• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

B. K. H AHMAD RIFA’I IBN MUHAMMAD

1. Nasab dan keturunanya.

Syekh Haji Ahmad Rifa‟i lahir di desa Tempuran yang teletak di sebelah selatan Masjid Agung Kendal pada hari kamis 9 Muharam 1208 H/1786 M dan meninggal pada usia 84 tahun hari ahad 6 Rabi‟ul Akhir 1286

34

H/ 1870 M. Ayahnya bernama Muhammad Marhum, anak seorang penghulu

landeraad Kendal bernama RKH. Abu Sujak alias Sutowidjojo

(Ridlo,2008:103).

Sejak lahir hingga usia enam tahun Ahmad Rifa‟i hidup diasuh langsung oleh kedua orang tuanya. Sesuai dengan tradisi di kalangan santri, setiap anak dikenalkan huruf-huruf Arab, Alif, Ba‟, Ta‟, Tsa‟, Jim, Ha‟diajarkan tulis menulis dan merangkai huruf menjadi bentuk kalimat lalu dibaca. Dan diajari pula bacaan surat Fatihah, Al-Ikhlas, surat Falaq bin Nas hingga hafal. Dikenalkan siapa pencipta dirinya dan alam semesta, diajarkan bahasa kromo inggil, bahasa sopan santun pada orangtua pada kawan sebaya yang lazim digunakan di kalangan bangsawan keturunan keraton. Selain itu Ahmad Rifa‟i dilatih tatacara melaksanakan sholat fardhu dan bacaan yang wajib dibaca serta bacaan yang sunah dibaca. Dan mengkaji Al-Qur‟an bin

Nadlar kepada seorang guru desa di Tempuran (Amin,1995:42).

Ayahnya meninggal pada tahun 1207 H/ 1794 M, ketika beliau masih berusia 6 tahun, kemudian beliau diasuh oleh kakak iparnya bernama KH. Asy‟ari, seorang ulama terkenal di wilayah Kaliwungu. Dua Tahun setelah ayahnya meninggal kakeknya meninggal dan dimakamkan di pemakaman Masjid Agung Kendal. Hanya dari ibunya saja Ahmad Rifa‟i mendapat asuhan dan bimbingan serta pengawasan selanjutnya. Ibunya yang bernama Siti Rahmah semakin bertambah berat beban hidup yang ditanggung. Tujuh

35

anak dalam rumah tangga sederhana, biaya hidupnya masih membutuhkan belas kasih ibundanya (Amin,1995:42).

Sesuai dengan pesan Nabi :

ْاهيلعْمهْىبرضاوْنينسْعبسْءْانبأْمهوْةْلاصلْابْمكدْلاوأْاورم

غج اعٌّا ٟف ُٕٙ١ت اٛلشفٚ ششػ ء إتأ ُ٘ٚ

Perintahlah kamu pada anak-anakmu untuk mengerjakan shalat

setelah usia tujuh tahun dan memukulah kamu (karena pendidikan) pada

anak-anakmu setelah berusia sepuluh tahun jika meninggalkanya”(Hadis

Shohih riwayat Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Umar (Jalaluddin Suyuthi: Al Jamius Shaghir: Bairut, Darulfikri,1981,jld.II.hal.535.).

Maka untuk mengurangi beban berat Siti Rahmah dan demi kelangsungan pendidikan masa depan, setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa‟i dibawa oleh kakak kandungnya Nyai Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya. Selama di kaliwungu ia mendapatkan pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya KH. Asy‟ari seorang ulama kharismatik pendiri dan pengasuh pondok pesantren Kaliwungu, dalam sumber tidak dijelaskan nama pondoknya, dan dapat disimpulkan pondok K.H Asy‟ari masih apa tidak tidak disebutkan dalam sumber. Dari permulaan mengaji ilmu agama sampai cabang-cabang dan rantingnya, Ahmad rifa‟i hampir tak pernah lepas dari binaan ulama Kaliwungu (Amin,1995:42-43).

36

Cikal bakal menjadi ulama besar ada pada diri Ahmad Rifa‟i dikisahkan:Oleh ulama terkemuka generasi kedua Syaikh Ahmad Bajuri bin Abdul Mutholib Kendal, bahwa pada diri Ahamd Rifa‟i ada suatu keistimewaan yang merupakan tanda kekuasaan kebesaran Allah sebagai alamat cikal bakal ulama besar dikemudian hari, diperlihatkan kepada masyarakat kaum santri di Kaliwungu, terutama pada kakak iparnya Kiai Asy‟ari. “pada suatu malam gelap gulita Kiai Asy‟ari secara diam-diam memeriksa para santri yang sedang berada dalam asrama pondok, tiba-tiba dikejutkan dengan seberkas cahaya menerangi asrama dan memancar tinggi ke atas. Dia menyangka cahaya itu berasal dari lampu milik anak santri yang sedang menelaah kitab, tetapi sangkaan itu meleset karena ternyata cahaya itu berasal dari lekuk di tengah-tengah perut (pusar) seorang santri kecil yang belum diketahui identitasnya. Kiai Asy‟ari terheran karena belum pernah menyaksikan kejadian seperti itu, kemudian beliau bersiasat untuk menyobek sarung anak tersebut dengan dugaan besok ada salah satu anak yang akan menangis karena sarungnya sobek,alasan mengapa sarung anak tersebut disobek karena K.H Asya‟ri benar-benar tidak tahu siapa anak kecil itu, sehingga inisiatif yang muncul adalah dengan cara menyobek sarung bagian bawahnya, sehingga nanti akan ketahuan siapa anak itu. Dan sungguh tepat sekali dugaan sang Kiai asrama santri geger karena Ahmad Rifa‟i menangis dan marah-marah karena sarungya sobek, kemudia diatasi oleh Kiai Asy‟ari dan diganti dengan sarung yang baru. Dan ternyata santri yang memancarkan

37

cahaya dari pusarnya adalah adik iparnya sendiri, yang menurut kepercayaan masyarakat sekitar adalah tanda cikal bakal menjadi ulama besar dikemudian hari” (Amin,1995:43-44).

Pada masa remaja Ahmad Rifa‟i, atas pola dasar pemikiran itu. Ahmad Rifa‟i hampir sama sekali tidak meluangkan waktunya untuk keperluan lain kecuali menuntut ilmu agama pada kiai Asy‟ari dan kiai lainnya. Tiada hari tanpa mengaji, tiada waktu tanpa menuntut ilmu, tiada saat tanpa belajar semangat dan tiada hidup tanpa amar ma‟ruf. KH Ahmad Rifa‟i mendasarkan pula pada cita-cita suci yaitu Pemuda sekarang! Pemimping di masa mendatang!.

KH Ahmad Rifa‟i di Kaliwungu Kendal belajar ilmu agama yaitu: nahwu, shorof, fiqh, badi‟, bayan, dan ilmu hadis Alqur‟an (Ridla, 2016:84). Dalam buku Gerakan Syaih Ahmad Rifa‟i dalam menentang Kolonial Belanda karya Ahmad Syadzirin Amin,1995:45, ilmu pokok yang dipelajari KH Ahmad Rifa‟i adalah ada 3 yaitu Ilmu Fiqh, Ilmu Tasawuf dan Ketuhanan. Untuk memperluas pemahaman tentang ilmu-ilmu agama, KH Ahmad Rifa‟i kemudian mendalami cabang-cabang beserta ranting-ranting yang berkaitan dengan tiga ilmu di atas, cabang-cabangnya di antaranya adalah :Ulumul Qur‟an, Mushthalahuh Hadist, Lugahotul Arabiyah, Balaghoh, Mantiq,

Falak, Arudl, dan lain-lain.

Setelah melampaui masa pancaroba dengan selamat menjadi orang dewasa, Ahmad Rifa‟i memulai babak baru di dalam meneruskan cita-citanya.

38

Yaitu mempersunting seorang gadis desa bernama Umul Umroh, mereka menikah dengan adat kebiasaan di sana. Semua kegiatan resepsi dilaksanakan dengan tertib.

Permualan dakwah KH Ahmad Rifa‟i perlu perjuangan keras, berangkat dari firman Allah dalam surat An Nahl ayat 125 :

ُا ْد

ع

َِٟ٘ ِٟرٌَّاِت ٌُُِْْٙداَجَٚ ِحََٕغَذٌْا ِحَظِػٌَّْْٛاَٚ ِحَّْىِذٌْاِت َهِّتَس ًِ١ِثَع ٌَِٝإ

َأ

َُٛ٘ َهَّتَس َِّْإ َُٓغْد

َٚ ٍِِٗ١ِثَع َْٓػ ًََّظ َِّْٓت ٍَُُْػَأ

( َٓ٠ِذَرٌُّْْٙاِت ٍَُُْػَأ َُٛ٘

٥٢١

)

“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Kiai Ahmad Rifa‟i menyayangkan banyak orang mukmin yang tergolong ahli agama („alim), bersekutu dengan pihak Hindia-Belanda, dalam kitab Sawalih , beliau menulis :

“Satengah alim akeh podo sarekat Maring raja negara dosa dhalim Lan raja kafir atine tan taslim Tan ngistoaken ing quran Adzim Nyatru ing panutan adil alim Artinya :

39 Diantara orang alim ada yang bersekutu Kepada raja yang berdosa dan dzalim

Dan kepada raja yang kafir hatinya tidak Islam Tidak mempertimbangkan Al-Quran Adzim

Membenci panutan yang adil alim (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaanm Republik Indonesia, 2010:396).

Sebagai tokoh yang terisolasi dari lingkungan pejabat pemerintah kolonial, Kiai Rifa‟i tidak saja menentang pemerintah Hindia-Belanda, tetapi menentang juga para pejabat seperti para penghulu, demang, dan bupati. Para pejabat itu telah sesat menurut beliau karena tunduk dengan pemerintah kafir yaitu Belanda. Ia sangat ingin melaksanakan Syariah Islam secara murni dan konsekuen. Dan ia juga menentang para pengulu yang berserikat dengan pemerintah Belanda, sehingga dalam kitab karangannya yaitu Riayatul

Himmah beliau menuliskan :

Utawi wali fasik iku sah tinutur

Mlakeaken ing wong wadon sebab uzur Ora nang sekabehe wali adil lan jujur Ikulah werdi syara‟ kang pitutur Artinya :

Bila wali fasik itu sah ucapanya

Menikahkan yang perempuan karena uzur Tidak semua wali itu adil dan jujur

40 Itulah tuntunan syarak yang benar

Sebagai protes keras beliau terhadap para penghulu yang dianggap tidak adil sehingga menurut beliau pernikahan tidak sah (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,2010:396).Maka KH Ahmad Rifa‟i merasa terpanggil umtuk segera menyampaikan dakwah kepada masyarakat Islam di sekitar Kendal. Bahwa sempat pula berdakwah keluar daerah, seperti ke Wonosobo. Dakwah Ahmad Rifa‟i lebih mengajarkan ke masalah-masalah dasar seperti ibadah sholat, jamaah dan shalat jum‟at, serta tentang arah kiblat, penikahan dan muamalah. Akan tetapi dakwah keras Ahmad Rifa‟i tidak disukai oleh para ulama di derah Kendal, oleh karena itu Ahmad Rifa‟i di usir dari Kendal beliau diusir oleh para ulama yang pro dengan Belanda dan pihak pemerintahan Belanda , tetapi menurut Ahmad Rifa‟i kewajiban dakwah tidak terbatas hanya di Kendal saja, melainkan di mana saja, kapan saja selama hukum-hukum Allah belum ditegakakkan secara maksimal (Ahmad Syadzirin Amin,1995:47-49).

K.H Ahmad Rifa‟i juga pernah dipenjarakan di Wonosono gara-gara pihak Belanda menganggap bahwa tindakan KH Ahmad Rifa‟i terlalu berlebihan ketika berdakwah di Wonosobo, beliau ditangkap dan dipenjarakan di Wonosobo tanpa melalui peradilan resmi, karena penahanan hanya bersifat

preventif . akan tetapi ruapaya penjara bukan menjadi penghalang dakwah,

41

pemerintah kafir yang merobek tatanan sayriat Islam dan tatanan budaya leluhur di bumi Nusantara ini (Ahmad Syadzirin Amin,1995:47-49).

2. Riwayat Pendidikan dan Karir.

Kebiasaan KH Ahmad Rifa‟i dengan dakwah yang tegas tersebut membuat was-was keluarga yang ada di Kendal, sebenarnya keluarga Ahmad Rifa‟i sudah sering menasehati beliau agar tidak bersifat keras terhadap pemerintah agar dapat terhindar dari resiko yang membahayakan. Ahmad Rifa‟i adalah seorang ulama dan kader tangguh yang sudah banyak makan asam garam perjuangan dakwah. Kendari resiko matipun akan dihadapi dengan sikap kesatria. Nampaknya dia diilhami semboyan : Hiduplah

merdeka! Atau matilah syahid!, sehingga dalam kancah kehidupan Ahmad

Rifa‟i lebih mementingkan keselamatan agama dari segala-galanya.

Ketika Ahmad Rifa‟i berusia 30-an tahun meminta restu dari keluarga di Kaliwungu dan Kendal untuk pergi menuntut ilmu ke Makkah. Mereka merestui permintaan tersebut, bahkan mereka berharap agar ia tidak cepat kembali ke kampung sampai suasana sudah tenang kembali. Namun sebenarnya keluarga kurang ikhlas dalam melepaskan Ahmad Rifa‟i ke Makkah karena mereka harus hidup jauh dengan Rifa‟i Amin,1995:51-52), tapi mereka harus merelakan sebab kepergian tersebut untuk maksud baik dan terhormat, yaitu untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh, ziarah ke makam

42

Rasulullah SAW, dan menuntut Ilmu Agama yang selama ini belum tersebar di Jawa.

Sekitar tahun 1230 H atau 1826 M Ahmad Rifa‟i memutuskan untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah dan menuntut ilmu di Makkah selama 8 tahun. Di Makkah Ahmad Rifa‟i menerima ilmu agama dari Syaikh Isa al Barawi, Syaikh Faqih Muhammad bin Abdul Azizi Al Jaisyi (al Habisyi) dan Syaikhul A‟dham Ahmad Utsman. Guru-guru tersebut mengajari mengenai Ahlusunnah (Amin,1995:51-52).

KH Ahmad Rifa‟i melanjutkan studinya ke Mesir, maksud beliau pindah ke Mesir karena ingin menambah ilmu agama yang lebih banyak pada guru-guru yang berafiliasidengan faham Imam Syafi‟i, karena ia sadar bahwa sebagian besar masyarakat di Negaranya adalah penganut Madzhab tersebut terutama di daerah Jawa. Beliau sempat berziarah ke makan Imam Syafi‟i di Qurafah yang terkenal dengan sebutan Qurabah Mesir. Imam Syafi‟i wafat pada malam jum‟at selesai shalat maghrib, 29 Rajab 204 H atau 19 juni 820 M dalam usia 54 tahun

Selama 12 tahun bermukim di Mesir, Ahmad Rifa‟i berguru kepada guru kenamaan di sana. Di antara guru-gurunya ialah Syaikh Ibrahim al Bajuri, penyusun kitab Hasyiah Al Bajuri Syarah Fathul Qarib al Mujib, atau

Ghayatul ikhyisharkarya Syaikh Abi Suja‟ dalam madzhab Syafi‟i

43

Setelah KH Ahmad Rifa‟i telah beberapa lama tinggal di Makkah beliau berjumpa dengan Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Muhammad Kholil dari Madura. Mereka sering berdiskusi tentang keadaan tanah air yang sangat memeprihatinkan terutama dalam hal pendidikan Islam. Sewaktu pulang ke tanah air, ketika ulama ini bertemu di atas kapal dan membicarakan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari belenggu kebodohan. Dalam diskusi tersebut mereka menetapkan, bahwa mereka berkewajiban menyusun kitab memakai metode yang sesuai dengan keadaan setempat, dengan pembagian : Syekh Haji Ahmad Rifa‟i menerjemahkan fikih, Syekh Nawawi menerjemahkan ushuluddin,syekh Kholil menerjemahkan tasawuf.

Kesimpulan dari hasil diskusi mereka adalah: Menerjemahkan dan menulis kitab dalam bahasa daerah, mendirikan pondok pesantren di daerah masing-masing, melaksanakan kegiatan dakwah Islamiyah (Muhammad Amin Ridlo, 2008:104). Ahmad Rifa‟i setelah pulang dari Makkah, pulang ke Kendal ke kampung halamanya, dan pindah ke Kalisalak dan mendirikan pondok di sana ( Abdul Djamil, 2001: 16). Dan menurut Shadiq Abdullah ( 2006:32), dengan pendapat yang sama dengan Abdul Jamil bahwa setelah menuntut ilmu ke Makkah K.H Ahmad Rifa‟i langsung pulang ke Kendal dan kemudian menetap di Kalisalak, Batang.

Sekembali dari Makkah beliau kembali ke Kendal dan ahirnya pindah ke Kalisalak Kabupaten Batang, kemudian mendirikan pesantren, selama 18 tahun (tahun 1255-1273 H), beliau mangajar santri-santrinya yang berasal dari

44

berbagai daerah di pulau Jawa. Selama di Kalisalak beliau telah menulis lebih dari 60 kitab dan 500 tanbih yang berbentuk nadhom dan atsar, yang meliputi berbagai ilmu-ilmu ke-Islaman (Ridlo, 2008:104).

Tetapi Syekh Ahmad Rifa‟i tidak hanya mengerjakan apa yang telah disepakati bersama, karena sampai di kampung halaman beliau segera mengarang kitab yang tidak hanya berfokus pada masalah fikih, namun menyangkut semua problematika umat.

Banyak isi kitab beliau yang mengecam pemerintah Belanda dan mengecam para ulama yang mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda, akhirnya beliau dibuang ke Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 H/ 16 Mei 1859 M, dan meninggal di sana. Selama di Ambon beliau menulis kitab sebanyak 4 judul yang berbahasa Melayu ( Muhammad Amin Ridlo, 2008:104-105).

3. Guru-guru KH Ahmad Rifa’i

Silsilah guru-guru KH Ahmad Rifa‟i, sebagaimana disebutkan bahwa Syekh Ahmad Rifa‟i di Makkah berguru dengan Syaikh Ahmad Utsman dan di Mesir berguru dengan Syaikh Ibrahim al- Bajuri. Bila ditelusuri Silsilah

Masikhah (matarantai guru-guru) kedua ulama besar itu akan bertemu dengan

Imam Syafi‟i urutan ke-30 dari bawah, kemudian ke atas dari imam tersebut akan brmuara kepada Rasulullah sebagai pembawa risalah kerasulan terahir dan termulya, seperti tersebut di bawah ini:

45

2) Malaikat Jibril pembawa wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW

3) Nabi Muhammad penerima wahyu Alqur‟an ( wafat 1H.)

4) Imam Abdullah bin Abbas As-Shahabi (w: 68H.) 5) Imam „Atho‟ bin Abi Rabbah al Maki al Quraisy(

115H.)

6) Imam Abdul Muluk bin Juraij (125H. ) 7) Iman Muslim bin Khalid az-Zanji (160-an H)

8) Imam al-Mujtahid Muhammad bin Idris as-Syafi‟i (204H.)

9) Syaikh Ibrahim bin Ismail bin Yahya al-Muzani (264H.)

10)Syaik Abul Qasim Utsman bin Said bin Bayar al- Anmari

11)Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Suraji (306H.) 12)Syaikh Abu Ishaq al-Marwazi( 417H.)

13)Syaikh Abu Yazid al Mawarzi (350-an H.) 14)Syaikh Abu Bakar al Qaffal al Mawarzi ( 417H.) 15)Syaikh Abdullah bin Yusuf al Juwaini (438H.) 16)Imamul Haramain Abdul Muluk bin Abdullah al

46

17)Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad al Ghazali ( 505H.)

18)Syaikh Abu Fadhol bin Yahya(560-an H.)

19)Syaikh Abul Qasim Abdul Karim al Rafi‟i (623H.) 20)Syaikh Abdul Rahman bin Abdul Ghaffar al

Quzwaini (665H.)

21)Syaikh Muhammad bi Muhammad Shahibus Syamil Shaghir

22)Syaikh al Kamal Siral al Ardabili

23)Syaikh Muhyiddin Syaraf al Nawawi(676H.) 24)Syaikh Islam „Ulauddin al Athar (750-an H.) 25)Al Hafidl Abdurahim bin Husaini al Iraqi (806H.) 26)Al Hafidl Ahmad bi Hajar al Asqolani(852H.) 27)Syaikhul Islam Zakaria al Anshari (925H.)

28)Syaikh Syihabuddin Ahmadbin Hamzah al Ramli (981H.)

29)Syaikh Ibnu Hajar al Haitami (983H.)

30)Syaikh Jamaluddin al Jamal Muhammad al Ramli (1004H.)Al Ramli ini mempunyai murid banyak, diantaranya Ali bin Isa al Halabi dan Ahmad bin Muhammad al Ghanami,kemudian

47

32)Syaikh Sultan al Mujazi

33)Syaikh Ahmad al Basybisyi (Sybsyiri:1019H.) 34)Syaikh Ahmad al Khalifi(1100H.)

35)Syaikh al Syamsu al Hifni (1178H.)

36)Syaikh Abdullah bin Hijazi al Syarqowi (1227H.) 37)Syaikh Ibrahim al Bajuri (1276H.)

Syaikh Ahmad Rifa‟i bin Muhammad bin Abi Sujak (286H.) (Amin,1995:54-55).

4. Murid-murid KH Ahmad Rifa’i

Selama menetap di Jawa, Syaikh Ahmad Rifa‟i mendirikan pondok,pesantren di Kaliwungu Kendal dan kemudian di Kalisalak Batang, akan tetapi penulis belum menemukan nama pondok yang didiriakan beliau. Akan tetapi penulis menemukan sumber dari Ahmamad Syadzirin Amin (1996 : 13), di Kalisalak, Pondok tempat santri-santri mengaji dirusak, dan sebagian kitab yang tersisa diangkut Batang. Menurut Muhammad Bibit Suprapto (2003: 204), sekembalinya dari Makkah Rifa‟i mengasuh Pesantren kakak iparnya Kyai Asy‟ari, kemudian setelah itu pindah ke Kalisalak dan mendirikan Pondok Pesantren di sana, santrinya dari berbagai kota sperti Wonosobo, Pekalongan, hingga Pati.

48

Dari penulisan di atas dan berdasarkan sumber yang ada penulis tidak menemukann nama pondok yang didirikan oleh K.H Ahmad Rifa‟i,baik di Kendal maupun Batang, akan tetapi berdasarkan sumber di atas hampir semua sumber menyatakan bahwa memang di dua daerah tersebut K.H Ahmad Rifa‟i mempunyai pondok pesantren.

Di kalisalak beliau mengajar santri-santri dari berbagai penjuru pulau Jawa ( Muhammad Amin Ridlo, 2008:104-107). Murid-murid KH Ahmad Rifa‟i di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Kiai Ilham (Abu Ilham), Kalipucang Batang

2. Kiai Maufuro bin Nawawi, Keranggonan Limpung, Batang 3. KH Abdul Qahar, Bekinkin, Cepiring, Kendal

4. Kiai Abdul Aziz, Tempusari, Wonosobo

5. KH Muhammad Thubo bin Radan, Purwasari, Kendal 6. Kiai Abu Hasan, Tangkilan, Kepil, Wonosobo

7. Kiai Hasan Dimedjo bin Abu Hasan, Tangkilan, Kepil, Wonosobo 8. Kiai Abdul Hamid, Karangsambo, Wonosobo

9. Kiai Manshur, Sapuran, Wonosobo 10.Kiai Manshur, Ngadisalam , Wonosobo 11.Kiai Muhammad Iskaq, Candi, Wonosobo 12.Kiai Abdul Ghani, Ngadisalam, Wonosobo 13.Kiai Abdul Hadi, Dalangan, Kertek, Wonosobo

49

14.Kiai Muhammad Thayib, Kalibening, Wonosobo 15.Kiai Muhammad Hasan, Bugangan, Wonosobo 16.Kiai Muharrar, Bengkek, Purworejo

17.Kiai Imam Tani ( Mantani), Kutawinangun, Kebumen 18.Kiai Muhsin, Cempokomulya, Gemuh, Kendal

19.Kiai Abu Salim, Paesan, Kedungwuni, Pekalongan 20.Kiai Asnawi, Wonoyoso, Buaran, Pekalongan 21.Kiai Idris bin Ilham, Kalipucang, Batang, Indramayu 22.Kiai Abdul Hadi, Karangsemut

23.Kiai Muhammad Ilyas Sembung, Kampil, Wiradesa, Pekalongan 24.Kiai Ahmad Hasan, Wiyanggong, Wiradesa, Pekalongan

25.Kiai Muhammad Thayib, Kalibari, Batang 26.Kiai Munawir, Wonobodro, Batang, Pekalongan 27.Kiai Abdul Manan, Terpuro, purwodadi, Grobogan 28.Kiai Abdul Fatah, Sikidang. Wonosobo

29.Kiai Kertoyudho, Plandi, Kertek, Wonosobo 30.Kiai Murdoko, Krakal, Karangluhur, Wonosobo 31.Kiai Kentol Jariyah, Wonoyoso, Buaran, Pekalongan 32.Kiai Cholifah, Longkeyan, Pemalang

33.Kiai Salamon, Wonosobo

34.Kiai Abdul Muhyi, Bekinkin, Cepiring, Wonosobo 35.Kiai Hasan Madjakir, Wonosobo

50

36.Kiai Mas Soemodiwerjo, Salatiga 37.Kiai Abdul Saman, Trobo, Kendal

38.Kiai Hasan Moecharam, Limbang, Wonosobo 39.Kiai Hasan Iman, Wonosobo

40.Kiai Chasan Monada, Wonosobo 41.Kiai Dolak( Abdullah), Magelang 42.Kiai Srie Kasri, Wonosobo 43.Kiai Abdul Yahya

44.Kiai Mangoenpoetip 45.Kiai Abdoel Jalil

46.Sayyid Abdurrahman, Saparua, Ambon 47.Sayyid Abdullah, Ambon, Maluku 48.Sayyid Abu Bakar, Ambon, Maluku

49.Kiai Abdursyid, Tursino, Kutorajo, Kebumen, Puworejo 50.Kiai Hasan Murtojo, Tursino, Kutorajo, Kebumen, Puworejo 51.Kiai Hasan Mukmin

Hampir bisa dikatakan semua murid tersebut mengembangkan ajaran Islam dan pemikiran Ahmad Rifa‟i di daerah masing-masing melalui sarana pondok pesantren dan majlis taklim.

51

5. Karya

Apabila diamati mulai tahun 1254 H samapi 1275 H, Syaikh Ahmad Rifa‟i telah menulis karangan kitab sebanyak 65 karya tulis. Diantara tahun yang tidak mengarang kitab adalah 1258, 1264, 1268, 1271, 1274 dan 1275H, karena kesibukan beliau mengajar para santri, dan juga sulit untuk mendapatkan tinta. Tetapi bisa jadi juga karena tekanan politik dri Belanda. Atau juga bisa jadi kitab-kitab yang karang beliau pada tahun itu disita pihak Belanda (Ahmad Syadzirin Amin,1995:119-127).

Dari penulisan di atas, dapat diketahui bahwa K.H Ahmad Rifa‟i merupakan seseorang yang mempunyai cikal bakal seorang ulama, dari nasab keluarga beliau saja sudah dapat diketahui bahwa dia berasal dari keluarga yang kental dalam ilmu Agamnya, disebutkan pula kakek serta ayahnya selalu mengajarinya bab agama baik membaca ataupun menulis Al-Qur‟an. Bahkan setelah ayah dan kakeknya meninggal beliau tinggal bersama kakak kandungnya di mana kakak kandung Rifa‟i adalah istri dari seorang kiai di daerah Kendal yaitu H. Asy‟ari, kakak iparnyapun mengajari Rifa‟i dengan berbagai ilmu pokok dan Rifa‟i juga belajar dengan para ulama di daerah sana. Setelah beliau menjadi ulama santrinya pun banyak datang dari berbagai daerah di dekitar Jawa.

Dari riwayat pendidikan K.H Ahmad Rifa‟i dapat diketahui bahwa belaiu merupakan orang yang sangat rajin belajar dan selalu ingin belajar dan terus belajar, sembari dia sudah berkeluarga tidak menyurutkan semangatnya

52

untuk pergi belajar ke Makkah dan Mesir, bahkan di sana sampai sekitar 2 tahun lamanya, dan jelasnya Rifa‟i meninggalkan sanak keluarga di Kendal. Tidak dipungkiri pula Rifa‟i adalah seorang yang sangat cerdas, dapat diukur dari berbagai kitab yang telah beliau tulis, memang beliau terkenal sebagai seorang penulis yang produktif dengan berbagai karyanya di bidang Ushul, Fikih, maupun Tasawuf tertamanya, bahkan sampai sekitar 65 kitab yang beliau tulis. K.H Ahmad Rifa‟i merupakan seorang ulama yang tegas dalam berprinsip dan tidak takut tantangan dari manusia, keculai yang beliau takuti

Dokumen terkait