, tidak mendapat tempat dalam Prisma.2 Hal-hal ini bukan tidak sengaja diabaikan Prisma, tetapi justru yang memang hendak dilawan dan dipersalahkannya. Singkatnya ia hendak hadir dengan semangat ideologi, anti-partai, dan anti-politik sebagai oposisi dari sikap ideologis, partisan, dan politis khalayak (termasuk para cendekiawan) masa sebelumnya. Orientasinya lebih pada program, bukan pada ideologi.

Demikianlah, dengan semangat dan tujuan tersebut, Prisma hadir merekam semua masalah yang (dianggap) dihadapi masyarakat Indonesia dalam cita-cita barunya menjalankan modernisasi. Segala masalah terpancar di sini: ekonomi, politik, sosial, dan agama dengan setiap dimensinya. Demikian luas masalah yang hendak dirangkumnya, sehingga menurut Onghokham, tidak ada pola persoalan yang diperlihatkannya. Mungkin bukan sekadar sifat “gado-gado” ini yang membuat

Prisma menarik saat itu, tetapi lebih pada kemampuan Prisma menampilkan

apa-apa yang dianggap sebagai problema saat itu dan solusi pragmatis atasnya.

Dari sudut para penulisnya, maka terdapat dua golongan yang berkiprah, yaitu para penulis yang berasal dari kalangan departemen; dan dari kalangan universitas,

2

Refleksi mengenai kedudukan Prisma ini didasarkan selain dari penelusuran terhadap terbitan-terbitan Prisma periode 70-an dan 80-an, juga teramat berutang dengan artikel yang berisi suatu tatapan evaluatif terhadap Prisma sepanjang tahun 1970-an yang ditulis Onghokham, “Potret Cendekiawan Indonesia sebagaimana Terekam dalam Prisma”, Prisma, No. 11, November 1980.

(9)

9

badan-badan penelitian, dan cendekiawan-cendekiawan bebas lainnya. Artikel dari penulis kalangan departemen, berisi tawaran teknis terhadap masalah yang dihadapi masyarakat berkait dengan tanggung jawab yang diemban departemennya. Sifatnya lebih banyak kampanye, dan sudah barang tentu, sedikit sekali yang bernada kritis, baik secara konseptual maupun teknis, terhadap kinerja departemen tersebut. Sedangkan dari para penulis universitas dan cendekiawan bebas lainnya terdapat nada independen sesuai dengan kedudukan mereka di tengah masyarakat.

Jika pada golongan yang pertama tampak watak legitimatifnya terhadap program pemerintah, maka pada yang kedua terdapat sedikit nada kritisnya. Kendati demikian, sikap kritis tersebut bukanlah teriakan yang ekstrem, tetapi lebih tepat dibaca sebagai “dukungan yang tak penuh” semata. Sifat menghindarkan diri para cendekiawan Indonesia dari pemikiran konflik membuat kedua golongan penulis dalam Prisma tersebut tidaklah berada dalam posisi yang berseberangan.

Dan memang, pada dasarnya antara golongan kedua penulis tersebut tidak berbeda dalam semangatnya. Hadir pada waktu yang sangat menentukan dari konsolidasi Orde Baru, maka Prisma, sadar atau tidak sadar, adalah bagian dari semangat konsolidasi tersebut. Karena itu, di antara para cendekiawan Orde Baru dan para teknokrat seperti yang tercermin dalam Prisma tersebut terdapat hasrat untuk memiliki suatu alat yang baik untuk membudayakan persoalan teknokrasi atau pun untuk memperkenalkan kepada masyarakat persoalan-persoalan teknokrasi. Dalam jalinan teknokrat dan cendekiawan inilah, Prisma, sadar atau tanpa sadar sebenarnya hadir sebagai alat pemerintah dalam modernisasi.3 Semboyannya yang anti-ideologi (dan juga anti-partai dan anti-politik), pada akhirnya membentuk ideologi tersendiri, yaitu ideologi pembangunan dan modernisasi.

***

Lalu, di mana tempat Gus Dur dalam atmosfer tersebut? Sudah jelas bahwa Gus Dur hadir di kancah ilmiah tersebut sebagai cendekiawan bebas, yang bahkan latar belakang intelektual dan habitat awalnya sangat asing.4 Ia bukan berasal dari

3

Keadaan yang lebih mencolok menimpa pada terbitan Mahasiswa Indonesia, Bandung. Lihat Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, LP3ES, Jakarta, 1989.

4

Sudah terlalu banyak informasi mengenai latar belakang intelektual Gus Dur. Informasinya yang bersifat lisan dan yang tersebar dalam media massa populer penuh dengan aroma mistis dan

(10)

10

universitas dalam negeri maupun mancanegara yang terkemuka dalam ilmu-ilmu sosial seperti umumnya kalangan penulis Prisma. Pengetahuannya mengenai ilmu sosial betul-betul diperolehnya secara otodidak. Tetapi apakah sifat bebas dan latar belakang yang unik-eksklusif ini juga membawakan perspektif baru dan eksklusif dalam pemikirannya? Untuk ini, kita harus memeriksa secara serius artikel-artikel ini dalam kaitannya dengan seluruh artikel yang ada dalam Prisma era tersebut.

Pada awalnya, seperti dicatat Onghokham, isi Prisma jelas bertendensi pada soal-soal teknokrasi. Persoal-soalan kebudayaan sangat sedikit sekali disinggung. Setidaknya mulai 1974, kecenderungan ini sedikit berkurang dan mulai diimbangi dengan artikel-artikel non-teknokratis. Jika kita mencermati kembali penerbitannya awal 1980-an jelas sekali perspektif sosial, politik, dan budaya yang non-teknokratis. Gus Dur termasuk di antara segelintir cendekiawan yang memberikan nuansa non-teknokratis tersebut dengan artikel-artikelnya yang mulai muncul sejak tahun 1975 hingga paruh pertama 1980-an.

Kendati demikian, artikel-artikelnya tentang agama, budaya, dan sosial itu bukan sekadar kebutuhan perimbangan proporsional terhadap dominasi artikel-artikel teknokratis, tetapi juga suatu revisi kritis terhadapnya. Seperti kita tahu, pada periode akhir 1970-an dan awal 1980-an, sudah mulai terasa dampak kemanusiaan dari corak pembangunan Orde Baru yang teknokratis tersebut. Kesenjangan antara pengelola negara dengan masyarakat sipil mulai menganga. Lebih-lebih pada persoalan penerapan ideologi, perbedaan pandangan ini telah memunculkan konflik. Di sisi lain sudah jelas pula, negara mulai memperkokoh dirinya dengan cara-cara yang represif, membungkam kritik dan oposisi. Yang terlihat dari situasi saat itu semata suatu “kedamaian yang mencemaskan” (uneasy peace).

Prisma pada periode ini, agak berbeda dengan sebelumnya, sudah jauh lebih sadar

dan kritis terhadap situasi tersebut. Maka, tema-tema yang mencuat adalah mengenai masyarakat sipil dan negara, gerakan-gerakan sosial dan keagamaan, hagiografis. Tetapi anehnya bahkan studi yang ilmiah sekalipun kadang-kadang juga tak bebas dari nada tersebut. Adakah ia memang seorang wali yang memperoleh ilmu laduni? Untuk mengetahui latar belakang intelektual ini bisa dibaca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Paramadina, 1999, dan Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik, Zaman Wacana Mulia, Bandung, Januari 1998. Keduanya mengupas Gus Dur dalam perbandingan dengan cendekiawan muslim Indonesia lainnya seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. Untuk karya terbaru bisa dilihat Ngatawi Alzastrouw, Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan?, Erlangga, Jakarta, 1999.

(11)

11

kesenjangan ekonomi-sosial, peran partai politik, ideologi, kebudayaan tandingan, dan seterusnya. Artikel-artikel Gus Dur adalah bagian dari semangat kritis ini.

Selain itu, terdapat pula gejala semangat orientasi pada program dan watak pragmatis modernisasi yang dijalankan saat itu demikian mengabaikan kedudukan manusia dengan tradisi dan kebudayaannya. Kehidupan manusia dianggap seperti mesin komputer yang dengan gampang direkayasa dan diatur. Tradisi dan terutama keyakinan agama – sebagai bagian dari tradisi tersebut – dianggap sebagai penghalang utama modernisasi. Dengan demikian, terjadi peminggiran terhadap segolongan masyarakat dengan tradisi dan aspirasi keagamaan yang besar. Pandangan ini sebagian lahir dari pengalaman historis masa Orde Lama dan sebagian lainnya karena memang demikian watak sekularistik modernisasi yang dibawakan.

Bagaimana pun, jelas berbahaya mengabaikan tradisi dalam proses modernisasi, apalagi menempatkannya di seberang program modernisasi tersebut. Pandangan ini hanya akan melahirkan sikap pasif dan bahkan perlawanan. Kendati demikian, juga tidak gampang menyertakan tradisi dalam proses modernisasi. Tradisi yang dimaksud di sini terutama adalah keyakinan keagamaan yang merupakan sukma dari pandangan individual dan sistem sosial masyarakat. Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah suatu kemampuan untuk memahami dinamika sosial dan proses bagaimana agama terlebur dalam tata hubungan sosial dan dalam perilaku manusia perseorangan maupun dalam kelompok.

Gus Dur, dengan pengetahuan pada tradisi keagamaan yang luas dan penguasaan ilmu sosialnya yang cukup memadai, adalah satu dari sedikit orang yang bisa memahami dinamika agama dan modernisasi tersebut.5 Kumpulan artikelnya ini sedikit-banyak menunjukkan hal itu. Jika kepada kalangan teknokrat-birokrat pemerintahan dan luar lingkungan keagamaan umumnya ia memberikan perspektif liberal dan progresif dari kehidupan agama, maka terhadap kalangan agama ia memberikan perspektif religius dari cita-cita kehidupan sekuler (modernisasi).

5

Mendahului Gus Dur, perspektif ini digemakan oleh Soedjatmoko. Lihat dua kumpulan karyanya, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1986, dan Etika Pembebasan, LP3ES, Jakarta, 1988.

(12)

12

Melalui artikel “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang”, yang ditulisnya bersama Zamakhsyari Dhofier, Gus Dur mencoba membantah anggapan bahwa agama merupakan unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain. Alih-alih diharapkan sebagai pendorong perubahan. Dari tatapan historis, menurut Gus Dur, jelas pandangan itu tidak kokoh. Kasus sukses perubahan di Jepang dan Eropa Barat jelas memperlihatkan peran agama di sana sebagai spiritnya, yang didahului oleh perubahan pandangan keagamaan. Sebaliknya, kegagalan Turki di bawah Kemal Attaturk banyak disebut karena tidak diakuinya Islam – yang dianut mayoritas warga negaranya – sebagai penggerak perubahan pembangunan.

Melalui penafsirannya terhadap dua kasus yang terjadi di Jawa Timur, dan eksplorasi kritis terhadap teori-teori sosial mengenai hubungan agama dan perubahan, seperti dari Max Weber, Snouck Hurgronje, Racliffe Brown, dan Malinowski, Gus Dur mengungkapkan betapa dinamisnya agama sebagai penggerak perubahan. Perubahan masyarakat itu didahului oleh perubahan pandangan keagamaan. Atau pandangan keagamaan bergeser oleh tuntutan perubahan masyarakat. Dengan demikian jelas tak ada pemahaman keagamaan yang statis dan tak berubah sepanjang aspirasi masyarakat yang memeluknya terus berkembang, demikian juga sebaliknya.

Tulisan “Republik Bumi di Sorga” kian mempertegas pandangan Gus Dur ini. Menurutnya, bahkan kalangan kiri-revolusioner yang dulu curiga terhadap motif-motif keagamaan dalam gerakan masyarakat karena sifatnya yang karikatif dan reformatif belaka, pun sekarang memberi tempat pada agama. Fenomena ini diangkat Gus Dur dari kasus-kasus di berbagai belahan dunia seperti di beberapa negara Amerika Latin, Mesir, India, Nikaragua, Korea Selatan, Filipina, dan lain-lain. Kendati demikian, Gus Dur mengingatkan bahaya perkawinan gerakan keagamaan dan revolusioner ini, di mana yang terjadi masing-masing hanya meminjam satu sama lain secara manipulatif. Yang jelas, fenomena ini bisa menjadi bahan refleksi, bagi gerakan keagamaan akan pentingnya kerangka struktural, dan bagi gerakan revolusioner untuk mempertimbangkan cara-cara gradual.

Selanjutnya, dalam “Mahdiisme dan Protes Sosial”, ia memperlihatkan harapan dan keyakinannya kepada mereka yang senantiasa berprasangka pada gerakan

(13)

13

keagamaan mesianistik yang umumnya berwatak kekerasan, bahwa jika mereka “dimasyarakatkan” dengan baik, mereka bisa menjadi manusia yang sedalam-dalamnya memiliki sifat sebagai pelopor pembangunan. Hidup mereka yang bertujuan, berkeberanian mencoba hal baru dalam mengatasi persoalan, kesediaan berkorban dalam mencapai cita-cita, dan pandangan hidup yang kreatif yang tidak terlalu terikat pada konvensi yang berkembang luas di masyarakat, semua – menurut Gus Dur – merupakan sikap jiwa yang justru dibutuhkan dalam pembangunan.

Integrasi nasional, menjadi pokok penting pemikiran Gus Dur dalam buku ini. Dalam artikel yang dikutip di atas, Gus Dur mengungkapkan bagaimana pemerintah Sudan dan Afrika Barat, mengakomodir dalam pemerintahan bekas tokoh-tokoh atau keturunan dari tokoh-tokoh penggerak gerakan keagamaan mesianistik. Proses, yang tentunya didahului oleh rekonsiliasi nasional ini, tentu saja menarik, karena jelas di sana hendak diperlihatkan bahwa betapa pentingnya mengikutsertakan seluruh kelompok masyarakat, dan tidak mengeksklusi satu pun dari kelompok tersebut, dalam proses berbangsa dan bernegara. Dalam konteks integrasi nasional ini pula, Gus Dur mengimbau agar (gerakan) Islam menempatkan dirinya sebagai bagian dari gerakan nasional dan para intelektual muslim tidak mendudukkan dirinya secara eksklusif, baik dalam pengertian kelembagaan maupun pandangan politik-keagamaan.

Tema lain yang menjadi perhatian Gus Dur adalah hubungan antara agama dan ideologi. Dalam “Agama, Ideologi, dan Pembangunan”, ia melihat terjadinya kesalahpahaman sangat besar antara pengelola ideologi negara dan pimpinan gerakan-gerakan keagamaan telah menghambat proses membangun. Bahkan proses pembangunan membawakan titik tengkar baru antara pemimpin keagamaan dan pengelola ideologi negara. Gerakan keagamaan dan gerakan masyarakat lainnya yang menyuarakan keadilan, demokrasi, hak asasi, dan lain-lain, yang pada dasarnya mengambil inspirasinya dari agama, bersekutu mengemukakan alternatif di hadapan pengelola ideologi negara. Untuk itu, tak lain solusi terhadap konflik ini adalah suatu dialog intensif dan persuasif, di mana di satu sisi aspirasi keagamaan dan aspirasi non-keagamaan terus menyuarakan kerja aktual dalam skala mikro, dan di sisi lain, pihak negara bersedia melindungi dan membantu program-program mikro di tingkat bawah tersebut dengan konsekuensi mengubah besar-besaran

(14)

14

politik pembangunannya. Keyakinan Gus Dur dalam hal ini jelas, gerakan keagamaan bisa menjadi pendorong perubahan secara gradual, dan bukan secara ideologis-revolusioner dan reformatif belaka.

Selain itu, ia mengingatkan bahaya dari upaya de-ideologisasi yang justru berujung pada re-ideologisasi yang lahir dari negara sendiri dan gerakan-gerakan nasionalis atau pun keagamaan yang melawan proses (de-) ideologisasi tersebut (“Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik”).

Selain tema ideologi, agama, dan negara tersebut, semangat lain dari tulisan Gus Dur adalah upayanya memperkenalkan dunia keislaman tradisional, yakni pesantren dan NU, yang karena pengalaman Orde Lama dan watak ideologis modernisasi demikian mengabaikannya. Bahkan kemungkinan besar semangat inilah yang mengawali dan mengilhami terus karier intelektualnya. Perlu diketahui, mendahului tulisan-tulisan di Prisma ini, ia sudah mempublikasikan tulisannya mengenai pesantren di Kompas sejak tahun 1973 dan menjadi pemrasaran dengan tema serupa di berbagai forum ilmiah, termasuk pada forum bergengsi Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) di Manado, November 1977.6 Dengan kampanyenya ini, pesantren tidak dipandang politis-pesimistis semata karena massanya, tetapi juga secara optimis karena potensi intelektual dan transformatifnya.

Hal ini dilakukannya dengan membuat penafsiran dan arah baru perjalanan NU dan pesantren yang berbasis pada tradisi. NU dan pesantren, dalam imajinasinya, mesti hadir sebagai kekuatan transformasi masyarakat yang harus diperhitungkan. Kendati demikian, kehadiran tersebut dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara bukanlah sebagai jalan hidup alternatif, tetapi semata pelengkap (komplementer). Peranan NU dalam hal ini harus diarahkan kepada penciptaan sebuah “konsensus nasional” yang baru tentang tempat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dimulai dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara dan berlanjut pada pengintegrasian perjuangan Islam pada perjuangan nasional, dengan meletakkan Islam itu sendiri pada demokratisasi jangka panjang (“Nahdlatul

6

Untuk pemikiran khusus mengenai pesantren ini bisa dilihat kumpulan karyanya, Bunga Rampai Pesantren, Dharma Bakti, tanpa tahun, yang menghimpun dua belas tulisannya mengenai pesantren.

(15)

15

Ulama dan Islam Indonesia Dewasa Ini”). Dengan upayanya ini berlaku pernyataan bahwa “tradisi tidak menghalangi modernisasi, tetapi justru memperkuatnya”.

Demikian beberapa pokok tema pemikiran Gus Dur yang termuat dalam buku ini. Tentu sangat sulit untuk mengulasnya lebih tuntas, mengingat spektrum pemikiran itu sendiri sangat luas dan beragam. Cukup dikatakan bahwa secara umum apa yang hendak didedahkan Gus Dur adalah suatu hubungan seimbang dan timbal balik antara keyakinan keagamaan dan keyakinan sekuler dalam berbagai wujud dan manifestasinya dalam proses terus-menerus berbangsa dan bernegara.

Gus Dur secara sadar terus mengingatkan fungsi korektif agama dan ideologi, dan bahaya dari semata-mata mengabsahkan kebijakan negara untuk kepentingan nasional. Demikian juga, ia mengemukakan kejemuan yang luar biasa pada watak positivistik dari nilai-nilai dan teori-teori sosial, termasuk yang menjadi jiwa dari program modernisasi dan pengelolaan politik negara. Kendati demikian, bisa dipertanyakan adakah keinginan untuk mempertautkan kehidupan dan keyakinan keagamaan tersebut dengan cita-cita kehidupan nasional, ujung-ujungnya juga bermuara pada sifat legitimatif pada modernisasi dan pembangunan yang dijalankan? Terutama bahwa apa yang disuarakan Gus Dur, jika diingat, bukan berada di ruang hampa tetapi pada ruang di mana wacana modernisasi sudah menjadi hegemoni.7 Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu memerlukan telaah yang serius terhadap sisi epistemologis dan menyeluruh dari karya-karya Gus Dur.

***

Kumpulan tulisan dari Prisma yang menjadi buku ini, sekali lagi, mungkin bisa dijadikan teropong untuk mengerti pemikiran politik Gus Dur, terutama yang menyangkut hubungan agama, ideologi, pembangunan dan negara; integrasi nasional; hak asasi; dan perubahan masyarakat. Menarik juga bahwa beberapa hal yang menjadi pokok bahasannya berkait erat dengan peran yang mesti dimainkan pemerintah, sebuah posisi yang puncaknya kini justru didudukinya. Ada pendapat bahwa dengan memahami karya-karya intelektualnya, kita tak mudah terjebak dan ribut sendiri dengan sepak terjangnya yang sering kontroversial. Tentu saja dengan

7 Bandingkan Saiful Muzani, “Islam dan Hegemoni Teori Modernisasi: Telaah Kasus Awal”, Prisma,

No. 1, Tahun XXII, 1993, yang mengungkapkan bagaimana cendekiawan muslim seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, dan Kuntowijoyo terjerat dalam hegemoni modernisasi.

(16)

16

tetap mengingat bahwa oleh perkembangan waktu ada kemungkinan Gus Dur sendiri telah beranjak dari pandangannya itu atau situasi sosial sendiri yang telah jauh berubah.

Selain itu, bagaimana pun pembacaan pada kumpulan tulisan ini saja tidak cukup. Karena yang muncul dalam Prisma ini hanya sebagian belaka dari tulisan-tulisannya. Esai-esainya mengenai politik luar negeri, tentang kiai dan pesantren, tentang budaya dan pembaruan keagamaan, tentang nasionalisme, tentang sepak bola, dan lain-lainnya, yang muncul di Kompas dan Tempo juga tak kalah menariknya. Termasuk juga kertas-kertas kerja yang ia sampaikan dalam berbagai pertemuan ilmiah dan pengantar untuk lebih dari dua puluhan buku yang terbit di Indonesia, serta yang tersebar dalam berbagai kumpulan tulisan.8 Suatu hal yang menarik dari Gus Dur adalah pemakaian bahasanya yang sederhana dan lancar. Bahkan, dalam penyampaian lisan pun, Gus Dur diakui sangat komunikatif. ***

8

Lihat bukunya yang lain, Muslim di Tengah Pergumulan, Leppenas, Jakarta, 1983. Esai-esainya di Tempo telah diterbitkan dalam Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, LKiS, Yogyakarta, 1998 dan Tuhan Tidak Perlu Dibela, LKiS, Yogyakarta, 1999. Tulisan-tulisannya di Kompas periode 1990-an juga telah dibukukan menjadi Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden Ke-4 Republik Indonesia, Kompas, 1999.

(17)

17

MEMAHAMI ABDURRAHMAN WAHID

Greg Barton

9

Abdurrahman adalah salah seorang tokoh intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15 tahun menjabat ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum tradisionalis, ini sering menghiasi halaman-halaman koran. Di luar pemerintah dan figur militer hal ini sangat sulit dibayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver politiknya dan juga – yang tidak boleh dilupakan – tingkat pemahaman terhadap manuvernya. Dalam beberapa tahun terakhir Abdurrahman menjadi semakin kontroversial, ketika dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, dan juga ketika dia berusaha menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan Soeharto dan era Indonesia pasca-Soeharto. Kendati demikian Abdurrahman tetap dan bahkan semakin populer, sebagai figur karismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta bahkan kepada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya. Tetapi mengapa Abdurrahman sering salah dimengerti? Tentu banyak alasan termasuk temperamen dan kepribadiannya yang khas dan tentu juga akibat stroke yang ia derita sejak akhir Januari 1998. Kendati demikian kesalahpahaman itu sebagian besar disebabkan karena posisinya yang sangat unik dalam masyarakat Indonesia. Secara bersamaan Abdurrahman adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi masyarakat tradisional; pengkritik konsisten terhadap rejim Soeharto; dan individu yang selalu mengkampanyekan ide-ide pembaharuan demokrasi. Oleh karena itu, tidak aneh jika ada yang mengasosiasikannya dengan NU dan partai politik afiliasinya yaitu PKB, dan ada sebagian yang lain mengenalnya sebagai intelektual publik terpandang yang selalu mengkampanyekan demokratisasi dan penghapusan pelanggaran HAM. Yang paling baru, banyak yang mengasosiasikannya dengan PKB dan memandangnya

9

Greg Barton adalah pengajar mata kuliah Religious and Asian Studies di Deakin University. Disertasinya diraih pada tahun 1995 mengenai pemikiran neo-modernisme empat cendekiawan muslim Indonesia, yaitu Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid. Bersama Greg Fealy ia menyunting buku Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (edisi Indonesia), LKiS, Yogyakarta, 1997, yang berisi tulisan tujuh pengamat asing mengenai NU dan pesantren.

(18)

18

secara formal, berbeda dengan dulu yang sering memandangnya secara informal, yaitu sebagai politisi yang independen. Banyak kebingungan tentang Abdurrahman sebagian besar berasal dari peran banyak wajah yang dimainkannya dalam masyarakat Indonesia. Lebih tepat lagi, kebingungan itu berasal dari fakta bahwa pada satu sisi Abdurrahman dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figur religius dan pada sisi lain ditafsirkan oleh banyak orang, khususnya di pusat-pusat metropolitan dan antara kelas menengah terdidik Indonesia, sebagai politisi yang sekuler atau sebagai intelektual liberal. Dengan berdasar alasan kedua ini, kesalahpahaman tentang Abdurrahman Wahid berjalan seiring dengan kesalahpahaman tentang Barat pada umumnya, yaitu bagaimana seseorang yang merupakan intelektual liberal juga dapat dianggap sebagai figur religius dan bahkan pemimpin karismatik setingkat wali? Dan jika kunci permasalahan ini tidak diinvestigasi secara memadai dan juga kaitan antara keyakinan agama Abdurrahman dan peran publik sekulernya tidak dipahami, maka hampir tidak mungkin dapat memahami dengan sungguh-sungguh siapa sebenarnya Abdurrahman Wahid itu.

Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Abdurrahman adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya Cina Indonesia, dan juga penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan akhir ini. Dengan kata lain, Abdurrahman dipahami sebagai muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Yang secara luas tidak, atau tepatnya kurang, diapresiasi adalah bahwa Abdurrahman itu orang yang bangga sebagai seorang muslim. Ia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam itu sendiri. Lebih dari itu, Abdurrahman adalah seorang tokoh spiritual, figur mistik yang dalam pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.

Walaupun ia tidak selalu membenarkan tentang keyakinan ini karena dia memahami bahwa ini adalah titik kebingungan bagi sarjana “sekuler” Barat atau yang terbaratkan. Bagaimana bisa terjadi seseorang yang begitu mencintai agamanya, dan khususnya subkultur agamanya tempat ia tumbuh, mampu menjadi seorang yang pluralistik dan non-chauvinis. Salah satu idiom populer Barat modern atau

(19)

19

budaya yang terbaratkan adalah bahwa hanya dengan melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran. Sebagian akan berpendapat, yang mungkin dapat dipandang sebagai model postmodern, hanya dengan melepas semua klaim kebenaran absolut dan metafisiklah seseorang akan dapat menjadi seorang toleran dan pluralis. Akibatnya banyak merasa sulit memahami bagaimana seorang muslim yang setia, atau seorang penganut agama yang taat, dapat menjadi figur modern yang begitu liberal.

Sebagian besar diskusi mengenai Abdurrahman, atau yang lebih jarang lagi mengenai tulisannya, memfokuskan pada satu atau aspek yang lain dari identitasnya. Bisa dipahami, sikap, manuver, strategi, dan taktik politiknya sering dibahas, dan sering dengan hasil yang tidak menggembirakan. Begitu juga, sebagai ketua sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan juga di dunia, posisi Abdurrahman sering didiskusikan dan diperdebatkan, walaupun hal ini sering berlangsung dalam batasan tingkatan-tingkatan di NU atau paling tidak dalam konteks diskusi tentang Islam. Sangat jarang didiskusikan secara bersamaan sikap politiknya, aktivitas publik Abdurrahman, dan orientasi spiritual dan personalnya. Dan lebih khusus lagi juga jarang dibicarakan aktivitasnya dalam pengakuan pribadinya. Oleh karena itu, sering didapati orang mengemukakan bukti bahwa Abdurrahman adalah orang yang tidak konsisten, munafik (hipokrit), atau menggunakan standar ganda. Tuduhan ini, harus diakui, bersumber dari sikap Abdurrahman sendiri, terutama pada tahun-tahun terakhir. Bahkan orang yang dekat dengannya sekalipun sering dibuat bingung dan tidak bisa menjelaskan alasan

statement atau manuver politik Abdurrahman yang paling mutakhir. Kebingungan

mengenai Abdurrahman mencapai puncaknya adalah pada masa Soeharto ketika, terancam oleh konfrontasi antara tentara Indonesia dan Soeharto sendiri, pada akhir tahun 1997, Abdurrahman menjadi pialang (broker) pendamai. Pada awal tahun 1998 Abdurrahman tampak tidak bersemangat mengerahkan massanya untuk demonstrasi di jalanan selama masa-masa terakhir pemerintahan Soeharto, dengan alasan bahwa konfrontasi seharusnya dihindari, karena harga manusia yang harus dibayar terlalu mahal untuk prestasi apa pun yang bisa diperoleh. Kemudian bahkan pada masa setelah jatuhnya Soeharto pada akhir tahun 1998, Abdurrahman membingungkan para sahabat dan para pengkritiknya karena pertemuannya yang cukup sering dengan Soeharto, dan kemudian dengan Habibie pengganti Soeharto.

(20)

20

Abdurrahman menyarankan diperhatikannya perkembangan yang terjadi dan diupayakannya jalan keluar sehingga kedamaian dapat dicapai. Abdurrahman beralasan bahwa dengan bertemu dengan Soeharto ia mengupayakan jalan keluar untuk mengakhiri kekerasan yang diduga dilakukan para pendukung Soeharto. Demikian juga dengan bertemu Habibie setelah pemilihan umum Juni 1999, Abdurrahman menjelaskan bahwa ia sedang berupaya menegosiasikan transisi damai ke era demokratik dan, disuka atau tidak, harus diakui – menurutnya – bahwa bernegosiasi dengan Habibie sangat penting jika diharapkan kekerasan tidak berlanjut terus. Alasan yang sama juga sering diberikan untuk menjelaskan pertemuannya dengan Jenderal Wiranto, Panglima TNI; Akbar Tanjung, ketua partai Soeharto, Golkar; dan beberapa figur konservatif lainnya. Dalam hal ini semua berspekulasi tentang apa sebenarnya motif Abdurrahman. Menjadi lebih kompleks lagi masalahnya dengan dukungan yang ia berikan dan keterlibatannya secara langsung dalam partai politik melalui PKB, yang pendiriannya – menurut banyak orang – betul-betul jauh dari apa yang selama ini ia perjuangkan. Abdurrahman memang sebelumnya dikenal dengan argumentasinya yang tegas bahwa Islam, dan agama secara umum, dan partai politik tidak boleh dicampur aduk. Terus apa gerangan yang dia lakukan dengan memotori salah satu partai besar baru yang secara jelas platformnya tidak islami tetapi didasarkan pada massa NU yang terdiri dari puluhan juta muslim tradisional.

Ketika ditanya, Abdurrahman menjelaskan bahwa manuvernya merupakan kepeduliannya terhadap umat NU, dan pada rakyat Indonesia pada umumnya. Dalam manuvernya itu, Abdurrahman mendemonstrasikan prinsip-prinsip politik Sunni dan sekaligus memenuhi misi pribadinya untuk melakukan yang terbaik, yaitu demi terhapusnya kekerasan dan mengantarkan rakyat Indonesia ke kedamaian. Sementara banyak orang memaklumi penjelasan Abdurrahman, sebagian yang lain masih sulit menerimanya. Seperti sudah saya kemukakan di depan, saya meyakini bahwa hanya dengan memperhatikan keyakinan religius dan kehidupan batiniahnyalah manuver Abdurrahman yang tidak terduga itu dapat dipahami. Semoga buku seperti ini, di mana esai-esai Abdurrahman dikumpulkan dan diterbitkan, bisa mengantarkan perhatian yang lebih segara terhadap tulisannya. Apa yang ingin saya lakukan dalam pengantar ini adalah mengeksplorasi aspek-aspek identitas “sekuler-liberal” Abdurrahman sebagai intelektual publik dan identitas

(21)

21

komunal, religius, dan pribadinya dengan didasarkan pada tulisan-tulisannya dan dengan referensi beberapa peristiwa terbaru.

Kecintaan yang Mendalam Terhadap Budaya Islam Tradisional

Salah satu tema penting dalam tulisannya, walaupun sering tidak disebut secara langsung, adalah kecintaannya yang mendalam terhadap Islam tradisional. Abdurrahman adalah cucu salah seorang pendiri NU yang terkemuka dan putra salah seorang bapak pendiri bangsa (founding fathers), berasal dari keluarga NU yang paling utama dan menjadi pewaris dinasti kedua. Mengetahui latar belakang itu, agaknya tidak aneh bila Abdurrahman membanggakan warisan Islam tradisionalnya. Dan ketika orang membaca tulisannya, sangat jelas bahwa apa pun yang dikatakan orang mengenai manuver politiknya, Abdurrahman menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap teori sosial modern dan komitmen yang mendalam terhadapnya. Sangat jelas pula dalam tulisannya bahwa Abdurrahman adalah seorang demokrat atau lebih tepatnya seorang demokrat liberal. Lebih dari itu, seperti telah diketahui banyak orang, Abdurrahman dikenal karena sikapnya yang konsisten membela minoritas dan perjuangan untuk bisa diterimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul ada dalam masyarakat Indonesia modern. Lebih dari itu, Abdurrahman menunjukkan kemampuan yang luar biasa untuk bisa berkomunikasi dengan figur publik dan para pemikir Barat yang tidak banyak tokoh-tokoh Indonesia yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan ke Amerika utara, Eropa, atau Australia, Abdurrahman mampu berbicara dengan bahasa intelektual Barat modern secara fasih. Berdasarkan pertimbangan ini, bisa jadi ia mengalami frustrasi mengenai kondisi masyarakat muslim tradisional di Indonesia yang seringkali parokial dan terbelakang. Dan dalam tingkatan tertentu, banyaknya tuntutan pada massanya, energi dan privasi dalam konteks kepemimpinan karismatiknya menunjukkan bahwa Abdurrahman kadang-kadang benar-benar mengalami frustrasi. Abdurrahman tidak pernah lambat untuk melakukan kritik ketika kritik dia anggap tidak bisa ditunda lagi seperti ditunjukkan artikel-artikel dalam buku ini. Kritiknya dilakukan secara umum sebagai bukti kecintaannya sehingga sukar dibantah. Bahkan, salah satu tema utama dalam tulisannya dari tahun 70-an sampai sekarang adalah kecintaaannya

(22)

22

terhadap budaya Islam tradisionalnya. Kecintaan ini bukan berarti keterlibatan dan penerimaan segala aspek budaya tradisional karena Abdurrahman sangat kritis terhadap budaya tradisional. Jelas bahwa Abdurrahman sangat menyukai dunia idiosinkretik kiai karismatik dan pesantrennya yang penuh misteri. Bukan hanya itu, Abdurrahman adalah orang yang akan paling cepat memberikan pujian ketika pujian itu pantas diberikan. Seri-seri “kiai eksentrik”nya dalam majalah Tempo pada akhir tahun 1970-an menegaskan pandangan bahwa yang paling eksentrik dan misteri dari pemimpin tradisional adalah kemampuannya berpikir lateral untuk mencari jalan keluar bagi masalah sosial yang bertentangan dengan anggapan komunitasnya. Dan batas-batas argumentasi yang dikemukakan Abdurrahman dalam mengapresiasi kiai tradisional dan pemikir religius lainnya dapat dikatakan liberal, fleksibel, dan bahkan progresif. Mempertimbangkan betapa banyak masalah yang dihadapinya di kalangan ulama dan kritik pedas yang sering diarahkan padanya, adalah sangat penting baginya untuk terus mengemukakan apa yang dia anggap baik dan menerimanya dengan senang hati, yang sebaliknya sering dianggap orang sebagai kuno, terbelakang, dan tidak bermutu.

Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan kecintaan mendalam yang dirasakan Abdurrahman terhadap budaya Islam tradisional ini. Bagi intelektual publik mana pun adalah sangat penting untuk memahami latar belakang personalnya untuk mengetahui dari mana mereka berasal. Setiap figur mempunyai comfort zone sendiri. Misalnya Amien Rais, mantan pemimpin Muhammadiyah dan kemudian pemimpin PAN, partai politik yang progresif, sampai tahun 1998 dianggap sebagai figur yang agak reaksioner. Jelas, comfort zone-nya adalah urban modernis, masyarakat Islam yang agak konservatif. Salah satu yang luar biasa dari Abdurrahman adalah bahwa sementara jelas comfort zone-nya, ketika tur pesantren dan berbicara dengan para kiai dan juga tampak bahwa comfort zone-nya ini meluas melampaui batas teritorialnya yang luas sehingga sangat sulit untuk melokalisir pusat pribadinya. Dalam beberapa hal, periode aktif turnya selama bertahun-tahun itu telah diduga mengantarkannya pada kelelahan dan bahkan frustrasi dengan budaya tradisional. Abdurrahman jarang sekali memperlihatkannya, walau mungkin benar. Sedangkan figur lain dengan latar belakang yang hampir sama yaitu Nurcholish Madjid mampu menjaga jarak dirinya dengan dunia pesantren yang agak

(23)

23

parokial dan membangun komunitas sendiri yang lebih sederhana di Jakarta. Abdurrahman tidak pernah membuat pilihan ini.

Kecintaan yang Mendalam Terhadap Islam

Terlepas dari kecintaan terhadap budaya Islam tradisional dengan semua bentuk idiosinkresinya yang penuh misteri dan karakternya yang warna-warni, tampaknya juga dari tulisan dan perbincangannya bahwa Abdurrahman adalah orang yang sangat mendalam keyakinan keagamaannya dan mempunyai kecintaan yang mendalam terhadap agamanya.

Jika penting untuk memahami posisi Abdurrahman sebagai figur religius, sangat penting juga kita mengapresiasinya sebagai seorang intelektual. Karena hampir tidak mungkin untuk memahami secara sepenuhnya jika kita tidak menghargai keyakinan keagamaannya. Tanpa penghargaan terhadap sisi intelektual Abdurrahman kita tidak akan pernah sampai pada pemahaman yang memadai mengenai jalan pikirannya. Untungnya, melalui tulisannya relatif mudah bagi kita untuk bisa memahami Abdurrahman sebagai intelektual. Tentu kesulitan terbesar yang sampai sekarang adalah tulisan Abdurrahman tidak semua orang punya. Hal ini diperparah lagi dengan kesibukannya dan kesehatannya yang membuat tulisannya semakin jarang muncul. Oleh karena itu sangat menggembirakan upaya LKiS untuk menerbitkan tulisan-tulisan Abdurrahman. Bagi yang memiliki edisi lengkap Prisma atau yang memiliki arsipnya bisa dipastikan mempunyai semua tulisannya ini. Kendati demikian saat sekarang ini tulisan-tulisan itu sudah sulit ditemukan. Dengan publikasi LKiS ini kita akan lebih mempunyai banyak referensi untuk memahami karakter intelektual Abdurrahman. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa tulisan-tulisan di buku ini mempunyai karakter dan motif yang berbeda dengan tulisan-tulisan terdahulu Abdurrahman yang sudah diterbitkan. Misalnya, esai-esai terdahulu yang dipublikasikan dalam Tempo walaupun menarik, berbentuk esai-esai pendek, sedangkan tulisan-tulisan dalam buku ini berformat lebih panjang dan agaknya dimaksudkan untuk pembaca di kalangan akademik. Membaca artikel-artikel ini menjadi jelas bahwa Abdurrahman sejajar dengan intelektual-intelektual menonjol yang dimiliki Indonesia pada abad ke-20. Adalah benar bahwa latar belakang dan pendidikannya tidak akan mungkin menjadikan Abdurrahman sebagai

(24)

24

orang yang mampu berkompetisi dengan intelektual terdidik Barat lainnya tetapi substansi artikel ini membuktikan lain. Apa pun kelemahannya, dan tidak ada penolakan bahwa ia memiliki kelemahan, kita harus mengakui bahwa Abdurrahman mempunyai kemampuan intelektual yang luar biasa. Sungguh, seperti yang akan kami kemukakan, mungkin karena kecerdasannya yang luar biasa sehingga beberapa kelemahan karakternya diungkit-ungkit yang jarang dilakukan terhadap intelektual lain.

Pada bagian akhir tulisan ini kami akan kembali mengeksplorasi alasan mengapa Abdurrahman menjadi figur yang begitu kontroversial pada tahun-tahun belakangan ini. Sebelum membincangkannya, sangat penting untuk me-review beberapa tema yang muncul dalam tulisan intelektualnya, termasuk artikel-artikel yang muncul dalam volume ini. Hal ini penting karena walaupun banyak perdebatan mengenai strategi dan taktik politiknya, dan juga kebingungan luar biasa untuk menerjemahkan sikap politiknya, pemikiran keagamaan Abdurrahman bersifat linear dan terfokus dengan jelas. Seperti dengan intelektual lainnya, diduga bahwa ada inkonsistensi dalam ide dan manusianya, tetapi ketika hal itu menjadi ide, Abdurrahman adalah figur terbaik yang mampu melampaui inkonsistensi ini. Lebih khusus lagi, adalah meragukan bahwa ada intelektual Indonesia lain saat ini, paling tidak di antara figur-figur yang sudah dikenal, yang mempunyai pemahaman yang sangat jelas mengenai demokrasi dan nilai-nilai pasca-pencerahan liberal dan cara-cara mempertemukannya dengan Islam selihai Abdurrahman.

Tema yang paling jelas muncul dalam tulisan Abdurrahman adalah bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Bagi Abdurrahman, Islam adalah agama kasih sayang dan toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Artinya Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan kelas, suku, ras, gender, atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Abdurrahman Wahid Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa, dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara. Bahkan status muslim dan non-muslim pun setara. Bagian dari keyakinan mendasar Abdurrahman adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan liberalisme adalah nilai-nilai universal. Kemudian dia menolak argumentasi yang terlalu menyederhanakan yaitu bahwa hal ini karena Islam adalah sumber asli

(25)

25

pemikiran, nilai, dan ide-ide. Bahkan Abdurrahman menganggap pandangan ini apologetik saja. Abdurrahman lebih lanjut menegaskan bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari pencerahan duduk setara dengan pesan utama Islam. Apa yang muncul paling jelas dalam pemikiran dan tulisan Abdurrahman adalah keyakinan bahwa pandangan religius yang membentuk dan melahirkan nilai-nilai yang berasal dari Eropa Kristen danYahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan pesan Islam. Dengan kata lain, Abdurrahman, seperti intelektual-intelektual progresif lainnya di Indonesia, tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan Barat. Walaupun tidak menolak adanya perbedaan penting antara keduanya, Abdurrahman berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan perhatian utama tradisi Judeo Kristen dan Islam sangat dekat bila dicari sistem nilainya yang paling utama.

Kemudian tidak perlu dikatakan lagi, Abdurrahman seperti intelektual progresif lainnya bersikap pemikiran bahwa kekhususan formasi negara, pemerintahan, dan juga hukum modern tidak ditegaskan secara jelas dalam Al-Quran dan Hadits. Bukan untuk mengatakan bahwa prinsip-prinsip itu tidak secara jelas disebutkan, tetapi lebih dimaksudkan bahwa detail mekanisme negara modern tidak dirinci. Oleh karena itu, berbicara tentang pendirian negara Islam baginya adalah non-sense atau melakukan sesuatu dengan cara islami jika satu-satunya alasan untuk statement ini adalah untuk menciptakan perbedaan mendasar dengan Barat.

Jika pemikiran politik Abdurrahman sangat jelas dan secara konsisten liberal, bahkan sangat liberal, mengapa sikap politiknya selama tahun-tahun terakhir menyebabkan kontroversi sedemikian rupa? Dapat dikemukakan bahwa sementara Abdurrahman telah menjadi figur yang sangat kontroversial, waktu/sejarah menjelaskan dan membuktikan wawasan dan kebijaksanaannya, atau jarang sebaliknya, pendekatan-pendekatan politiknya. Jelas, sebagian besar manuvernya dahulu dapat dilihat berdasar pada kepedulian pastorialnya yang besar terhadap masyarakat NU dan rakyat Indonesia pada umumnya. Sejak awal, Abdurrahman diarahkan oleh keinginan untuk menghilangkan pertikaian antara massanya dengan militer dan pemerintah Soeharto dan juga keinginan untuk menemukan jalan kompromi atau jalan tengah dari situasi politik yang sulit. Hal ini sangat jelas didemonstrasikannya pada tahun 1997 ketika dia melakukan pendekatan terhadap Soeharto setelah dia mengalami penindasan yang luar biasa oleh mantan presiden

(26)

26

ini sejak tahun 1994. Jelas sekarang dia membuat keputusan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik untuk dicapai kecuali dengan menahan Soeharto berhadapan langsung dengan umatnya, dan bahwa dia tidak mengambil langkah penting karena baik dia maupun NU akan mendapat tekanan berbahaya yang lebih besar lagi. Dan, sekarang agaknya sudah jelas bahwa keputusannya dalam hal ini beralasan kuat. Tetapi bagaimana menjelaskan sikapnya selama dua tahun terakhir ini?

Banyak orang mengkritik Abdurrahman karena kelambanannya dalam merespon gerakan populer untuk menjatuhkan Soeharto pada awal 1998. Kritik yang sama juga diarahkan untuk Megawati Soekarnoputri. Baik Megawati maupun Abdurrahman menjelaskan bahwa mereka tidak mau mengirim rakyat ke jalan karena khawatir konfrontasi fisik tidak akan mencapai tujuannya dan hanya berisiko pada penderitaan yang luar biasa. Mungkin keduanya benar, tetapi hal ini yang menjadikan hubungan mereka renggang dengan aktivis dan mahasiswa pada awal tahun 1998. Dan manuver Abdurrahman sepanjang tahun terakhir 1998 ini sedikit artinya untuk meyakinkan pihak-pihak yang meragukan komitmennya pada reformasi.

Hanya saja ada beberapa persoalan dan problem yang muncul menjadi keraguan dalam pikiran masyarakat selama periode itu. Antara lain adalah; pertama, Abdurrahman lamban untuk mengerahkan rakyatnya untuk berkonfrontasi dengan Soeharto; kedua, Abdurrahman agaknya telah berubah total sikapnya atau bermuka dua dalam hal sikapnya terdahulu untuk mengaitkan Islam dan partai politik dengan ikut membidani pendirian PKB pada bulan Juni, partai yang massanya didasarkan pada dukungan massa NU. Keraguan ini diperkuat lagi selama masa kampanye untuk pemilu pada bulan Juni 1999 ketika Abdurrahman menjadi jurkam dan politisi partisan. Bila hal ini yang dipermasalahkan, maka hal ini dapat dijelaskan. Ada banyak contoh lain tentang sikap politik Abdurrahman yang menyebabkan kebingungan bahkan para pendukungnya sekalipun dengan menggeleng-gelengkan kepala dalam ketidaktahuan. Misalnya, ketika lebih dari 100 tokoh NU terbunuh di Banyuwangi di Jawa Timur pada akhir tahun 1998, tampaknya karena akibat pembunuhan ninja, Abdurrahman menyalahkan muslim konservatif yang berafiliasi dengan ICMI, dan yang menurutnya terkait dengan Soeharto. Kemudian pada tahun itu juga ia menemui Soeharto yang menjadi kunjungan pertamanya di antara tujuh

(27)

27

kunjungan sampai periode 1999. Abdurrahman menjelaskan bahwa bila pendukung loyal Soeharto adalah yang di balik pembunuhan Banyuwangi dan insiden berdarah lainnya maka cara terbaik untuk menghentikan ini semuanya adalah dengan mengajak bicara Soeharto sendiri. Akhirnya, Abdurrahman mengumumkan bahwa negosiasinya dengan Soeharto telah gagal dan “orang tua” itu tidak menunjukkan tanda-tanda penerimaan. Akibatnya Abdurrahman memutarkan badan sekali lagi untuk melawan Soeharto tetapi tidak sebelum membingungkan dan mengecewakan banyak pendukungnya.

Jika pendekatannya terhadap Soeharto mengakibatkan kebingungan, demikian pula pendekatannya terhadap Habibie pun sepanjang awal tahun 1999 semakin mengakibatkan kebingungan.

Sekali lagi, Abdurrahman menjelaskan pertemuannya dengan Habibie dalam kawasan “riil politik”. Kali ini Abdurrahman beralasan bahwa karena tidak ada kejelasan mekanisme yang akan menjamin transisi ke demokrasi sangat penting untuk bernegosiasi dengan para politisi konservatif seperti Habibie dan juga Jenderal Wiranto Panglima TNI yang dia temui. Negosiasi ini dimulai sejak awal tahun 1999, bahkan sebenarnya pada akhir 1998 kemudian berlanjut sampai pada saat pemilu pada bulan Juni dan kemudian bulan-bulan setelah pemilu. Sementara penjelasan Abdurrahman mengenai perlunya bernegosiasi untuk demokrasi dengan pihak-pihak pemegang kekuasaan masuk akal, mendung keraguan yang menyelimutinya semakin gelap dengan adanya kabar burung/desas-desus bahwa Abdurrahman menerima bantuan dana dari Soeharto dan kemudian Habibie untuk membiayai perawatan medisnya.

Pada saat yang sama, komentar-komentarnya – yang tidak jarang – tentang kurangnya kecerdasan dan kompetensi umum Megawati semakin membingungkan para pendukungnya. Banyak yang bisa menerima kenyataan Abdurrahman sebagai jurkam PKB sebagai cara untuk mengantarkan kamp reformis yang dipimpin Megawati, agar dapat memperoleh jumlah suara dan kursi yang memadai dalam pemerintahan. Dan hasil Pemilu 1999 menunjukkan bahwa bila Abdurrahman tidak berkampanye sedemikian gigih untuk PKB untuk memastikan masuknya suara ke PKB atau PDI Perjuangan, banyak suara akan lari ke kelompok PPP atau partai kecil lainnya. Agaknya Abdurrahman sukses besar memotong dukungan untuk

(28)

28

partai-partai lawannya, yang itu enggan bekerja sama dengan PDI-P Megawati. Oleh karena itu, kampanye partisannya untuk PKB dapat dipahami sebagai bagian strateginya untuk membangun landasan yang memadai bagi kaum reformis untuk mengantarkan Megawati membentuk pemerintahan.

Problemnya adalah hal ini tidak menjelaskan mengapa Abdurrahman melakukan kritik secara terbuka terhadap Megawati atau mengapa ia mau bernegosiasi dengan kelompok poros tengah yang diasosiasikan dengan partai Islam. Sangat jelas bahwa Abdurrahman Wahid sedang berupaya mendekatkan dan membangun aliansi antara Amien Rais sebagai PAN, PKB, dan PDI-P; dan Abdurrahman adalah figur pengantara antara Amien Rais dan Megawati. Hal ini mudah dipahami dan sebenarnya patut dipuji. Yang belum jelas adalah mengapa Abdurrahman membiarkan Poros Tengah mendukungnya sebagai calon presiden, yang hal ini menempatkannya secara diametral berhadap-hadapan dengan Megawati. Mungkin waktu akan menjelaskan bahwa hal ini adalah bagian dari strateginya, paling tidak, untuk memecah kekuatan dan dukungan kelompok Islam terhadap Habibie dan untuk membangun koalisi reformis dengan Megawati. Karena memang kelompok Habibie sedang berupaya keras walaupun putus asa untuk merebut dukungan kelompok Islam dengan menyerang Megawati sebagai perempuan dan keturunan Bali yang diragukan kadar keislamannya dan dukungannya terhadap Islam. Dalam konteks ini, Abdurrahman sangat berhasil menjalin hubungan dengan Amien Rais. Lebih dari itu, mudah dipahami bahwa Abdurrahman sedang menggerogoti dukungan muslim konservatif terhadap Habibie. Misalnya, dapat dipahami bahwa beberapa kandidat PPP dan bahkan beberapa kandidat Partai Keadilan telah dibujuk untuk mendukung Abdurrahman dan kemudian Megawati daripada Habibie. Kendati demikian, pada sisi lain, bisa juga dipahami bahwa penerimaannya terhadap pencalonan dirinya sebagai presiden oleh Poros Tengah sebagai bentuk kompetisi langsungnya dengan Megawati.

Dalam poin ini, sangat membantu untuk menelaah beberapa faktor yang mungkin menjelaskan langkah kontroversial Abdurrahman itu. Faktor-faktor ini secara mendasar dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu faktor yang berjangka panjang, dan yang lain lebih langsung berkaitan dengan kesehatannya sekarang. Pertama, di antara faktor-faktor jangka panjang dapat didaftar misalnya konteks sosial konservatif NU tempat Abdurrahman menemukan dirinya. Pada sisi lain,

(29)

29

Abdurrahman diharapkan bekerja dalam batas-batas kebudayaan tradisionalnya yang fundamental. Dalam NU seperti dalam organisasi tradisional lainnya di seluruh dunia, terutama organisasi yang dipengaruhi oleh sufisme, otoritas karismatik adalah salah satu faktor yang sangat penting. Otoritas karismatik yang dimiliki berarti Abdurrahman memiliki potensi luar biasa untuk mempengaruhi massa NU dan ia mampu menggunakan hal ini dengan sangat baik. Tetapi, pada sisi lain, dia mempunyai kehidupan pribadi dan waktunya sendiri yang sangat berharga. Siang dan malam Abdurrahman dikunjungi bermacam-macam orang yang eklektik dan eksentrik, dari meminta sumbangan, meminta nasihat, sampai minta campur tangan Abdurrahman dalam persoalan politik maupun pribadinya. Jika tidak ada yang menghentikan mungkin tidak ada jam-jam di mana dia dapat tenang tanpa gangguan pengunjungnya yang terhormat. Kadang-kadang juga ada yang menginginkan nama untuk bayi mereka yang baru lahir atau nasihat untuk menyelesaikan masalah perkawinan. Orang yang mempunyai ketenaran dan pengabdian terhadap kehidupan akan menghargai karakternya yang membelenggu dan tingkat frustrasi yang diakibatkannya.

Otoritas karismatik ini juga mempunyai efek yang membatasi, sekaligus terpendam. Karena Abdurrahman untuk lima belas tahun terakhir sebagai ketua Nahdlatul Ulama tempat dia memberikan pengabdiannya, pasti adalah hal sulit berhadapan dengan realitas khususnya ketika akan membuat keputusan mengenai suatu masalah yang sangat sulit atau kontroversial. Faktor ini semakin dipertajam lagi karena latar belakang keluarganya dalam lingkaran NU, yang dalam pandangan banyak orang, Abdurrahman adalah seorang “pangeran” putra dari “keluarga kerajaan”. Pasti adalah hal sulit untuk menjaga perspektif atau bahkan menemukan cara alternatif untuk memandang realitas. Kemungkinan inilah masalah yang muncul selama periode kampanye PKB sebelum pemilu Juni 1999. Selama periode ini, Abdurrahman dan setiap pemimpin partai politik yang lain sangat optimis. Ketika ditanya mengenai PKB, dia akan menceritakan bagaimana tanggapan masyarakat yang begitu ramai ketika dia mengelilingi nusantara dan dia juga akan menegaskan bagaimana PKB nanti akan menang dalam penghitungan suara. Realitasnya tentu lebih sederhana. Terus mengapa Abdurrahman kali ini begitu tidak akurat? Di satu sisi, jawabannya tidak dapat dilepaskan dari feedback yang dia peroleh selama kampanye sehingga sangat sulit baginya untuk membuat opini yang obyektif.

(30)

30

Faktor jangka panjang dan elemen kunci lain yang menjelaskan sikap itu adalah kepribadian yang sangat unik. Nurcholish Madjid misalnya, yang mengenal Abdurrahman sejak masih mahasiswa dan sangat memahami dunianya dan latar belakang keluarganya karena mereka sama-sama berasal dari Jombang, Jawa Timur, mengatakan bahwa sejak muda Abdurrahman adalah wong nekad. Dia selalu keluar dari batas dan tidak pernah puas dengan mencukupkan pada satu jalan yang pasti dan aman. Tampaknya bagi Abdurrahman, kalau belum mencapai tingkatan yang membahayakan atau belum merasa ter(di)sudutkan, Abdurrahman akan merasa bahwa ia kurang keras mendorongnya! Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Ada banyak faktor, di antaranya terkait dengan pengalamannya dulu yaitu ia ada dalam mobil yang sama ketika ayahnya meninggal dalam kecelakaan yang menimpa mobil yang dikendarainya. Di samping peristiwa ini, ada semacam tuntutan takdir atau sense of manifest destiny yang dibebankan padanya oleh ibunya yang sangat mencintai dan high profile. Sejak awal kehidupannya, Abdurrahman dibimbing untuk memahami bahwa baik suka maupun tidak suka dia harus mengambil peran dan tanggung jawab ayahnya untuk memainkan peranan penting bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan NU pada khususnya. Kendati demikian, faktor-faktor historis ini tentu tidak dapat dilepaskan dari faktor kepribadiannya yang khas, yaitu individu yang mendapat kepuasan ketika berhasil menggeser kemapanan, dan berada di tepi.

Berkaitan dengan hal ini adalah – seperti dikemukakan di muka – sense of manifest

destiny yang dibebankan padanya dan pemenuhan diri atau realisasinya dalam

kehidupan. Sejak lama, Abdurrahman telah terbiasa bemain dalam lingkaran utama/pusat, memainkan peranan utama. Hal ini diperkuat ketika dia terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama semenjak ia masih muda pada tahun 1984. Dia merasakan perlunya memainkan peran sentral sebagaimana beban dan tanggung jawab yang harus dia emban. Perasaan ini betul-betul dihayatinya sehingga dalam banyak hal ia sering melupakan dirinya sendiri demi kerja keras untuk rakyatnya. Kendati demikian, tentu ada saat-saat ketika pandangan tentang dirinya ini dan perannya dalam dunia telah mendistorsi pemahamannya tentang situasi tertentu. Secara ideal, tidak ada seorang pun yang mampu secara terus-menerus “on call” selamanya. Lebih lagi, ketika orang terbiasa melakukan sesuatu

(31)

31

secara konsisten pasti sangat sulit kalau harus mencerabutnya ketika tidak dibutuhkan.

Hal ini diperkuat dinamikanya oleh kenyataan bahwa Abdurrahman memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa. Sebagai seorang santri pesantren yang masih muda, intelektual briliannya jauh melebihi kapasitas teman-teman sebayanya, walaupun upaya kerja kerasnya tidak melebihi teman-temannya. Demikian juga, walaupun ia tidak punya akses pendidikan yang dimiliki teman sebayanya seperti Nurcholish, ia juga tidak mengambil program pascasarjana, tetapi pemahamannya tentang pemikiran Barat bahkan bahasa Barat melebihi kemampuan teman sebayanya. Akibat tak terhindarkan adalah bahwa Abdurrahman telah menjadi raksasa di antara sebayanya dalam hal luasnya wawasan, keluwesan pemikiran, pemahaman, pengalaman, dan kemampuan intelektual yang tajam. Dia tak jarang berbeda dengan ulama. Hal ini diperumit lagi dengan fakta kultur tradisional ulama, yang sering menyebabkannya frustrasi. Faktor personal lainnya adalah bahwa Abdurrahman secara mendasar sangat dermawan. Kedermawanan ini dan kelemahan karakter, atau lebih tepatnya kebiasaan khusus kepribadiannya, sering mengantarkan pada kurangnya kemampuan untuk memahami jalan pikirannya. Sementara pada sisi lain hanya beberapa orang dalam lingkarannya yang cocok dengan level intelektualnya, pada sisi lain ia terlalu bodoh dalam hal tingkat kepercayaan yang dia berikan pada orang. Menyadari sulitnya permasalahan seperti itu, dia sering harus bernegosiasi dalam politik dan bahkan juga dalam urusan NU, oleh karena itu tidak mengejutkan bila kekurangpahaman ini membuat ide-idenya tidak terwujudkan. Harga yang paling mahal yang harus ia bayar adalah kepercayaan yang ia berikan pada orang-orang yang dekat padanya. Seringkali kepercayaannya sangat bermanfaat baginya tetapi pada saat lain ia dinasihati oleh sahabat yang berkunjung padanya baik dengan niat baik maupun naif atau yang kadang-kadang sengaja manipulatif dengan memberinya nasihat yang buruk. Hal ini semakin parah selama masa dua tahun penyembuhan pasca-stroke yaitu pada saat dia telah betul-betul buta dan secara psikologis mengalami disorientasi. Jika dia lebih memahami orang-orang yang berkumpul di sekitarnya dan siapa-siapa yang nasihatnya dia percaya, tentu dia telah mengalami banyak kesulitan. Oleh karena itu, banyak statement publiknya yang kemudian membuatnya tersudut karena informasi yang keliru yang diberikan orang-orang terdekatnya. Kendati demikian

(32)

32

untungnya, dia juga menikmati tahun-tahun itu, termasuk saat ini, dengan dikelilingi orang-orang yang dapat dipercaya, bijaksana, dan berniat baik.

Faktor jangka panjang lain yang menjelaskan sikap Abdurrahman adalah kepedulian pastoralnya terhadap masyarakat NU dan juga pada semua masyarakat Indonesia. Dia sepertinya selalu merasakan perasaan paternal untuk selalu bertanggung jawab dan peduli dengan rakyat kecil Indonesia. Selama periode Soeharto dia sering terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan mereka dari bahaya dan menghindari konfrontasi dan konflik dengan para penguasa saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa kepedulian paternal ini sering berakibat pada paternalisme yang mempunyai kelemahan dan kekurangan secara mendasar, tetapi kendati demikian tidak dapat diragukan juga niat baik dan sentimen murni Abdurrahman dalam kepeduliannya terhadap masyarakat kecil dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan Indonesia secara umum.

Dalam kepedulian politik ini, Abdurrahman secara konsisten mengikuti pendekatan politik Sunni yaitu quietism, ketenangan harmoni, katakanlah untuk menghindari konfrontasi langsung dengan para penguasa saat itu dan selalu mempertimbangkan cara meminimalisir risiko dan memaksimalkan hasil yang baik. Hal ini membuatnya mencari jalan kompromi. Sering jalan tengah yang mengkompromikan berbagai kepentingan ini sering berakibat buruk bagi reputasinya.

Menyadari bahwa Abdurrahman adalah seorang yang nekad, seperti disebutkan di atas, sangat mudah memahami mengapa berbagai serangan secara terus-menerus terhadap reputasinya tidak membuatnya khawatir. Bahkan Abdurrahman seolah-olah mempunyai kemampuan mengoperasikan intuisi yaitu bahwa bakat (capital) kultural pribadinya yang sangat besar dapat disimpan dan dikeluarkan, dan Abdurrahman percaya dalam mengetahui bakatnya itu akan terpenuhi. Kehendak untuk menarik, mencurahkan, dan menggunakan secara maksimal kapital kultural pribadinya ini tampak terutama dalam negosiasinya dengan Soeharto sampai berakhirnya rejim itu dan dalam dua tahun berikutnya dengan Habibie. Bila menjadi publik figur, tentu setiap intelektual akan berpikir dua kali karena bila memasuki isu yang kontroversial itu bisa berakibat buruk pada reputasinya. Tapi Abdurrahman tidak. Ia seperti tidak peduli dengan risiko itu. Mungkin karena kekuatan kepribadiannya. Dan pasti ini. Kendati demikian, pada sisi lain, mungkin juga tanda orang yang ingin memainkan

(33)

33

peranan yang sangat besar dalam kehidupan publik dengan tanpa mempertimbangkan risiko yang menimpa dirinya.

Abdurrahman bukan hanya berhadapan dengan lingkungan politiknya yang sangat sulit pada masa akhir Soeharto dan selama tahun-tahun yang membingungkan sesudahnya. Dia selama lima belas tahun lebih juga harus berhadapan dengan politik yang sangat rumit dan tumpang tindih dalam tubuh NU sendiri. Pertimbangan-pertimbangan politik ini dalam lingkaran para ulama diperparah perjuangan di mana Abdurrahman merupakan pemain sentral kubu konservatif dan kubu progresif dalam tubuh organisasi itu. Akibatnya Abdurrahman sering terjebak dalam dinamika yang multidimensi bahkan paradoksal ketika dia berusaha membawa dan mentransformasikan masyarakat NU menurut agenda pribadinya dan sekaligus merebut dukungan elite karismatik organisasi.

Tindakan penyeimbangan politik dan tindakan penegosiasian dalam wilayah sulit ini menjadi lebih kompleks lagi selama masa peralihan pemerintahan antara akhir jabatan Soeharto dan ketika Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998, dan pada akhir tahun 1999 ketika pemerintahan yang baru dibentuk. Periode antara Pemilu 1999 dan pembentukan pemerintahannya misalnya, merupakan periode perang dingin yang sangat intens dan negosiasi kekuasaan di mana ketegangannya luar biasa dan sering kejam. Abdurrahman sebagai salah satu pimpinan partai reformis utama selain PDI-P terpaksa terlibat dalam proses yang sangat sulit itu. Oleh karena itu tidak meragukan lagi, dalam beberapa tahun terakhir, ramalan-ramalannya salah, mungkin karena kurang kuatnya nasihat yang ia terima atau karena kekurangan dalam temperamennya atau dalam cara menginterpretasikannya. Tetapi harus diakui bahwa situasi itu sangat sulit dan bila ada orang lain menghadapi persoalan sulit itu, tentu ia juga bisa salah.

Di samping faktor-faktor jangka panjang ini, faktor lainnya adalah faktor yang lebih berjangka pendek dan personal, yang secara langsung berkait dengan perilaku Abdurrahman pada akhir tahun 1990-an khususnya pada tahun 1998 dan 1999. Seperti sudah banyak diketahui, pada pertengahan 1990-an istrinya mengalami kecelakaan hebat yang menimpa mobil yang ditumpanginya, sehingga merenggut nyawa ibunya, orang yang paling dekat dengannya dan istrinya pun harus duduk di atas kursi roda. Hal ini merupakan tekanan yang luar biasa pada Abdurrahman dan

Referensi

Dokumen terkait