• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ANALISIS DATA"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

41

BAB II

ANALISIS DATA

Pada bab dua ini, peneliti membahas dua kajian. Kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis membahas tentang cara kerja filologi berdasarkan penggarapan naskah tunggal yakni metode standar, sedangkan kajian isi membahas tentang suluk atau mistik yang terkandung dalam naskah SDR ini.

A. Kajian Filologis

Kajian filologis ini digunakan untuk menggambarkan, melukiskan, menuliskan, melaporkan objek penelitian dengan cara mengkritisi teks yang bersih dari kesalahan berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya. 1. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai wujud dan fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Edwar Djamaris (2002: 11) menguraikan bahwa naskah yang sudah berhasil dikumpulkan, segera diolah berupa deskripsi naskah. Hal-hal yang diungkapkan dalam membuat deskripsi suatu naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986: 2), yaitu judul naskah; nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah; keadaan n askah; ukuran naskah; tebal naskah; jumah baris per halaman; huruf, aksara, tulisan; cara penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur naskah; pengarang/ penyalin; asal usul naskah; fungsi sosial naskah; dan ikhtisar teks/ cerita. Deskripsi naskah SDR adalah sebagai berikut :

(2)

a. Judul Naskah

Naskah ini berjudul Suluk Dewaruci

Gambar 27: Judul naskah SDR Berbunyi : “Suluk Dewaruci”

Inilah sampul bagian luar pada naskah. Masih terlihat utuh, tetapi pada jilidan sudah terlihat sobek sedikit, dan pada kertas yang bertuliskan judul juga terlihat sobek sedikit.

Judul naskah secara eksplisit juga tersurat pada halaman 1 baris pertama.

Gambar 28: Judul naskah secara tersurat Berbunyi : “Punika tȇgȇsipun Suluk Dewaruci…”

(3)

b. Nomor Naskah

Tidak ada nomor naskah pada naskah ini, karena naskah ini merupakan milik pribadi.

c. Tempat Penyimpanan Naskah

Naskah ini disimpan di rumah Bapak Joko Setiono yang beralamatkan di Jalan Raden Patah, Dusun Jambean, Desa Cekok, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur.

d. Asal Naskah

Naskah SDR ini awalnya dibeli dari seorang pedagang yang berjualan di pasar loak Gladak, Surakarta, Jawa Tengah.

e. Keadaan Naskah

Keadaan naskah secara fisik masih baik dan utuh/lengkap. Jilidan pada naskah ini hanya menggunakan benang warna merah, tapi ada yang sobek sedikit pada jilidan. Tidak ada lembaran naskah yang hilang maupun isi naskah yang berlubang. Pada halaman 15 kertas bagian tepi agak rapuh/sobek sedikit. Kertas pada sampul naskah berwarna kebiruan kusam, dengan kertas isi naskah berwarna putih agak kecoklat-coklatan. Pada sampul naskah tertulis judul naskah, yang menggunakan bolpoin warna biru. Akan tetapi, pada isi naskah menggunakan bolpoin warna hitam. Dan terlihat seperti bekas lipatan pada naskah ini.

(4)

Gambar 29: Pemakaian tinta biru pada judul

Pemakaian bolpoin biru pada penulisan judul naskah di cover depan.

Gambar 30: Penjilidan naskah

Penjilidan naskah menggunakan benang warna merah dan terlihat masih rapi.

Gambar 31: Bagian tepi naskah

(5)

Gambar 32: Bekas lipatan pada naskah

Pada naskah yang ditemukan peneliti terlihat adanya bekas lipatan naskah simetris.

Gambar 33: Kondisi jilidan naskah

(6)

f. Ukuran Naskah 1) Ukuran Kertas Panjang : 21,3 cm Lebar : 17,2 cm 2) Ukuran Teks Panjang : 17,5 cm Lebar : 12 cm Margin atas : 1,7 cm Margin bawah : 2,1 cm Margin kanan : 3,1 cm Margin kiri : 2,1 cm g. Tebal Naskah

Tebal naskah ini 0,3 cm dengan rincian halaman sebagai berikut :

1) Cover dalam -

2) Isi naskah 38 halaman

3) Halaman kosong 2 halaman kosong setelah sampul depan Jadi, total halaman pada naskah SDR ada 40 halaman.

h. Jumlah Baris Tiap Halaman

Jumlah baris tiap halaman pada naskah SDR ada 21 baris, kecuali pada halaman terakhir, yakni halaman 38 ada 23 baris.

(7)

i. Huruf, Aksara, dan Tulisan

1) Huruf yang digunakan dalam naskah SDR ini menggunakan huruf Jawa. 2) Aksara yang digunakan dalam naskah ini memakai aksara Jawa carik miji

ketumbar (ngȇtumbar). 3) Tulisan

Pada naskah SDR ini tulisannya bolak-balik, rapi, dan jelas. Akan tetapi ada beberapa halaman yang tintanya sudah mulai luntur. Seperti pada halaman 25, 27, 29, 30-33 dan 35. Hal ini dimungkinkan kualitas tinta yang kurang baik, sehingga mengakibatkan penulisan di verso agak sulit untuk dibaca. Tulisan dalam naskah ini menggunakan style aksara Jawa miji ketumbar (ngȇtumbar) dengan condong ke kanan. Tulisan naskah ini juga menggunakan tinta warna hitam, kecuali pada judul menggunakan tinta biru. Penekanan pena dalam naskah ini tidak menentu, ada yang tipis ada yang tebal. Mayoritas tulisannya cukup tebal dan jelas. Tulisan naskah ini bagus, sehingga mudah dibaca. Halaman juga ditulis dengan aksara Jawa.

(8)

Gambar 34. Penulisan pada naskah

Seperti inilah tulisan naskah, terlihat rapi dan jelas.

Gambar 35: Penulisan yang mulai luntur tintanya

Contoh : pada halaman 27 tulisannya sudah mulai luntur tintanya, akan tetapi masih bisa dibaca.

(9)

j. Cara Penulisan

Penulisan teks pada setiap halaman ditulis dengan bolak-balik atau lebih dikenal dengan sistem recto verso, yaitu lembaran naskah yang ditulisi pada kedua halaman depan belakang. Selain itu teks juga ditulis ke arah lebar, dimana teks tersebut ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah, ditulis dari kiri ke kanan. Penulisannya sangat rapi.

Gambar 36: Tulisan spidol biru a (halaman 1)

Pada halaman 1 di pojok kanan atas terlihat tulisan dengan spidol warna biru, tetapi tulisan itu tidak terlalu jelas dan sulit untuk dibaca.

Begitu pula pada halaman 16 dijumpai lagi, akan tetapi tulisan spidol birunya terdapat di pojok kiri bawah. Seperti gambar di bawah ini.

(10)

Penyisipan ditulis seperti pada di bawah ini:

Gambar 38: Penyisipan a

Berbunyi: “…punika dados jasad…”(halaman 18), penyisipan kata “dados” ditambahkan di atasnya.

Terjemahan : “…ini menjadi jasad…”

Gambar 39: Penyisipan b

Berbunyi: “….lajȇng….”(halaman 5), penyisipan kata “lajȇng” ditulis di bawahnya.

Terjemahan: “…selanjutnya…”

Penulisan yang salah jelas dengan adanya coretan. Seperti di bawah ini:

(11)

Gambar 41: Coretan b (halaman 15)

Gambar 42: Coretan c

Berbunyi: “ing jagada. . .” dan “ipun” (halaman 16) Terjemahan: “ di dunia. . .” dan “nya”

Gambar 43: Coretan d

Berbunyi: “…ing ngandhap…”(halaman 25) Terjemahan: “…di bawah…”

(12)

Gambar 44: Coretan e

Berbunyi: “…manjing pangrunguning bapa lan biyang, sabab bapa aningali biyang wus birahi…” (halaman 31)

Terjemahan: “…memasuki pendengaran bapak dan ibu, sebab bapak melihat ibu sudah bernafsu…”

k. Bahan Naskah

Bahan yang digunakan pada naskah SDR ini adalah kertas. Kertas bergaris, tetapi pada kanan dan kiri kertas terdapat garis bantu dengan pensil, sehingga penulisannya rapi. Selain itu kertasnya berwarna putih kecoklatan, sedangkan pada sampulnya berwarna kebiru-biruan. Kualitas kertas cukup baik, akan tetapi kertas ini juga mudah rusak, misalnya pada kertas yg bertuliskan judul naskah yang bagian tepi sudah ada yang sobek, begitu pula pada jilidannya.

l. Bahasa Naskah

Naskah SDR menggunakan bahasa Jawa Baru ragam krama, akan tetapi di dalamnya banyak ditemukan kata-kata serapan dari bahasa Arab.

(13)

m. Bentuk Teks

Naskah ini berbentuk prosa (gancaran). Keseluruhannya terdiri dari 16 bagian, akan tetapi dalam bagian ke-16 bukan merupakan SDR atau tidak ada kaitannya dengan SDR, meskipun masih dalam satu jilidan naskah. Adapun kalimat pada bagian ke-16 yakni:

Gambar 45: Bagian terakhir (halaman 38) Berbunyi sebagai berikut :

“Punika pȇthikan saking Srat Pustakaraja, andikanipun Risang Suyati, Dewi Rugmawati, ingkang pȇpidik wontȇn ing Wukir Mahendra, dhumatȇng buyut, wastana.

1. tapaning ati iku tȇmȇn, sing sapa tȇmȇn atine, adad barang kang kinarȇpake tȇka.

2. tapaning nyawa iku mung eling, sing sapa eling ing dalȇm sadina sapisan kewala, adad barang kang sinȇdya ana.

(14)

3. tapaning rasa iku mung ȇning, sing sapa ngeningakȇn ing dalȇm sadina sapisan kewala, adad kang cinipta dadi”.

Terjemahan :

“Inilah kutipan dari Serat Pustakaraja, beliau adalah Risang Suyati, Dewi Rugmawati, yang bertempat tinggal di Gunung Mahendra, kepada buyutnya, bernama.

1. Tapa hati itu bertapa di tingkat hati itu sungguh-sungguh, yang siapa sungguh-sungguh hatinya, maka apa yang diinginkan akan datang.

2. Tapa nyawa itu bertapa di tingkat nyawa itu hanya ingatan, yang siapa selalu ingat di setiap harinya saja, maka apa yang diinginkan ada.

3. Tapa rasa itu bertapa di tingkat rasa itu hanya jernih, yang siapa menjernihkan rasa setiap harinya sekali, maka biasanya yang diinginkan tercapai.”

Bagian ke-16 ini masih masuk pada naskah halaman 38, akan tetapi bukan bagian dari SDR. Hal ini dapat dibuktikan pada Blog Kyai Sayyid Ahmad Muhammad yang berjudul Pustakaraja Purwa Rahasia Sejarah Tanah Djawa NKRI. Kutipannya sebagai berikut:

Dewi Rukmawati dhawuh:

“He Kupa, salawase kowe tȇmȇn ing ati, saiki wus ora. Jer tapaning ati wus owah, èngȇta yèn:

tapaning ati iku tȇmȇn

tapaning nyawa iku mung eling tapaning rasa iku mung ȇning

Sing sapa ing saben sadina sapisan bae ngeningake rahsa, adat barang kang cinipta dadi

Sing sapa ing sadina sapisan eling, samubarang kang kinarsakna tȇka Sing sapa tȇmȇn atine salawase adat barang kang kinarȇpna dadi”

(15)

Terjemahan :

Dewi Rukmawati berpesan:

“Hei Kupa, selamanya kamu sungguh-sungguh di dalam hati, sekarang sudah tidak. Bahwa bertapa di hati sudah berubah, ingatlah apabila:

Bertapa di tingkat hati itu sungguh-sungguh Bertapa di tingkat nyawa/roh itu hanya ingat Bertapa di tingkat rasa itu hanya jernih

Barang siapa di setiap hari sekali saja menjernihkan rasa (perasaan), maka keinginannya akan tercapai

Barang siapa setiap harinya ingat, maka apapun itu yang diinginkan akan datang/tercapai.

Barang siapa bersungguh-sungguh hatinya selamanya apapun yang diinginkan akan terwujud.”

Berdasarkan pembuktian tersebut dapat disimpulkan jika bagian ke-16 bukan bagian dari SDR, akan tetapi interteks (mengambil dari Pustakaraja). Jadi naskah SDR hanya terdiri dari 15 bagian.

n. Umur Naskah

Pada naskah SDR ini belum diketahui umurnya, karena dalam naskah tidak ada keterangan. Akan tetapi jika dilihat dari naskah masih bagus, dimungkinkan naskah ini tergolong naskah muda dan dilihat dari bahasa naskah ini menggunakan bahasa Jawa Baru ragam krama serta penulisan aksara Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan).

(16)

o. Pengarang/ Penyalin

Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah ini. Meskipun pada bagian terakhir (bagian 16) naskah tertulis :

“Punika pethikan saking Srat Pustakaraja, andikanipun Risang Suyati, Dewi Rugmawati, ingkang pȇpidik wonten ing Wukir Mahendra, dhumateng buyut, wastana”.

Terjemahan :

Inilah petikan dari Serat Pustakaraja, beliau adalah Risang Suyati, Dewi Rugmawati, yang bertempat tinggal di Gunung Mahendra, kepada buyutnya. Hal ini tidak menunjukkan adanya pengarang/penyalin pada naskah tersebut. p. Asal Usul Naskah

Naskah SDR ini asalnya saya beli dari pedagang (seorang bapak) yang rumahnya di Sangkrah, Surakarta yang berjualan di pasar Loak Gladak, Surakarta.

q. Fungsi Sosial Naskah

SDR ini berfungsi sebagai piwulang atau pȇpèling, untuk menuju manusia sempurna itu dibutuhkan empat tahap yakni : syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat (sembah raga, budi, manah, dan rasa). Sering digunakan dalam wejangan pertunjukan wayang/penyajian wayang.

r. Ikhtisar Naskah

Naskah SDR menceritakan kisah Bratasena untuk menuju manusia yang sempurna guna menemukan jati dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ bisa dikatakan juga manunggaling

(17)

kawula Gusti, untuk itu Bratasena harus mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) yang disebut juga Tirta Pawitra Suci. Dimana termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Kisah perjalanan Bratasena dalam menuju manusia sempurna atau jati diri yang sejati ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu : syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.

Dalam naskah yang diteliti oleh peneliti hanya berisi secara singkat atau ringkas gambaran perjalanan Bratasena berawal pergi ke Gunung Reksamuka, lalu mengalahkan dua raksasa yakni Rukmaka dan Rukmakala, selanjutnya ke sumur Sigrangga, dilanjutkan pergi ke Samudra Jinȇm (Minangkalbu) dan di sinilah Bratasena bertemu dengan Dewaruci (Dewa berwujud tubuh kerdil). Dimana Air Tirta Pawitrasari yang dicari Bratasena secara eksplisit merupakan penggambaran sumber orang hidup yakni Tuhan sendiri. Dalam cerita ini pengarang secara langsung juga menjelaskan dan menuliskan artinya, contoh, Bratasena sewaktu membunuh naga estri:

“Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis”.

Terjemahan: ”Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya: mengendalikan nafsu empat perkara.”

Dalam naskah ini selanjutnya lebih menyampaikan pengaplikasian perjalanan batin manusia, bagaimana melawan pancamaya yang menggambarkan nafsu manusia dengan diwujudkan cahaya yang berwarna 5 macam, yakni: merah (nafsu amarah), hitam (luamah), kuning (sufiah) dan

(18)

putih (mutmainah). Selain itu, ada penjelasan tentang urut-urutannya alam ada tujuh yakni alam akhadiyat, wahdad, wakidiyat, arwah, misal, ajȇsan, insan kamil. Dalam naskah ini juga memuat hal baik yang perlu dilakukan manusia untuk mendekatkan kepada Hyang Widhi, Sang Kholiq. Inilah yang membedakan naskah ini dengan naskah Dewaruci lainnya. (halaman 22)

2. Kritik Teks

Kritik teks adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti dan mengkaji lembaran naskah, lembaran bacaan yang mengandung kalimat-kalimat atau rangkaian kata-kata tertentu (Darusuprapta, 1984 : 4). Kritiks teks bertujuan untuk menyajikan sebuah teks dalam bentuk yang seasli mungkin dan bersih dari kesalahan berdasarkan bukti - bukti yang terdapat dalam teks, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Melalui kritik teks inilah peneliti berusaha mengembalikan teks ke dalam bentuk aslinya atau paling tidak mendekati asli, bersih dari kesalahan dan dapat dipertanggungjwabkan (Siti Baroroh Baried dkk, 194 : 61). Berdasarkan hal tersebut peneliti menggunakan pedoman “Ejaan Bahasa Jawa Yang Disempurnakan (EYD: 2011)”, Kamus Kawi-Jawa (C.F. Winter dan Ranggawarsita: 1987), Baoesastra Djawa (Poerwadarminta: 1939), dan sebagainya.

Di dalam kritik teks biasanya ditemukan varian-varian dan varian-varian tersebut dalam penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu: a. Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal.

(19)

b. Lakuna yaitu bagian yang terlewati atau terlampui, baik huruf, suku kata, kata, maupun kelompok kata.

c. Ketidakkonsistenan yaitu penulisan suku kata maupun kata yang tidak konsisten penggunaan huruf/ aksara.

d. Korup yaitu bagian teks hilang, akan tetapi bukan karena kerusakan kertas melainkan peneliti yakin bahwa pada teks masih ada kelanjutan. Terjadinya korup pada naskah ini dimungkinkan pengarang istirahat waktu proses menyalin naskah, atau dimungkinkan pada naskah yang akan disalin mempunyai daya magic, sehingga pengarang tidak berani untuk menyalinnya.

Pengelompokan varian/ kesalahan pada naskah SDR ini disusun dalam bentuk tabel. Untuk mempermudah dan memahami, maka dibuat singkatan sebagai berikut :

No. : menunjukkan nomor urut. Hal/ brs : halaman/ baris.

@ : edisi teks berdasarkan konteks kalimat.

* : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik. k : korup pada naskah

Edisi : bacaan yang telah dibetulkan. Tabel 1: Hiperkorek

No Hal/ brs Kata Gambar Edisi

(20)

2 2/7 Kundur kondur* 3 18/10 Dadtipun datipun* 4 29/18 Sahdad sahadat* 5 30/5 ngȇdad ngȇdat* 6 33/14 Muttak mutlak@ 7 33/18 Wujudtolah wujudolah@ 9 35/12 Wujudte wujude* 10 35/20 Tankala tatkala@

(21)

11 35/18 Ibulwiyah uluwiyah@

12 35/21 ghaibul gaibul*

13 37/3 apȇngale apngale*

14 37/5 Dadtolah datolah*

Tabel 2: Lakuna Suku Kata

No Hal/ brs Kata Gambar Edisi

1 1/9 Barat ibarat@

(22)

3 27/4 Ujudipun wujudipun* 4 32/8 Witaning wiwitaning@ 5 33/19 wakita waskita@ 6 35/20 kèndȇ kèndȇl@ 7 35/21 uwiyah uluwiyah@ Tabel 3: Ketidakkonsistenan

No Hal/ brs Kata Gambar Edisi

1 ½ 1/10 10/5 Idayad Idayat Idayad*

(23)

2 6/10 14/3 Urip Urib urip* 3 3/21 7/ 11 nȇpsu napsu nȇpsu* 4 11/4 1/6 1/4 2/19 3/1 7/7 7/14 16/5 Dat dad dat*

(24)

16/21 21/14 23/18 23/18 23/20 24/1 5 7/17 31/7 Nasut nasud nasut* 6 13/15 12/14 20/11 gaib ghaib gaib* 7 15/21 nabati nabati*

(25)

15/4 nabadti 8 25/14 21/18 36/11 Mukhamad Mukamad Mukhamad* 9 37/9 7/1 hakekat Khakhekat hakekat*

Tabel 4: Kategori Korup

No Hal/ brs Kata Gambar Edisi

1 30/6 Kang mo…. …(tidak berani

memberi rekomendasi)k

(26)

3. Suntingan Teks, Aparat Kritik, dan Terjemahan

Naskah SDR ini ditulis aksara Jawa carik, maka transliterasi merupakan langkah yang sangat dibutuhkan dalam rangka penyuntingan teks. Suntingan teks adalah menyajikan teks bentuk aslinya atau mendekati aslinya, yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi. Karena naskah ini merupakan naskah suluk, maka dalam naskah banyak ditemukan kata-kata yang berbau arab. Seperti kata : “wahdad, akhadiyat, wakidiyat, ajesan, misal, nganansir”. Kata-kata tersebut tidak mengikuti ejaan pada kamus dan tetap konsisten penulisannya, sehingga peneliti tidak mengkritisi, akan tetapi pada terjemahan dan selanjutnya peneliti menyajikan kata-kata serapan dari bahasa Arab yang tepat.

Aparat kritik merupakan kelengkapan yang menyertai kritik teks sebagai pertanggungjawaban suntingan (Margono, 2011: 51). Dalam penelitian ini untuk mendapatkan suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan secara filologi, maka suntingan teks, kritik teks dan aparat kritik dilakukan secara bersamaan. Jadi, jika ada kata–kata yang dianggap keliru diberi nomor kritik teks. Sedangkan pembetulan yang merupakan apparat kritik diletakkan di bawah teks yaitu berupa catatan kaki (foot note).

Dalam hal ini metode yang digunakan ialah metode standar. Metode standar adalah metode yang digunakan dalam penyuntingan naskah tunggal. Di dalam metode standar, penyunting mengidentifikasi sendiri bagian dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar. Jalan keluar tersebut ialah (1) apabila penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam menyarankan bacaan yang lebih baik, (2) jika terdapat teks yang salah, penyunting

(27)

dapat memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda yang jelas dengan mengacu pada aparat kritik dan bacaan asli akan ditandai dan didaftar sebagai naskah (Robson, 1994: 25). Hal ini merupakan suatu bentuk pemikiran pembaca yang mempunyai pendapat atas pembetulan bacaan tersebut. Untuk menyunting sebuah teks, peneliti harus memperhatikan pemenggalan kata, sebab naskah SDR ini berbentuk prosa.

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami suntingan teks SDR, maka di bawah ini adalah pedoman yang digunakan oleh penulis dalam menyajikan suntingan teks SDR.

a. Dalam suntingan teks, huruf kapital digunakan untuk menulis teks nama orang maupun tokoh, nama tempat.

b. Pemakaian tanda hubung untuk penulisan kata ulang (reduplikasi) dalam teks. Contohnya:

adon – adon

isèn - isèning

c. Sastra laku pada penulisan naskah SDR sangat sering muncul, sehingga perlu penegasan dalam transliterasi, yaitu tidak mengulang konsonan penutup kata yang di depan. Contohnya:

(28)

ing ngidayat → ing idayat

dhatȇng ngamarTa → dhatȇng Amarta

Untuk mempermudah dalam pembacaan dan pemahaman makna transliterasi teks SDR, maka digunakan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Angka Arab [1, 2, 3. . .dst] menunjukkan pergantian lembar halaman teks. b. Angka Arab [ˡ˒. . .dst] yang berada di dalam teks menunjukkan nomor

kritik teks pada kata yang dianggap keliru.

c. Tanda @ menunjukkan bahwa edisi teks berdasarkan pertimbangan konteks kalimat.

d. Tanda * menunjukkan bahwa edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik.

e. Tanda diakritik (ȇ) dibaca “e” seperti pengucapan kata “wontȇn” ‘ada’ jika bahasa Jawa dan kata “teduh” dalam bahasa Indonesia.

f. Tanda diakritik (è) dibaca “e” seperti pengucapan kata “yèn” ‘jika’ untuk bahasa Jawa dan kata “edukasi” untuk bahasa Indonesia.

g. Tanda diakritik (e) dibaca “e” seperti pengucapan kata ”pengin” ‘ingin’ jika bahasa Jawa dan kata “teras” untuk bahasa Indonesia.

(29)

SULUK DEWARUCI

[1]Punika tȇgȇsipun: Suluk Dewaruci kawor suraosipun kalayan ngelmi

idayad. Tȇgȇsipun idayad, anȇdahakȇn sawarnining kawontȇnan dad1 sadaya. Ingkang kawȇdharakȇn saking Tanahjultarki2. Inggih punika sangkan paranipun dad3 sajati, supados amȇwahana santosaning panggalih. Dene ingkang kadamȇl bȇbuka suraosipun idayad punika, sawarnining pasȇmonipun ngelmi makripat utawi barat4. Salajȇngipun dumugi ing idayat5, sami kocap wontȇn ing ngandhap punika. Ingkang kadamȇl bȇbuka rumiyin, lȇlampahanipun: Bratasena nalika puruhita dhatȇng Dhanghyang Druna. Lajȇng anglampahi sapitȇdahipun, ing ngandhap punika pratelanipun sadaya.

Ingkang rumiyin tinȇdah dhatȇng ardi Rȇksamuka, tȇgȇsipun sampun ngambah ing makripat.

Lajȇng amȇjahi dȇnawa: Rukmaka, Rukmakala. Rukmaka pȇjahipun dados Bathara Endra. Tȇgȇsipun Endra gunung inggih punika ngibarat badan sakojur, utawi dados wȇwȇnganing betalmakmur. [2] Rukmakala pȇjahipun dados Bathara Bayu, tȇgȇsipun Bayu, betal mukadas.

Ingkang kaping tiga, Bratasena dhatȇng sumur Sigrangga, tȇgȇsipun, punika ngibarat kasing badan.

Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis. Nuntȇn Bratasena kundur6

dhatȇng Amarta, pamit para kadang badhe anggȇbyur

1 dat* 2 Tanajultarki* 3 dat* 4 ibarat@ 5 idayad* 6 kondur*

(30)

dhatȇng tȇlȇnging samodra. Para kadang sami anggèndholi, tȇgȇsipun: angipatakȇn was-wasing panggalih, angungkurakȇn ing sih katrȇsnan.

Kaping gangsal Bratasena anggȇbyur ing sagara Jinȇm, tȇgȇsipun sagara Jinȇm, sajatining Pangeran.

Kaping nȇm,lajȇng mȇjahi naga Nȇmburnawa, tȇgȇsipun : ngibarat amȇjahi cipta kaliyan pangrasa.

Nuntȇn Sang Dewaruci dhatȇng, inggih punika ngibaratipun dhatȇnging dad7

sajati. Nuntȇn jȇjagongan kaliyan Dewaruci malih, punika ngibaratipun amratandhakakȇn wontȇn ing ngalam sahir tung- [3] gil dad8

sipat asma apngal. Nuntȇn manjing ing guwa garba. Kapanggih kaliyan Dewaruci punika wontȇn ing ngalam kabir, tandha bilih botȇn kenging pisah. Guwa garba ngibarating ngalam insan kamil, inggih punika mratandhakakȇn yèn sampurna.

Kaping pitu, Bratasena nalika wontȇn guwa garba, aningali samodra tanpa tȇpi, inggih punika wahananipun manah.

Kaping wolu, Bratasena aningali cahya gumawang pancamaya namanipun inggih punika wahananing jantung, anglimputi jatining manah, dados pangarsaning sarira. Mila dipunwastani muka sipat, dene kuwasa nuntun sajatining sipat kang linuwih ȇmpanipun wontȇn ing cipta, papanipun wontȇn ing paningal pamiyarsa, pangambȇt, pangraos, pamiraose botȇn kasamaran dènira nȇngȇri sajatining rupa. 7 dat* 8 dat*

(31)

Kaping sanga, Bratasena ningali cahya kawan warni : cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, inggih punika wahananing budi, mȇdalakȇn wahananing nȇpsu kawan pra- [4] kawis, ingkang sami dados durgamaning manah.

Ingkang cȇmȇng, pandamȇlipun murugakȇn hawaning luwe arip sapanunggilanipun.

Ingkang abrit, pandamȇlipun murugakȇn hawaning angkara, kadosta: panasten, dȇduka sapanunggilanipun.

Ingkang jȇne, pandamȇlipun murugakȇn hawaning murka, kadosta, pȇpenginan, pakarȇman, kabingahan sapanunggilanipun.

Ingkang pȇthak, punika tanpa hawa amung murugakȇn, lobaning kautaman, kadosta: puja brata, sapanunggilanipun.

Kaping sadasa, Bratasena ningali urup satunggal darbe sorot wolung warni: cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, wungu, biru, dadu: inggih punika wahananing Pangeran, kawimbuhan cahyaning pramana, ing ngandhap punika tȇgȇsipun: Ingkang cȇmȇng mȇlȇs mȇlȇng-mȇlȇng, kados musthikaning bumi, inggih punika nisthaning cipta.

Ingkang abrit abra marakata, kados sȇsotya gȇniyara, inggih punika anȇdahakȇn du- [5] sthaning cipta.

Ingkang jȇne sumunar, kados rȇtna dumilah, inggih punika nȇdahakȇn doraning cipta.

Ingkang pȇthak maya-maya wȇnȇs, kados manikmaya, inggih punika nȇdahakȇn sȇtyaning cipta.

(32)

Ingkang ijȇm ngȇnguwung, kados manik tejomaya, inggih punika nȇdahakȇn santosaning cipta.

Ingkang biru muyȇg, kados nilapakaja, inggih punika nȇdahakȇn sambawaning cipta.

Ingkang wungu mȇngȇs, kados manik pusparaga, inggih punika nȇdahakȇn sambadaning cipta.

Ingkang dadu muncar, kados mirah dlima, inggih punika nȇdahakȇn ewah gingsiring cipta.

Kaping sȇwȇlas, Bratasena lajȇng ningali rȇrupan kados tawon gumana, awȇning cahyanipun , punika pramananing suksma, ingkang mimbuhi warna sadaya, anglimputi jagad alit jagad agȇng, sak isèn-isènipun sadaya, inggih punika gȇsangipun saking pramananing rahsa.

Kaping kalih wȇlas, Bratasena ningali rȇrupan kados golèk gadhing ingkang kasawang kados pȇ- [6] putran mutyara, mancur mancorong cahyanipun, punika pramananing rahsa, kang amurba amisesa ing ngalam sadaya. Inggih punika gȇsangipun saking Atma.

Kaping tiga wȇlas, ningali sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn arah botȇn ȇnggèn, tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang tanpa wȇwayangan, inggih punika dating Atma, kang kawasa nitahakȇn saliring ngalam sadaya, gȇsang botȇn wontȇn kang anggȇsangi, inggih punika dumunung wontȇn ing urip kita.

(33)

Punika kawikanana lampahing ngelmi kawan prakawis, ingkang sami kinawruhan utawi ingkang sami linampahan, dening para wali, manawi sami sagȇd mirib, sami kasȇbut ing ngandhap punika :

Sarengat dunungipun wontȇn ing tutuk, pandamȇlipun dhatȇng pangalȇm tuwin panacad, lampahipun trima, tȇgȇsipun sabar.

Tarekat dunungipun wontȇn ing grana, pandamȇlipun dhatȇnging karsa, lawan panampik, lampahipun lila.

[7]Khakhekat9 dunungipun wontȇn ing karna pandamȇlipun dhatȇng kasuran, kaliyan kaajrihan lampahipun tȇmȇn.

Makripat dunungipun wontȇn ing netra, pandamȇlipun dhatȇng katrȇsnan kalawan dhatȇng kasȇngitan, lampahipun utami.

Dene lampahipun dad10 punika kawan prakawis wau kakumpulakȇn dados satunggal tȇmȇn, trima, lila, utami.

Punika kawikanana, ingkang kawastanan pancabaya, inggih punika napsu11 kawan prakawis, ingkang nitahakȇn cahya kawan warni, gangsal cahyanipun pramana, ingkang sami dados rancananing dad12 sajati, kasȇbut ing ngandhap punika :

Nȇpsu luamah, ȇmpanipun murugakȇn ngangsa-angsa, ing dȇlahan dados cahya cȇmȇng, dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun lali, ing ngriku panggènaning supe, poma dipunèngȇt.

9 hakekat* 10 dat* 11 nȇpsu* 12 dat*

(34)

Nȇpsu amarah, inggih nȇpsu hawa, ȇmpanipun murugakȇn duka lan murka, ing dȇlahan dados cahya abrit, dipunwastani ngalam lahut, ing ngri- [8] ku panggènaning rȇkaos, sabab punika awit sangganging adon-adon sadaya, punika poma-poma dipunpoma.

Nȇpsu supiyah, ȇmpanipun murugakȇn supe kaliyan penginan, ing delahan dados cahya jȇne, dipunwastani ngalam jabarut, ing ngriku panggènaning gingsir, poma dipunsantosa.

Nȇpsu mutmainah, ȇmpanipun murugakȇn emut, ing dȇlahan dados cahya pȇthak, dipunwastani ngalam malakut, ing ngriku panggèning13 sumȇrȇp karaton, poma dipunwaspada, karana ing ngriku cahyaning pramana dhatȇng katingal sasi : cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, sami anglimputi dating karaton, ananging punika dede sajatosing karaton kang rinakit mahasuci.

Punika kawikanana, isèn–isèning cahya kawan prakawis, gangsal cahyaning pramana, ingkang sami ngrancana dhatȇng ing kasampurnan jati, kasȇbut ing ngandhap punika, poma dipunsantosa ing galih, sampun ngantos gadhah pamilih salah satunggal.

[9]Cahya cȇmȇng kadadosanipun nȇpsu luamah, prabawanipun bumi gonjing,

ingkang katingal salȇbȇtipun cahya cȇmȇng punika, sawarnining sato kewan, ing ngriku dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun supe, poma dipunèngȇt ing galih. Cahya abrit, kadadosanipun nȇpsu amarah, prabawanipun latu amarab- marab, ingkang katingal salȇbȇtipun cahya abrit, ing ngriku warni danawa brakasakan,

(35)

inggih punika ngalam lahut, tȇgȇsipun sangganging adon-adon sadaya, punika poma dipunsarèh.

Cahya jȇne, kadadosanipun nȇpsu supiyah prabawanipun angin agȇng, ingkang katingal ing ngriku warni pȇksi sawarnining ibur-iburan, punika ngalam jabarut, tȇgȇsipun gingsir, poma dipunsantosa.

Cahya pȇthak, kadadosanipun nȇpsu mutmainah, prabawanipun toya agȇng. Ingkang katingal ing ngriku sawarnining ulam loh. Inggih punika ngalam malakut, tȇgȇsipun karaton ka- [10] rana ing ngriku wiwitipun sumȇrȇp karaton. Sasirnaning cahya kawan prakawis wau. Nuntȇn cahyaning pramana katingal sarȇng sanalika: cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, inggih punika ngalam idayat14, tȇgȇsipun ȇnggèning nȇdahakȇn karaton satunggil-tunggilipun, kasȇbut kados ing ngandhap punika .

Karaton sarwa cȇmȇng, inggih punika karatoning sato kewan, manawi kasȇngsȇm ing paningal badhe dados sato kewan.

Karaton sarwa abrit, inggih punika karatoning brakasakan, samara bumi sapanunggilanipun dhanyang, yèn ngantos kasȇngsȇm ing ngriku, botȇn wande dados bangsaning dhanyang.

Karaton sarwa jȇne, inggih punika karatoning pȇksi, yèn kasȇngsȇm ing ngriku, botȇn wonde dados pȇksi.

Karaton sarwa pȇthak, punika karatoning buron toya, yèn kasȇngsȇm inggih dados buron toya.

(36)

Karaton sarwa ijȇm, punika karato- [11] ning kȇkayon, yèn kasȇngsȇm ing ngriku, inggih dados lȇlȇmbat kajeng aèng.

Sasirnanipun cahya pramana, Nuntȇn dhatȇng cahyaning dat kang awȇning, ingkang katingal ing ngriku, samukawis wȇwarnèn sarwa asri, inggih punika ngalam uluhiyah, tȇgȇsipun ngalam ing pangeran.

Nuntȇn katingal cahya mancur, ingkang katingal ing ngriku malaekat, tȇgȇsipun kadosta :

Katingal bapa, kaki sapanunggilanipun, taksih ngalam uluhiyah.

Nuntȇn cahya mancorong, ingkang katingal ing ngriku widadari, tȇgȇsipun kadosta : katingal biyung, nini, sapanunggilanipun, ingkang nama lȇluhur estri, inggih taksih ngalam uluhiyah.

Nuntȇn cahya gumilang tanpa wȇwayangan, tanpa arah tanpa ȇnggèn, tanpa kandha tanpa warna, panggènaning nikmat manpangat rahmat, wontȇn ing ngalam baka, tȇgȇsipun baka, langgȇng, inggih punika panggènaning dat sajati, jumȇnȇng kalawan jȇnȇng kita, inggih ingkang gumilang puni- [12] ka botȇn kalih tȇtiga, amung tunggil sibadènipun.

Dene ingkang katingal bapa kaki wau, inggih punika wȇwayanganing dat kang saking lȇluhur jalȇr, ingkang sampun limput - linimputan, tȇtȇp tinȇtȇpan, kaliyan dat kita pribadi.

Dene ingkang katingal biyung nini, sapanunggilanipun wau, inggih makatȇn ugi, mratandhakakȇn manawi ingkang wau sampun limput linimputan, dat lawan ingkang mahasuci, lajȇngipun botȇn kenging pisah.

(37)

Punika kawikanana sasirnanipun ing jisim, wangsul dhatȇng asalipun saking cahya, dados nukat ghaib15, benjing wontȇnipun ing ngalam insan kamil, inggih punika ingkang badhe tumitah, dados jagad malih, tȇgȇsipun inggih wadhag punika:

Tumurunipun punika awit ngambah akhadiyat. Lajȇng ngambah wahdad.

Lajȇng ngambah wakidiyat.

Lajȇng ngambah ngalam arwah.

[13]Lajȇng ngambah ngalam misal.

Lajȇng ngambah ngalam Ajȇsan.

Lajȇng ngambah ngalam insan kamil.

Dene panginggilipun awit ngambah ing ngalam Ajȇsan, sapanginggilipun dumugi ing ngalam insan kamil malih.

Punika kawikanana, tȇgȇsipun ngalam pitung prakawis wau, wijanging satunggal-tunggalipun kados ing ngandhap punika:

Akhadiyat, tȇgȇsipun wiwitaning sawiji, ing ngriku wiwit tumitah, ing dat sawiji.

Wahdad, tȇgȇsipun jumȇnȇng sawiji, ing ngriku wiwit jumȇnȇnging dat sawiji, wontȇn ing nukat gaib, tȇgȇsipun nukat,: wiji, tȇgȇsipun gaib,: samar, wontȇn dalȇm manungsa wau.

Wakidiyat, tȇgȇsipun wȇkasaning sawiji, inggih punika wȇkasaning sipating dat sawiji.

(38)

Ajȇsan, tȇgȇsipun jisim, inggih punika sampun kanthi Allah, tȇgȇsipun Allah badan.

Misal, tȇgȇsipun upama, inggih punika: [14] kadamȇl sêsilih sipat ingkang mahasuci, wontȇn ing jagad alit, kapurba saking jagad alit:

Arwah, tȇgȇsipun roh, tȇgȇsing roh urib16

, inggih punika sampun kapanjingan gȇsang.

Insan kamil, tȇgȇsipun sampurna, inggih punika manungsa ingkang sampurna.

Dene pramana punika tȇgȇsipun waspada.

Nyawa, tȇgȇsipun urip, ingkang gȇsang rahsanipun.

Suksma, tȇgȇsipun gaib, ingkang gaib ȇnggenipun, inggih punika nukat gaib.

Punika kawikanana wȇwayanganing manah, utawi wȇwayanganing roh, ati satunggil darbe asma pȇpitu, nanging pakaryanipun tunggil, kasȇbut ing ngandhap punika pratelanipun satunggil – tunggil:

Ati, sir, wȇwayanganing roh jasmani, pandamȇlanipun dados andarbeni karsa.

Ati suksma, wȇwayanganing rokhani, inggih roh rabani, pandamȇlanipun dados andarbeni pangrasa.

[15]Ati jinȇm, wȇwayanganing roh khewani, pandamȇlanipun dados andarbèni

panȇdya kaliyan pangrasa.

Ati puad, wȇwayanganing roh nabadti17, pandamȇlipun dados andarbèni panyana

lawan pangesthi.

16 urip* 17 nabati*

(39)

Ati budi, wȇwayanganing roh rahmani, pandamȇlanipun dados andarbeni panggraita lan akal.

Ati maknawi, wȇwayanganing roh nurani, pandamȇlipun dados andarbeni cipta.

Ati sanubari, wȇwayanganing roh ilapi, pandamȇlanipun dados andarbeni karȇp kaanan sadaya.

Punika kawikanana, tȇgȇsing roh pitung prakawis wau, wȇwȇjanganipun satunggil-tunggilipun kados ing ngadhap punika:

Roh jasmani, tȇgȇsipun punika jisim.

Roh rokhani, tȇgȇsipun punika Pangeran.

Roh khewani, tȇgȇsipun punika urip, ingkang gȇsang saciptanipun. Roh nabati, tȇgȇsipun punika cukul. [16] Ingkang cukul rahsanipun.

Roh rahmani, tȇgȇsipun punika murah, ingkang murah Apngalipun.

Roh nurani, tȇgȇsipun punika cahya, inggih cahyaning dad18

.

Roh ilapi, tȇgȇsipun punika wȇning, inggih ingkang gumilang tanpa wayangan, dumunung wontȇn ing jaman insan kamil.

Punika kawikanana ngalam kawan prakawis, kados ing ngandhap punika: Ngalam nasut, punika tȇgȇsipun lali.

Ngalam lahut, punika tȇgȇsipun rȇnggang. Ngalam jabarut, punika tȇgȇsipun gingsir.

Ngalam malakut, punika tȇgȇsipun karaton.

(40)

Ananging dede karaton kang ginawe mahamulya, inggih punika karatoning nȇpsu kawan prakawis, mila dipunwaspada sampun ngantos kasamaran.

Punika kawikanana ingkang nama nganansir khak, kados ing ngandhap punika:

Dad19, tȇgȇsipun, kagungan,

[17] Sipat, tȇgȇsipun, rupa.

Asma, tȇgȇsipun aran.

Apngal, tȇgȇsipun, panggawe.

Punika kawikanana, ingkang dipunwastani nganansir roh, tȇgȇsipun nganansir gȇsang, kados ing ngandhap punika:

Wujud, tȇgesipun rupa, inggih punika gȇtih,

Ngelmu, tȇgȇsipun punika, paningal, Nur, tȇgȇsipun punika cahya,

Suhud, tȇgȇsipun punika saksi, inggih punika napas.

Dene ing benjang ingkang rinacut rumiyin, punika: wujud. nuntȇn, : ngelmu, nuntȇn,: nur, nuntȇn,: suhud.

Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir jagad, kados ing ngandhap punika:

Ingkang tumitah rumiyin, punika banyu, tȇgȇsipun rah kaliyan riwe.

Kaping kalih latu, tȇgȇsipun inggih punika nȇpsu kaliyan cahya.

(41)

Kaping tiga angin, tȇgȇsipun punika napas.

[18]Kaping sakawan bumi, tȇgȇsipun punika dados jasad, utawi kulit daging.

Benjang ingkang rinacut rumiyin banyu, nuntȇn ,: gȇni, nuntȇn,: angin, nuntȇn,: bumi.

Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir sipat, inggih sipat ingkang mahasuci, ing mangke kawȇdharakȇn satunggil - tunggilipun, kasȇbut kados ing ngandhap punika:

Sipat jalal, tȇgȇsipun agung, ingkang agung dadtipun20, mila dipuntȇmbungakȇn agung, amargi tanpa wȇwangȇnan, awit botȇn lukak, botȇn wuwuh, kawasa nglimputi ing jagad sadaya, inggih punika wontȇnipun amung langgȇng.

Sipat jamal, tȇgȇsipun elok, ingkang elok sipatipun, mila sipatipun katȇmbungakȇn elok, amargi dede jalȇr, dede estri, botȇn rupa, botȇn warna, botȇn arah, botȇn ȇnggèn, dumunung wontȇn ngalam baka, tȇgȇsing baka langgȇng.

Sipat khahar, tȇgȇsipun wisesa, ingkang wisesa asmanipun, mila asma dipunbasakakȇn wisesa. [19] Inggih punika ingkang nama amurba, amisesa kang kawasa.

Sipat kamal, tȇgȇsipun sampurna, ingkang sampurna apngalipun, tȇgȇsipun sampurna mulih, mila katȇmbungakȇn sampurna, awit sampun botȇn bȇbadhe malih, inggih punika karsa Hyang Wisesa jumȇnȇng kalawan sibadènipun.

Punika ambuka suraosipun, ngelmu gaib ingkang dumunung wontȇn ing manungsa, sadaya kang wontȇn salȇbȇting badan, sajawining badan kang kangge

(42)

pasȇmon para nabi, para wali, para majȇnun, para ratu, para oliya, ing ngandhap punika maknanipun utawi tȇgȇsipun .

Utawi ingaranan ingsun iku, kahanan kang tunggal kang mahasuci, kang ora kawoworan.

Utawi ingsun iku ; ȇnggon kang langgȇng ora paran - paran iya ingsun iki ratu kang mulya tur kang sampurna; tȇgȇse ananing- [20] sun iki, kang ora wiwitan suwung; ya ingsun iki kang tȇrtamtu ing eling-eling sadurunge ana. Sawise ana tȇgȇse eling kang dumȇling; kang eling sangkaning ora. Yaiku kang jumȇnȇng ingsun. Kang tȇmtu ajaling urip sadaya; duk awing - awang uwung - uwung durung dumadi, ananingsun dhewe kang jumȇnȇng tȇka samȇngko; utawi kang dados ugȇring eling iku ngelmu ngalim maklum, tȇgȇse kawruh angawruhi, kinawruhan, sakpanunggilanipun sadaya. Inggih punika ingaranan wiwitaning sih. Wahyu lan nugraha kang ghaib21 ing Allah tangala tuwin para ratu, kang saèstu dados pȇpingitan, para Nabi, para wali, para mukmin, para majȇnun, para ratu oliya, para manungsa sadaya; utawi kawruh punika, anane lan orane, inggih punika ȇngsih wastanipun.

Utawi ingkang ngawruhi iku, tȇtȇp aning ȇnȇng lan ȇning, sapanunggilanipun sadaya, inggih punika wahyu wastanipun. Utawi kang kinawruhan iku, ingaranan sȇpi, samar, samun, suwung, sapanunggilanipun sadaya, inggih [21] punika nugraha wastanipun, iku poma - poma aja sak aja mosik; inggih punika patrapipun ngelmu kraton kang luwih sampurna; inggih punika ingaranan kalimah tokit, tȇgȇse iku ora ana karȇpe kang akèh - akèh, ananging sawiji elinge. Saèstune karȇp kang sawiji: iya iku rasaning ngelmi .

(43)

Utawi tȇgȇsipun kawan prakawis punika, pangucap, pangambu, paningal, pamiyarsa, ing ngandhap punika dunungipun. :

Sir, sangkaning pangucap: dadining bumi, ananing sabda, nȇnging pangucap jatine Pangeran, nyatane rasullolah, kumpuling roh kabèh, tȇtȇping wiji, dad22 pȇt yaiku sangkaning paran, langgȇng amurba amisesa.

Karsa, sangkaning pangganda,: dadining angin, paraning pangambu, nyatane kȇrasa, nȇnging pangganda, jatining mahasuci, nyatane Mukamad23

, kumpuling urip kabèh, tȇtȇping sih, dat lȇs iya iku tan sangkan tan paran-paran, langgȇng kang murba kang misesa.

[22]Obah, sangkaning paningal, dadining banyu, paraning wulan, nyatane suci,

nȇnging paningal jatining Allah, nyatane Nabiyolah, kumpuling rupa kabèh, tȇtȇping wahyu, dat tap, iya iku tan sangkan tan paran-paran, langgȇng murba wasesa.

Osik, sangkaning pamiyarsa, dadining gȇni, paraning srȇngenge, nyataning pangrungu, nȇnging pamiyarsa, jatining jumȇnȇng, nyataning tunggul, kumpuling suwara kabèh, tȇtȇping nugraha, datanpa sangkan tan paran langgȇng kang murba amisesa.

Utawi uriping kandha, uriping warna, uriping ganda, uriping rasa. Tȇgȇsipun kandha, pamirȇng.

Tȇgȇsipun warna, paningal.

Tȇgȇsipun ganda, pangambu.

22 dat* 23 Mukhamad*

(44)

Tȇgȇsipun rasa, pangucap.

Uriping jȇsmani.

Tȇgȇse sabda iku pangucap sapisan kang nyata.

Dene kang pȇpitu iku padha mahasuci kabèh.

Utawi kang sinȇbut mahasuci mau, satunggi- [23] l mahasucining kandha.

Kalih mahasucining warna.

Tiga mahasucining ganda.

Sakawan mahasucining rasa.

Gangsal mahasucining urip. Kaping nȇm mahasucining rupa.

Kaping pitu mahasucining sabda.

Utawi tuduhing guru, kang kawan prakawis punika, ana, ora,sira, pȇsthi.

Ana, dèn anakakȇn ananing dhewe.

Ora, iku ora pisan-pisan, ora ana ananing dhewe. Sira, tȇgȇse sakawula, ingsun tȇgȇse sagusti.

Utawi wȇkasaning urip punika, urip pitung prakawis kang kasȇbut ing ngajȇng wau.

Tȇgȇse ingaranan pati, iku patȇmoning dad24

pȇt. Tȇgȇse dad25 pȇt, iku, nȇnging pangucap.

24 dat* 25 dat*

(45)

Dad26 plȇng iku nȇnging pamiyarsa.

Milanipun ingaranan pati iku, dening wus pa- [24] titis, patȇmoning dad27 kawan prakawis, inggih punika sampurnaning pituduhing guru.

Utawi sih wahyu nugrahaning iku,tȇgȇse sih tȇtȇping ganda, nyataning angin Pangeran tȇtȇping antara.

Wahyu tȇgȇse padhanging paningal, nyataning banyu jatining Allah.

Nugraha, tȇgȇse pamiyarsa jatining gȇni, nyatane nabiyolah.

Pangeran tȇgȇse pangucap, jatining bumi, nyatane rasullolah.

Utawi ingkang botȇn arah, botȇn ȇnggèn, botȇn warna, botȇn kandha.

Punika tȇgȇsipun, kang botȇn ȇnggèn tȇgȇsipun bumi. Kang botȇn arah tȇgȇsipun angin.

Kang botȇn warna tȇgȇsipun banyu.

Kang botȇn kandha tȇgȇsipun gȇni.

Utawi bangsa kawan prakawis malih kang binasakakȇn, : suwung, samun, sȇpi, samar.

Tȇgȇsipun suwung jurang.

[25]Tȇgȇsipun samun, ara-ara.

Tȇgȇsipun sȇpi, gunung.

Tȇgȇsipun samar, sagara.

Ing ngandhap punika nyatanipun sadaya.

26 Dat* 27 dat*

(46)

Suwung, pangucap,

Samun, pangganda, Sȇpi, paningal,

Samar, pamiyarsa.

Punika inggahipun kawan prakawis malih, rapal makna murat utawi raosipun, ing ngandhap punika nyatanipun :

Sir, tȇtȇping, karsa, Pangeran arane.

Warna, tȇtȇping kandha, Allah,

Kandha, tȇtȇping warna, Mukhamad,

Yèn karsa tȇtȇping sahrasa, rasullolah arane.

Yèn kandha, warna, amburasa, tȇtȇping urip Pangeran arane.

Yèn urip tȇtȇping Pangeran, mahasuci arane.

Yaiku kang ora wiwitan kang ora wȇkasan. [26] Lagi kahananing kadim, salawase anglimputi ing jagad iku kabèh.

Punika inggahipun malih, ingkang aran kawula punika, pola, ing ngandhap punika tȇgȇsipun kawula.

Cipta, ripta, rasa, kȇrasa, bumi tekate.

Ing ngandhap punika buntasipun pindhah kawan prakawis. :

Utawi kang aran di rumangsa,

Di aja rumangsa,

(47)

Di aja wȇruh,

Iku rumangsane dening wis kawimbuhan, sih wahyu nugrahaning Pangeran, ora rumangsa pisan-pisan, yèn anduwenana kang anyar kabèh, iki kagunganing Pangeran.

Bisa di waspada iku, dèn awas ing sangkan parane, wis ora sak mamang.

Dene basa diaja wȇruh iku, kang ora dèn kawruhi sarupane kang bangsa anyar kabèh, wis ora pisan yèn ngawruhan.

[27]Utawa basa di rumangsa, di waspada iku, tuduh kang bȇnȇr, lan wȇkase kang tȇmȇn, iku kang aran sajatining tȇmȇn iku guru.

Utawi wijènipun kawan prakawis punika ujudipun28 :

Sir, sampurnaning ngȇlȇd-ȇlȇdan, nȇpsune luamah, pangidhȇpe rasullolah, lungguhe ing eling.

Osik, sampurnaning jȇjiling, kumpule ing rȇmpȇla, nȇpsune amarah, pangidhȇpe ing Allah, lungguhe ing cipta.

Obah, sampurnaning rai, kumpule ing jajantung, nȇpsune supiyah, pangidȇpe ing Pangeran, lungguhe ing tekat.

Karsa, sampurnane ing utȇk, kumpule ing pusȇr, nȇpsune mutmainah, pangidhȇpe Mukhamad, lungguhe ing budi.

Utawi kang kocap ing ngajȇng punika, kang bangsa anyar lan kadim, kang bangsa kawula lan Gusti, kang bangsa batin lan lair.

Utawi kang bangsa suh sirna, iku tan ana kang

(48)

[28]kȇrasa, amung rasaning kitab, dene kang suh sirna iku, kang katon karungu lan sak rupane sawiji-wiji kabèh, iku tan ana rasa, iku amung rasa pangrasa kȇrasa, amung rasaning kitab, iku sajatine tan prabeda rasane, tan prabeda rupane.

Utawi kang ingaran sajatining manungsa iku, wong kang wis ngawruhi ing wiwitane ana, tumȇka maring anane ing samȇngko, tumȇkane ing ora anane ing wȇkasan, yaiku kang jumȇnȇng manungsa, sajatining manungsa.

Utawa bangsa limput-linimputan iku, tȇgȇse wȇngi lan rina, sore lan esuk, suruping wȇngi kalimputan raina, suruping esuk kalimputan ing sore.

Utawi sampurnaning wȇngi iku pȇtȇnge,

Utawi sampurnaning rina iku padhange,

Utawi kang dados antaraning wȇngi lan raina, esuk antaraning raina, sore antaraning wȇngi.

Utawa antaraning sakawan punika, dhewe- [29] dhewe,

Ora ana rina lan wȇngi, esuk lan sore, iku kanyataaning donya.

Utawi yèn ora ana, esuk, sore, rina, wȇngi, kadim lan anyar, Gusti lan kawula, tȇgȇse dhewe - dhewe.

Ora ana kawula dadi Gusti, Gusti dadi kawula.

Ananging ana kalane limput-linimputan.

Anyar anglimputi kadim, kadim anglimputi anyar, Gusti kalimputan ing kawula, kawula kalimputan ing Gusti.

(49)

Utawi karone iku padha kanyataan kabèh, kadim aningali anyar, anane anyar tȇka kadim, kang nganakakȇn.

Nyatane Gusti, ananing kawula, lan ananing kawula kanyataaning Gusti.

Utawi kang wus kocap ing ngajȇng wau sadaya, rasaning martabat sanga, lan rahsaning sahdad29, lan rasaning kamuksan, lan rasaning kamulyan, kabèh iku prabot.

Utawi kang sak bȇnȇre, satuhune kang kak,

[30]ora aningali, ora tiningalan. Ora rumangsa, ora karasa,

Dene pȇpungkasane iku, ora anȇmbah, ora sinȇmbah, ora muji, ora pinuji. Yaiku jumȇnȇng asma anane ngȇdad30

kang wajibul wujud, kang wajib anane, kang mo31

Utawi tȇgȇse kaprawiran kaluhuran.

Tȇgȇse kaprawiran iku gȇni lan angin, sabab ora ana kang bisa nyirnakake kaya gȇni lan angin.

Utawi kaluhuran iku tȇgȇse bumi lan banyu.

ȇndi kang bisa awèh pangan iku nyatane luhur.

Sapa kang bisa nyirnakake, yaiku nyatane luhur prawirane.

Utawi nyatane sipat rahman, lan sipat rahkim Tȇgȇse sipat rahman iku bumi lan banyu.

29

sahadat* 30 ngȇdat*

(50)

[31]Sakrupaning thuthukulan kabèh mȇtu saka bumi, urip tȇka banyu.

Dene tȇgȇsipun sipat rahkim punika angin lan gȇni, ȇndi nyatane, dene tarik-tinarik, kaya mȇntah matȇng tȇka gȇni, tȇlȇs aking tȇka angin, yaiku nyatane sipat rahkim lan rahman.

Utawi kang cinatur wau sadaya, kasugihaning Allah, yaiku wajib bikak. Sampun ngantos sȇmang-sȇmang, gȇni pun lair tumȇka ing batos.

Yèn botȇn dèn kawruhi sadaya, manawi salah surup, gȇni pun nekatakȇn, pupusing wiji-wiji kang wit-witing kang mȇdharakȇn bangsa kang kathah sadaya pȇsthi dèn tȇkatakȇn, ing lair tumȇkèng batin.

Utawi wiwitaning alam nasud32 iku, dados wontȇn pangucaping kaki, sabab kapanjingan cahya kang muklis, dening anak wus birahi.

[32]Utawi wiwitaning alam malakut iku dados cahya kang muklis, manjing pangrunguning bapa lan biyung, sabab bapa aningali biyang wus birahi.

Utawi wiwitaning alam jabarut punika, dados cahya kang muklis, manjing patȇmoning bapa lan biyang, kalaning pangantèn, sabab bungah karȇpe bapa lan biyang, lanang wadon.

Utawi witaning33 alam arwah punika, dados wontȇn sawang-sinawang, ing bapa lan biyang, sabab cahya kang muklis, manjing wontȇn rasaning johar.

Utawi wiwitaning alam lahut punika, dados cahya kang muklis, sabab manjing liringing bapa lan biyang, sabab wus kapanjingan rasaning roh ilapi.

32 nasut* 33 wiwitaning@

(51)

Utawi cahya kang muklis panjinge wontȇn alam lahut, coplok sabab sampun campuh ing tingaling bapa lan biyang, dene cahya kang coplok saking ing alam lahut, punika manjing ing alam uluwiyah dados cahya kang muklis, punika gumantung tanpa canthelan, kang gumilang gilang kang waspada ing pribadènipun, utawi badhe nyatakakȇn kuwasaning mȇtu nur rasaning u- [33] rip,

Dene kang nampani rasaning roh ilapi, tȇka roh ilapi manjing suwung bapa lan biyang.

Utawi cahya kang wontȇn ing suwung punika, dados rasa tȇtiga, kang kawȇngku rasaning suwung iku bakal dados paningal kita.

Utawi rasaning khak datolah, kang kawȇngku ing ratu kawan prakawis, punika tȇgȇsipun dados pangambu kita.

Utawi rasaning sir, kang kawȇngku mosiking kalamolah, punika dados pangrungu kita.

Utawi rasaning jumungah kang kawȇngku wontȇn ing sunat panyarok iku, dados pangucap kita.

Utawi rasaning dad muttak34, kang kawȇngku ing akhadiyat, dados tokit kita.

Utawi rasaning johar awal, kang kawȇngku ing wahdad iku, dados napas kita.

Utawi rasaning wujudtolah35, kang kawȇngku ing wakidiyat iku, badhe dadosya wakita36.

Utawi cahya kang muklis, mȇnȇng wontȇn wakidiyat, dening badhe nyatakakȇn rasaning 34 mutlak@ 35 wujudolah* 36 waskita@

(52)

[34]wujud mokal kang kawȇngku ing jisim alus, mangka lairing wujud meh mokal,

dados rasaning mani, lan manikȇm, kang kawȇngku rasaning kalimah loro, dados ngalam, tȇgȇse dados kulit kita.

Tȇgȇse alam ajȇsan, dados daging kita.

Tȇgȇse alam misal, dados gȇtih kita.

Tȇgȇse alam arwah, dados balung kita.

Inggih punika laire kalimah kalih, dados alam kawan prakawis.

Dununge wujud kita: utawi cahya kang muklis.

Angsalipun kendȇl wontȇn ing wakidiyat, amawas gone nyatakakȇn ing kanyataan.

Sarȇng dados coplok saking kalairaning jabang bayi, kang muklis iku manjing barȇng panangising jabang bayi, inggih punika wȇkasaning kawruh.

Utawi osik punika minangka dados kadhatoning alam arwah, tȇrus rasaning johar, kang mȇngku urip kita, pitung prakawis.

[35]Dening urip pitung prakara iku kasrah marang roh ilapi.

Dununge wontȇn gène salat kajat sak rȇkangat, tanpa sujud tanpa rukuk, tanpa puji, tanpa dhikir,wontȇn ing alam lahut.

Yèn kita turu, yèn kita mȇlèk, dununge wontȇn ing alam sulbi, tȇrus ing dhadha kita, salate kajat kang ngangge sujud rukuk.

(53)

Dununge salat panȇkung wontȇn ing alam uluhiyah: punika salate: salatun dakim mulakhak, yahu analkak, yahu-yahu, yahu sakkamalakak-kamalakak wujudte37, lah ngali makripattolah.

Utawi lakune roh iku dèn kawruhi, pancate ing lawang siji-sijine, waspadaning wȇkasan kita tumȇkaning sajati.

Tatkala kèndȇl, roh iku: wontȇn ing alam nasut, ingaranan roh ibulwiyah38, pujine: lamaujud dailolah.

Tankala39 kèndȇ40 roh iku: wontȇn alam malakut, ingaranan roh ghaibul41 uwiyah42, puji-

[36]ne: lamakbud daillollah.

Tatkala kèndȇl roh iku: wontȇn ing alam arwah, ingaranan roh kudus, pujine : layatkuru laailollah.

Tatkala andungkap ing alam lahut, ingaranan roh ilapi, tanpa puji, tanpa dhikir, amung arȇp paningale dhewe, iku ingaranan sih nugraha.

Sirolah sirasa rohku: rasaku Allah, amurba rasaning dumadi kabèh. Rasaku rasa Mukamad43, anyamadi rasaning dumadi kabèh.

Ya ingsun kumpuling rasa, rasaku rasa wasesa, amȇsesani kang dumadi kabèh. Ya ingsun witing rasa, anaku ananing rasa, rasaku rasullolah, ajȇjuluka arolah; ajȇjuluk jalallolah, anglȇbur sakèhing kang ala, ya rasa ya rasullolah.

37 wujude* 38 uluwiyah@ 39 tatkala@ 40 kèndȇl@ 41 gaibul* 42 uluwiyah@ 43 Mukhamad*

(54)

Punika ngelmu kang linarangan para Nabi, para wali, para mukmin sadaya. Tȇgȇse kang ingaranan urip iku, ȇ-[37]nȇnge sadurunge ana sir.

Tȇgȇse sadurunge ana karsa, iya iku kang sampurna: apȇngale44

. Ana dene sir iku nyatane rasa, ingsun yaiku dadtolah45.

Tȇgȇse rasa iku nyatane aling ingsun, yaiku sipatollah.

Kang ingaran roh ilapi iku, kaya rupa nyata ing dalȇm sadurunge kita nyata, yaiku hakekat mukamaddiyah arane, lan ya ta rupa ing dalȇm maknawiyah iku : roh arane kakat manungsa arane.

Dene kang aran ayat sabitah iku cahya, yaiku cahya kang luwih adi-adi, tȇgȇse rupa sadurunge nyata.

Tȇgȇse roh ilapi, kanyataane sajroning soca, yaiku kang mahasucining Pangeran. Punika prȇnahing pati, kang datolah prȇnahe rupȇk, sȇbute : hu hu hu hu hu hu: yaiku sahadate dhewe.

[38]Dene prȇnahe turu iku sipatollah, prȇnahe wus pȇrak, iku prȇnahing Allah, yaiku sirnaning sipat kabèh.

Dene prȇnahe sȇmbahhyang iku ingkang nama Allah, prȇnahe ingkang ngalȇkah, iya iku antaraning muni lan mȇnȇng, yaiku antaraning Gusti lan kawula.

Punika panglȇburan badan, sarta tekatipun pisan, ing patine.

Punika sȇbutanipun: Alah lȇbur badan dadi nyawa, lȇbur nyawa dadi cahya, lȇbur cahya dadi roh ilapi, lȇbur roh ilapi dadi rasa, lȇbur rasa dadi sir, sirna mulih marang datolah, urip tan kȇna ing pati, urip salawase.

44 apngale* 45 datolah*

(55)

Terjemahan

[1] Ini artinya : Suluk Dewaruci yang berisi tentang petunjuk ilmu. Artinya petunjuk, menerangkan tentang beradanya alam semua Dzat. Yang akan dibedah isinya dari Tanazultarki. Yaitu asal dan tujuan dzat sejati, agar bisa kuat hatinya/kuat batinnya. Sedangkan yang dibuat untuk pembuka petunjuk maksudnya itu, penjelasan berbagai macam ilmu makrifat atau ibarat. Selanjutnya hingga sampai petunjuk, sama-sama mengucap berada di bawah itu. Ini permulaan/awal, perjalanannya: Bratasena ketika berguru kepada Dhanghyang Druna, selalu menjalani nasihatnya, di bawah ini semua ceritanya.

Yang pertama ditunjukkan ke gunung Reksamuka, artinya mulai memasuki alam makrifat.

Lalu membunuh raksasa: Rukmaka, Rukmakala, matinya Rukmaka menjadi/berubah Bathara Endra. Artinya Endra gunung, yaitu ibaratnya semua tubuh, atau jadi cahayanya Baitul Makmur. [2] Rukmakala terbunuh menjadi Bathara Bayu, artinya angin, Baitul Muqadas.

Yang ketiga, Bratasena datang ke sumur Sigrangga, artinya itu ibarat kesentosaan atau keperkasaan badan.

Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya: mengendalikan empat nafsu perkara.

Lalu Bratasena pulang ke Amarta, berpamitan dengan saudara karena dia akan masuk di tengah samudra. Saudara-saudaranya tersebut tidak setuju dan sama-sama memegang erat-erat, artinya yang menyingkirkan atau menghilangkan perasaan khawatir, sebagai bentuk pengendalian rasa kasih sayang.

(56)

Yang kelima Bratasena masuk ke dalam samudra Jinem, artinya segara Jinem, yaitu hakikat atau sejatinya Pangeran.

Yang keenam, lalu membunuh Naga Nemburnawa, artinya ibarat Bratasena dapat membunuh pikiran dan perasaan.

Lalu Sang Dewaruci datang, yaitu ibaratnya Dzat sejati datang. Lalu bercakap-cakap dengan Dewaruci lagi, ibaratnya itu menandakan di alam sunyi sen- [3] dirian Dzatnya. Lalu masuk di dalam perut. Bertemu dengan Dewaruci itu berada di alam Kabir, tanda jika tidak dapat pisah. Perut ibarat alam manusia sempurna, yaitu menandakan jika sempurna.

Yang ketujuh, Bratasena ketika berada perut, melihat samudra tiada batas, yaitulah menerangkan perjalanan hati.

Yang kedelapan, Bratasena melihat cahaya bernama Pancamaya, yaitu menerangkan jantung, yang meliputi hakikat/sejatinya hati, yang menjadi pimpinan badan. Maka dari itu dinamakan sifat awal (muka sifat), yang kuasanya menginginkan sifat sejati yang lebih berada di pikiran, tempatnya di penglihatan, penciuman, perasan, yang tidak samar itu menandakan sejatinya dia.

Yang kesembilan, Bratasena melihat cahaya empat warna : hitam, merah, kuning, putih, yaitu yang menerangkan tentang sikap, memberi keberadaan nafsu empat per- [4] kara, yang bersama-sama menjadi halangan, godaan atau bahayanya hati. Yang hitam, pekerjaannya menyebabkan rasa lapar, terasa mengantuk dan sejenisnya.

Yang merah, pekerjaannya menyebabkan angkara murka, seperti: iri hati, pemarah dan sejenisnya.

(57)

Yang kuning, pekerjaannya menyebabkan hawa kemurkaan, seperti: banyak keinginan, yang disukai bersuka ria dan sejenisnya.

Yang putih, tanpa hawa nafsu hanya menyebabkan, murka atau serakah terhadap keutamaan/kebaikan, seperti: bertapa, selalu berdo’a kepada-NYA, dan sejenisnya.

Yang kesepuluh, Bratasena melihat suatu cahaya yang nyala berkilau delapan warna: hitam, merah, kuning, putih, hijau, ungu, biru, merah muda: yaitu menerangkan Pangeran/Allah, ditambah cahayanya terang/cerah, di bawah ini artinya:

Yang hitam sangat gilap, seperti mustika/kelebihannya bumi, yaitu merendahkan pikirannya sendiri.

Yang merah sangat gemerlapan, seperti api yang membara, yaitu menunjukkan ke-[5] licikan pikiran.

Yang kuning bersinar, seperti intan bercahaya, yaitu menunjukkan jahatnya pikiran.

Yang putih bersih, seperti putihnya mata, yaitu tanda setianya pikiran

Yang hijau berkilau, seperti cahaya manikmaya, yaitu menandakan sentosa/ tentramnya pikiran

Yang biru, seperti nilapakaja, yaitu menerangkan jalannya pikiran.

Yang ungu semu hitam gilap, seperti manik pusparaga, yaitu menandakan pikiran yang sabar.

(58)

Yang kesebelas, Bratasena lalu melihat seperti tawon gumana (anak tawon), cahayanya sangat cerah, ini pramananing suksma, yang menambahi semua warna dunia ini, yang meliputi jagad/ dunia kecil dunia besar, seisinya semua, yaitu makmurnya dari pramananing rahsa.

Yang kedua belas, Bratasena melihat wajah seperti golèk gadhing (boneka gading) yang terlihat seperti [6] mutiara, cahayanya mencolok/ sumorot, ini pramananing rahsa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu semua di alam. Yaitu kehidupan dari Dzat atma.

Yang ketiga belas, melihat sifat Esa, bukan laki-laki, bukan perempuan, tidak berarah tidak bertempat, tanpa rupa, tanpa warna (tak jelas raut wajahnya), cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu Dzat atma, yang berkuasa menciptakan ke semua alam, hidup tidak ada yang menghidupi, yaitu semua berada di dalam pada hidup kita sendiri.

Maka ketahuilah jalannya ilmu empat perkara, yang sama-sama harus diketahui atau yang harus dijalani, oleh para wali, atau yang sama-sama bisa mirip dengan wali, yang akan disebut di bawah ini:

Syariat yang bertempat di mulut, yang pekerjaannya sebagai pemberi simpati/ ucapan yang baik dan pemberi cacat/ ucapan yang menyakitkan, jalannya menerima, artinya sabar.

Tarikat yang bertempat di hidung, yang pekerjaannya berkehendak dan menerima, jalannya ikhlas.

[7] Hakikat yang tempatnya di telinga yang pekerjaannya berani dan ketakutan yang jalannya kejujuran.

(59)

Makrifat yang tempatnya di mata, yang kerjanya mencintai dan iri hati, yang jalannya utama.

Lalu jalannya Dzat itu ada empat perkara tadi yang jika disatukan jadi satu, kejujuran, pasrah/ sabar, ikhlas, utama.

Maka ketahuilah, yang menjadi marabahaya/godaan, yaitu adanya empat macam nafsu, lima cahaya yang terang, yang jadi rencana dzat sejati, yang akan di bahas di bawah ini:

Nafsu luamah, yang menyebabkan serakah, di akhirat nantinya menjadi cahaya hitam, yang dinamakan alam nasut, artinya lupa, di situ tempatnya kelalaian, oleh karena itu harus diingat.

Nafsu amarah, yaitu nafsu panas, yang menyebabkan marah dan keserakahan, yang nantinya menjadi cahaya merah, yang dinamakan alam lahut, di si- [8] tu tempat yang sulit, sebab itu datangnya dari sikap, oleh karena itu harus waspada. Nafsu supiyah, yang menyebabkan lupa dan keinginan, yang nantinya jadi cahaya kuning, yang dinamakan alam jabarut, di situ tempat yang harus disingkirkan, agar sentosa.

Nafsu mutmainah yang menyebabkan ingat, yang nantinya menjadi cahaya putih, yang dinamakan alam malakut, di situ tempatnya mengetahui istana, harap tenang dan hati-hati, karena di situ cahaya pramana yang datang terlihat: hitam, merah, kuning, putih, hijau meliputi Dzat istana, tetapi itu bukan sejatinya istana yang diatur oleh yang Mahamulia.

(60)

Maka ketahuilah, isi-isinya empat perkara, lima cahaya cerah, yang bisa menuju ke kesempurnaan diri, yang disebutkan di bawah ini, yang membuat damainya hati, sudah sampai punya pilihan salah satunya.

[9] Cahaya hitam seperti nafsu luamah, yang kekuatannya di gerakan bumi, yang terlihat di dalamnya cahaya hitam itu, berbagai binatang, disitu yang dinamakan alam nasut, artinya lupa, ketika lupa harap ingat di hati.

Cahaya merah, seperti nafsu amarah, bentuknya seperti nyala api besar, yang terlihat di dalam cahaya merah, disitu berbagai macam serba kasar, yaitu alam lahut, artinya yang buat kerusuhan semua, ketika mengalami harap sabar.

Cahaya kuning, seperti nafsu supiyah yang bentuknya seperti angin ribut, yang terlihat disitu berbagai macam binatang bersayap, itulah alam jabarut, artinya selalu berubah, harap tetap hati-hati.

Cahaya putih, seperti nafsu mutmainah, yang bentuknya bagai air besar (samudra), yang terlihat disitu berbagai macam ikan. Yaitu alam malakut, artinya istana, [10]disitu mulai dari diketahuinya istana. Setelah hilangnya empat perkara. Selanjutnya cahaya pramana terlihat: hitam, merah, kuning, putih, hijau, itulah alam hidayat, artinya menunjukkan satu-satunya tempat, seperti di bawah ini. Istana hitam, yaitu istana berbagai bangsa binatang, jika tertarik untuk dilihat maka akan menjadi bangsa binatang.

Istana serba merah, yaitu istananya bangsa brakasan (jin, setan dan sebagainya), wujudnya bumi dan sepantarannya dhanyang/abdi, jika sampai tertarik disitu, pasti akan menjadi bangsanya dhanyang/abdi.

Gambar

Gambar 28: Judul naskah secara tersurat  Berbunyi : “Punika tȇgȇsipun Suluk Dewaruci…”
Gambar 29: Pemakaian tinta biru pada judul
Gambar 32: Bekas lipatan pada naskah
Gambar 34. Penulisan pada naskah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beliau adalah salah seorang dari delapan orang pertama (Assabiqul awwalun) yang menerima aqidah Islam. Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Rasulullah saw., yang

Pelaksanaan kegiatan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang merupakan salah satu bagian Program Kegiatan Revitalisasi Pusat Penelitian Lingkungan Hidup

Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 356/Menkes/Per/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan diubah sebagai berikut

Bahwa terhadap rekomendasi dan Laporan Hasil Pengawasan sebagaimana pada poin 2 telah diteruskan oleh PPK kepada Termohon sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2)

Indikasi dari isoniazid adalah tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain, sedangkan kontraindikasinya adalah penyakit hati yang aktif hipersensitifitas terhadap

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa 1)secara simultan kebijakan dividen, kebijakan hutang dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap nilai

Charger sering juga disebut Converter adalah suatu rangkaian peralatan listrik yang digunakan untuk mengubah arus listrik bolak balik (Alternating Current, disingkat AC)

Setiap mahasiswa Universitas Syiah Kuala yang menjadi anggota UKM Cendekia Unsyiah bersedia mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh pengurus ukm