• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ahli Margarito Kamis

Berkenaan dengan penunjukkan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak pernah diubah itu, namun dinyatakan dalam undang-undang yang kita uji sekarang ini sebagai yang telah diubah. Hal ini merupakan kesalahan fatal. Dengan nalar konstitusionalisme macam apa, ahli-ahli hukum konstitusi harus membenar pasal dan/atau ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang pernah diubah baik oleh pembentuknya maupun melalui tafsir hakim, memiliki nilai hukum sebagai telah diubah.

Menunjuk pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik untuk memastikan membenarkan kewenangan organ pembentuk Undang-Undang maupun materi muatan untuk memastikan organ pembentuk undang- undang maupun materi muatan yang hendak diatur, sama sekali tidak memastikan mutu keabsahan, kegunaan, wewenang para pembentuk Undang-Undang dan legitimasi atas materi undang-undang yang dibuat.

Menujuk pasal dan ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah memastikan bahwa tindakan hukum para pembentuk Undang-Undang adalah memiliki dasar hukum, dasar konstitusional. Bila dasar materinya salah, bagaimana mungkin menentukan keabsahan konstitusional atas bukan hanya materi muatan, tetapi juga Undang-Undang itu.

Sesuatu yang legitim tidak serta-merta legal, legalitas bersadar pada dua hal yang berbeda timbangan hukumnya dalam ilmu hukum. Legalitas bersandar pada norma, sementara legitim atau legitimasi bersandar pada pertimbangan-pertimbangan politik, sesuatu yang abstrak secara politik tidak serta-merta absah secara hukum. Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sampai saat ini tidak pernah diubah baik formil maupun materiil. Tak sekalipun dalam sidang-sidang umum MPR tahun 1999 sampai dengan 2002 yang menyepakati perubahan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 yang mana di Indonesia ini yang diubah oleh MPR, yang ditunjuk oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 sebagai dasar pembentukan Undang-Undang itu.

Usaha mengolah, mengangkut, menyimpan, penyimpanan, dan niaga norma yang diuji dalam persidangan ini, kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, khususnya minyak dan gas bumi (migas) adalah satu urusan pemerintahan. Sebagai urusan pemerintahan, maka tindakan hukum berupa usaha pengelolaan, penyimpanan, dan niaga harus diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Salah satunya adalah untuk kemanfaatan umum atau dalam terminologi Undang- Undang Dasar Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk kemakmuran rakyat dalam rangka menyejahterakan rakyat itu.

Frasa kemakmuran rakyat dalam Pasal 33, bukan saja bernilai sebagai norma, tapi juga sebagai tujuan etik konstitusional didirikannya negara ini. Keadaan-keadaan itulah yang harus dipakai sebagai pijakan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dalam bernegara ini.

Mengurus kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam hal ini minyak dan gas bumi merupakan bentuk konkrit pemerintah menunaikan kewajiban konstitusional dalam menyejahterakan rakyat. Bagaimana mungkin tindakan pemerintahan yang secara konstitusional merupakan kewajiban konstitusionalnya itu dikendalikan melalui kontrak kerjasama. Seharusnya tindakan-tindakan pemerintah atas kekayaan alam yang tidak lain merupakan konkritisasi urusan pemerintahan didasarkan semata-mata pada prinsip-prinsip konstitusi dan asas-asas pemerintahan yang baik yang berlaku di Indonesia, bukan kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama yang tidak lain adalah pernjanjian antara kedua belah pihak yang secara universal diakui secara hukum, bagi kedua belah pihak yang berkontrak itu bermakna pihak lain yang berkontrak itu ikut menentukan tindakan-tindakan hukum pihak lain, dalam hal ini Indonesia atas kekayaan alamnya sendiri, padahal tindakan hukum dilakukan oleh pihak Indonesia atas kekayaan alamnya itu adalah penunaian kewajiban konstitusionalnya yang harus didasarkan pada konstitusi.

Ada berapa jenis kontrak yang diatur dalam Undang-Undang ini yang tidak dinyatakan secara jelas. Apakah norma bentuk kontrak kerjasama lain

juga diatur dalam Undang-Undang lainnya yang serupa yang ada di Indonesia, yang memungkinkan para pihak yang berkontrak melakukan interpretasi sistematik atau akontrario ketika menghadapi masalah dalam kontrak itu.

Pengertian kontrak-kontrak yang telah ditangani kepada DPR setelah berlakunya Undang-Undang, secara hukum nilai pemberitahuan tidak lebih sebagai konfirmasi. Konsekuensinya norma ini hanya sebatas pada bentuknya bukan materinya, melibatkan DPR pembuat Undang-Undang hanya berkualifikasi pemberitahuan, tidak pantas secara konstitusional, Tindakan berkontrak antara pemerintah dengan pihak lain terutama asing sesuai asal-usul konsep treaty, bukan executive agreement tetapi adalah tindakan mempertaruhkan kedaulatan bangsa ini.

Dalam persetujuan, daya ikat hukum atas tindakan perjanjian itu muncul setelah diberi kualitas hukum oleh badan pembuat hukum, sementara nilai hukum pada pemberitahuan seperti dalam Undang-Undang telah ada semenjak kedua belah pihak menyepakati. Pada persetujuan, badan pembuat hukum memiliki kewenangan menilai materi muatan perjanjian, menyetujui pada pemberitahuan sebagaimana dalam Undang- Undang, kedua hal itu tidak dapat dilakukan oleh DPR. Dalam kasus berkontrak dengan pihak asing untuk mengelola alam yang terkandung di dalamnya karena bobot sosial itu pantas diberi kualitas sebagai tindakan pemerintahan yang memerlukan persetujuan, bukan pemberitahuan.

Bahwa dengan menyerahkan kewenangan mengendalikan dan/atau mengawasi kepada badan pelaksana menunjukan tidak bisa lain, pembentuk Undang-Undang menyepelekan konstitusional minyak dan gas bumi yang tidak lain adalah kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Sesuai unsurnya badan-badan seperti ini BP Migas misalnya dibentuk karena satu hal yang diurus itu kecil sifatnya tetapi nilai berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat. Dua, para pembentuk Undang-Undang dalam sistem pembentuk Undang-Undang yang tidak menyertakan pemerintah, tidak terbiasa membuat atau mengatur hal-hal yang bersifat umum karena tidak punya waktu sehingga pengaturan lebih lebih jauh diserahkan dengan cara mendelegasikan kewenangan itu

kepada pembentuk Undang-Undang itu atau pada badan itu. Ini berkenaan dengan doktrin delegasi kewenangan.