• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. dipakai didalam penelitian ini seperti etika bisnis, ethics officer, kompetensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. dipakai didalam penelitian ini seperti etika bisnis, ethics officer, kompetensi"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB 2

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kajian Pustaka

Bab II ini akan membahas tentang teori – teori & studi pustaka yang dipakai didalam penelitian ini seperti etika bisnis, ethics officer, kompetensi pribadi, faktor – faktor individual, role challanges of ethics officer, dan kinerja ethics officer itu sendiri.

2.1.1 Etika Bisnis

Bagian ini akan berbicara mengenai tentang pengertian dasar etika bisnis. Etika bisnis merupakan aspek penting didalam suatu organisasi atau perusahaan, jika perusahaan tidak memperhatikan tentang etika – etika yang berlaku dalam menjalan aktivitas – aktivitas, hal tersebut akan mempengaruhi laju perjalanan perusahaan tersebut di masa depan.

2.1.1.1 Pengertian Etika Bisnis

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri, dan juga masyarakat. Semuanya mengatakan bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat (Bertens, 2000).

(2)

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu – abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum (Bertens, 2000).

Embse dan Wagley (1988) memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :

1. Ulitarian Approach, setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara – cara yang dapat memberi manfaat sebesar – besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah – rendahnya.

2. Individual Rights Approach, setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.

3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan

(3)

memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen (Muslich, 1998).

Menurut Velasquez (2005) harus kita yakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, antara lain dengan :

- Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik internal perusahaan, maupun dengan eksternal.

- Mampu meningkatkan motivasi kerja. - Melindungi prinsip kebebasan berniaga. - Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari keuntungan – keuntungan dalam menjalan praktek bisnis diatas adalah, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh peruahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat yang akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi, dan lain sebagainya (Velasquez, 2005). Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai

(4)

perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai – nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan kerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier (Velasquez, 2005).

Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya. Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari – hari maka nilai – nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan beberapa cara, antara lain (Bertens, 2000) :

- Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct). - Memperkuat sistem pengawasan.

- Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus – menerus.

2.1.1.2 Aspek Aspek Etika Bisnis

Menurut Bertens (2000) terdapat tiga sudut pandang pokok dari bisnis, tiga sudut pandang tersebut dijabarkan sebagai berikut : 1. Sudut pandang ekonomi, bisnis adalah kegiatan ekonomis,

maksudnya adalah adanya interaksi produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan produsen dalam sebuah

(5)

organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak. 2. Sudut pandang etika, dalam bisnis berorientasi pada profit

adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Maksudnya adalah, semua yang kita lakukan harus menghormati kepentingan dan hak orang lain.

3. Sudut pandang hukum, bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan “hukum” Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

2.1.1.3 Peranan Etika Dalam Bisnis

Menurut George (1988), bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok, yaitu :

1. Produk yang baik 2. Manajemen yang baik 3. Memiliki Etika

(6)

Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitaas dan berguna untuk masyarakat disamping itu dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumber daya manusia dan lain – lain tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan tersebut. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dapat dilepaskan dari aturan – aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan – aturan moral.

2.1.2 The Ethics Officer

Ethics Officer (kadang – kadang disebut Compliance atau petugas perilaku bisnis) telah ditunjuk secara formal oleh organisasi sejak pertengahan 1980an. Salah satu katalis untuk menciptakan peran baru ini adalah serangkaian penipuan, korupsi, dan skandal pelecehan yang menimpa industri pertahanan AS pada saat itu. Hal ini menyebabkan penciptaan Industri Pertahanan Iniative (DII), sebuah inisiatif industri untuk mempromosikan dan memasikan praktek bisnis yang etis (Llopis, Reyes, Jose, 2007).

Para DII menetapkan patokan awal untuk manajemen etika dalam perusahaan. Pada tahun 1991, Ethics & Compliance Chief Association (ECOA) awalnya asosiasi ethics officer didirikan di pusat etika bisnis (Bentley College, Waltham, MA, 1991) sebagai

(7)

asosiasi profesional bagi mereka yang bertanggung jawab untuk organisasi mengelola upaya untuk mencapai praktik etis yang terbaik. Dengan keanggotannya yang bertumbuh pesat,organisasi ini didirikan sebagai organisasi independen (Chavez, Roy, Munevver, 2001).

Menurut Llopis, Reyes, dan Jose (2007) pendekatan pertama untuk definisi ethics officers hanya menggambarkan dia sebagai orang atau individu yang bertanggung jawab dalam mencapai tujuan perusahaan sesuai yang telah direncanakan tanpa melanggar etika yang berlaku. Lebih tepatnya, dapat dikatakan bahwa ethics officer adalah seseorang yang memastikan organisasi melakukan yang terbaik untuk memuaskan para stakholder. Ide ini memungkinkan kita untuk menggambarkan persyaratan utama dari ethics officer, yaitu dapat diringkas sebagai berikut (Llopis, Reyes, Jose, 2007): - Memiliki pengetahuan yang luas terhadap perusahaan.

- Menguasai teknik – teknik manajemen serta isu – isu teoritis dan praktis yang berkaitan dengan etika bisnis

- Memiliki wewenang hierachical diperlukan untuk mengerahkan pengaruh pada perilaku anggota perusahaan.

Kita dapat mendefinisikan karakteristik ethics officer dari berbagai latar belakang seperti masalah hukum sumber daya manusia, keuangan, audit, dan keamanan. Karakteristik umum ethics officers(Llopis, Reyes, Jose, 2007) :

(8)

- Mereka adalah komunikator yang kuat dengan keterampilan komunikasi yang baik dan efektif.

- Mereka obyektif dan bijaksana.

- Mereka memiliki kemampuan untuk membangun dan memelihara kredibilitas dan kepercayaan seluruh organisasi

- Mereka memiliki kemampuan untuk cepat berasimilasi

- Mereka memiliki kemampuan untuk membuat jaringan di seluruh tingkat organisasi

- Mereka telah mencapai tingkat profesional.

Tujuan pengangkatan ethics officer di suatu perusahaan adalah untuk membantu perusahaan/organisasi mengelola etika perusahaan dengan menggunakan/menyediakan kepemimpinan dan pengawasan dari ethics officer. ethics officer dalam mengelola etika perusahaan, mempunyai tugas - tugas sebagai berikut (Llopis, Reyes, Jose, 2007) :

- Mengembangkan dan mengarahkan etika di organisasi. - Sebagai compliancedi organisasi dalam melakukan bisnis.

- Memberikan kepemimpinan, pengawasan, dan saran untuk memastikan pembangunan, interprestasi, dan implementasi etika.

- Berfungsisebagai akuntabilitas untuk semua kegiatan dan program yang berkaitan dengan standar perilaku etis, termasuk hubungan dengan pihak – pihak eksternal.

(9)

2.1.3 Role Challenges of Ethics Officer

Tugas-tugas dari seorang ethics officer juga memiliki resiko-resiko yang dapat mempengaruhi kinerjannya. Dalam bagian ini, akan dibahasas tentang resiko – resiko seperti role ambiguity, task complexity, low task visibility, dan resiko lainnya yang dapat menghambat ethics officer dalam mewujudkan kinerja yang efektif (Adobor, 2006).

2.1.3.1 Karakteristik peran dari Ethics Officer

Berdasarkan penelitian milik Adobor (2006), banyaknya tanggung jawab yang diemban oleh seorang ethics officerdan posisi mereka yang menjalani tugasnya di beberapa sub-system dalam struktur organisasi perusahaan, dapat sangat mempengaruhi kinerja mereka. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kinerja mereka tersebut adalah : role conflict (konflik peran), role ambiguity (ambiguitas peran), task complexity (kompleksitas tugas), dan task visibility (visibilitas tugas).

Role conflict (konfilk peran), adalah proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak beraya terhadap tingkah laku seseorang sesuai kedudukannya dalam kehidupan. Jadi, konflik peran adalah bentuk khusus dari konflik sosial yang trjadi ketika

(10)

seseorang dipaksa untuk mengambil dua peran yang berbeda dan tidak kompatibel pada saat yang sama (Adobor, 2006).Menurut Adobor (2006), terdapat 4 tipe dari konflik peran yang dapat terjadi pada dalam diri seorang individu, yaitu :

- Person-Role conflict: konflik dimana peraturan yang berlaku tidak dapat diterima oleh seseorang sehingga orang tersebut memilih untuk tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku tersebut. - Inter-Role conflict : konflik yang dimana seseorang

menghadapi persoalan karena dia menjabat dua atau lebih fungsi yang saling bertentangan seperti seseorang yang menjadi mandor dalam perusahaan tetapi juga sebagai ketua serikat pekerja.

- Intersender conflict : konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang. Misalnya, seorang rektor yang harus memenuhi permintaan dari dekan – dekan fakultas yang berlainan atau dekan yang harus mengakomodir semua kepentingan/kebutuhan para ketua jurusan yang juga sangat bermacam – macam. - Intrasender conflict : konflik yang timbul karena

(11)

Role Ambiguity, ambiguitas peran menurut Luthans (2006, 473) terjadi ketika individu tidak memperoleh kejelasan mengenai tugas – tugas dari pekerjaanya atau lebih umum dikatakan “tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan”. Job description yang tidak jelas, perintah – perintah yang tidak lengkap dari atasan, dan tidak adanya pengalaman memberikan kontribusi terhadap ambiguitas peran.

Sedangkan Robbins (2009) menyatakan bahwa ambiguitas peran muncul ketika peran yang diharapkan (role expectation) tidak secara jelas dimengerti dan seseorang tidak yakin pada apa yang dia lakukan. Menurut Kreitner (2004), ambiguitas peran terjadi ketika seseorng tidak mengetahui akan harapan pada peran mereka. Yousef (2009), mendeskripsikan ambiguitas peran sebagai situasi dimana individu tidak memiliki arah yang jelas mengenai harapan akan perannya dalam organisasi. Kemudian Lapolo (2002) menyebutkan bahwa ambiguitas peran muncul ketika seseorang karyawan merasa bahwa terdapat banyak sekali ketidakpastian dalam aspek – aspek peran atau keanggotaan karyawan tersebut dalam kelompok.

Seseorang dapat dikatakan berada dalam role ambiguity atau ambiguitas peran apabila ia menunjukkan ciri-ciri antara lain sebagai berikut (Adobor, 2006) :

(12)

- Tidak jelas tujuan atau peran apa yang sedang ia jalankan. - Tidak jelas kepada siapa dia bertanggung jawab dan siapa

yang melapor kepadanya.

- Tidak cukup wewenang untuk melaksanakan tanggung jawabnya.

- Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan orang lain pada dirinya.

- Tidak memahami benar peranan dari pada pekerjaannya dalam rangka mencapai tujuan secara keseluruhan.

Mondy, Sharplin, dan Premeaux (1990, p.491 – 492) menyarankan agar pemegang peran mengetahui 6 (enam) tipe dasar informasi, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya ambiguitas peran, yaitu :

1. Pemegang peran harus tahu apa yang diharapkan oleh orang lain.

2. Pemegang peran harus tahu aktivitas yang seharusnya mereka lakukan dan hubungan interpersonal yang harus mereka tunjukkan untuk memenuhi harapan orang lain. 3. Pemegang peran harus mengetahui konsekuensi dari

pelaksanaan aktivitas atau interaksi dengan orang lain dalam hal tertentu.

(13)

4. Pemegang peran harus mengetahui macam – macam tingkah laku atau sikap yang akan diterima baik sebagai imbalan maupun hukuman.

5. Pemegang peran harus menemukan tipe – tipe dari imbalan dan hukuman yang akan diberikan dan mengukur kemungkinan mereka (karyawan) menerimanya.

6. Pemegang peran harus mengetahui tingkah laku atau sikap yang akan memuaskan atau mengecewakan kebutuhan individu.

Task complexity, ethics officer selalu dihadapkan dengan tugas – tugas yang banyak, berbeda – beda, dan saling terkait satu sama lainnya. Kompleksitas tugas dapat didefinisikan sebagai fungsi dari tugas itu sendiri (Wood, 1986). Kompleksitas tugas merupakan tugas yang tidak terstruktur, membingungkan, dan sulit (Adobor, 2006). Tugas ethics officer yang bertugas sebagai pengatur etika didalam perusahaan sering dilihat sebagai tugas dengan kompleksitas tinggi dan sulit, sementara yang lain mempersepsikannya sebagai tugas yang mudah (Hoffman, Neill, Stovall, 2008).

Persepsi ini menimbulkan kemungkinan bahwa suatu tugas memonitor etika tersebut sulit bagi seseorang, namun mungkin juga mudah bagi orang lain. Lebih lanjut,

(14)

Restuningdiah dan Indriantoro (2000) menyatakan bahwa kompleksitas muncul dari ambiguitas dan struktur yang lemah, baik dalam tugas – tugas utama maupun tugas – tugas lain. Pada tugas tugas yang membingungkan (ambigous) dan tidak terstruktur, alternatif – alternatif yang ada tidak dapat diidentifikasi, sehingga data tidak dapat diperoleh dan outputnya tidak dapat diprediksi.

Chung dan Monro (2001) mengemukakan argumen yang sama, bahwa kompleksitas tugas dalam pekerjaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

- Banyaknya informasi yang tidak relevan dalam artian informasi tersebut yang tidak konsisten dengan kejadian yang akan diprediksikan.

- Adanya ambiguitas yang tinggi, yaitu beragamnya outcome (hasil) yang diharapkan oleh beberapa pihak.

Restuningdiah dan Indriantoro (1999) menyatakan bahwa peningkatan kompleksitas dalam suatu tugas atau sistem, akan menurunkan tingkat keberhasilan dari tugas itu sendiri. Kompleksitas tugas yang dialami oleh seorang ethics officer biasanya disebabkan karena information overload (informasi tidak relevan yang diterima terlalu banyak) atau terjadinya bentrokan dengan pihak lain dalam mencapai tujuan perusahaan.

(15)

Task visibilty, menurut Adobor (2006) yang dimaksud dengan task visibilty adalah dimana suatu tingkat tugas atau aktivitas yang perlu diawasi atau dimonitori untuk mengukur atau menilai kinerja dari suatu kegiatan. Didalam tugas ethics officer, biasanya ditemukann task visibility yang rendah karena disebabkan oleh dua (2) alasan, yaitu (Adobor, 2006) : - Seorang ethics officer, tidak dapat menjalankan tugasnya secara efektif tanpa adanya masukan dan kerjasama dari pihak lain. Dalam hal ketergantungan, seorang ethics officer membutuhkan interaksi dan feedback dari para karyawan dan manajemen.

- Struktur kerja yang tidak jelas yang diberikan kepada ethics officer, akan membuat ethics officer kesulitan dalam menjalankan tugasnya dengan tidak adanya input dari pihak – pihak lain.

2.1.4 Faktor – Faktor Individual

Kinerja efektif dari seorang ethics officer tidak akan terwujud jika ethics officer tersebut hanya mengandalkan keterampilan yang dimiliki dirinya saja dan tidak didukung oleh faktor – faktor yang terdapat dalam dirinya seperti moral character, locus of control,

(16)

tolerance of ambiguity, dan individual&leadership behavior (Adobor, 2006).

2.1.4.1 Pengertian Faktor – Faktor Individual

Role stressor (stress kerja) merupakan fenomena psikologis, dimana terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan dalam pekerjaan dan kemampuan individu untuk mengatasi tuntutan tersebut. Reaksi orang dapat berbeda dalam menghadapi sumber stres yang sama, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan individual yang memungkinkan sebagian orang tidak mengalami stres kerja dan sebagian lainnya mengalami stres kerja (Robbins dalam Desiana, 2003).

Stres kerja ini juga dapat menghasilkan stres yang positif, tetapi juga memungkinkan terjadinya stress kerja yang negatif seperti pada umumnya yang sering terjadi adalah penunurunan produktivitas kerja dalam diri seorang individu. Ethics officer sangat memungkinkan untuk mengalami role stressor dalam pekerjaanya memonitori etika didalam perusahaan, untuk dapat mengurangi stress kerja yang terjadi, terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi atau malah menimbulkan stress kerja yang terjadi. Faktor – faktor tersebut antara lain adalah (Adobor, 2006) :

- Tolerance of Ambiguity (toleransi terhadap ambiguitas). - Locus of Control.

(17)

- Moral Character.

- Individual Orientation and Leadership Behavior.

Tolerance of ambiguity, seorang ethics officerdiharapkan dapat bekerja secara efektif didalam lingkungan kerja yang dipenuhi dengan task complexity, ambiguity, information overload, dan adanya banyak demand atau permintaan dari para stakeholders. Untuk dapat mencapai kinerja yang efektif didalam lingkungan kerja yang dipenuhi dengan elemen – elemen seperti itu, dibutuhkan tingkat adaptasi dan fleksibilitas serta keahlian untuk menghadapi ambiguitas didalam perusahaan (Adobor, 2006).

Suatu situasi dapat dikategorikan ambigu tidak hanya ketika terdapat kurangnya infrormasi dalam pekerjaan, tetapi juga jika adanya konteks – konteks berikut (Adobor, 2006) :

- Situasi yang benar – benar baru dan tidak familiar oleh kita. - Banyaknya informasi yang tidak relevan dalam pekerjaan.

Suatu individu yang dapat menghadapi ambiguitas dipastikan dapat menjalani pekerjaan nya secara lebih efektif dibandingkan dengan orang yang membutuhkan kejelasan dan informasi tambahan sebelum mengambil tindakan (Adobor, 2006). Ethics officer yang mempunyai toleransi tinggi terhadap ambiguitas harus dapat menjalankan peran nya lebih baik dengan individu yang mempunyai toleransi rendah terhadap

(18)

ambiguitas, mengapa? Karena, dengan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap ambiguitas, suatu individu akan yakin dengan pilihan yang dia ambil tanpa perlunya informasi – informasi tambahan untuk membuat keputusan tersebut (Adobor, 2006).

Menurut Adobor (2006) individu dengan toleransi ambiguitas yang tinggi juga dapat beradaptasi dengan cepat dengan situasi yang ada. Untuk memperjelas kembali, individu seperti itu akan lebih percaya diri, berinisiatif tinggi, dan secara umum mereka adalah orang – orang yang optimis. Dengan toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi akan membantu ethics officer menjalankan pekerjaannya secara efektif.

Locus of Control (LOC), locus of control merupakan kendali individu atas pekerjaan mereka dan kepercayaan mereka terhadap keberhasilan diri. Locus of control ini terbagi menjadi dua, yaitu Rotter (1966) :

1. Internal Locus of Control : mencirikan seseorang memiliki keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas perilaku kerja mereka di organisasi.

2. Eksternal Locus of Control : mencirikan individu yang mempercayai bahwa perilaku kerja dan keberhasilan tugas mereka lebih dikarenakan faktor diluar diri yaitu organisasi.

(19)

Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (pesonality), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri (Kreitner dan Kinicki, 2008).

Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan locus of control sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal adalah individu yang yakin bahwa mereka meruapakan pemegang kendali atas apapun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan eksternal adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib dalam kehidupannya berada dibawah kontrol dirinya, dikatakan individu tersebut memiliki internal locus of control. Sementara individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang mempunyai kontrol terhadap nasib yang terjadi dalam kehidupannya dikatakan individu tersebut memiliki external locus of control (Adobor, 2006).

(20)

Kreitner & Kinicki (2008) mengatakan bahwa hasil yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu locus of control eksternal menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai kontrol dari keadaan sekitarnya. Seseorang yang mempunyai internal locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turun berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai external locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran didalamnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang mempunyai external locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan. Sementara itu individu yang mempunyai internal locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian – keahlian dibanding hanya situasi yang menguntungkan (Robbins dan Judge, 2007).

(21)

Dapat disimpulkan, ethics officer yang memiliki internal locus of internal akan lebih efektif dalam menjalankan tugasnya secara maksimal, mengapa? Karena, dengan adanyainternal locus of control itu, ethics officer akan cenderung untuk membutuhkan diskusi kepada pihak lain dan mengumpulkan input yang diberikan untuk pembuatan keputusan. Individu dengan internal locus of control juga cenderung adalah sosok pemimpin yang ideal, karena individu tersebut cenderung untuk menggunakan tindakan inisiatif untuk mengontrol situasi. Dari banyaknya riset yang telah dilakukan, internal locus of control dalam diri seseorang ini, akan membantu mereka untuk mengatur rencana jangka panjang yang lebih baik (Adobor, 2006).

Level of moral development and moral character, secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak) Banyak ahli menyumbangkan pemikirannya untuk mengartikan kata moral secara terminologi. Berdasarkan Runes (1924), moral adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan – tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”. Heiden (1977) dan Richards (1971), Moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan

(22)

dengan tindakan – tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip – prinsip dan aturan – aturan.

Atkinson (1969), moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan yang sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.

Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan – perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tata cara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial. Karakter moral (moral character) menurut (Johnson, 2010; Bass & Steidlmeier, 2011) adalah disposisi personal untuk melaksanakan fungsi etis, berperilaku secara etis, arif, dalam situasi tertentu didasarkan pada nilai – nilai dan etika, seperti :

- Kebajikan - Keadilan - Kepedulian - Penghargaan

(23)

- Kejujuran

- Hasrat/Keinginan Moral - Keberbedaan Moral, dan - Tanggung jawab moral.

Menurut Kohlberg’s model (2001), seorang ethics officer dengan nilai moral yang tinggi didalam dirinya, tidak hanya membuat keputusan berdasarkan satu pandangan saja, tetapi juga memikirkan nilai – nilai yang berlaku didalam lingkungan internal maupun eksternal ditempat ia bekerja. Ethics officer dengan nilai moral ini juga biasanya akan mundur dari jabatannya jika dia menemukan situasi dimana dirinya harus melaksanakan tugasnya dengan melanggar etika atau nilai yang berlaku.

Mendonca (2001, p.269) menyatakan bahwa karakter moral dalam diri seseorang itu terdiri dari beberapa kebijakan yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Plato, keempat kebijakan tersebut adalah :

1. Kehati-hatian (Prudence), merujuk kepada pengunaan standard-standard yang berlaku sebelum membuat keputusan.

2. Keadilan (Justice), kebijakan ini menjunjung tinggi keadilan kepada seluruh individual yang ada. Didalam kasus ethics officer disini adalah ia dituntut untuk berlaku

(24)

adil kepada seluruh shareholders dan stakeholder didalam dan luar perusahaan.

3. Ketabahan (Fortitude), fortitude ini menjelaskan tentang diperlukanya keberanian dalam mengambil resiko dalam menjalan sesuatu. Ethics officer yang mempunyai fortitude, akan lebih memiliki kesiapan untuk menerima resiko dari keputusan yang telah diambil.

4. Pengontrolan Diri (Temperance), temperance adalah suatu bentuk kontrol diri. Ethics officer dengan kontrol diri yang baik akan mampu menangani konflik – konflik peran yang terjadi di lingkungan kerjanya.

Individual Orientation and Leadership Behavior, individual orientationatau orientasi individu mengacu kepada orang atau kelompok yang lebih individualistis, yang berarti mereka lebiih memilih untuk mendefinisikan diri mereka berdasarka siapa mereka. Orang – orang ini lebih rentan untuk melihat kebutuhan utama mereka sendiri, dan seringkali meninggalkan pekerjaan mereka untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik tanpa memikirkan pengaruhnya terhadap grup atau konsekuensi di jangka panjang (Adobor, 2006).

Ethics officer dengan orientasi individu yang tinggi diharapkan untuk menggunakan influence tactic(taktit untuk

(25)

mempengaruhi/memberikan pengaruh) untuk mencapai kepemimpinan yang ber-etika (ethical leaderhsip). Riset – riset yang telah dilakukan dalam teori kepemimpinan mendapatkan hasil bahwa gaya kepemimpinan transformasional (Transformational leadership) adalah gaya kepemimpnan yang menggunakan influence tactics untuk mencapai tujuan. Gaya kepemimpinan transformasional memungkinan untuk mencapai kepemimpinan yang menjunjung tinggi etika (Adobor, 2006).

Menurut Bass (1998) dalam Swandari (2003) mendefinisikan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan dengan cara – cara tertentu. Dengan penerapan kepemimpinan transformasional, bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, loyal dan respek kepada pimpinannya. Pada akhirnya bawahan akan termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan.

Menurut O’Leary (2001 kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan oleh seorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja melampau status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan,

(26)

dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja. Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional mencakup upaya perubahan terhadap bawahan untuk berbuat lebih positif atau lebih baik dari apa yang biasa dikerjakan yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.

Seorang ethics officer dengan keahlian untuk mempengaruhi individu – individu lain didalam perusahaan, akan dapat bekerja secara efektif dibandingkan dengan ethics officer yang pasif dan tidak memiliki keahlian tersebut. Ethics officer tersebut dipastikan dapat mengembangkan argumen persuasif untuk menerangkan pentingnya manfaat dari perilaku etis. Dapat disimpulkan bahwa seorang ethics officer dengan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain akan dapat menjalankan pekerjaanya lebih mudah dalam mencapai kinerja mereka ke tingkat maksimal dan efektif (Adobor, 2006).

2.1.5 Kompetensi Pribadi

Kompetensi dalam diri seorang ethics officer akan dapat membantu dirinya dalam menjalankan tanggung jawab dan pekerjaannya didalam perusahaan, bentuk kompetensi yang dapat mendukung diri seorang ethics officer antara lain adalah memiliki pemahaman yang mendalam tentang visi dan misi yang dimiliki oleh

(27)

perusahaan (Adobor, 2006). Bagian ini akan membahas lebih jauh tentang technical knowledge, business knowledge dan kompetensi yang harus dipahami oleh ethics officer.

2.1.5.1 Pengertian Kompetensi

Kompetensi adalah terminologi yang sering didengar dan diucapkan banyak orang. Kita pun sering mendengar dan mengucapkan terminologi itu dalam berbagai pengunaan, khususnya terkait dengan pengembangan sumber daya manusia. Akan tetapi, sering kali persepsi, pemahaman, dan makna terminologi itu tidak sama atau saling dipertukarkan (interchangeable) dengan terminologi lain. Kesamaan persepi banyak orang terhadap “kompetensi” barangkali terletak pada bahwa terminologi itu merupakan atribut untuk melekatkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas atau unggul (Sudarmanto, 2009).

Suatu atribut adlaah kualitas yang diberikan kepada orang atau benda. Atribut mengacu pada karakteristik tertentu yang diperlukan untuk dapat melaksanakan pekerjaan secara efektif. Oleh karenanya, atribut terdiri atas persyaratan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian atau karakteristik tertentu (Sudarmanto, 2009). Ada yang menginteprestasikan kompetensi sepadan dengan kemampuan atau kecakapan. Ada lagi yang menginterprestasikan sepadan dengan

(28)

keterampilan, pengetahuan dan berpendidikan tinggi. Bahkan, ada pula yang mersepsikan sepadan dengan layak (feasible), handal (reliable), cocok, dapat dipercaya dan cerdas (Sudarmanto, 2009).

Perbedaan persepsi atas makna kompetensi itu merupakan hal yang wajar dan tetap sah – sah saja karena memang masing - masing belum memahami makna asal atau makna aslinya. Akan tetapi, perbedaan persepsi akan makna itu menjadi problematis ketika kompetensi itu diterapkan dalam desain instrumen dan aplikasi manajemen sumber daya manusia. Oleh karenanya, perlu pemahaman yang komprehenif atau holistik tentang kompetensi, sehingga pada saat melakukan desain instrumen dan aplikasi tidak terjadi kontroversi yang kontraproduktif (Sudarmanto, 2009).

Agar memiliki pemahaman yang komprehensif, perlu ditelusuri kosep “kompetensi “ dari sejarah perkembangan dan makna aslinya. Terkait dengan itu, ada banyak pengertian atau definisi tentang kompetensi dari berbagai ahli, di antaranya adalah sebagai berikut :

- Menurut Richard E. Boyatzis (1982), kompetensi adalah karakteristik – karakteristik yang berhubungan dengan kinerja unggul dan atau efektif di dalam pekerjaan.

(29)

- Menurut Klemp (1980), kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang menghasilkan kinerja unggul dan atau efektif dalam suatu pekerjaan (dalam Robert Wood dan Tim Payne, 1998, p.24). - Likewise Hornby dan Thomas (1989: 53) menyatakan

kompetensi adalah pengetahuan, keahlian, dan kualitas manajer atau pemimpin yang efektif (dalam Woodruffe, 1993: 64).

- Menurut Lyle Spencer & Signe Spencer (1993, p.9), kompetensi merupakan karakteristik dasar perilaku individu yang berhubungan dengan kriteria acuan efektif atau kinerja unggul didalam pekerjaan atau situasi. - Menurut Michael Armstrong (1994, p.92), kompetensi

adalah apa yang orang bawa pada suatu pekerjaan dalam bentuk, tipe, dan tingkat – tingkat perilaku yang berbeda – beda. Kompetensi menentukan aspek – aspek proses kinerja pekerjaan.

Dari berbagai definisi tersebut, di satu sisi telah semakin jelas tentang makna dan muatan atau komponen – kompenen dari kompetensi. Akan tetap, di sisi lain banyaknya definisi juga menunjukkan pengertian kompetensi dari berbagai orang tidak sama atau sangat beragam. Dalam persepsi tentang kompetensi, memang terdapat perbedaan,

(30)

antara pendekatan Amerika Serikat dengan pendekatan inggris (Wood, 1998 & Dale, 2003). Pendekatan Amerika cenderung memandang kompetensi dari “perspektif perilaku” di mana karakteristik perilaku tersebut dapat menyebabkan kinerja unggul dalam pekerjaanya. (Wood, 1998 & Dale, 2003).

Dapat diambil kesimpulan bahwa, suatu kompetensi dapat mendukung efektivitas kinerja dari seorang individu, dalam hal ini kita ambil contoh seorang ethics officer, didalam diri seorang ethics officer diperlukan 2 macam kompetensi, yaitu technical knowledge dan business knowledge. Technical knowledge sendiri itu adalah, pemahaman secara rinci yang dimiliki seseorang/individu tentang keahlian atau skill yang diterapkan dengan atau dalam bentuk apapun untuk setiap masalah atau aplikasi (Adobor, 2006).

Pengetahuan atau knowledge tentang hukum dan peraturan yang berlaku dan relevan dapat mempengaruhi proses pembuatan kinerja yang etis. Ferrel (2005) mengamati bahwa peraturan yang mengatur perilaku bisnis jatuh kedalam empat kelompok, berikut adalah peraturan dan hukum yang harus dipahami untuk mewujudkan kinerja yang etis :

(31)

- Laws protecting consumers, maksud dari bagian ini adalah, adanya hukum dan peraturan yang harus ditaati oleh suatu perusahaan, yaitu memberikan informasi yang akurat tentang jasa dan produk yang diberikan oleh perusahaan kepada konsumen.

- Laws promoting equity and safety, harus terdapatnya hukum di tempat kerja untuk mewujudkan lingkungan kerja yang aman dan adil bagi seluruh anggotanya. - Regulation of competition, regulasi atau ketentuan yang ada

untuk dapat mewujudkan suatu kompetisi bisnis yang adil, seperti adanya larangan untuk memonopoli suatu jenis bisnis tertentu.

- Laws protecting the environment, hukum yang mengatur dan memberikan batasan – batasan kepada para perusahaan untuk tetap memperhatikan lingkungan sekitar dalam menjalan aktivitas bisnisnya.

Dapat kita simpulkan bahwa, seorang ethics officer tidaklah cukup jika hanya dibekali dengan keahlian atau skill yang hebat saja dalam menjalankan pekerjaanya, tetapi ethics officer tersebut harus memahami teori etika – etika dan hukum yang berlaku untuk dapat mewujudkan kinerja yang maksimal dan efektif bagi dirinya dan perusahaan (Adobor, 2006).

(32)

Menurut Adobor (2006) selain technical knowledge, terdapat satu lagi bentuk kompetensi yang diperlukan oleh seorang ethics officer jika ingin mencapai kinerja yang maksimal dan efektif, bentuk kompetensi tersebut adalah : business knowledge. Business knowledge sendiri adalah, pengetahuan seseorang atau individu tentang bisnis yang dijalankan perusahaan, produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan, dan peraturan & ketentuan yang terdapat didalam perusahaan tersebut.

Business knowledge ini mencakup tiga hal, yaitu : tugas kompetensi kinerja individu, pengetahuan yang luas tentang industri dan perusahaan, termasuk pengetahuan tentang produk, pasar, dan kebijakan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut (Woodruffe, 2003). Seorang ethics officer yang memiliki business knowledgeyang bagus akan mempunyai pemahaman yang jelas tentang masalah apa yang mereka hadapi didalam perusahaan tempat dimana mereka bekerja dan akan berusaha untuk mengatasi masalah tersebut dengan tetap menjunjung tinggi etika bisnis yang berlaku (Adobor, 2006).

Technical dan business knowledge yang dimiliki oleh seorang ethics officer dapat sangat mempengaruhi kinerja

(33)

mereka didalam perusahaan yang mereka tempati karena dua alasan (Adobor, 2006) :

- Pertama, pemahaman kompetensi pada pekerjaan yang berhubungan dengan tugas – tugas akan mengurangi kompleksitas pada peran pekerjaan yang sedang kita jalankan. Seorang ethics officer yang kompeten, akan dapat mengetahui apa jenis informasi yang mereka butuhkan, dimana tempat untuk mendapatkan informasi tersebut dan menafsirkan masalah dan menyelesaikannya dengan tepat.

- Kedua, seorang ethics officermemiliki pemahaman yang jelas tentang sifat bisnis dan lingkungan perusahaan dimana dia bekerja akan berada dalam posisi yang lebih untuk berurusan dan memahami persyaratan kompleks yang diberikan oleh sejumlah stakeholder dan subsistemnya.

Seorang ethics officeryang memiliki task-relevant knowledgeseharusnya dapat mengatasi task complexity (kompleksitas tugas) dan stress peran (role stress) yang secara positif akan mempunyai dampak kepada kinerja mereka (Maret dan Simon, 1958). Penelitian telah menunjukkan bahwa manajemen pengetahuan teknis secara langsung mempengaruhi kinerja peran manajerial (McCall,

(34)

1994). Singkatnya, pengetahuan bisnis (business knowledge) dan pengetahuan teknis (technical knowledge) dapat membantu seorang ethics officeruntuk mengurangi sejumlah ambiguitas peran (role ambiguity) yang dapat mempengaruhi keefektivitasan kinerja diri mereka (March and Simon, 1958).

2.1.6 KinerjaEthics Officer

Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakan. Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya dalam instansi. Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya instansi untuk mencapai tujuan (Luthans, 2006).

Menurut pendapat Vroom dalam Luthans (2006, p279) kinerja ialah tingkat sejauh mana keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya disebut “Level of Performance”, bila karyawan yang memiliki Level of Performance tinggi maka dapat dikategorikan sebagai karyawan produktif dan sebaliknya jika ada

(35)

karyawan yang Level of Performancenya rendah maka dapat dikatakan sebagai karyawan yang sudah tidak produktif.

Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya menurut pendapat Sulistiyani (2003, p.223). Bernardin dan Russel dalam Sulistiyani (2003, p.223-224) menyatakan bahwa kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Hasibuan (2003, p.94) juga berpendapat bahwa kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapa, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kinerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas pelaksanaan delegasi tugas, serta peran tingkat motivasi seorang pekerja.

Dari pengertian dasar tentang kinerja, seorang ethics officer sebenarnya dapat dikatan sudah bekerja dengan efektif jika ia dalam menjalankan pekerjaanya sesuai dengan regulasi atau peraturan yang sudah ditetapkan oleh perusahaan dan sudah terjadinya kerjasama dan hubungan timbal – balik yang baik antara ethics officer dengan pihak manajemen dalam melaksanakan pekerjaan didalam perusahaan (Adobor, 2006). Ethics officer yang baik, seharusnya

(36)

juga sudah harus memahami betul visi dan misi yang dimiliki oleh perusahaan tempat ia bekerja. Ethis officer dapat dikatakan sudah bekerja dengan efektif jika sudah membentuk atau dapat memenuhi kriteria – kriteria berikut (Llopis, Reyes, Jose, 2007):

- Mempunyai keterampilan komunikasi yang baik seperti public speaking, presentasi, dan interaksi one-on-one dengan para karyawan diseluruh level perusahaan.

- Mempunyai kemampuan untuk membentuk kredibilitas dan kepercayaan kepada seluruh anggota perusahaan.

- Memiliki kemampuan untuk cepat mencerna informasi yang berkaitan dengan isu – isu yang kompleks.

- Mereka mampu untuk melindungi informasi rahasia milik perusahaan.

- Mereka mampu untuk mengambil tugas atau berada dalam posisi yang menyulitkan jika diperlukan.;

2.2 Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian milik Henry Adobor yang berjudul Exploring the Role Performance of Corporate Ethics Officers mengatakan bahwa keefektivitasan kinerja dari ethics officer dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : Personal Competencies, Individual Factors, Organization Context, dan Role Challenges of Ethics Officer. Henry Adobor berpendapat bahwa, keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang dimiliki

(37)

oleh seorang ethics officer dapat sangat berpengaruh nantinya terhadap kinerja dia dalam melakukan tugasnya. Selain faktor pribadi, organisasi juga mempengaruhi keefektivitasan kerja ethics officer, misalnya dengan perekrutannya, ethics officer yang diangkat bisa dari luar atau dalam perusahaan.

Juan Llopis, M. Reyes Gonzalez, dan Jose L. Gasco dalam penelitian nya yang berjudul Corporate Governance and Organizational Culture : The role of Ethics Officer mengatakan bahwa untuk mewujudkan suatu budaya organisasi yang beretika, tidak cukup jika hanya membentuk sistem dan budaya perusahaan yang berlaku. Diperlukannya kehadiran ethics officer didalam sistem perusahaan. Agar ethics officer dapat memberi pengaruh yang besar, diharapkan yang menjabat jabatan tersebut haruslah CEO atau para senior managers. Setelah adanya ethics officer, pihak - pihak lain juga perlu untuk mendukung atau saling supportif terhadap program etika yang dijalankan agar budaya etika terbentuk secara maksimal.

Dalam penelitian yang berjudul An Investigation of Ethics Officer Independence, W. Michael Hoffman, John D. Neill, dan O. Scott Stovall percaya bahwa untuk mewujudkan kinerja efektif dan maksimal dari ethics officer, ethics officer tersebut harus dapat bekerja secara independen atau terpisah dari tim manajemen. Diperlukan juga kehadiran board of directors (BOD) untuk membantu pemantauan masalah etika di perusahan, jika para board of directors tersebut tidak mau atau menolak, maka harus diangkat

(38)

ethics officeryang board-appointed, board-compensated, dan melapor atau berhubungan langsung dengan para board of directors.

Tabel 2.1 Penelitian Relevan

Variabel Peneliti Hasil

Personal Competencies,

Individual Factors, Organization Context, Role challenges of Ethics Officer, dan Ethics Officer’s Performance.

Henry Adobor, 2006 Pengetahuan pribadi tentang regulasi peraturan yang berlaku serta keterampilan yang dimiliki oleh ethics officer dapat menghindari kompleksitas kerja yang

nantinya akan

berpengaruh kepada efektivitas kerja mereka. Organisasi juga memegang peranan penting dalam merekrut ethics officer dan memberikan otonomi kepada ethics officer tersebut.

(39)

Governance, Organisational Culture, Ethics Officer.

Reyes Gonzalez, dan Jose L. Gasco (2007)

budaya perusahaan belum akan memberi pengaruh yang besar dalam mengatasai masalah etika walaupun adanya ethics

officer. Untuk

mewujudkan kinerja yang efektif dan lingkungan kerja yang ber-etika, seharusnya posisi ethics officer itu diisi oleh CEO atau para senior managers

Independence, Ethics Officer’s Job.

W. Michael Hoffman, John D. Neill, dan O. Scott Stovall (2008)

Untuk mencapai kinerja yang efektif dri ethics officer, sebaiknya ethics officer tersebut selain harus dapat bergerak secara independen, kehadiran dirinya harus didukung oleh seluruh anggota perusahaan,

(40)

termasuk adanya bantuan dari board of directors dalam mengatasi masalah etika didalam perusahaan. Sumber : Hasil Penelitian (2012)

Berdasarkan hasil penelitian tentang ethics officer yang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk dapat menghasilkan kinerja ethics officer yang efektif, ethics officer tersebut perlu bergerak secara independen didalam perusahaan, dan yang terpenting adalah harus ada rasa saling mendukung dan percaya antara ethics officer dengan tim manajemen didalam perusahaan agar ethics officer tersebut dapat bekerja secara maksimal dan efektif.

2.3 Kerangka Pemikiran

Dalam melakukan penelitian tentang ethics officer, skripsi ini menggunakan kerangka pemikiran yang berasal dari jurnal penelitian milik Henry Adobor berikut :

(41)

Figure 2.1 Kerangka Pemikiran

Sumber: Henry Adobor’s Exploring The Role of Ethics Officer (2006) Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa variabel Kompetensi Pribadi (X1) danFaktor – Faktor Individual (X2) memberikan pengaruh langsung terhadap variabel Role Challenges of Ethics Officer (Y) dan Kompetensi Pribadi (X1) - Technical Knowledge - Business Knowledge Faktor – Faktor Individual (X2) - Tolerance of Ambiguity - Locus of Control - Moral Character - Individual Orientation and leadership behavior Role Challenges of Ethics Officers (Y)

- Role Conflict - Role Ambiguity - Task Complexity - Low Task Visibility

Kinerja Ethics Officer (Z)

- Ethics Officer

(42)

memberikan pengaruh tak langsung terhadap variabel Kinerja Ethics Officer (Z).

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Relevan
Figure 2.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Dan berikut ini kesimpulan yang penulis ambil, yaitu: dengan diterapkannya penggunaan teknologi informasi pada Madrasah Aliyah Al-Mansyuriyah Kanza seperti sistem

MAKALAH ALAH KEPE KEPERAW RAWA AT TAN M AN MATERNITAS ATERNITAS.. ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU

Salah satu dari karakter sistem komunikasi spread spectrum adalah adanya gain proses yang merupakan besarnya perbandingan antara jumlah bit rate hasil proses spreading (chip

Berdasarkan data hasil penelitian dari ketiga partisipan terlihat bahwa faktor yang berperan dalam proses terbentuknya harga diri pada mantan pecandu narkoba yang bekerja di

Korelasi UPS2 dengan skala prokrastinasi lain menunjukkan bahwa, individu sadar akan sesuatu yang lebih baik namun akhirnya tetap menunda.. Dengan demikian, prokrastinator

Adapun bagi penulis pemula karena tidak mengetahui esensi perubahan yang terjadi di dalam bahasa, hal ini menjadi masalah serius. Di samping itu,

Event-driven Process Chain(2) Tindakan Medis Bed Alat Medis Obat- obatan X Pelayanan Bedah Pelayanan Lab PK Pelayanan Radiologi V Pelayanan Medis Selesai Dilakukan XOR Pasien

Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri,