• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Teori Akhlak

2. Akhlak dan Pembinaannya

31

klasikal, hanya menggunakan sorogan dan bandongan, tetapi pengajaran kitab-kitab

akhlak biasanya diberikan secara urutan sebagaimana Tabel di atas. Hal tersebut disadari oleh pengasuh pesantren yang memahami bahwa materi yang ada di kitab-kitab tersebut secara berururutan, muatan atau isinya dari yang sederhana sampai dengan yang lebih komplek.

2. Akhlak dan Pembinaannya

Etika Islam membagi akhlak kepada dua jenis; akhlak mahmudah (terpuji) dan akhlak madzmumah (tercelah). Akhlak mahmudah adalah akhlak yang baik berdasarkan ajaran Islam, sedangkan akhlak madzmumah sebaliknya yaitu akhlak yang buruk atau menyimpang dari ajaran Islam. Sebutan lain bagi perbuatan baik yaitu shalihat, dan perbuatan buruk yaitu sayyiat.43Secara jelas, kita dianjurkan untuk memparktekkan akhlak mahmudah atau perbuatan shalihat dan tidak melakukan perbuatan yang termasuk dalam akhlak madzmumah atau sayyiat.

Dalam ilmu akhlak (etika Islam), terdapat pembahasan nilai-nilai ajaran Islam yang merupakan prinsip-prinsip umum dan menjadi landasan bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan. Nilai-nilai tersebut antara lain; ma„ruf (approved), khayr

(goodness), haqq (truth and right), birr (righteousness), qist (equity), „adl (equilibrium, justice), dan taqwa (piety).44 Ibn Miskawaih memberikan penjelasan dalam kitabnya bahwa seorang muslim seharusnya menghiasi diri dengan nilai-nilai kebijaksanaan, keberanian, kesedehanaan. Jika tiga sifat ini dimiliki oleh individu muslim, maka ia

43Davids dan Waghid, Ethical Dimensions, 8.

44Al-Hasan Al-Aidaros, Faridahwati Mohd. Shamsudin & Kamil Md. Idris, “Ethics and ethical theories from an Islamic perspective,” International Journal of Islamic Thought , (2013, 4) , 1–13.

32

akan mampu bersikap adil.45 Adapun menurut Harun Nasution, al-Qur’an dan Hadits menekankan nilai-nilai seperti kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus.46 Begitu banyak nilai-nilai moral yang dimiliki oleh ajaran Islam, sehingga dapat dipahami bahwa Islam diyakini memiliki ajaran yang lengkap, sehingga dapat menjadi pedoman hidup sepanjang masa. Secara lebih khusus, beberapa ilmuwan mengkaji etika Islam dalam bidang ekonomi-bisnis dan menyimpulkan beberapa nilai etika Islam yang menjadi panduan dalam menjalankan kegiatan ekonominya, antara lain; (1) unity of God, (2) benevolence, (3) justice, (4) sincere, (5) equilibrium, (6) responsibility, dan (7) trusteeship.47 Tentu saja, nilai-nilai Islam dapat digalih lebih mendalam untuk menjadi pedoman dalam berbagai profesi lainnya.

Secara praktis, nilai-nilai akhlak telah dijabarkan oleh ilmuwan muslim dalam bentuk panduan-panduan bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Muhammad Syakir, perbuatan atau sifat yang memiliki keutamaan adalah jujur, amanah (dapat dipercaya), iffah (menjaga diri dari sesuatu yang haram), muruah (menjaga kehormatan diri), syahamah (mencegah hawa nafsu) dan izzatin nafsi (menjaga kemuliaan diri), tobat, raja (selalu berharap kepada Allah SWT), khauf (selalu takut kepada Allah, sabar, syukur, tawakkal (berpasrah diri kepada Allah) dan zuhud (menjauhi keduniaan). Sedangkan sifat atau perbuatan buruk yang harus ditinggalkan

45Davids dan Waghid, Ethical Dimensions of Muslim Education, 14. 46Harun Nasution, Islam Rasional, 57.

47Gusti Ngurah Oka Widana, Sudarso Kaderi Wiryono, Mustika Sufiati Purwanegara, dan Mohamad Toha, “Measuring Islamic Business Ethics Within Indonesia Islamic Banks,” GJAT, Vol. 4, Issue 2, (Desember, 2014), 5-15.

33

adalah ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), hiqd (benci), hasad (dengki),

takabur (sombong).48

Dalam kajian etika Islam dijelaskan bahwa perbuatan seseorang itu dikendalikan oleh nafsunya. Nafsu memiliki tiga tingkatan, ammarah, lawwamah dan muthmainnah. Jika nafsu lawwamah yang dominan dalm diri seseorang, maka perilaku yang ditamilkan cenderung bersifat kebinatangan. Nafsu lawwamah adalah kelaziman perilaku hewan yang butuh makan, minum dan sex. Perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan ini masih dianggap lazim. Yang tidak lazim adalah apabila manusia memiliki nafu ammarah, dapat juga disebut nafsu setan, nafsu ini mendorong manusia memakan bangsanya sendiri, melakukan genosida dll. dan hewan pun tidak melakukannya.

Konsep ini memiliki kemiripan dengan teori psikoanalisis yang dikemukakan Freud, bahwa manusia itu dikendalikan oleh kediriannya yang teridiri dari id, ego dan superego.49 Dalam rangka memperbaiki perilaku seseorang, maka yang harus dilakukan adalah mengupayakan pindahnya nafsu dalam diri seseorang dari level rendah kepada level tertinggi, dari ammarah ke lawwamah atau muthmainnah, dari id kepada ego atau superego. Itulah tugas pendidikan akhlak atau etika. Bukan berarti bahwa nafsu ammarah dan lawwamah tidak diperlukan sama sekali dalam kehidupan seorang muslim sebab dalam batas-batas tertentu justeru nafsu ammarah dan lawwwamah diwajibkan. Dalam keadaan perang atau mempertahan hidup, nafsu ammarah menjadi daya dorong untuk melawan musuh, tetapi nafsu ini tidak boleh muncul dalam keadaan normal.

48Muhammad Syakir bin Ahmad bin Abdil Qadir bin Abdul Warits, Washaya al Abaa' lil Abnaa'. (tt., t.th)

49Derek Wright, The Psychology of Moral Behavior (Harmondsworth-Middlesex: Penguin Books, 1973), 31-38

34

Begitu juga nafsu lawwamah juga dibutuhkan agar kita dapat menyiapkan generasi penerus yang mensyi’arkan Islam dan membawa rahmat bagi kehidupan.

Berdasarkan konsep bahwa perilaku seseorang dikendalikan oleh nafsu (ammarah, lawwamah, muthmainnah), maka ilmuwan muslim menyimpulkan bahwa metode untuk membentuk perilaku yaitu dengan mengekang nafsu atau meredam hasrat. Apa yang dapat meredakan nafsu? Salah satunya adalah berpuasa. Jadi, mendidik perilaku seseorang itu salah satunya dengan cara mengajaknya melakukan puasa. Penggunaan metode puasa ini mendapat landasan naqli berupa hadits “berpuasalah untuk menjaga pandangan…”. Oleh sebab itu, dalam praktik pendidikan Islam, seringkali praktik berpuasa secara rutin dilakukan dengan salah satu tujuan yaitu mengendalikan nafsu. Hasrat yang dimiliki seseorang secara otomatis akan dapat mengalami penurunan dengan puasa. Keinginan untuk mendapatkan harta melimpah, mendapatkan kepuasan sex, memiliki jabatan atau kekuasaan, akan dapat berkurang bahkan hilang seiring laku puasa yang dilakukan. Dengan puasa, daya dorong nafsu untuk berperilaku negatif atau menyimpang semakin lemah, dan membuat seseorang dapat mengendalikan hasrat, keinginan dan perilakunya.

Metode membentuk perilaku moral seseorang itu juga dapat ditempuh dengan zuhud (altruisme), yaitu dengan berupaya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan atau kebendaan. Berusaha sekuat tenaga untuk merasa cukup dengan kebutuhan minimal untuk hidup, menghindari perilaku konsumtif. Mengurangi untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan (pleasure). Proses ini, dapat bermanfaat untuk meredakan sifat tamak atau rakus sehingga tidak tergiur lagi dengan perilaku menyimpang demi mendapatkan harta benda.

35

Perilaku asketik seperti uzlah juga dapat menjadi salah satu cara yang digunakan untuk meredam nafsu dan menghilangkan keingingan untuk tenggelam dalam kenikmatan dunia. Uzlah sebagaimana dicontohkan Muhamammad SAW, dapat digunakan untuk muhasabah terhadap diri sendiri maupun masyarakat. Terhadap diri sendiri, dengan uzlah kita memiliki kesempatan untuk merenungi perilaku kita selama ini sehingga dapat memperbaiknya. Terhadap masyarakat, uzlah dapat kita jadikan media renungan terhadap problem di masyarakat, dan setelah kita memiliki kesiapan untuk terjun kembali, kita dapat melakukan perbaikan kehidupan masyarakat.

Metode yang lain dalam pembentukan perilaku di samping peredaman nafsu yang direkomendasikan al-Ghazali adalah latihan (riyadhah) dan mujahadah. Al-Ghazali meyakini bahwa akhlak dapat berubah dengan cara berupaya sekuat tenaga (mujahadah) untuk meninggalkan sifat dan perbuatan buruk, sekaligus berlatih sedikit-demi sedikit (riyadhah) mempraktikkan sifat dan perbuatan baik sehingga menjadi kebiasaan. Al-Ghazali mencontohkan penanaman sifat pemurah, seseorang yang mengetahui bahwa sifat pemurah adalah akhlak mulia dan ingin memiliki sifat itu, maka ia harus mencoba memberikan hartanya kepada orang lain sekalipun dengan berat hati pada awalnya, selanjutnya membiasakan diri dengan praktik tersebut sehingga menjadi tabiat (kebiasaan).50

Pembiasaan perilaku baik sebagaimana dikemukakan al-Ghazali sudah menjadi pola pembinaan perilaku di keluarga muslim. Begitu juga di lembaga pendidikan Islam, metode pembiasaan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikannya. Metode ini juga mendapatkan legitimasi dari filsafat behaviorisme yang memberikan landasan

36

ilmiahnya sebagaimana teori-teori yang dikemukakan oleh Skinner, Pavlof maupun Thorndike. Manurut behaviorisme, perilaku sesorang dapat dibentuk melalui

conditioning atau habituating, dengan menerapkan aturan-aturan yang memberikan

penjelasan (sosialisasi) keharusan berperilaku sesuai dengan norma yang ditetapkan, diiringi dengan upaya menjamin kepatuhan terhadap aturan tersebut melalui reward and

punishment.

Berbagai metode seperti sosialisasi, internalisasi, dan rasionaliasi juga patut diperhitungkan dalam membina akhlak peserta didik. Disamping itu, metode-metode pembentukan akhlak melalui afeksi, menumbuhkan empati dan simpati, memupuk sifat dan sikap peduli perlu dijadikan aternatif, agar keberhasilan dalam membentuk akhlak dapat ditingkatkan keberhasilannya. Secara lebih utuh, pembinaan akhlak dapat melalui berbagai domain dalam diri seseorang, baik domain perilaku (moral behavior), domain akal (moral thinking), maupun domain hati (moral feeling).

B. Tinjauan tentang Penalaran Moral