• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terima kasih, Pak Ketua. Melengkapi pernyataan pertanyaan dari Pemohon. Jadi begini, sebetulnya kalau kita bicara demokrasi karena pemilihan presiden dengan dipilih langsung ini juga kaitannya dengan demokrasi, saya berpendapat bahwa ada dua persoalan demokrasi itu, demokrasi prosedur dan demokrasi substansi. Apa yang terjadi di sini masih demkrasi prosedur semua, pileg, pilpres, demokrasi prosedur. Tapi apa pun juga demokrasi prosedur itu juga akan mengarah pada tuntutan agar supaya demokrasi substansinya dikembangkan. Demokrasi substansinya itu dicerminkan setelah apa yang dipilih dengan prosedural itu menghasilkan satu hasil. Jadi tidak pada pemilihannya tapi pada apa yang dihasilkan. Katakan saja kalau kemudian kita memilih anggota DPR, memilih presiden, oke itu demokrasi prosedurnya tercapai. Tapi demokrasi substansinya ada enggak? Itu demokrasi substansinya baru terlihat kalau kedua lembaga ini membuat Undang-Undang. Apa yang dicantumkan dalam Undang-Undang? Oleh karena itu, tidak hanya

berhenti pada persoalan demokrasi prosedur. Nanti juga

pencerminannya, apakah itu bisa mengarah pada demokrasi substansinya.

Apakah orang harus mengakui bahwa yang dia tidak memilih presiden, ternyata yang menjadi adalah calon presiden yang dia tidak pilih? Di dalam pemilihan presiden, berbeda dengan pemilihan pileg, Indonesia ini adalah satu dapil, jadi Indonesia itu satu dapil, dan di dalam satu dapil itu prinsip one man one vote itu dipegang. Satu dapil, prinsip one man one vote dipegang, meskipun itu satu dapil dan one man one vote itu kemudian harus menjadi dasarnya, maka hal yang harus kita ingat adalah calon presiden itu terbatas, berapa pun juga

tidak sebanyak kalau itu dibandingkan dengan calon anggota DPR. Taruhlah apa kita sampai punya sepuluh calon presiden, kalau itu mungkin kelihatan saja. Oleh karena itu, pemilih itu punya pilihan yang terbatas juga, dia tidak akan memilih wakil, tapi dia adalah memilih hal-hal yang kemudian di antara sepuluh itu yang dia cocok, yang dia cocok, oleh karena itu pilihannya terbatas.

Di dalam menanggapi pilihan terbatas ini, maka hal-hal yang berkaitan dengan persoalan penyebaran itu sebenarnya tidak bisa dibayangkan, pasti itu menyebarkan itu, kemudian merepresentasi … merepresentasikan apa yang diinginkan. Katakan saja, apakah relevan banget kalau kemudian penyebaran itu menjadi satu hambatan karena one man one vote, dan itu presidennya orang Indonesia, seluruh rakyat Indonesia.

Apa sih yang diharapkan dari penyebaran itu? Apalagi kriterianya Jawa, luar Jawa. Jawa, luar Jawa itu harus dipisahkan karena penduduknya atau karena yang lain? Kalau penduduk yang ada di dalamnya saja, relevankah itu, apakah artinya kemudian Jawa-luar Jawa itu menjadi terepresentasi dengan pilihan itu? Kalau ya, contoh gampangnya saja, di hadapan kita ada sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi, orang Jawanya berapa? Orang luar Jawanya berapa? Tiga orang jawa, di semuanya orang luar jawa, enggak terepresentasi itu dalam persoalan itu karena dan yang kedua kalinya, apakah tempat memilih itu kemudian menjadi faktor dia memilih? Kalau Pak Asrun ada di Jakarta, memilih wakilnya, presidennya lain kalau pas kebetulan milihnya di Makasar, tentu tidak.

Jadi, ini persoalan-persoalan yang berhubungan dengan asumsi-asumsi itu sebetulnya dasarnya apa? Karena penduduk juga sudah seperti itu, apalagi kalau kita lihat sekarang, media itu sudah begitu luas, apa yang terjadi di sini bisa dikutip di manapun juga, maka menurut saya dengan dasar one man one vote itu asumsi bahwa itu terjadi perbedaan yang sangat luas, yang sangat tajam antara Jawa dan luar Jawa, menjadi tidak relevan lagi. Apalagi kalau dilihat bahwa di Jawa itu juga banyak orang luar Jawanya, kalau di luar Jawa itu di Lampung, ya sama saja dengan di Solo karena banyak Jawanya, tapi apakah itu yang dimaksud? Apa yang membuat kriteria Jawa-luar Jawa? Karena one man one vote dan satu dapil, maka tidak relevan. Persoalan itu dulu, kenapa diterima, terus terang kita, terutama saya, itu adalah persoalan yang baik untuk mempersatukan tanpa harus dikaji dulu, bagaimana dengan sistemnya, itu adalah one man one vote, itu adalah satu dapil, kriteria apa sebenarnya jawa, luar Jawa itu? karena penyebaran penduduk, ataukah karena hal-hal lain. Ini sebenarnya yang menurut saya menjadi satu bahan pertimbangan bahwa kriteria itu sebenarnya tidak begitu dalam dipahami.

Oleh karena itu, menurut saya ada baiknya bahwa penggunaan kriteria itu gunakan minimalis saja, minimalisnya adalah kalau calonnya lebih dari dua. Saya kira begitu, Terima kasih.

59. KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, Prof. Saldi.

60. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 51/PUU-XII/2014: SALDI ISRA

Yang Mulia, pertanyaan dari Dr. Muhammad Asrun, kalau dibaca di risalah misalnya, apa yang ditanyakan oleh Andi Muhammad Asrun tadi, menjadi salah satu konsen juga para pengubah Undang-Undang Dasar. Di risalah dibaca juga, soal efisiensi itu kemudian menjadi salah satu topik penting ketika mereka membahas soal kemungkinan ada putaran kedua, makanya lalu timbul pemikiran untuk mencegah sebetulnya jangan ada putaran kedua, misalnya bagaimana kalau hanya partai yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua saja yang mengusulkan pasangan calon, sehingga pasanggan calonnya Nomor … hanya dua, atau kalau ada banyak pasangan calon ikut pemilu presiden, lalu kemudian tidak ada yang dapat suara terbanyak, yang dua terbesarnya lalu dipilih oleh MPR.

Dalam pemahaman saya, setelah membaca risalah, itu terkait dengan soal efisiensi salah satunya, makanya menurut saya, kalau hanya dua putaran, lalu kemudian kalau hanya dua pasangan calon, lalu kemudian dipikirkan lagi ada putaran kedua karena soal sebaran, itu pasti ada problem dengan efisiensi, dan bagaimana misalnya kalau sudah diadakan putaran kedua, tapi komposisi suara tidak berubah, apakah diadakan putaran ketiga, putaran keempat, dan sebagai macamnya?

Makanya menurut saya, kita sekarang ini harus menghargai proses politik yang terjadi, bagaimanapun catatannya, yang sudah menghasilkan dua pasangan calon. Paling tidak dengan dua itu, kita sudah bisa menuju kepada tahapan atau proses yang lebih sederhana.

Hampir bisa dipastikan Pak Asrun, kalau ada putaran kedua lagi nanti dengan dua pasang calon yang sama itu akan menjadi penghamburan uang Negara atau APBN.

Pertanyaan dari Kuasa dari Pemohon Nomor 51, sebetulnya kalau kita baca dari segi tafsir sistematis, dari original intent dan menurut saya ditambah dengan kondisi yang ada hari ini makanya sangat kuat alasan memaknai Pasal 6A ayat (3) dan 6A ayat (4) itu adalah bahwa untuk dua pasang calon itu adalah satu putaran saja. Makanya saya mengatakan tadi ketentuan soal syarat minimal 20% di minimal setengah jumlah provinsi itu jembatan yang menghubungkan putaran pertama ke putaran

kedua. Kalau misalnya calonnya lebih dari dua, itu yang jadi jembatan. Tapi karena faktanya calonnya hanya dua maka jembatan itu tidak digunakan lagi karena sudah menjadi dua pasangan calon di situ.

Nah, oleh karena itu menurut saya, kondisi hari ini, tadi Bapak Prof. Harjono sudah menjelaskan kemungkinan-kemungkinan. Kita bisa bayangkan misalnya kalau ada putaran kedua karena dua pasang calon lalu nanti terjadi perubahan komposisi suara, itu justru berpotensi menyulut kemarahan di akar rumput menurut saya. Itu juga harus menjadi pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi.

Kita sebetulnya diberi berkah juga dengan proses politik hari ini bisa menghadirkan jumlah pasang calon yang lebih sederhana. Jadi, kondisi kekinian, kemudian original intent, serta tafsir sistematis itu memang memperkuat posisi saya bahwa sebetulnya dengan dua pasang calon itu tidak diperlukan adanya putaran kedua. Terima kasih.

61. KETUA: HAMDAN ZOELVA

Ya. Terima kasih, Prof. Saldi. Silakan ada pertanyaan dari Pak Alim.

Dokumen terkait