• Tidak ada hasil yang ditemukan

133Eva Agustinawati & Siany Indria Liestyasan “Kemiskinan Berperspektif Gender di Kota

Surakarta”

dengan daerah kantung kemiskinan. Hal ini ditengarai karena banyaknya pendatang yang menetap di sana untuk mencari peker- jaan. Para pendatang ini rupanya turut juga memanfaatkan fasilitas perkotaan yang disediakan oleh pemerintah. Selain itu, tempat tinggal mereka tidak menetap bahkan seringkali hanya mengontrak seadanya untuk jangka waktu yang tidak lama. Harga tanah yang mahal membuat para pendatang ini seringkali nekat mendirikan bangunan permanen atau semi permanen di areal terlarang karena tidak mampu membayar kontrakan atau sewa rumah dan kamar. Hal inilah yang kemu- dian menimbulkan hunian liar, seperti di sepanjang rel kereta api, daerah yang notabene sebenarnya dilarang untuk didirikan pemukiman. Hunian liar ini selanjutnya berubah menjadi daerah kumuh atau slum. Implikasinya tentu saja pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Minimnya pendapatan membuat peme- nuhan kebutuhan dasar mereka tidak bisa terpenuhi secara optimal. Tidaklah meng- herankan apabila akhirnya daerah semacam ini identik dengan istilah kantung kemiskinan.

Surakarta sebagai sebuah kota besar tidak bisa disangkal juga telah menyedot banyak tenaga kerja yang berasal dari kota- kota kecil lain di luar Surakarta. Menurut Abdullah (2005:29) laju pertumbuhan penduduk di perkotaan berasal dari peningkatan jumlah pendatang dari daerah pedesaan dan dari kota-kota lain yang lebih kecil. Pemusatan kegiatan ekonomi di kota- kota besar telah menyebabkan konfigurasi penduduk semakin terpusat di daerah perkotaan. Ada banyak implikasi dari membludaknya penduduk di perkotaan yang berasal dari kota-kota satelit di sekitarnya, salah satunya adalah fenomena kemiskinan yang tidak terelakkan. Banyaknya pendatang dari berbagai daerah di sekitar Surakarta yang masuk ke sebuah

kawasan kota seperti di daerah Laweyan membuat jumlah penduduk di sana membludak karena banyaknya pendatang yang berkait dengan persoalan ketersediaan lapangan kerja.

Selain itu, konteks geografis juga sangat berpengaruh terhadap kondisi kemiskinan masyarakat. Daerah seperti Kelurahan Kadipiro (dekat dengan terminal bus), Kelurahan Gilingan (dekat dengan stasiun kereta api), Kelurahan Sangkrah (dekat dengan aliran sungai Bengawan Solo) adalah daerah yang sangat identik dengan kemis- kinan. Konteks geografis dekat dengan terminal bus misalnya selalu diidentikkan dengan tingkat kriminalitas yang tinggi selain juga wilayah yang kumuh serta rendah taraf perekonomiannya. Maksud- nya, masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut secara perekonomian juga terpengaruh oleh adanya terminal. Begitu juga halnya rumah-rumah yang berdiri di sepanjang rel kereta api. Tidak jarang jarak antara rumah dengan rel sangat berdekatan sehingga membahayakan penghuninya. Seringkali pula tidak ada pembatas antara rel kereta dengan rumah penduduk sehingga tingkat bahaya cukup tinggi. Apabila ada pembatas maka biasanya hanya sekedar plang besi dan kawat yang mudah untuk dilewati. Menjamurnya hunian semacam ini juga turut memperburuk suatu daerah yang kemudian berubah menjadi kantung kemiskinan di perkotaan. Sementara itu, daerah yang dekat dengan bantaran Sungai Bengawan Solo memang menjadi satu daerah yang sungguh rawan terhadap banjir. Kondisi kemiskinan yang dihadapi oleh masya-rakat di sini lebih dikarenakan kondisi alam yang menjadikan daerah tempat tinggal mereka menjadi daerah yang memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana banjir. Meluapnya air sungai Bengawan Solo tak jarang menjadikan penduduk kalang kabut mengungsi. Bahkan banjir seolah sudah

Jurnal Sosiologi D

I

L

E

M

A

Eva Agustinawati & Siany Indria Liestyasan “Kemiskinan Berperspektif Gender di Kota Surakarta”

134

menjadi fenomena langganan yang tidak lagi ditakuti keberadaannya meskipun berbahaya.

Masyarakat masih meyakini bahwa penyebab utama kemiskinan bersumber dari mentalitas masyarakat yang ber- sangkutan sehingga sampai ada istilah “memiskinkan diri” dalam masyarakat ketika ada pendataan bantuan. Sutrisno (1995:18-19) menjelaskan bahwa pemikiran demikian biasanya terdiri dari para pejabat yang melihat bahwa inti dari masalah kemiskinan adalah masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya rendah. F. Perspektif Gender dalam Kemiskinan

di Kota Surakarta

Data statistik tentang kemiskinan di Kota Surakarta belum secara spesifik terpilah secara jenis kelamin karena yang disurvey adalah rumah tangga, sehingga data yang muncul adalah banyaknya Kepala Keluarga. Kalaupun ada data yang terpilah yaitu jumlah jiwa kategori miskin dan jumlah perempuan yang lebih banyak di- sebabkan karena jumlah penduduk perempuan yang memang lebih besar dibandingkan laki-laki.

Jika melihat kemiskinan dari perspektif gender, maka kita perlu melihat bagaimana aktivitas, akses dan kontrol dari suatu sumber daya bagi laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan dalam aktivitas, akses dan kontrol terhadap sumber daya atau pemanfaatan sumber daya oleh salah satu jenis kelamin tertentu menyebabkan kemiskinan hanya melanda salah satu jenis kelamin saja. Akibatnya, muncullah apa yang disebut sebagai ketimpangan gender. Akses yang sama belum tentu melahirkan kontrol yang sama pula. Faktor kebudayaan sering dijadikan dasar adanya perbedaan ini.

Masyarakat dalam kategori miskin, hampir miskin, dan sangat miskin di Kota Surakarta identik dengan satu persoalan yakni tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang mendasar. Kalaupun bisa mencukupi itupun dengan kondisi yang sangat pas-pasan. Penyebabnya tentu saja ada beragam faktor namun yang utama adalah karena penghasilan yang tidak seimbang dengan pengeluaran kebutuhan, meskipun untuk kebutuhan sehari-hari bertahan hidup. Pekerjaan mereka tidak pasti atau kalaupun pekerjaan menetap penghasilannya cukup rendah. Selain itu, tanggungan hidup mereka cukup besar, misalnya harus membiayai sekian orang dalam keluarga. Dengan demikian, peme- nuhan kebutuhan dasar tidak bisa ter- cukupi dengan penghasilan yang tidak memadai.

Pekerjaan produktif banyak dilakukan oleh laki-laki terkait ranah mereka di domain publik yang lebih besar dibanding- kan dengan perempuan. Berdasarkan kategori pembagian kerja berdasarkan seksual yang terbungkus dengan ideologi gender membuat perempuan lebih banyak bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik dan reproduktif.

Pada beberapa keluarga miskin, tang- gungan hidup mereka cukup besar. Seorang ibu misalnya yang suaminya ter- kena stroke dan praktis tidak bisa bekerja, harus menanggung keempat anaknya yang masih sekolah. Atau seorang anak laki-laki yang harus menanggung enam orang dalam keluarganya yakni: ayah, ibu, istri, seorang anak, dan dua orang adiknya. Penghasilan para pencari nafkah utama ini tentu saja tidak bisa mencukupi kebutuhan seluruh keluarga sehingga banyak kebutuhan dasar yang tidak bisa dipenuhi. Kasus lain misalnya seorang laki-laki dan perempuan (suami istri) bekerja namun penghasilan bersih mereka tidak lebih dari tiga puluh ribu sehari dengan berjualan gorengan,

ISSN : 0215/9635, Vol 27 No. 2 Tahun 2011

135