• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL TEMUAN

2. Akhlak manusia terhadap sesama manusia

(1) “Dia mencintai cucunya. Aku ingin membantu dia. Dia juga akan

dapat membantuku untuk mengenal bagaimana Waksito itu. Aku teringat kepada ibuku sendiri. Seandainya dia menemukan kesukaran semacam itu, tentulah kebingungannya sama besarnya dengan yang dialami nenek Waksito.” (Nh. Dini, 1997: 33)

(2) “Karena ya, benarlah aku merasa seolah-olah hati kami berdua telah bertemu.” (Nh. Dini, 1997: 78)

b. Amanah

(1) “Tarikan Waksito sedemikian besar bagiku, karena jauh di lubuk hati, aku menyadari bahwa aku harus mencoba menolong anak itu. Demi menyelamatkan seorang anggota masyarakat, tetapi barangkali juga demi kepuasan pribadiku.” (Nh. Dini, 1997: 46)

(2) “Kawanku itu mau memperdulikan kegemaran Waksito, maka dia

berhasil memecah kelakuan sifat murid sukarku itu.” (Nh. Dini, 1997: 64)

(3) “Saya berani berjanji kepada guru-guru lain bahwa selama sebulan akan dicoba lagi kemampuan saya, apakah dapat memiliki murid-murid yang berdisiplin, berbudi dan berprestasi.” (Nh. Dini, 1997: 71)

(4) “Kalau kamu naik kelas, kelak kubawa ke kota kecil kami. Di sana masih ada sungai yang berair jernih. Ikannya banyak sekali! Kita bersama-sama memancing. Keluargaku juga suka makan ikan hasil jerih payah sendiri!” (Nh. Dini, 1997: 78)

(5) “Bu Suci berusaha memberi didikan kerendahan hati dan menahan

perasaan kepada murid-murid. Hingga saat ini kamu berhasil mendapat pujian para guru dan Kepala Sekolah. Pertahankanlah ini! Jangan selalu membuat seisi kelas dan aku ketakutan semacam tadi.” (Nh. Dini, 1997: 84-85)

(6) “Pada waktu liburan Waksito kami bawa menengok kota kecil kami Purwodadi. Dia diajak suamiku memancing sepuas-puas hatinya. Dan aku tidak menyesal memenuhi janjiku itu terlalu dini, karena sekembali dari liburan, kuperhatikan dia semakin berubah.” (Nh. Dini, 1997: 85)

49 c. Sabar

(1) “Untunglah ada Uwak. Setiap kali anakku itu rewel, dengan sabar Uwak membujuk dan melayaninya. Kalau keadaan anak itu tetap demikian dengan berlarut-larut, aku merasa kurang tenang meninggalkan rumah. Padahal aku gembira akan memulai lagi tugasku sebagai guru.” (Nh. Dini, 1997: 19)

(2) “dan ketika anakku demam, aku memutuskan sendiri untuk

memeriksakannya ke dokter mana saja. Dari dokter ini anakku menerima obat guna menanggulangi flu. Belum selesai menghabiskan obat, kulitnya ditumbuhi bintik-bintik merah. Rasa gatal membikin dia semakin rewel. Uwakku menumbuk kunyit, ditambah air masak, gula merah dan beberapa tetes air kapur. Anakku disuruh menghadap ke arah Timur dan minum jamu itu sebanyak lima atau tujuh tegukan. Meskipun dengan muka cemberut, anakku berhasil terbujuk mematuhi neneknya. Sabar dan penuh cinta, uwakku terus mendampingi anakku kedua itu. Dan berkat ketelatenannya, selesma beserta bintik-bintik tiba-tiba menghilang.” (Nh. Dini, 1997: 20)

(3) “Jantungku keras berdebar. Dua kali aku terpaksa keluar kamar untuk minum air kendi. Kali yang terakhir, aku duduk sendirian memikirkan Waksito dan anakku.” (Nh. Dini, 1997: 46)

(4) “Kami sangat prihatin mengetahui nasib anak kami yang kedua. Waktu itu aku seperti kebanyakan orang, tidak mengetahui bahwa ada bermacam-macam penyakit ayan. Dokter ahli syaraf yang simpatik mau meluangkan waktu berbicara kepada kami berdua, ibu dan bapak si sakit. Secara singkat dia menerangkan garis besar apa sesungguhnya penyakit itu.” (Nh. Dini, 1997: 49)

(5) “Kucoba membuka hati anak-anak didikku agar rela menerima Waksito jika dia kembali ke sekolah.” (Nh. Dini, 1997: 51)

(6) “Kuminta mereka memaafkan Waksito yang suka memukul dan pemarah. Kucoba meyakinkan anak-anak didikku bahwa jauh di lubuk hatinya, Waksito tidak membenci, seperti yang selalu dia katakan. Yang sebenarnya ialah dia merasa iri.” (Nh. Dini, 1997: 52)

(7) “Dasar orang kaya! Anaknya tidak diperbolehkan belajar

berenang beramai-ramai dengan kawannya karena akan dibikinkan kolam sendiri! Rasa iba bercampur jengkel sebentar berkecamuk dalam hatiku.” (Nh. Dini, 1997: 77)

d. Khusnudzon

(1) “aku berfikir kepada anakku. Mudah-mudahan dia segera sehat kembali. Sejak kami pindah, seringkali dia rewel, menangis tanpa sebab yang nyata kelihatan. Kalau ditanya, katanya kepalanya

pusing. Lain dari kebiasaannya, dia cepat sekali tersinggung.” (Nh. Dini, 1997: 19)

(2) “Tidak ada anak-anak yang jahat,” cepat aku menyambung berusaha melembutkan keheranan yang baru kuperlihatkan secara terang-terangan.” kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat di didik. memang kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa di ajar teratur, ditunjukan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak yang jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalan yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!” (Nh. Dini, 1997: 28)

(3) “Sebegitu orang masuk kerumah itu, terasa resapan keramahan dan kesejahteraan. Kini setelah duduk, baru beberapa menit berkenalan dan melihat keterbukaan hati, wanita itu, aku merasa kerasan.” (Nh. Dini, 1997: 36)

(4) “Dia anak yang baik, Jeng. Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya sudah sangat bahagia rasanya! Ketika dia mengatakan maksud pemberian tersebut, langsung saya peluk dan saya ciumi.” (Nh. Dini, 1997: 43)

(5) “Waksito dapat hidup dengan kebiasaan lingkungannya, hanya perlu bimbingan dan pengarahan. Dia hanya memerlukan tambahan “suntikan” pengetahuan untuk tidak merugikan atau

membahayakan manusia lain di lingkungannya.” (Nh. Dini, 1997:

45)

(6) “Waksito bukan anak yang kasar, yang tidak bisa didekati dengan perasaan.” (Nh. Dini, 1997: 54)

(7) “Dengan kecemasan aku memikirkan yang bukan-bukan:

jangan-jangan anakku kambuh dan menjadi tontonan! Di saat sedang asyik mengajar, aku terkejut oleh ketukan atau panggilan di pintu. Seakan-akan aku menuggu sesuatu berita buruk mengenai anakku!” (Nh. Dini, 1997: 59)

(8) “Tidak terbalasnya kebanyakan surat pemberitahuan maksud

kunjungan sekolah ke jawatan-jawatan itu membuktikan bahwa para petugas di sana tidak mempedulikan pendidikan kaum muda. Berarti pula bahwa koordinasi antara departemen maupun instansi masih sangat kurang, atau tidak ada sama sekali.” (Nh. Dini, 1997: 63)

(9) “Hati kami suami-isteri tetap prihatin di tempat kerja maupun di rumah. Tubuh anak kami tidak menunjukkan gejala kelemahan, oleh karena itu dia tetap masuk sekolah.” (Nh. Dini, 1997: 67) (10)“Malamnya aku gelisah. Tidurku sangat terganggu. Dugaanku

bermacam-macam. Barangkali Waksito tidak masuk esok pagi! Atau masuk, membawa pisau, atau golok, atau senjata lain yang lebih mengerikan guna membalas dendam terhadapku!” (Nh. Dini, 1997: 71)

51

(11)“Aku tetap takut dan cemas pada suatu hari murid sukarku tidak masuk karena membolos, atau sekonyong-konyong mengamuk sambil menyabitkan sesuatu senjata!” (Nh. Dini, 1997: 74)

(12)“Lama-kelamaan, aku merasakan adanya semacam sambungan

atau jalur penghubung antara Waksito dan diriku. Hubungan itu juga terasa ada di seluruh kelas, di antara para murid dengan anak didikku yang satu itu.” (Nh. Dini, 1997: 74-75)

(13)“Anak-anak bergembira menyambut kelakuan yang spontan itu. Waksito benar-benar menjadi seorang dari mereka. Dia tidak lagi dihindari seolah-olah mempunyai penyakit yang menular. Berangsur-angsur, kelas-kelas lain yang mengetahui sifatnya juga turut berobah sikap.” (Nh. Dini, 1997: 75)

(14)“Hatiku kacau dan cemas. Apa yang sedang dikerjakan anak itu?

Di mana?” (Nh. Dini, 1997: 81)

(15)“Sejak tadi seisi kelas mencarimu. Kami semua khawatir! Jangan -jangan kamu mengamuk di tempat lain! Malahan ada yang mengatakan barangkali kamu tidak akan mau masuk sekolah lagi, setiap hari ke Banjirkanal memancing!” (Nh. Dini, 1997: 82) e. Optimis

(1) “Menurut pendapatku, “justru di situlah sebaiknya anak-anak menerima didikan sepatutnya. Kekuatan pendidikan SD terlihat pada si anak yang mendapat ajaran seperlunya guna pembentukan watak, di kemudian hari menjadi manusia bersifat kokoh. Tidak sering berobah pendapat.” (Nh. Dini, 1997: 12)

(2) “Aku ingin menunjukkan turut berprihatin mengenai cucu

sulungnya. Aku tidak yakin apakah ini berguna bagi perkembangan Waksito selanjutnya. Yang jelas, aku wajib mencoba melakukan pendekatan terhadap murid kelasku. Keseimbangan dan ketenangan kelas yang menjadi tanggung-jawabku sangat mempengaruhi karirku.” (Nh. Dini, 1997: 33)

(3) “Bagaimanapun juga, aku tetap pada maksudku mengunjungi

nenek Waksito. Apapun yang terjadi, aku merasa harus mencoba mengerjakan sesuatu untuk menolong anak itu.” (Nh. Dini, 1997: 33)

(4) “Aku datang buat mencari latar belakang selengkap mungkin guna menimbulkan pengertianku terhadap anak didikku. Kalau memang dia masih bisa diarahkan ke perbaikan, inilah kewajiban utamaku. Demi itulah maka aku berhak berbuat untuk menemukan latar belakang tersebut.” (Nh. Dini, 1997: 40)

(5) “Aku ingin mempunyai murid yang kelak menjadi manusia yang berdiri sendiri.” (Nh. Dini, 1997: 54)

f. Disiplin

(1) “Ini Ibu Suci,” katanya kepada para murid. “Selama beberapa hari, dua kelas digabung. Berusahalah tenang, jangan nakal. Tunjukkan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar sepuluh tahun lamanya.” (Nh. Dini, 1997: 24) (2) “Saya hanya ingin mendidik anak bersikap rapi dan teratur,

Jeng.” (Nh. Dini, 1997: 37)

(3) “Anak-anak harus diajar berdisiplin atau keteraturan dalam hidup sehari-hari. Ini akan memberi pengaruh besar dalam cara berpikirnya kelak pada umur dewasa.” (Nh. Dini, 1997: 38)

(4) “Pemeriksaan kebersihan semacam itu kuteruskan terhadap

anak-anak didikku. Tetapi aku tidak memukul atau menyelentik keras. Cukup sebagai syarat untuk memperlihatkan kepada murid lain, sehingga yang bersangkutan merasa malu. Dengan begitu kuharapkan pada hari-hari selanjutnya dia berobah menjadi lebih bersih.” (Nh. Dini, 1997: 61)

(5) “Dengan demikian anak didikku merasa dikendalikan karena selalu kuteliti buku-bukunya. Aku mengharapkan menanamkan disiplin kerapian dan kebersihan di samping ketekunan mengerjakan pelajaran.” (Nh. Dini, 1997: 73)

g. Tanggung Jawab

(1) “Kata suamiku, kami sekeluarga diwajibkan periksa kesehatan lengkap ke dokter perusahaan. Kami sedang mencari-cari kesempatan untuk dapat berangkat bersama.” (Nh. Dini, 1997: 19)

(2) “Menurut cerita neneknya kepada guru-guru, ketika belum

berumur satu setengah tahun, adiknya lahir. Langsung saja ibunya menumpahkan perhatian serta asuhan kepada anak yang kedua. Barangkali Waksito sadar menjadi anak yang tersisihkan. Bapaknya jarang di rumah, seringkali bepergian keluar kota bahkan keluar negeri.” (Nh. Dini, 1997: 31)

(3) “Dia lebih menginginkan satu atau dau kalimat manis dari bapaknya. Usapan tangan di kepalanya, atau pandang penuh perhatian keibuan. Apabila si Ayah kembali dari bepergian atau dari kantor, Waksito menceritakan apa yang dialaminya. Kalimat anak itu belum selesai, bapaknya sudah membuka surat kabar, lalu mulai membaca. Kalau Waksito minta supaya bapaknya meneliti PR-nya, si Bapak menyahut terlalu cape.” (Nh. Dini, 1997: 31) (4) “Seperti anak-anak biasa yang sebaya dengan dirinya, dia

menghendaki pujian, kalimat-kalimat teguran yang tegas namun diucapkan penuh kasih sayang. Kata si nenek, semua itu tidak pernah didapatkan Waksito di rumahnya. Maka dia tumbuh menjadi anak yang bersifat pemarah dan pemberontak. Dia selalu

53

mengganggu adiknya. Selalu membantah dan menyanggah nasehat. Jika disuruh mengerjakan sesuatu, selain tidak melaksanakannya, dia juga menyahut dengan kata-kata tidak sopan. Apalagi kalau berhadapan dengan ibunya! Waksito menjadi anak yang kurang-ajar.” (Nh. Dini, 1997: 32)

(5) “Dia harus disadarkan, bahwa hidup tidak selamanya demikian mudah, apalagi berlangsung seperti kehendaknya! Jadi, uang merupakan keperluan utama.” (Nh. Dini, 1997: 41)

(6) “Anak semacam inilah yang akan kuhadapi di kelasku. Dapatkah

aku menolongnya keluar dari persoalannya? Umur yang disandangnya akan lebih memberatinya dengan segala kelakuan remaja. Semua akan dipertanyakan: mengapa demikian? Mengapa begitu? Dapatkah aku mengarahkannya ke satu perkembangan

sehat dan wajar, sebagai anak “biasa”? dan siapakah yang akan

membantuku dalam tugas ini?” (Nh. Dini, 1997: 45)

(7) “Sepintas lalu, tentu saja aku mementingkan anakku daripada muridku. Tetapi benarkah sikap itu? Benarkah pilihan ini didektekan oleh suara hatiku yang sesungguhnya dan setulus-tulusnya? Aku menyukai pekerjaanku sebagai guru.” (Nh. Dini, 1997: 46)

(8) “Kadang-kadang ada keinginan padaku untuk merengkuhnya

dengan lenganku, lalu berkata sehalus mungkin kepadanya bahwa aku ingin sekali menolongnya. Aku memang betul-betul ingin memberinya perhatian yang selama ini tidak didapatkannya dari orang tuanya.” (Nh. Dini, 1997: 56)

(9) “Orang tua murid dan guru bergotong royong, masing-masing murid datang dengan membawa meja dan bangku mereka.” (Nh. Dini, 1997: 57)

(10)“Pada suatu kesempatan lain, guru Agama membawa kelasku ke Kantor Urusan Agama. Dia sudah kuberitahu siapa Waksito. Aku minta tolong kepadanya untuk mengamati anak ini agak lebih dari lain-lainnya, memperhatikan percakapan serta tingkah lakunya. Siapa tahu dia dapat menemukan sesuatu yang lain yang lolos dari pengamatanku sendiri.” (Nh. Dini, 1997: 63)

(11)“Dengan susah payah aku mempertahankan muridku. Para rekan

yang menginginkan pengeluaran Waksito ternyata lebih banyak dari yang mendukungku. Tetapi aku bersitahan. “Berilah saya waktu satu bulan lagi,” itulah permintaanku dalam rapat.” (Nh. Dini, 1997: 69)

(12)“Guru-guru memutuskan bahwa hari ini saya bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya akan segala yang kamu kerjakan, Waksito! Kalau kamu berbuat sesuatu yang keji, yang membahayakan kamu sendiri atau kawan-kawan serta gurumu, Bu Suci dikeluarkan! Kamu juga!” (Nh. Dini, 1997: 70)

(13)“Seolah-olah Dia menandaskan bahwa belum saatnya aku

tetap waspada. Memang betul Waksito banyak berubah. Kakek dan neneknya satu kali singgah beberapa menit dan mengatakannya kepada kepala sekolah. Bu De yang serumah dengan dia bercerita tentang kepatuhan kemenakannya. Namun perobahan itu semua masih terlalu baru. Masih rapuh.” (Nh. Dini, 1997: 79)

(14)“Bu De-nya datang ke sekolah. Dia berterima kasih kepada Kepala Sekolah, para guru, dan kepadaku sendiri. Aku menjawab bahwa aku gembira dapat menolong Waksito.” (Nh. Dini, 1997: 85) 3. Akhlak manusia terhadap lingkungan

a. Menjaga dan Tidak Merusak

(1) “Purwodadi kota kecil, gersang, tanpa daya tarik. Tetapi itu adalah kota kelahiranku. Bagaimanapun jeleknya, aku biasa hidup di sana. Aku mengenalnya seperti mengenal orang tuaku sendiri.” (Nh. Dini, 1997: 9)

(2) “Purwodadi tidak memiliki satu daya tarik pun bagi pengunjung. Namun demikian ketika aku pulang berlibur, melewati jalan atau tempat tertentu, seringkali hatiku terharu. Kenangan terhadap kejadian-kejadian yang pernah kualami muncul di kepalaku.” (Nh. Dini, 1997: 10)

(3) “Sambil menunggu surat pengangkatan kepindahan kerja, aku tinggal di rumah. Selalu mengatur tempat kediaman kami yang baru, juga untuk mengurus anak-anak.” (Nh. Dini, 1997: 12)

(4) “Sewaktu tinggal di Purwodadi, kami menempati rumah setengah

batu setengah kayu. Letaknya di pinggir jalan. Menurut ukuran kota kami termasuk jalan besar. Sepuluh tahun yang lalu jalan itu belum ramai. Ketika kami meninggalkannya, lalu lintas sudah sangat padat. Kendaraan bersimpang-siur setiap waktu. Truk atau tengki pengangkut minyak selalu lewat di sana. Memang jalan itu merupakan jaluran utama yang menuju ke luar kota baik Cepu maupun ke Semarang.” (Nh. Dini, 1997: 15-16)

(5) “Daerah kami disebut orang daerah minus.” (Nh. Dini, 1997: 16) (6) “Di kota kecil seperti Purwodadi pastilah orang dapat melihat

pohon-pohon manga yang lebat berbunga. Masa-masa peralihan dari musim kemarau ke musim hujan dinamakan “bediding” di daerah kami. Dan karena pada waktu demikian udara selalu dingin, apabila orang mengatakan “ini sedang bediding”, berarti bahwa itulah musim dingin. Di kala itu cabang-cabang mempelam sarat oleh warna kembangnya. Belum tentu semuanya akan menjadi buah. Kedatangan hujan semakin tidak menentu di zaman sekarang. Menurut kebiasaan, musim hujan baru mulai akhir bulan Agustus atau permulaan Setember. Itu adalah perhitungan yang paling dini. Tetapi sejak bertahun-tahun belakangan ini, musim

55

tidak lagi teratur. Dalam hal demikian, maka buah manga merupakan dagangan mahl di pasar.” (Nh. Dini, 1997: 22)

(7) “Di sana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku. “Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku. “Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu, satunya lagi?” “Gadung.” Jawabku, dan kuteruskan, “Di tempat Kakek lebih banyak lagi. Hamper semua jenis manga, ada.” “Karena tempat Kakek lebih luas dari rumah kita di sana!” anak sulungku menyatakan isi pikirannya. “Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah rumah kita!” (Nh. Dini, 1997: 23)

(8) “Jika pendidikan perlengkapan ini diabaikan, kukira Indonesia akan sampai kepada kemiripan nasib negeri-negeri di mana jumlah pribuminya yang mengerti kebudayaan dan tradisinya hanya terdapat di kalangan sarjana.” (Nh. Dini, 1997: 64)

(9) “Selain kelas menjadi sejuk dan asri, juga berguna untuk membiasakan murid dengan lingkungan sebaik dan senyaman mungkin.” (Nh. Dini, 1997: 80)

b. Memanfaatkan dengan Baik

(1) “Semarang sudah kukenal ketika aku bersekolah di sana. Seperti kota-kota pesisir lain, kepadatan penduduk amat dikuasai pengaruh golongan Tionghoa.” (Nh. Dini, 1997: 11)

(2) “Semarang sebagai kota pelabuhan merupakan pintu gerbang berbagai pengaruh. Kebiasaan dan tradisi yang dipertahankan oleh sekelompok masyarakat, di bagian-bagian tertentu kota ini bercampur dengan kebiasaan baru. Karena itu dianggap lebih sesuai, atau disebabkan oleh kerapuhan sifat anak-anak muda.” (Nh. Dini, 1997: 13)

(3) “Rumah RT itu mentereng. Berhalaman luas. Tetapi itu bukan satu-satunya rumah bagus di dalam kampung kami yang baru. Sepintas lalu aku sudah melihat tempat kediaman lain yang lebih mewah dan modern. Dari ibu itu aku mendengar keterangan bahwa penghuni kampung terdiri dari campuran golongan tingkat masyarakat. Ada pensiunan kepala polisi, pegawai kejaksaan, pensiunan kepala sekolah atau guru. Tidak kurang pula pedagang tengahan yang merupakan pendatang dari daerah lain. Yang paling banyak tentu saja yang disebut rakyat rendahan, terdiri dari penjual-penjual makanan dorongan, penjaga pintu gedung-gedung tontonan, tukang becak dan mempunyai jenis penghuni yang lengkap.” (Nh. Dini, 1997: 14)

(4) “Di kota kami Purwodadi, masih dapat dipergunakan sebagai pembeli lauk yang dimakan sekeluarga. Hal yang tidak mungkin kuharapkan kini setelah tinggal di Semarang.” (Nh. Dini, 1997: 16)

(5) “Desa-desa mempunyai sawah, tetapi tidak pernah menghasilkan berlimpah-limpah. Rakyat berduyun-duyun meninggalkan kehidupan bercocok tanam, pergi ke kota-kota pantai.” (Nh. Dini, 1997: 16)

(6) “Semarang adalah kota yang digemari sebagai sasaran pencarian

nafkah.” (Nh. Dini, 1997: 16)

(7) “Sejak bulan pertama kami pindah, aku dapat mengenali

lingkungan terdekat. Paling penting bagiku ialah sekolah anak-anak dan pasar.” (Nh. Dini, 1997: 17)

(8) “Aku tau bahwa sepanjang Jalan Kalisari masih ditempati penjual bunga dan berbagai tanaman. Pemandangan daun-daunan kuanggap penting untuk meminggiri dinding di depan rumah. Suasana menjadi asri dan segar karenanya. Juga karena aku ingin membiasakan anak-anak mempunyai tugas sedikit. Misalnya menyiram pot dan memelihara tumbuh-tumbuhan dengan semestinya. Sayang di kota besar ini kami tidak memiliki halaman.” (Nh. Dini, 1997: 18)

(9) “Lihat! Di Purwodadi tidak ada sekolah sebagus ini!” “Apanya yang bagus?” suara anakku kedengaran lugu. “Perhatikan baik -baik! Atapnya lain dari atap di sana itu. Gedungnya demikian pula. Bentuk tiang dan pintunya! Tidakkah kamu menyukainya? Di zaman sekarang tidak banyak gedung seperti ini.” (Nh. Dini, 1997: 24)

(10)“Pendek kata, bersekolah di kota besar adalah suatu kemewahan.

Itu merupakan salah satu sebab mengapa orang berduyunan meninggalkan desa dan tinggal di kota besar. Padahal desa adalah tempat sumber pangan. Siapakah yang akan memperbaiki keadaan demikian? Nasib desa ataupun pelosok terpencil sangat tergantung pada kegigihan kaum muda sekarang, yang waktu itu berada di kelas.” (Nh. Dini, 1997: 57-58)

(11)“Air di kota Purwodadi sangat sukar. Kami beruntung, karena di

sekolah ada sumur yang bersumber jernih. Dua kamar kecil di dekatnya dilengkapi dengan bak cadangan air. Untuk kebersihannya, Kepala Sekolah mengharuskan guru-guru bergiliran membeli karbol dan sabun.” (Nh. Dini, 1997: 61)

(12)“Letak kampung kami bersambungan dan berdampingan dengan

kampung-kampung lain. Untuk menuju ke jalan besar, kami harus melewati satu atau dua kelompok pemukiman tersebut.” (Nh. Dini, 1997: 62)

57 B. Karakter Tokoh Utama Pendidik

Pendidik adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik (Tafsir, 2008:74). Pendidik dalam arti luas adalah semua orang atau siapa saja yang berusaha dan memberikan pengaruh terhadap pembinaan orang lain (peserta didik) agar tumbuh dan berkembang potensinya menuju kesempurnaan (Yasin, 2008: 68). Seperti yang terdapat dalam firman Allah pada surat Al Mujaadilah ayat 11:































































Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Maksud dari ayat Al-Qur’an di atas adalah supaya Allah

meninggikan derajat orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan agama (dari kalangan kamu) beberapa derajat.

Menurut Al-Abrasyi dalam buku tafsir (2008: 82) menyebutkan bahwa pendidik dalam Islam sebaiknya memiliki sifat-sifat atau karakter sebagai berikut:

1. Zuhud (tidak mengutamakan materi, mengajar dilakukan karena mencari keridaan Allah)

2. Bersih tubuhnya, jadi penampilan lahiriyahnya menyenangkan 3. Bersih jiwanya (tidak mempunyai dosa besar)

4. Tidak ria (ria akan menghilangkan keikhlasan) 5. Tidak memendam rasa dengki dan iri hati 6. Tidak menyenangi permusuhan

7. Ikhlas dalam melaksanakan tugas 8. Sesuai perbuatan dengan perkataan 9. Tidak malu mengakui ketidaktahuan 10.Bijaksana

11.Tegas dalam perkataan dan perbuatan 12.Rendah hati (tidak sombong)

13.Lemah lembut 14.Pemaaf

15.Sabar, tidak marah karena hal-hal kecil 16.Berkepribadian

17.Tidak merasa rendah diri

18.Mencintai murid seperti anak sendiri

19.Mengetahui karakter murid, mencakup pembawaan, kebiasaan, perasaan dan pemikiran

59 BAB IV ANALISIS DATA

A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

1. Akhlak Manusia terhadap Allah SWT a. Tawakal

Tawakal merupakan salah satu ibadah hati yang paling utama dan salah satu dari berbagai akhlak iman yang agung. Sebagaimana dikatakan Imam Ghazali, tawakal merupakan salah satu manzilah (tempat) agama dan kedudukan orang-orang yang beriman. Bahkan tawakal termasuk derajat muqarrabin (rahmat) yang paling tinggi. Bahkan menurut Ibnu Qayyim tawakal adalah separuh agama dan separuh lainnya adalah inabah (dekat atau kembali), kembali kepada Allah.

Tawakal merupakan kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta

Dokumen terkait