SULUK DEWARUCI
B. Kajian Isi
2. Ajaran Suluk/Tasawuf/Mistik Jawa
Dalam naskah SDR ini lebih banyak ajaran suluk daripada cerita perjalanan Bratasena secara lengkap. Terbukti secara tersurat naskah ini berisi tentang Tuhan, manusia dan bersatunya manusia dengan Tuhan, yang mana secara tersirat banyak makna dibalik itu semua. Untuk itu, di bawah ini dapat diulas dan dijelaskan sebagai berikut oleh peneliti.
a. Konsepsi Tuhan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Disini mengajarkan jika manusia harus berusaha untuk bersatu dengan Tuhan. Usaha untuk bersatu dengan Tuhan dapat dicapai melalui penghayatan mistik. Di dalam diri setiap manusia ada Tuhan, dan manusiapun sebaiknya sadar akan diri sendiri artinya sadar bahwa manusia adalah ciptaan-Nya. Hanya kepada Tuhan, manusia mendekatkan pada-Nya, karna hanya Tuhan yang paling
sempurna, yang kekal abadi. Seperti kutipan teks SDR (halaman 19 dan 20) di bawah ini:
“….ingaranan ingsun iku, kahanan kang tunggal kang mahasuci, kang ora kawoworan. Utawi ingsun iku ; ȇnggon kang langgȇng ora paran-paran iya ingsun iki ratu kang mulya tur kang sampurna; tȇgȇse ananingsun iki, kang ora wiwitan suwung; ya ingsun iki kang tȇrtamtu ing eling-eling sadurunge ana. Sawise ana tȇgȇse eling kang dumȇling; kang eling sangkaning ora. Yaiku kang jumȇnȇng ingsun.”
Terjemahan :
“….yang dinamakan Aku itu, hanya satu yang Mahasuci, yang tidak tercampur.Atau Aku itu; tempat yang abadi tidak bertujuan, Aku ini ratu yang mulia dan yang sempurna; artinya Aku ini ada, tidak dimulai dengan kekosongan, Aku ini yang tentunya diingat-ingat sebelum ada. Setelah ada artinya diingat-ingat apa yang harus diingat; yang diingat tidak asalnya. Yaitu yang berada di Aku.” Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tuhan hanya satu, tidak jamak atau lebih. Hanya Tuhan yang sempurna, tidak yang lain. Keberadaan Tuhan tidak berawal dan tidak berakhir, Dialah Dzat yang kekal/abadi. Tuhan ada sejak alam dan seisinya belum terbentuk. Tuhan hanya sendirian di alam yang kosong. Maka dari itu, Tuhan sebaiknya diingat selalu oleh manusia meskipun Tuhan tidak dapat dilihat secara langsung. Hal tersebut dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini:
“….sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn arah botȇn ȇnggèn, tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang tanpa wȇwayangan, inggih punika dating Atma, kang kawasa nitahakȇn saliring ngalam sadaya, gȇsang botȇn wontȇn kang anggȇsangi, inggih punika dumunung wontȇn ing urip kita.”
Terjemahan:
“…sifat Esa, bukan laki-laki, bukan perempuan, tidak berarah tidak bertempat, tanpa rupa, tanpa warna (tak jelas raut wajahnya), cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu Dzat atma, yang berkuasa menciptakan ke semua alam, hidup tidak ada yang menghidupi, yaitu semua berada di dalam pada hidup kita sendiri.”
Penjelasan kutipan di atas yakni Tuhan itu tidak laki-laki, tidak perempuan. Tuhan tidak pula mempunyai arah, tidak memiliki tempat, tidak berwujud. Hanya Tuhan yang mempunyai kuasa untuk memerintahkan ke semua alam. Manusia hanya menjalani dan berusaha, untuk hasilnya tergantung pada manusia itu sendiri. Contoh dalam kehidupan sehari-hari, keinginan manusia ingin bekerja sebagai manajer utama di perusahaan ternama. Untuk mendapat kursi manajer, tidak mungkin langsung didapat dengan mudah. Hal ini akan melewati tahapan-tahapan yang mungkin berawal menjadi satpam, lalu staff dan seterusnya. Dalam hal ini pula yang akan dinilai adalah keuletan seseorang. Keuletan merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Ungkapan tentang Tuhan dalam naskah SDR ini juga dijelaskan seperti kutipan berikut:
“Utawi yèn ora ana, esuk, sore, rina, wȇngi, kadim lan anyar, Gusti lan kawula, tȇgȇse dhewe-dhewe. Ora ana kawula dadi Gusti, Gusti dadi kawula. Ananging ana kalane limput-linimputan. Anyar anglimputi kadim, kadim anglimputi anyar, Gusti kalimputan ing kawula, kawula kalimputan ing Gusti.Utawi karone iku padha kanyataan kabèh, kadim aningali anyar, anane anyar tȇka kadim, kang nganakakȇn. Nyatane Gusti, ananing kawula, lan ananing kawula kanyataaning Gusti.”
Terjemahan:
“Atau jika tidak ada pagi, sore, siang, malam, abadi dan baru, Allah dan hamba, artinya sendiri-sendiri. Tidak ada hamba jadi Allah, Allah jadi hamba. Tetapi ada kalanya saling meliputi. Baru meliputi abadi, abadi meliputi baru, Allah meliputi di hamba, hamba meliputi di Allah. Atau dua-duanya itu semua, kenyataannya saling berkaitan. Abadi melihat yang baru, adanya yang baru sampai pada keabadian, yang mengadakan. Nyatanya Allah, adanya hamba, dan adanya hamba itu adanya Allah.”
Uraian di atas menyatakan bahwa apa yang ada di dunia ini maupun yang kita lihat dalam kehidupan di bumi ini saling terkait atau meliputi. Tidak sendiri-sendiri. Adanya hamba (manusia) itu karena Allah, Allah juga berada di dalam setiap manusia. Keduanya saling meliputi ataupun berkaitan. Ibaratnya dalam kehidupan perlu adanya kegotong-royongan antarmasyarakat, tidak berjalan sendiri-sendiri.
Dalam naskah SDR ini juga disebutkan sifat yang dimiliki Allah. Seperti pada kutipan berikut:
“Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir sipat, inggih sipat ingkang mahasuci, ing mangke kawȇdharakȇn satunggil - tunggilipun, kasȇbut kados ing ngandhap punika:
Sipat jalal, tȇgȇsipun agung, ingkang agung datipun, mila dipuntȇmbungakȇn agung, amargi tanpa wȇwangȇnan, awit botȇn lukak, botȇn wuwuh, kawasa nglimputi ing jagad sadaya, inggih punika wontȇnipun amung langgȇng.”
Terjemahan:
“Maka ketahuilah, yang bernama anasir sifat, yaitu sifat yang Mahasuci, yang nantinya dijelaskan susunannya, yang disebut seperti di bawah ini:
Sifat jalal, artinya agung, Dzat yang agung, maka disebut agung, karena tanpa batas, mulai tidak berbelok, tidak tumbuh, berkuasa meliputi semua dunia, yaitu hanya keberadaannya yang abadi.” Dalam uraian tersebut dijelaskan bahwa sifat yang Mahasuci (Allah) yakni memiliki sifat jalal, yang artinya agung. Allah Mahabesar. Di dunia ini hanya Allah yang berkuasa dan hanya Dia yang abadi. Selain itu Allah juga memiliki sifat jamal. Seperti kutipan berikut:
“Sipat jamal, tȇgȇsipun elok, ingkang elok sipatipun, mila sipatipun katȇmbungakȇn elok, amargi dede jalȇr, dede estri, botȇn rupa, botȇn warna, botȇn arah, botȇn ȇnggèn, dumunung wontȇn ngalam baka, tȇgȇsing baka langgȇng.”
Terjemahan:
“Sifat jamal, artinya indah, yang indah itu sifatnya, maka dari itu disebut indah, karena tidak laki-laki, tidak perempuan, tidak berupa/berwujud, tidak berwarna, tidak berarah, tidak bertempat, berada di alam baka, artinya baka abadi.”
Uraian tersebut menjabarkan bahwa Allah memiliki sifat jamal yang artinya indah, sebab Allah tidak laki-laki, tidak pula perempuan. Tidak berwujud. Tempatnya Allah hanya di alam baka/gaib. Tidak dapat dapat dilihat secara langsung. Dialah Sang Penguasa atas segalanya, yang mampu membolak-balikkan takdir seperti hanya membalikkan telapak tangan. Oleh sebab itu, Tuhan memiliki sifat yang disebut sifat khahar.
“Sipat khahar, tȇgȇsipun wisesa, ingkang wisesa asmanipun, mila asma dipunbasakakȇn wisesa. Inggih punika ingkang nama amurba, amisesa kang kawasa.”
Terjemahan:
“Sifat khahar, artinya kuasa, yang kuasa namanya, maka dari itu diberi nama kuasa, [19] yaitu yang bernama Pencipta, Kuasa yang berkuasa segalanya.”
Uraian di atas menunjukkan bahwa Allah yang berkuasa atas segalanya. Dialah pencipta adanya bumi dan seisinya. Hanya Allah yang sempurna. Jika manusia, baik laki-laki dan perempuan yang sempurna wujudnya maupun sikapnya, kesempurnaan itu hanya milik Sang Khaliq. Seperti kutipan berikut sifat Allah:
“Sipat kamal, tȇgȇsipun sampurna, ingkang sampurna apngalipun, tȇgȇsipun sampurna mulih, mila katȇmbungakȇn sampurna, awit sampun botȇn bȇbadhe malih, inggih punika karsa Hyang Wisesa jumȇnȇng kalawan sibadènipun.”
Terjemahan:
“Sifat kamal, artinya sempurna, yang sempurna perbuatannya, artinya pulang/kembali dengan sempurna, sudah mulai tidak akan lagi, yaitu keinginan Mahakuasa berkuasa dengan keinginannya.”
b. Konsepsi Manusia
Penggambaran penciptaaan manusia dalam naskah SDR ini sama halnya penciptaan dunia. Kalau dunia adalah jagad besar dan manusia merupakan jagad kecilnya.
“Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir jagad, kados ing ngandhap punika:
Ingkang tumitah rumiyin, punika banyu, tȇgȇsipun rah kaliyan riwe. Kaping kalih latu, tȇgȇsipun inggih punika nȇpsu kaliyan cahya. Kaping tiga angin, tȇgȇsipun punika napas. Kaping sakawan bumi, tȇgȇsipun punika dados jasad, utawi kulit daging. Benjang ingkang rinacut rumiyin banyu, nuntȇn,: gȇni, nuntȇn,: angin, nuntȇn,: bumi.”
Terjemahan:
“Maka inilah, yang dinamakan anasir jagad/dunia, seperti di bawah ini:
Yang diciptakan terlebih dahulu, yaitu air, artinya darah dan keringat. Yang kedua api, artinya yaitu nafsu dan cahaya. Yang ketiga udara, artinya nafas.Yang keempat bumi, artinya menjadi jasad, atau kulit daging. Besok yang dicabut terlebih dahulu air, lalu,: api, lalu,: udara, lalu,: bumi.”
Uraian di atas memperjelas bahwa, anasir yang ada di jagad besar merupakan perwujudan di jagad kecil. Anasir ataupun unsur dalam jagad besar yakni adanya air, api, udara, bumi. Masing-masing anasir tersebut merupakan suatu wujud anasir yang ada pada jagad kecil. Seperti, air jika di jagad besar, akan tetapi dalam jagad kecil (manusia) menjadi perwujudan darah dan keringat. Di jagad besar ada api, dalam jagad kecil api menjadi dua perwujudan. Yakni perwujudan yang baik dan perwujudan buruk. Perwujudan buruk dalam bentuk nafsu (marah, rasa keinginan, murka), sedangkan perwujudan baik akan memunculkan cahaya atau kepribadian baik pula (usaha, sabar, ikhlas, selalu menerima). Selanjutnya ada anasir udara, dalam jagad kecil udara menjadi perwujudan
dari nafas. Tanpa nafas manusia tak mungkin hidup. Anasir yang terakhir yakni bumi. Bumi menjadi perwujudan jasad atau kulit daging. Anasir bumi yang merupakan perwujudan jasad atau kulit daging ini berhubungan dengan tȇdhak siten. Tȇdhak siten adalah salah satu prosesi upacara adat Jawa untuk bayi yang berumur 7 (tujuh) bulan dalam penanggalan Jawa. Tȇdhak artinya menapakan/memijak/turun, sedangkan siten yang berarti siti artinya tanah. Dimana bayi yang berumur 7 (tujuh) bulan harus dapat menapakan/memijak/menurunkan kakinya ke tanah. Hal ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Selain itu sebagai penghormatan kepada bumi, dimana tempat seorang anak tinggal dan pertama kalinya menginjakkan kaki ke tanah. Sebagai lambang permohonan do’a kepada Tuhan agar si anak kelak siap menghadapi halangan, rintangan, cobaan, dapat membahagiakan kedua orang tuanya serta diberi kemudahan/kelancaran, keselamatan, kesehatan, dan rejeki di dunia. Ini wajar dilaksanakan bagi masyarakat Jawa yang masih menjunjung tinggi nilai budaya, karena memang manusia hidup di dunia sudah ada yang mengatur, dan setiap manusiapun berbeda-beda jalan nasibnya.
Setiap manusia yang diciptakan-Nya memiliki empat (4) unsur cahaya dalam dirinya. Dimana cahaya tersebut akan menimbulkan nafsu pada manusia. Semua tergantung manusia dalam mengendalikan ataupun menyikapinya. Kutipan dalam SDR sebagai berikut:
“….wahananing nȇpsu kawan prakawis, ingkang sami dados durgamaning manah.
Ingkang cȇmȇng, pandamȇlipun murugakȇn hawaning luwe arip sapanunggilanipun.
Ingkang abrit, pandamȇlipun murugakȇn hawaning angkara, kadosta: panasten, dȇduka sapanunggilanipun.
Ingkang jȇne, pandamȇlipun murugakȇn hawaning murka, kadosta, pȇpenginan, pakarȇman, kabingahan sapanunggilanipun.
Ingkang pȇthak, punika tanpa hawa amung murugakȇn, lobaning kautaman, kadosta: puja brata, sapanunggilanipun.”
Terjemahan:
“….keberadaan nafsu empat perkara, yang bersama-sama menjadi halangan, godaan atau bahayanya hati.
Yang hitam, pekerjaannya menyebabkan rasa lapar, terasa mengantuk dan sejenisnya.
Yang merah, pekerjaannya menyebabkan angkara murka, seperti: iri hati, pemarah dan sejenisnya.
Yang kuning, pekerjaannya menyebabkan hawa kemurkaan, seperti: banyak keinginan, yang disukai bersuka ria dan sejenisnya. Yang putih, tanpa hawa nafsu hanya menyebabkan, murka atau serakah terhadap keutamaan/ kebaikan, seperti: bertapa, selalu berdo’a kepada-NYA, dan sejenisnya.”
Empat unsur cahaya di atas adalah godaan dalam kehidupan manusia di dunia. Jika tak ada empat cahaya yang saling bertolak belakang seperti di atas, perjalanan hidup manusia akan datar-datar saja. Oleh karena itu, Tuhan menciptakan manusia dengan adanya unsur tiga cahaya (hitam, merah, kuning) yang akan mengakibatkan manusia untuk berbuat keburukan, dan hanya ada satu cahaya (putih) agar manusia untuk berbuat kebaikan. Hal ini sebagai bentuk penilaian Tuhan terhadap hamba-Nya seberapa jauh hamba-Nya itu dapat mengendalikan nafsu buruk, untuk berjalan mendekat kepada-Nya dalam hal kebaikan. Empat cahaya tersebut memiliki nama nafsu sendiri, seperti kutipan berikut:
“Nȇpsu luamah, ȇmpanipun murugakȇn ngangsa-angsa, ing dȇlahan dados cahya cȇmȇng, dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun lali, ing ngriku panggènaning supe, poma dipunèngȇt.
Nȇpsu amarah, inggih nȇpsu hawa, ȇmpanipun murugakȇn duka lan murka, ing dȇlahan dados cahya abrit, dipunwastani ngalam lahut, ing ngriku panggènaning rȇkaos, sabab punika awit sangganging adon-adon sadaya, punika poma-poma dipunpoma. Nȇpsu supiyah, ȇmpanipun murugakȇn supe kaliyan penginan, ing delahan dados cahya jȇne, dipunwastani ngalam jabarut, ing ngriku panggènaning gingsir, poma dipunsantosa.
Nȇpsu mutmainah, ȇmpanipun murugakȇn emut, ing dȇlahan dados cahya pȇthak, dipunwastani ngalam malakut, ing ngriku panggènaning sumȇrȇp karaton, poma dipunwaspada, karana ing ngriku cahyaning pramana dhatȇng katingal sasi : cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, sami anglimputi dating karaton, ananging punika dede sajatosing karaton kang rinakit mahasuci.”
Terjemahan:
“Nafsu luamah, yang menyebabkan serakah, di akhirat nantinya menjadi cahaya hitam, yang dinamakan alam nasut, artinya lupa, di situ tempatnya kelalaian, oleh karena itu harus diingat.
Nafsu amarah, yaitu nafsu panas, yang menyebabkan marah dan keserakahan, yang nantinya menjadi cahaya merah, yang dinamakan alam lahut, di situ tempat yang sulit, sebab itu datangnya dari sikap, oleh karena itu harus waspada.
Nafsu supiyah, yang menyebabkan lupa dan keinginan, yang nantinya jadi cahaya kuning, yang dinamakan alam jabarut, di situ tempat yang harus disingkirkan, agar sentosa.
Nafsu mutmainah yang menyebabkan ingat, yang nantinya menjadi cahaya putih, yang dinamakan alam malakut, di situ tempatnya mengetahui istana, harap tenang dan hati-hati, karena di situ cahaya pramana yang datang terlihat: hitam, merah, kuning, putih, hijau meliputi Dzat istana, tetapi itu bukan sejatinya istana yang diatur oleh yang Mahamulia.”
Uraian di atas semakin memperjelas, berbagai perwujudan nafsu dari berbagai macam cahaya yang kelak di alam gaib akan berbeda pula alamnya. Semua tergantung manusia yang menjalaninya sewaktu di dunia. Manusia yang sempurna sebaiknya manusia yang dapat mengendalikan nafsu luamah, amarah, supiyah, mutmainah.
Pemahaman tentang manusia dalam naskah ini juga menjelaskan bahwa ada tujuh nama hati atau bayangan roh, akan tetapi pada hakikatnya hanya satu. Seperti berikut kutipannya:
“Ati sir, wȇwayanganing roh jasmani, pandamȇlanipun dados andarbeni karsa.
Ati suksma, wȇwayanganing rokhani, inggih roh rabani, pandamȇlanipun dados andarbeni pangrasa.
Ati jinȇm, wȇwayanganing roh khewani, pandamȇlanipun dados andarbèni panȇdya kaliyan pangrasa.
Ati puad, wȇwayanganing roh nabati, pandamȇlipun dados andarbèni panyana lawan pangesthi.
Ati budi, wȇwayanganing roh rahmani, pandamȇlanipun dados andarbeni panggraita lan akal.
Ati maknawi, wȇwayanganing roh nurani, pandamȇlipun dados andarbeni cipta.
Ati sanubari, wȇwayanganing roh ilapi, pandamȇlanipun dados andarbeni karȇp kaanan sadaya.”
Terjemahan:
“Hati sir, merupakan bayangan roh jasmani, pekerjaanya menjadi memiliki kehendak.
Hati suksma, bayangannya rohani, yaitu roh rabani, pekerjaanya memiliki perasaan.
Hati jinem, bayangannya roh hewani, pekerjaanya memiliki banyak mau/berkehendak/keinginan dan rasa.
Hati puad, bayangannya roh nabati, pekerjaanya memiliki sangkaan/perkiraan dan pikiran beribadah.
Hati budi, bayangannya roh rahmani, pekerjaanya memiliki angan-angan dan akal.
Hati maknawi, bayangan roh nurani, pekerjaanya memiliki gagasan/ pikiran.
Hati sanubari, merupakan bayangan roh idlafi, pekerjaanya memiliki semua keinginan.”
c. Konsep Manunggaling Kawula Gusti
Pada intinya dalam naskah SDR ini mengajarkan tentang manunggaling kawula Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan). Maksudnya cara hidup yang seperti apa untuk mencapai atau mendapatkan penghayatan kesatuan antara manusia dengan Sang Khaliq atau Tuhannya. Untuk mencapai penghayatan tersebut dibutuhkan beberapa tahapan-tahapan/tingkatan-tingkatan layaknya seperti apa yang telah diketahui ataupun dijalani oleh para wali. Seperti pada kutipan SDR (halaman 6 dan 7) berikut:
“Sarengat dunungipun wontȇn ing tutuk, pandamȇlipun dhatȇng pangalȇm tuwin panacad, lampahipun trima, tȇgȇsipun sabar. Tarekat dunungipun wontȇn ing grana, pandamȇlipun dhatȇnging karsa, lawan panampik, lampahipun lila.
Hakekat dunungipun wontȇn ing karna pandamȇlipun dhatȇng kasuran, kaliyan kaajrihan lampahipun tȇmȇn.
Makripat dunungipun wontȇn ing netra, pandamȇlipun dhatȇng katrȇsnan kalawan dhatȇng kasȇngitan, lampahipun utami.”
Terjemahan:
“Syariat yang bertempat di mulut, yang pekerjaannya sebagai pemberi simpati/ucapan yang baik dan pemberi cacat/ ucapan yang menyakitkan, jalannya menerima, artinya sabar.
Tarikat yang bertempat di hidung, yang pekerjaannya berkehendak dan menerima, jalannya ikhlas.
Hakikat yang tempatnya di telinga yang pekerjaannya berani dan ketakutan yang jalannya kejujuran.
Makrifat yang tempatnya di mata, yang kerjanya mencintai dan iri hati, yang jalannya utama.”
Kutipan di atas menjelaskan untuk mencapai penghayatan kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Yakni setiap manusia sebaiknya memiliki sifat sabar. Sabar artinya sabar dalam menghadapi perjalanan hidup di dunia. Mulai dari permasalahan ringan sampai permasalahan berat,
manusia diharapkan untuk sabar dalam menyikapinya. Selanjutnya manusia sebaiknya mempunyai rasa ikhlas terhadap segala hal, mulai dari menjalani, ditinggalkan maupun meninggalkan. Jika manusia sudah bisa menjalani kehidupan dengan sabar, ikhlas, lalu diikuti kejujuran. Manusia sebaiknya memiliki perbuatan jujur terhadap semua makhluk ciptaan-Nya. Terlebih jujur kepada Sang Khaliq. Karena dengan adanya kejujuran, dengan begitu manusia akan mematuhi semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dan inilah jalan utama untuk mencapai penghayatan manusia kepada Tuhan.
Hal ini serupa pula dengan cerita Dewaruci. Perjalanan Bratasena untuk mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) tidak mudah. Diperlukannya niat yang sungguh-sungguh dan banyaknya godaan di setiap langkahnya. Langkah perjalanan Bratasena ini berurutan dan langkah tersebut merupakan perjalanan mistis dengan (4) empat tahapan, yakni: syariat, tarikat, hakikat, makrifat. Berikut pemaparannya:
Pada kutipan teks SDR (halaman 1) di bawah ini:
“…Bratasena nalika puruhita dhatȇng Dhanghyang Druna. Lajȇng anglampahi sapitȇdahipun…”
Terjemahan:
“…Bratasena ketika berguru kepada Dhanghyang Druna selalu menjalani nasihatnya…”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Bratasena mempunyai guru yang bernama Druna. Druna adalah guru yang dipercaya oleh Bratasena. Oleh karena itu semua yang dikatakan/diperintahkan, pasti dilaksanakan Bratasena. Ini merupakan tahapan/tingkatan syariat pada perjalanan Bratasena. Kemudian tahapan tarikat dalam perjalanan Bratasena ini
dilambangkan Bratasena mematuhi semua perintah dari Druna, seperti pada kutipan (halaman 1 dan 2) berikut:
“Ingkang rumiyin tinȇdah dhatȇng ardi Rȇksamuka, tȇgȇsipun sampun ngambah ing makripat. Lajȇng amȇjahi dȇnawa: Rukmaka, Rukmakala. Rukmaka pȇjahipun dados Bathara Endra. Tȇgȇsipun Endra gunung inggih punika ngibarat badan sakojur, utawi dados wȇwȇnganing betalmakmur. Rukmakala pȇjahipun dados Bathara Bayu, tȇgȇsipun Bayu, betal mukadas. Ingkang kaping tiga, Bratasena dhatȇng sumur sigrangga, tȇgȇsipun, punika ngibarat kasing badan. Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis…”
Terjemahan:
“Yang pertama ditunjukkan ke gunung Reksamuka, artinya mulai memasuki alam makrifat. Lalu membunuh raksasa: Rukmaka, Rukmakala, matinya Rukmaka menjadi/berubah Bathara Endra. Artinya Endra gunung, yaitu ibaratnya semua tubuh, atau jadi cahayanya Baitul Makmur. Rukmakala terbunuh menjadi Bathara Bayu, artinya angin, Baitul Muqadas. Yang ketiga, Bratasena datang ke sumur Sigrangga, artinya itu ibarat kesentosaan atau keperkasaan badan. Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya: mengendalikan empat nafsu perkara.”
Uraian tersebut membuktikan jika Bratasena seorang murid yang patuh terhadap perintah dari gurunya yakni Druna. Sang Guru memerintahkan Bratasena untuk pergi ke gunung Reksamuka untuk mencari Tirta Pawitrasari. Akan tetapi di sana Bratasena tidak menemukan air kehidupan, hanya dua raksasa yang menghadang Bratasena. Dua raksasa tersebut yakni Rukmaka dan Rukmakala. Rukma artinya emas, sedangkan muka artinya wajah. Dua raksasa ini dapat disimbolkan wanita dan harta. Rukmaka merupakan perwujudan simbol dari wanita, sedangkan Rukmakala disimbolkan dengan emas (harta). Wanita dan harta merupakan godaan duniawi bagi seseorang yang ingin mencari jati dirinya. Dapat mengalahkannya dua raksasa tersebut merupakan simbol bahwa Bratasena setidaknya sudah dapat mengendalikan hawa nafsu. Setelah dua raksasa itu
dibunuh Bratasena, dua raksasa ini adalah hilang dan berubah menjadi Bathara Endra dan Bathara Bayu. Dua raksasa tadi merupakan penjelmaan dari Bathara Endra dan Bathara Bayu. Dua Sang Dewa ini kemudian menyuruh Bratasena untuk kembali ke Druna dan menanyakan yang sesungguhnya keberadaan Tirta Pawitrasari. Tanpa berpikir panjang, Bratasena bergegas meninggalkan tempat tersebut dan kembali pulang