• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat-Akibat Kejahatan

Dalam dokumen sosiologi kriminalitas (Halaman 35-48)

(berjari-jari pendek) dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta

2.2 Akibat-Akibat Kejahatan

Sudah jelas akibat dari kejahatan adalah negatif, sesuatu yang tidak dikehendaki masyarakat, akibat dapat tertuju kepada:

1.Manusia

Perorangan (individu) sebagai korban yang dapat berupa kejiwaan, korban nama baik, dan korban harta (vermogeen) yang menjadi milik manusia sebagai subjek hokum (pendukung hak dan kewajiban).

2.Masyarakat

Diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan dari individu-individu, sehingga seseorang atau beberapa orang yang menjadi korban tindak kejahatan bukan tidak mungkin masyarakat sekitarnya ikut-ikutan menjadi korban, paling sedikit

timbulnya keresahan.

3. Diri Si Pelaku Tindak Kejahatan

Si pelaku tindak kejahatan sendiri dapat menjadi korban dari perbuatannya sendiri, yang jelas ia akan disingkirkan oleh masyarakat dan mungkin sekali dihukum pidana untuk diambil nyawanya atas dirampas kemerdekaannya.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14013/1/09E00413

.pdf

% A. Pengertian Kriminalitas/Kejahatan

Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.

Lalu krimonologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan, Kartono (1999: 122).

Definisi kejahatan secara yuridis adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, a-sosial sifatnya dan melanggar hokum serta undang-undang pidana. Di dalam KUHP jelas tercantum bahwa “kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan

ketentuan-ketentuan KUHP”. Missal pembunuhan pasal memenuhi 338 KUHP, mencuri memenuhi pasal 362 KUHP, penganiayaan memenuhi pasal 351 KUHP.

Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang tercantum maupun yang belum tercantum pada undang-undang pidana). 1. B. Teori mengenai Kejahatan

Teori mengenai kejahatan adalah sebagai berikut, Kartono (1999: 136-150):

1. Teori Teologis, menurut teori ini kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang jahat sifatnya, setiap orang dapat melakukan kejahatan kerena didorong oleh roh-roh jahat, godaan setan/iblis, nafsu, sehingga ia melanggar kehendak Tuhan.

2. Teori filsafat tentang Manusia (Antropologi Transedental).

Teori ini menyebutkan adanya dialektika antara jasmani dan rohani. Rohani atau jiwa mendorong masnusia kepada perbuatan-perbuatan baik dan susila, mengarahkan manusia pada usaha transedensi dan konstruksi diri. Selanjutnya jiwa diwujudkan dalam perbuatan jasmani. Jasmani manusia merupakan prinsip ketidakselesaian atau perubahan, sifatnya tidak sempurna. Prinsip ini mengarahkan manusia kepada destruksi, kerusakan, kejahatan, dll.

Jadi karena sifat-sifat jasmaninya, seseorang mempunyai

tidak dapat dikendalikan oleh jiwa. Kecenderungan mengarah kepada kejahatan berlangsung dengan mudah/otomatis, sedangkan

kecenderungan usaha transedensi atau konstruksi diri adalah usaha yang sulit.

1. Teori kemauan bebas (free will), menyatakan bahwa manusia itu bebas berbuat menurut kemauannya, berhak menentukan pilihan dan sikapnya. Teori ini menyebutkan sebab kejahatan adalah kemauan manusia itu sendiri.

2. Teori penyakit jiwa, teori ini menyebutkan adanya kelainan-kelainan jiwa yang bersifat psikis sehingga individu sering melakukan kejahatan. Penyakit jiwa ini berupa psikopat dan defect moral. Psikopat adalah bentuk kekalutan mental, yang ditandai dengan tidak adanya pengorganisasia dan pengintegrasian pribadi, ridak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu berkonflik dengan norma sosial serta hokum, dan biasanya juga bersifat immoral. Defect moral dicirikan dengan individu yang hidupnya jahat, selalu melakukan kejahatan, bertingkah laku anti sosial, ada disfungsi intelegensi.

1. Teori fa’al tubuh (fisiologis), teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah: cirri-ciri jasmaniah dan bentuk jasmaniahnya. Pada

bentuk tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan, jari, kaki, dan anggota badan lainnya. Pendukung teori ini yang terkenal adalah Cecare Lambroso, Enrico Ferri, dan Garofalo yang secara bersama-sama

membangun mahzab Italia.

Lombroso berkeyakinan bahwa para criminal mempunyai konstitusi psikofisik dan tipe kepribadian yang abnormal, yang jelas bisa

dibedakan dengan orang-orang normal. Karakteristik tersebut sifatnya bisa:

1. Fisiologis-anatomis: dengan cirri khas pada tubuh, dan anggota, serta kelainan jasmaniah.

2. Psikologis: dengan cirri psikopatik, gangguan system syaraf, gila dan defect moral.

Pengikut Lombroso menjelaskan tipe-tipe criminal dengan prinsip-prinsip atavisme, yang menyatakan adanya proses kemunduran kepada pola-pola primitive dan speciesnya yaitu tiba-tiba muncul cirri nenek moyang kini timbul kembali. Cirri tingkah laku orang criminal mirip sekali denga tingkah laku orang primitive yang liar-kejam dan bengis.

1. Teori yang menitikberatkan pengaruh antropologis (dekat sekali degan teori fisiologis). Teori ini menyatakan adanya cirri-ciri individual yang karakteristik, dan cirri anatomis yang

menyimpang. Dalam kelompok ini dimasukkan teori atavisme. Sarjana Ferrero berpendapat bahwa teori atavisme itu memang mempunyai segi kebenaran, yitu orang-orang criminal

mempunyai cirri psikis yang sama dengan orang primitive, dalam hal: kemalasan, impulsivitas, cepat marah dan kegelisahan

psikofisik. Semua karakteristik itu menghambat mereka dalam menyesuaikan diri dengan peraturan peradaban dan kesusilaan. 2. Teori yang menitikberatkan factor sosial, Mahzab Perancis. Teori ini

menyatakan bahwa yang paling menentukan kejahatan adalah factor eksternal/lingkungan sosial.gabriel tarde dan Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan merupakan insiden alamiah. Merupakan gejala sosial yang tidak bisa dihindari dalam revolusi sosial, di mana secara mutlak terdapat satu minimum kebebasan individual untuk berkembang, juga terdapat tingkah laku masyarakat yang tidak bisa diduga-duga untuk mencuri keuntungan dalam setiap kesempatan, dengan demikian ada kecenderungan untuk melakukan kejahatan. Pada intinya kesmiskinan dan kesesngasaraan menjadi sumber utama kejahatan. Kemiskinan tanpa jalan keluar menyebabkan orang putus asa, sehingga kejahatan merupakan satu-satunya jalan menolong kehidupan.

3. Mahzab bio-sosiologis. Ferri pengikut Lombroso menjadi pelopor mahzab ini, ia mengkombinasikan Mahzab Italia dan Mahzab Perancis. Ia menyatakan bahwa kejahatan itu tidak hanya disebabkan oleh keadaan biologis tetapi juga oleh factor sosial. Ringkasnya saat ini pendapat yag menyatakan factor tunggal

sebagai penyebab kejahatan sudah sangat jarang. Lebih banyak yang bertumpu pada factor jamak.

4. Teori susunan ketatanegaraan. Plato, Aristoteles, dan Thomas More beranggapan bahwa struktur ketatanegaraan dan falsafah negara turut menentukan ada dan tidaknya kejahatan. Jika

susunan negara baik dan pemerintahannya bersih, serta mampu melaksanakan tugas memerintah rakyat dengan adil maka

kejahatan tidak akan bisa berkembang. Sebaliknya jika

pemerintahan korup, tidak adil, maka banyak orang memenuhi kebutuhannya dengan dengan cara kejahatan.

5. Mahzab Spiritualis dengan teori Non-Religiusitas (tidak beragamnya individu). Agama memperkenalkan nilai-nilai luhur yang besar sekali artinya bagi oengendalian diri dari perbuatan kejahatan, mengeluarkan manusia dari rasa egois. Orang yang tidak

beragama dan tidak percaya kepada nilai-nilai agama umumnya egois, sombong, dan harga diri berlebihan. Sifatnya menjadi ganas, bengis terhadap sesame makhluk. Ketiadakpercayaan kepada Tuhan juga menyebabkan ketakutan, kecemasan, dan kebingungan, sehingga sering timbul agresivitas dan sifat a-sosial, yang mudah menjerumuskan manusia kepada kejahatan. 6. C. Faktor Penyebab Kriminalitas

7. Biologik

1. Genothype dan Phenotype

Stephen Hurwitz (1986:36) menyatakan perbedaan antara kedua tipe tersebut bahwa Genotype ialah warisan sesungguhnya, Phenotype ialah pembawaan yang berkembang. Perbedaan antara genotype dan phenotype bukanlah hanya disebabkan karena hukum biologi

mengenai keturunan saja.

Sekalipun sutu gen tunggal diwariskan dengan cara demikian hingga nampak keluar, namun masih mungkin adanya gen tersebut tidak dirasakan. Perkembangan suatu gen tunggal adakalanya tergantung dari lain-lain gen, teristimewanya bagi sifat-sifat mental. Di samping itu, nampaknya keluar sesuatu gen, tergantung pula dari pengaruh-pengaruh luar terhadap organism yang telahatau belum lahir.

Apa yang diteruskan seseorang sebagai pewarisan kepada genrasi yang berikutnya semata-mata tergantung dari genotype. Apa yang tampaknya keluar olehnya, adalah phenotype yaitu hasil dari

pembawaan yang diwaris dari orang tuanya dengan pengaruh-pengaruh dari luar.

1. Pembawaan dan Kepribadian

Berdasarkan peristilahan teori keturunan, pembawaan berarti potensi yang diwariskan saja, dan kepribadian berarti propensity/bakat-bakat yang dikembangkan.

Kinberg (dalam Stephen Hurwitz, 1986:36) menyatakan: Individuality – factor I – bukan fenomena/gejala endogenuous yang datang dari dalam semata-mata, tapi hasil dari pembawaan dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi dan membentuk pembawaan sepanjang masa. 1. Pembawaan dan Lingkungan

Menurut istilah, pembawaan dan lingkungan merujuk kepaa

pembawaan yang dikembangkan. Mahzab lingkungan pada mulanya hanya memperhatikan komponen-komponen di bidang ekonomi, akan tetapi konsepsi itu meliputi seluruh komponen baik yang materiil maupun yang spiritual.

Lingkungan merupakan factor yang potensial yaitu mengandung suatu kemungkinan untuk memberi pengaruh dan terujudnya kemungkinan tindak criminal tergantung dari susunan (kombinasi) pembawaan dan lingkungan baik lingkungan stationnair (tetap) maupun lingkungan temporair (sementara).

Faktor-faktor pembawaan dan lingkungan selalu saling mempengaruhi timbal balik, tak dapat dipisahkan satu sama lain. Lingkungan yang terdahulu, karena pengaruhnya yang terus menerus terhadap pembawaan, mengakibatkanterwujudnya sesuatu kepribadian dan sebaliknya factor lingkungan tergantung dari factor-faktor pembawaan. Oleh karena:

oleh pikirannya sendiri.

2) Orangnya dapat banyak mempengaruhi dan mengubah factor-faktor lingkungan ini.

Menurut Kinberg (dalam Stephen Hurwitz, 1986:38) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan yang dahulu sedikit banyak ada dalam kepribadian seseorang sekarang. Dalam batas-batas tertentu

kebalikannya juga benar, yaitu lingkungan yang telah mengelilingi seseorang untuk sesuatu waktu tertentu mengandung pengaruh pribadinya. Faktor-faktor dinamik yang bekerja dan saling

mempengaruhi adalah baik factor pembawaan maupun lingkungan. Sedangkan Exner (dalam Stephen Hurwitz, 1986:39) menyebutkan 2 doktrin, antara lain:

1) Bagaimana perkembangan pembawaan dalam batas-batas tertentu tergantung dari lingkungan.

2) Lingkungan seseoprang dan pengaruh lingkungan ini terhadapnya dalam sesuatu batas tertentu, tergantung dari pembawaannya.

1. Pembawaan criminal

Stephen Hurwitz (1986:39) menyatakan bahwa tidaklah masuk akal untuk menghubungkan pembawaan yang ditentukan secara biologic dengan suatu konsepsi yuridik yang berdeda menurut waktu dan tempat.

Setiap orang yang melakukan kejahatan mempunyai sifat jahat pembawaan, karena selalu ada interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Akan tetapi hendaknya jangan memberi cap sifat jahat pembawaan itu, kecuali bila tampak sebagai kemampuan untuk melakukan susuatu kejahatan tanpa adanya kondisi-kondisi luar yang istimewa dan luar biasa. Dengan kata lain, harus ada keseimbangan antara pembawaan dan kejahatan.

Ada hubungan timbal-balik antara factor-faktor umum social politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Stephen Hurwitz (1986:86-102) menyatakan tinjauan yang lebih mendalam tentang interaksi ini, antara lain yaitu:

1. Faktor-faktor ekonomi 1) Sistem ekonomi

Sistem ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan bebas, menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, cara

penjualan modern dan lain-lain, yaitu menimbulkan keinginan untuk memiliki barang dan sekaligus mempersiapkan suatu dasar untuk kesempatan melakukan penipuan-penipuan.

2) Harga-harga, Perubahan Harga Pasar, Krisis (Prices, market fluctuations, crisis)

Ada anggapan umum, bahwa ada suatu hubungan langsung antara keadaan-keadaan ekonomi dan kriminalitas, terutama mengenai kejahatan terhadap hak milik dan pencurian (larceny). Dalam

penelitian tentang harga-harga (prices) maka hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan harga rata-rata diikuti dengan kenaikan pencurian yang seimbang.

Suatu interaksi yang khas antara harga-harga barang (contoh:

gandum, dan sebagainya) dari kriminalitas ternyata dan terbukti dari fakta-fakta, yaitu bahwa jumlah kebakaran yang ditimbulkan yang bersifat menipu mengenai hak milik tanah menjadi tinggi, bila harga tanah turun dan penjualannya sukar. Alasannya ialah karena keadaan-keadaan ekonomi menimbulkan suatu kepentingan khusus untuk memperoleh jumlah asuransi kebakaran untuk rumah dan pekarangan serta tanaman, (premises = rumah dan pekarangan).

3) Gaji atau Upah.

gangguan ekonomi nasional, upah para pekerja bukan lagi merupakan indeks keadaan ekonomi pada umumnya. Maka dari itu perubahan-perubahan harga pasar (market fluctuations) harus diperhatikan. Banyak buku telah menulis tentang artinya goncangan harga-harga dan upah. Juga banyak penelitian telah diadakan berdasarkan indeks-indeks kombinasi, termasuk pengangguran dan lain-lain, sehingga masalah beralih dari pengaruh turun naiknya harga, kepada

goncangan harga pasar yang sangat kuat, sehubungan dengan kejahatan. Dari penelitian yang belakangan dan paling menarik perhatian ialah mengenai pengaruh dari waktu-waktu makmur (prosperity) diselingi dengan waktu-waktu kekurangan (depression) dengan kegoncangan harga-harga pasar, krisis dan lain-lain terhadap kejahatan.

4) Pengangguran

Di antara factor-faktor baik secara langsung atau tidak, mempengaruhi terjadinya kriminalitas, terutama dalam waktu-waktu krisis,

pengangguran dianggap paling penting. 18 macam factor ekonomi yang berbeda dapat dilihat dari statistic-statistik tersebut, bekerja terlalu muda, tak ada pengharapan maju, pengangguran berkala yang tetap, pengangguran biasa dan kekhawatiran dalam hal itu,

berpindahnya pekerjaan dari satu tempat ke tempat yang lain,

perubahan gaji sehingga tidak mungkin membuat anggaran belanja, kurangnya libur, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengangguran adalah factor yang paling penting.

1. Faktor-faktor mental 1) Agama

Kepercayaan hanya dapat berlaku sebagai suatu anti krimogemis bila dihubungkan dengan pengertian dan perasaan moral yang telah meresap secara menyeluruh. Dan kepercayaan tidak boleh berubah dari sikap hidup moral keagamaan, merosot menjadi hanya suatu tata cara dan bentuk-bentuk lahiriah oleh orang dengan tasbeh di satu tangan, sedang tangan lainnya menusuk dengan pisau. Meskipun

adanya factor-faktor negative demikian, memang merupakan fakta bahwa norma-norma etis yang secara teratur diajarkan oleh bimbingan agama dan khususnya bersambung pada keyakinan keagamaan yang sungguh, membangunkan secara khusus dorongan-dorongan yang kuat untuk melawan kecenderungan-kecenderungan kriminil.

2) Bacaan, Harian-harian, Film

Sering orang beranggapan bahwa bacaan jelek merupakan factor krimogenik yang kuat, mulai dengan roman-roman dari abad ke-18, lalu dengan cerita-cerita dan gambar-gambar erotis dan pornografik, buku-buku picisan lain dan akhirnya cerita-cerita detektif dengan penjahat sebagai pahlawannya, penuh dengan kejadian berdarah. Pengaruh crimogenis yang lebih langsung rari bacaan demikian ialah gambaran sesuatu kejahatan tertentu dapat berpengaruh langsung dan suatu cara teknis tertentu kemudian dapat dipraktekkan oleh si pembaca.

Harian-harian yang mengenai bacaan dan kejahatan pada umumnya juga dapat dikatakan tentang koran-koran. Di samping bacaan-bacaan tersebut di atas, film (termasuk TV) dianggap menyebabkan

pertumbuhan kriminalitas tertutama kenakalan remaja akhir-akhir ini. Dan film ini oleh kebanyakan orang dianggap yang paling berbahaya. Memang disebabkan kesan-kesan yang mendalam dari apa yang dilhat dan didengar dan cara penyajiannya yang negative.

Kita harus hati-hati dalam memberikan penilaian yang mungkin berat sebelah mengenai hubungan antara bacaan, harian, film dengan kejahatan. Tentu saja ada keuntungan dan kerugian yang dapat dilihat disamping kegunaan pokok bacaan, harian, dan film tersebut.

1. Faktor-faktor Pisik: Keadaan Iklim dan lain-lain

Pada permulaan peneliti mengadakan statistic tentang keadaan iklim, hawa panas/dingin, keadaan terang atau gelap, sinar bumi dan

perubahan-perubahan berkala dari organism manusia yang dianggap sebagai penyebab langsung dari kelakuan manusia yang menyimpang

dan khususnya dari kriminalitas. Para peneliti belakangan pada

umumnya mengakui kekeliruan dari anggapan tersebut, karena hanya semacam korelasi jauh dapat diketemukan antara kriminalitas sebagai suatu fenomena umum dan factor-faktor pisik.

1. Faktor-faktor Pribadi 1) Umur

Meskipun umur penting sebagai factor penyebab kejahatan, baik secara juridik maupun criminal dan sampai sesuatu batas tertentu berhubungan dengan factor-faktor seks/kelamin dan bangsa, tapi seperti factor-faktor tersebut akhir merupakan pengertian-pengertian netral bagi kriminologi. Artinya: hanya dalam kerjasamanya dengan factor-faktor lingkungan mereka baru memperoleh arti bagi

kriminologi.

Kecenderungan untuk berbuat antisocial bertambah selama masih sekolah dan memuncak antara umur 20 dan 25, menurun perlahan-lahan sampai umur 40, lalu meluncur dengan cepat untuk berhenti sama sekali pada hari tua. Kurve/garisnya tidak berbeda pada garis aktivitas lain yang tergantung dari irama kehidupan manusia.

2) Ras dan Nasionalitas

Konsepsi ras adalah samar-samar dan kesamaran pengertian itu, merupakan rintangan untuk mengadakan penelitian yang jitu. Pembatasan ras berdasarkan sifat-sifat keturunan yang umum dari bangsa-bangsa atau golongan-golongan orang yang memiliki kebudayaan tertentu dan bukan berdasarkan sifat-sifat biologis, membuka kesempatan untuk berbagai keraguan.

3) Alkohol

Dianggap factor penting dalam mengakibatkan kriminalitas, seperti pelanggaran lalu lintas, kejahatan dilakukan dengan kekerasan,

pengemisan, kejahatan seks, dan penimbulan pembakaran, walaupun alcohol merupakan factor yang kuat, masih juga merupakan tanda

tanya, sampai berapa jauh pengaruhnya. 4) Perang

Memang sebagai akibat perang dan karena keadaan lingkungan, seringkali terjadi bahwa orang yang tadinya patuh terhadap hukum, melakukan kriminalitas. Kesimpulannya yaitu sesudah perang, ada krisis-krisis, perpindahan rakyat ke lain lingkungan, terjadi inflasi dan lain-lain rvolusi ekonomi. Di samping kemungkinan orang jadi kasar karena perang, kepemilikan senjata api menambahbahaya akan terjadinya perbuatan-perbuatan criminal.

1. D. Jenis Kriminalitas

Jenis-jenis kriminalitas adalah sebagai berikut, Kartono (1999: 130-136):

1. Jenis-jenis kejahatan secara umum:

1. Rampok dan gangsterisme, yang sering melakukan operasi-operasinya bersama-sama dengan organisasi-organisasi illegal.

2. Penipuan-penipuan: permainan-permainan penipuan dalam bentuk judi dan perantara-perantara “kepercayaan”, pemerasan (blackmailing), ancaman untuk memplubisir skandal dan perbuatan manipulative.

3. Pencurian dan pelanggaran: perbuatan kekerasan, perkosasan, pembegalan, penjambreta/pencopetan, perampokan,

pelanggaran lelu lintas, ekonomi, pajak, bea cukai, dan lain-lain.

1. F. Penanggulangan terhadap Kriminalitas

Tahap-tahap penanganan kriminalitas, Soetomo (2008: 33-63): 1. Tahap identifikasi, indicator sederhana untuk tahap identifikasi

adalah memanfaatkan angka-angka statistic yang tersedia bagi daerah tertentu. Pada data tersebut kita dapat mengetahui insidensi (jumlah kejadian dalam kurun waktu tertentu dalam suatu daerah), dan prevalensi (jumlah pelaku kejahatan). 2. Tahap diagnosis, yaitu mencari sifat, eskalasi dan latar belakang

kriminalitas terjadi untuk membantu menentukan tindakan sebagai upaya pemecahan masalah.

3. Tahap treatment, adalah upaya pemecahan masalah yang ideal pada suatu kondis tertentu, terdiri dari:

1. Usaha rehabilitative, focus utamanya pada kondisi pelaku kejahatan, terutama upaya untuk melakukan perubahan atau perbaikan perilakunya agar sesuai dengan standar atau norma sosial yang ada.

2. Usaha preventif, focus pada pencegahan agar tindak kejahatan tidak terjadi. Dapat dilakuakan pada level individu,

kelompok, maupun masyarakat, seperti

1) Selektif terhadap budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai budaya bangsa sendiri.

2) Mengenakan sanksi hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas tanpa pandang bulu atau derajat.

3) Mengontrol atau memberikan arah pada proses pada proses sosialsisasi termasuk lingkungan interakasi sosial.

4) Mengaktifkan peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik anak.

5) Menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam

masyarakat dimulai sejak dini melalui pendidikan multi kultural, seperti sekolah, pengajian dan organisasi masyarakat.

6) Untuk pengawasan kejahatan secara efektif kita memerlukan hukum yang berwibawa. Dipandang dari sudut perlindungan terhadap masyarakat, hukum yang bersifat ideal mengenai hukuman yang tidak ditentukan yang dapat diteruskan kepada semua pelanggar-pelanggar, misalkan setahun sampai seumur hidup dan yang diatur oleh komite yang tergolong ahli dalam system kepenjaraan (tahanan) akan

memungkinkan penguasa-penguasa yang membawahi lembaga-lembaga untuk menangkap pelanggar-pelanggar yang berbahaya, agresif, tidak dapat diperbaiki selama jangka waktu lebih lama daripada sekarang dengan hukuman yang ditetapkan atau yang

ditetapkan dengan maksimum.

Usaha pencegahan adalah lebih ekonomis bila dibandingkan dengan usaha represif dan rehabilitasi. Untuk melayani jumlah orang yang lebih besar jumlahnya tidak diperlukan banyak tenaga seperti pada usaha represif dan rehabilitasi menurut perbandingan. Usaha

pencegahan juga dapat dilakukan secara perorangan dan tidak selalu memerlukan keahlian seperti pada usaha represif dan rehabilitasi. Misalnya, menjaga diri jangan sampai menjadi korban kriminalitas, tidak lalai mengunci rumah/kendaraan, memasang lampu di tempat gelap dan lain-lain. Usaha pencegahan juga tidak selalu memerlukan suatu organisasi yang rumit dan birokratis yang dapat menjurus ke arah birokratisme yang menimbulkan penyalahgunaan

kekuasaan/wewenang, N. Widiyanti dan Y. Waskita (1987:154-155). 1. Usaha developmental, dimaksudkan untuk meningkatkan

kemampuan atau kapasitas sesorang atau sekelompok orang agar dapat memenuhi kehidupan yang lebih baik dan tercipta iklim kondusif bagi masyarakat. Usaha ini mendukung langkah preventif dan rehabilitative. Usaha ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan rasa saling percaya,asas timbale balik,

solidaritas, penghargaan harkat martabat manusia, dan

pemenuhan hak dasar manusia, sehingga mewujudkan kearifan local yang tumbuh dan berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakatnya.

http://ittemputih.wordpress.com/2012/04/27/kriminalitas/

Teori Differential Association /

Dalam dokumen sosiologi kriminalitas (Halaman 35-48)

Dokumen terkait