• Tidak ada hasil yang ditemukan

67. KETUA: HAMDAN ZOELVA

Silakan, Pak Natabaya dulu. Gantian.

68. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: NATABAYA

Ini saya dari Pak Alim, ya. Soal penafsiran, apakah yang ada di dalam ketentuan Undang-Undang (suara tidak terdengar jelas) dan Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim tidak dapat menolak suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, dengan alasan bahwa Undang-Undang tidak mengatur, Undang-Undang-Undang-Undang tidak jelas, Undang-Undang-Undang-Undang kabur, apakah ini meniru atau sesuai dengan bahwa kalau menyelesaikan perkara di dalam agama Islam itu pertama adalah Alquran, kedua, dan seterusnya, dan kalau tidak dapat, dia akan menggunakan akalnya kan begitu. Ini tidak ada persoalan meniru soal meniru. Ini pasal ini ada yang saya sebut itu ada sejarahnya.

Jadi sejarahnya ini adalah kalau di dalam ilmu hukum, pengantar ilmu hukum, ini ada di dalam sejarah mengenai di dalam aliran kodifikasi di (suara tidak terdengar jelas). Bahwa pada waktu itu kan Undang itu tidak tertulis, hukum itu tidak tertulis. Nah, karena Undang-Undang tidak tertulis, maka tidak ada kepastian. Seiring dengan adanya … apa namanya itu … aliran falsafah mengenai falsafah logika, maka timbulah pemikiran bahwa Undang-Undang itu harus dituliskan, sehingga timbul aliran kodifikasi. Nah, orang menganggap apa yang ada sudah di dalam kodifikasi itu, itu lengkap, itu anggapan ya. Oleh karena itu, timbulah pasal ini yang dulu itu di dalam ... di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil dari Prancis diambil alih oleh Belanda masuklah di dalam abi, abi Belanda. Di dalam abi Belanda kita ambil abi kita itu ada di dalam Pasal 22 yang mengatakan, “Hakim tidak dapat menolak suatu perkara yang dihadapkan kepadanya dengan alasan kalau Undang tidak mengatur, Undang tidak jelas, dan Undang-Undang kabur.” Artinya, ia tidak ada pilihan lain, ia harus putuskan.

Anggapan dulu, anggapan aliran kodifikasi, semua Undang-Undang itu ada di dalam kodeks, ada di dalam Undang-Undang-Undang-Undang, tapi ternyata di dalam perkembangan bahwa Undang-Undang ini selalu tertinggal. Nah, selalu tertinggal, maka pasal ini berbalik menjadi pasal yang digunakan, menjadi pasal yang berguna bagi … apa namanya itu … perkembangan hukum. Nah, di situlah perlunya ada jalan interpretasi

dengan Hakim, bagaimana Hakim menemukan hukum, dalam hal ini perkara kita ini, dia menggunakan interpretasi.

Apa pertama yang harus digunakannya oleh Hakim adalah apa yang dibacanya, itulah bacalah, iqra, pasal 6A ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Jalan lupa ayat (2) itu menentukan bahwa presiden di ... apa namanya itu … calon presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan saya katakan tadi suasana situational (suara tidak terdengar jelas) mewarnai pada waktu itu penyusunan itu ke depannya partai politik dari tiga hanya ada Golkar, ada PDI, dan ada PPP, akhirnya banyak masuklah partai … apa namanya itu … segala macam partai, berubah-berubah. Nah, sehingga pemikiran pembentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melihat demikian. Nah, jadi penafsiran (suara tidak terdengar jelas) apa yang dibaca lantas ditafsirkan lagi terakhir sampai ada apa interpretasi yang terakhir dengan fungsional.

Menurut Sarjana Jerman, penafsiran yang apa nama itu intent itu tadi itu dipakai terakhir sekarang, sebab intent waktu yang dibikin itu berubah dengan sekarang ini. Keadaan sekarang ini kan lain, pada waktu dengan intent waktu itu, satu contoh dulu menganggap bahwa (suara tidak terdengar jelas), sekarang kok cuma ada dua pesertanya, kan tidak terpikir, Hakim harus secara (suara tidak terdengar jelas) fungsional dia tafsirkan, di sinilah the ability to interpret daripada Hakim diuji, dia harus mengadakan perbandingan dengan (suara tidak terdengar jelas). Bahwasanya intent itu diperhatikan betul tapi itu paling akhir. Baca buku (suara tidak terdengar jelas). Jadi di Mahkamah Agung Amerika dan Mahkamah Konstitusi Jerman itu intent itu terakhir apa nama itu terakhir digunakan bukan sekarang. Tapi perkembangan sekarang … sebab kita harus menyelesaikan perkara sekarang. Sekarang bagaimana ini hanya dua, jadi dari pasal 4 itu kelihatan bahwa kalau tidak terdapat katanya itu, maka pemenang pertama dan kedua telah dipilih, dijadikan, artinya ada pengandaian kalau tidak terjadi. Nah, di situlah ayat (3) itu merupakan pesertanya itu lebih dari satu. Nah, di situ hakim akan dapat menafsirkan. Nah, kira-kira itu apa namanya itu, Pak Alim, lebih dan kurang apa namanya itu.

Nah ini, Pak Patrialis, masalah memperkuat sistem presidential itu tidak ada kaitannya sebetulnya bahwasanya memang presiden itu me ... apa namanya itu … mewakili seluruh menunjukkan bahwa dia harus didukung oleh menang 50%, di dukung … apa namanya … minimal 20% dari 50% … apa namanya itu … lebih, itu dikatakan lebih, lebih dari provinsi. Jadi kalau kita ambil di Indonesia ini ada 34, berarti dia harus mendapatkan suara 20% di 18 provinsi dan 50%. Apakah itu mungkin terjadi kalau hanya itu, berapa kita akan berkali-kali melakukan pemilihan umum kalau itu sulit terjadi.

Nah oleh karena itu, nah sekarang kita dihadapkan kepada hanya dua, apakah itu akan ada berulang kali terus? Hari ini si A menang ini

tidak dipenuhi. Ini lagi menang, tidak terpenuhi dan akan menimbulkan

bahaya akan menimbulkan chaos dan menimbulkan persoalan-persoalan

baik apakah efisiensi tadi dikatakan, apakah persoalan politik, dan inilah kita mengharapkan kepada Mahkamah Konstitusi akan memberikan suatu putusan yang betul-betul dapat menentramkan hati masyarakat kita sebab tidak bisa dibantah hanya ada dua calon yang harus kita pilih kalau tidak dipenuhi, nah barangkali inilah … apa namanya itu … kepada Pak Patrialis, kepada Para Hakim Anggota Patrialis Akbar mengenai masalah itu tadi. Sekian, terima kasih.

69. KETUA: HAMDAN ZOELVA

Terima kasih. Pak Harjono, silakan.

70. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 50/PUU-XII/2014: HARJONO

Terima kasih, Pak Ketua. Ini ada banyak persoalan yang disampaikan kepada saya, menjawab persoalan Yang Mulia Hakim, Pak Alim ya. Jadi kalau ditanya secara terus terang, saya tidak ingat lagi, kenapa itu kemudian perubahan ayat (4) itu baru pada perubahan keempat, tapi memang waktu itu ada satu, saya ingat betul itu Pak

Jakob Tobing ini harus kita tambah satu pasal lagi, satu ayat lagi karena

kalau ayat (3) itu kemudian tidak ada, apa itu, jalan keluarnya itu sulit untuk dipenuhi, jadi inilah kemudian muncul pada ayat (4) apa yang ada pada ayat (4).

Kalau dihubungkan dengan Pasal 1 memang kita ini negara yang berkedaulatan rakyat. Oleh karena itu pencerminan rakyat itu juga harus tercerminkan di dalam demokrasi, yaitu suara terbanyak, ini praktis ini masih persoalan yang prosedural berkaitan dengan demokrasi prosedural. Namun persoalannya adalah kalau yang sudah dipilih meskipun dia tidak terpilih dengan pencerminan yang suara yang sangat banyak, memang di dalam sistem presidensial itu presiden tidak hanya kepala pemerintahan tetapi kepala negara. Di dalam hal tertentu, kewenangan-kewenangan itu sudah diberikan.

Sebetulnya presiden kepala pemerintahan dan kepala negara ini kan analisis-analisis kita, kalau kita kemudian memperbandingkan dengan sistem parlementer, di mana sistem parlementer itu memang tumbuh dari secara historis dan itu tumbuh di eropa karena itu adalah proses dari pemerintahan oleh kaisar oleh raja yang absolute, kemudian lama kelamaan menjadi terbagi, didistribusikan kewenangan-kewenangan itu. Oleh karena itu rajanya tetap ada, tapi saya kan diposisikan sebagai posisi, (suara tidak terdengar jelas) perdana menterilah yang kemudian melaksanakan itu. Itu baru nyata benar, mana kepala Negara, mana eksekutif. Dalam melaksanakan itu sistem

presidensial tidak ada itu. Oleh karena itu, dia presiden sekaligus kepala negara. In realitiy just one man, realitasnya adalah hanya satu ini.

Kemudian itu muncul satu pikiran, yaitu presiden itu kepala negara meskipun ada ketentuan-ketentuan yang dilihat sebagai satu ketentuan ini kekuasaan presiden dan sebagai kepala Negara, tapi saya melihat bahwa pemikiran-pemikiran itu lebih merupakan pesan, lebih merupakan satu … bukan pesan saja satu garisan please, the president, you have to be as the head of the state also. Jadi kalau kamu presiden, di tangan Andalah, Anda kewajiban juga untuk berlaku sebagai kepala Negara. Itu sebagainya yang lebih penting ketimbang hanya status-status itu. Karena dengan pesan itu, dia maka presiden bisa memposisikan perbuatannya, pola tingkah lakunya, apa yang dilakukan, just not an executive but the head of the state. Itu ada pesan di situ itu persoalan presiden kepala negara bukan atau tidak itu.

Memang presidensil ini kan satu penemuan baru pada abad 18 yang sebelumnya itu dulu seluruh bentuknya adalah parlementer kalau kita ikuti perkembangannya. Sebagai suatu penemuan baru Amerikalah yang menemukan itu. Tujuannya apa? Tujuannya dia perlu satu orang yang kuat, tetap, tapi satu orang yang kuat itu tidak kuatnya seperti raja di Eropa, tapi kuatnya mempersatukan bangsa. Oleh karena itu, sistemnya adalah sistem presidensil, dan kemudian tidak atau kemudian dihindari dari yang di Eropa, bukan karena herediter, bukan karena kewenangan, bukan karena kelahiran, tapi presiden juga dibatasi kekuasaannya oleh konstitusi.

Kalau itu tidak dipegang teguh, apa sistem presidensil itu kalau kita lihat, bahwa praktik-praktik di Amerika Latin, presidensil bisa menghasilkan diktator. Sangat dekat dengan diktator. Oleh karena itu, presidensil sangat harus dijaga. Dijaganya dengan apa? Dengan kewenangan-kewenangan yang kemudian kita kenal dengan check and balances itu. Artinya, jangan sampai presiden itu kemudian karena power limited by power, dia (suara tidak terdengar jelas), dia kemudian melanggar dari kewenangannya dia untuk melanggar pada kewenangan lain. Saya kira itu esensi dari presidensil.

Itulah yang … kalau kemudian pertanyaannya adalah di NKRI, memang bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas dan bervariasi ini, terlepas dari itu pilihan atau tidak, kemudian dipertimbangkan, saya pribadi memang lebih cocok kalau memang presidensil dengan pusatnya presiden. Karena terus terang ada satu pendapat, apalagi pada saat menilai presidensil itu ada pernyataan-pernyataan yang menyatakan, “Kita itu seolah-olah presiden separuh hati.” Kenapa separuh hati? Presidensil kok partainya banyak.

Saya katakan bahwa presidensil dan banyak partai tidak ada relasinya. Malah saya katakan bahwa sebuah pemerintahan bentuk apa pun juga perlu stabilitas. Perlu stabilitas. Apakah parlementer, apakah presidensil. Obat atau resep dari sebuah pemerintahan di mana

partainya banyak, resepnya adalah harus presidensil. Karena dengan presidensil, maka stabilitas bisa dijamin. Presiden tidak akan jatuh dengan banyak partai, apa pun yang dilakukan oleh partai itu di DPR. Tapi kalau partai banyak kemudian partainya kemudian sistemnya parlementer, maka eksekutif sangat rentan apa yang terjadi di parlemen, dan stabilitas akan terganggu. Mohon maaf, saya di sini berbeda dengan beberapa pemikir, bahwa presidensil itu menjadi presidensil separuh hati, gara-gara banyak partai. Malah pikiran saya, justru banyak partai yang realitas, resepnya harus presidensil supaya stabil. Jadi, ini yang berkaitan dengan persoalan sistem.

Memang di dalam lihat sejarah itu, sejarah perubahan Undang-Undang Dasar, banyak aspirasi-aspirasi yang kemudian terlontar. Aspirasi yang terlontar itu sebenarnya tujuannya satu saja, bagaimana mendekatkan presiden kepada rakyatnya, persyaratan-persyaratan dan sebagainya itu disyarati. Tapi masalahnya adalah kalau syarat itu berat, dan lagi kita juga hidup dalam situasi banyak partai, maka kemungkinan kapan bisa dipenuhi persyaratan itu?

Oleh karena itu, dari 2/3 turun, turun sampai kemudian setengah itu pun juga dalam kerangka itu. Tapi apa pun juga yang dipikirkan di situ, lontaran-lontaran pikiran, tapi hasilnya adalah seperti ini. Pada saat hasil seperti ini. Mungkin bisa dilihat original intent. Tapi original intent tidak memusatkan pada satu kesepakatan, di situlah kemudian fungsi penafsiran.

Kita masih punya, artinya apa … satu masih punya forum yang namanya konstitusi. Tapi itu forum saja, kita tidak bisa mengatakan, “Maksud kita dulu adalah seperti ini, harus kita anut,” tidak. Kalau itu seperti itu, maka Mahkamah Konstitusi tidak perlu. Yang perlu kita tanya pada forum konstitusi terus. Jadi, Mahkamah Konstitusi diperlukan untuk mengisi hal-hal seperti itu dalam satu sistemnya. Saya kira itu. Bahwa beda dengan apa yang di dalam sejarahnya dan kemudian produknya berupa ketentuan perundang-undangan itu wajar. Dan kewajaran itulah kemudian memerlukan suatu institusi yang namanya Mahkamah Konstitusi menafsirkan.

Corwin, seorang Ahli Tata Negara Amerika mengatakan, “The American constitution life.” Hidup. Karena dihidupi oleh supreme court. Kalau tidak dihidupi oleh supreme court, itu tahun 1700 intent-nya sudah pasti berbeda dengan apa yang ada sekarang.

Oleh karena itu, untuk kekinian, tantangannya adalah pada penafsir konstitusi. Kalau kita sistem kita Indonesia, itu adalah di tangan Bapak Ibu sekalian Hakim yang di mana perkara ini diadakan. Saya kira itu, Pak, jawaban saya secara umum. Terima kasih.

71. KETUA: HAMDAN ZOELVA

Baik. Terima kasih kepada Bapak Profesor Natabaya dan Pak Harjono, dan juga Prof. Saldi yang ada di Andalas, atas keterangannya sebagai Ahli.

Selanjutnya, tidak ada lagi sidang untuk permohonan ini, tiga permohonan ini. Dan Saudara-saudara, Para Pemohon, dan Pemerintah dapat mengajukan kesimpulan paling lambat pada hari Kamis 26 Juni 2014, langsung diserahkan kepada Kepaniteraan Mahkamah. Selanjutnya, Saudara-saudara tinggal menunggu pengucapan keputusan dari Mahkamah Konstitusi.

Demikian, sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup.

Jakarta, 23 Juni 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d

Rudy Heryanto

NIP. 19730601 200604 1 004 SIDANG DITUTUP PUKUL 13.15 WIB

Dokumen terkait