• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR

Abstrak

Setelah mempelajari faktor cekaman yang dihadapi oleh badak jawa akibat defisit pakan dan defisit air, maka penelitian ini dirancang untuk lebih mendalami respons yang ditunjukkan oleh kuda (sebagai hewan model untuk badak) terhadap cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respons perilaku, fisiologis (hematologi dan respirasi) pada hewan model kuda akibat cekaman defisit pakan dan air 50% dari kebutuhan normal. Perlakuan yang diberikan adalah pakan kontrol sesuai kebutuhan (K) dan 50% dari kebutuhan (50%K). Jumlah kuda yang dipakai terdiri dari dua ekor kuda jantan berusia dewasa dan muda dengan bobot badan masing-masing 104 dan 98 kg. Induksi cekaman dilakukan pada dua ekor kuda model dengan mengurangi asupan pakan secara bertahap sampai asupan pakan hanya 2.65% dari berat tubuh kuda (defisit pakan) dan pengurangan air minum sampai 50% dari jumlah ad libitum yang biasanya tersedia di kandang. Parameter yang diamati terdiri dari hematologi rutin dan kadar kortisol darah yang diukur selama periode kontrol dan perlakuan induksi cekaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit pakan merupakan cekaman akut yang dapat diatasi oleh kuda (ditandai dengan penurunan kortisol pada penghujung perlakuan). Kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis dan tidak dapat diatasi dengan mudah. Dengan defisit pakan dan air, kedua ekor kuda menunjukkan perubahan-perubahan: perilaku (mengurangi aktifitas berjalan dan melakukan aktifitas menggigit ember/pagar / crib biting), peningkatan kadar kortisol, hematologi (perubahan rasio Netrofil/limfosit yang menunjukkan adanya migrasi limfosit/imunosupresi saat cekaman), dan peningkatan respirasi pada kedua ekor kuda saat mengalami cekaman.

Quantitiative study using animal model for javan rhinoceros in research for stress due to feed and water deprivations

Abstract

After learning that feed and water limitations are the major factores causing stress in javan rhinoceros, this research is designed to further study the possible physiological responses from horse (as a model for the rhinoceros) in the presence of the stress. This research is designed to study the changes in the behaviour, blood cortisol level, hematology (neutrophil/limphocyte ratio), and respiration rate. Induction of stress is done by reducing the ration down to the level of 50% of the normal supply. Treatments consist of : control for feed (K) and reduction of feed to 50% (50%K) of the normal ad libitum quantity. Two horses are used in this study consisting of one adult and one juvenile weighing 104 kg and 98 kg respectively. Induction of stress is done by reduing the feed intake to only 2.65% dry matter intake of the body weight (feed deprivation), and reducing the water supply to 50% of the normal supply. Parameters include: behaviour, blood cortisol, hematology, and respiration rate measured thorughout the control and treatments. The result shows thatcortisol level and hematology (Neutrophil:lymphocyte ratio) suggests that feed deprivation is an acute stress that can be overcome (marked with reduction of cortisol level at the end of treatment). The same parameters show that water deprivation is a chronic stress that cannot be readily overcome. With water and feed deprivation, both horses show changes in behaviour such as reduction of walking and crib biting activities, increase in cortisol level in blood, as well as the changes in neutrophil : lymphocyte ratio suggesting that there are migration of lymphocytes from the blood stream, as well as immunosuppression during the stress conditions. The result also shows increase in respiration rate in both horses under stress.

Pendahuluan

Respons badak terhadap cekaman merupakan salah satu aspek penting yang perlu dipelajari agar dampak dari cekaman tersebut dapat diantisipasi dan upaya mitigasi cekaman dapat dilakukan untuk menunjang pelestarian spesies ini. Namun demikian, induksi cekaman secara langsung pada badak jawa tidak mungkin dilakukan karena tingkat kesulitan untuk menemukan badak jawa secara langsung dan juga status spesies tersebut yang sudah terancam punah menyebabkan uji coba yang berpotensi untuk membahayakan kehidupan badak jawa tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu kebutuhan akan penelitian kuantitatif berdasarkan hasil kajian sumber cekaman secara kualitatif di habitat alami badak jawa muncul.

Kebutuhan ini melandasi konsep pendekatan baru dengan menggunakan hewan model sebagai pembanding bagai badak jawa. Sesuai dengan kaidah penggunaan hewan model pada ilmu biomedis hewan, jenis hewan model dipilih berdasarkan berbagai kecocokan seperti: kedekatan secara genetis, kemiripan anatomi, dan kemiripan perilaku. Informasi dari berbagai sumber memberikan informasi mengenai: genetika badak jawa dan kekerabatan dengan badak sumatera, tapir, dan kuda (Fernando et al. 2004); anatomi saluran pencernaan badak sebagai hindgut fermenter yang mengandalkan proses fermentasi pada saluran pencernaan bagian belakang atau sekum (Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006); dan perilaku badak jawa yang diamati langsung di lapangan (Sajudin & Djaja 1984) ataupun yang diamati dengan menggunakan kamera jebak (Hariyadi et al. 2010).

Studi kualitatif maupun kuantitatif untuk membandingkan perilaku hewan dapatdisusun dalam sebuah ethogram yang kemudian menjadi dasar (baseline) yang dibandingkan penelitian. Ethogram merupakan perangkat yang kerap digunakan oleh pengamat perilaku untuk dapat mengklasifikasikan berbagai perilaku hewan serta memungkinkannya untuk dapat dianalisis lebih lanjut secara kuantitatif sehingga analisis perilaku dapat memberikan informasi yang obyektif (Colgan 1978). Penggunaan ethogram pada penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengklasifikasikan perilaku badak jawa, badak Sumatra, dan kuda serta memungkinkan perbandingan yang obyektif pada penggolongan tersebut. Pemilihan hewan model dilakukan untuk membandingkan sistem pencernaan (saluran digesti) dengan fokus pada proses kecernaan yang terjadi setelah proses pencernaan di lambung. Oleh karena itu, kesamaan sistem pencernaan pada kuda dan badak seperti yang ditampilkan pada

Gambar 21 merupakan salah satu kriteria penting pemilihan kuda sebagai hewan model untuk aspek kecernaan pada badak jawa.

A B

Gambar 21. Perbandingan anatomi sistem pencernaan kuda (A) dan badak (B) yang menunjukkan karakteristik hewan monogastrik (lambung satu) dan keberadaan sekum untuk pencernaan selulosa. Sumber: http.wren.aps.uo.guelph.ca.

Kriteria pemilihan hewan model dilakukan pula dengan mengidentifikasi parameter perilaku yang tepat, sehingga perlakuan dan induksi cekaman pada hewan model akan dapat memberikan gambaran perubahan perilaku serta fisiologis yang kompatibel dan dapat diterapkan pada badak jawa.

Proses Pemilihan Hewan Model

Hewan model untuk badak jawa dipilih berdasarkan beberapa kriteria yang terdiri dari: kedekatan genetika, kemiripan anatomi, kemiripan kimia darah, dan kemiripan perilaku. Perbandingan kriteria di atas dilakukan melalui studi literatur yang memberikan informasi mengenai genetika, anatomi, kimia darah, dan perilaku dari masing-masing kandidat hewan model. Kandidat model dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok hewan yaitu: (1) kelompok hewan model yang lazim digunakan dalam studi biomedis yang terdiri dari tikus, kambing, dan kuda; serta (2) kelompok hewan badak: Badak sumatera dan badak india.

1) Kelompok hewan model konvensional

Tikus banyak digunakan dalam kajian mengenai cekaman kronis dan akut (Figuireido et al. 2003),dampak dari defisit pakan (Nessmithet al. 1983),dan dampak dari defisit air (Cameron & Perdue 2005), namun tikus tidak memiliki sistim

pencernaan yang mirip dengan badak sehingga dikhawatirkan tidak dapat memberikan gambaran yang obyektif terhadap penyerapan nutrisi yang terjadi pada badak. Kekurangan ini menyebabkan tikus tidak dipilih sebagai hewan model untuk badak jawa.

Kambing juga banyak digunakan dalam penelitian mengenai ruminal stasis akibat keracunan (McSweeney & Pass 1983) dan gangguan pencernaan akibat keracunan (Pass et al. 1979), namun kambing merupakan hewan ruminan yang memiliki sistem pencernaan yang jauh berbeda dengan badak. Perbedaan anatomi pencernaan ini menyebabkan kambing tidak dipilih sebagai hewan model bagi badak jawa.

Kuda telah banyak digunakan dalam penelitian terkait cekaman (Coenen 2005), kecernaan dan penyerapan karbohidrat (Pagan et al. 1998; Dyer et al. 2002), serta fluktuasi hormon (Glade et al. 1984). Kuda memiliki kimia darah yang serupa dengan badak dalam konteks kadar tyrosin bebas di dalam sel darah merah (Harley et al. 2004), dan juga kemiripan dalam anatomi saluran pencernaan sebagai hindgut fermenter (Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006). Dari kelompok hewan model konvensional, kuda memiliki kekerabatan genetik yang paling dekat dengan badak jawa, dan berdasarkan informasi ini kuda dipilih sebagai hewan model yang paling memadai untuk badak jawa.

2) Kelompok hewan badak (Rhinoceratidae)

Badak india telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian terkait kecernaan (Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006), hormon cekaman (Carlstead & Brown 2005), dan perilaku (Hutchin & Kreger 2006). Badak india memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan badak jawa, namun status spesies badak ini masih ada di dalam kategori terancam punah sehingga perlakuan intensif ataupun induksi cekaman tidak dapat dilakukan pada hewan dengan status seperti ini.

Badak sumatera telah digunakan dalam studi perilaku, kecernaan, dan kajian hormon (Agil et al. 2007; Agil et al. 2008). Badak sumatera memiliki kekerabatan genetika yang tidak terlalu dekat dengan badak jawa, namun spesies badak ini dapat dengan mudah diamati di fasilitas Suaka badak sumatera di Way Kambas. Spesies badak ini berada dalam kategor sangat terancam punah (Critically endangered) sehingga tidak mungkin untuk dijadikan obyek penelitian intensif dan induksi cekaman.

Berdasarkan proses ini dapat disimpulkan bahwa badak india dan badak sumatera dapat dijadikan sebagai pembanding, sementara induksi cekaman dapat dilakukan pada kuda yang akan memberikan gambaran obyektif mengenai respons yang mungkin terjadi pada badak jawa.Aspek-aspek yang dapat diteliti dari setiap jenis hewan model serta relevansinya dengan Badak jawa ditampilkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Perbandingan hewan model serta kriteria pengamatan yang relevan dengan penelitian pada Badak jawa (dari berbagai sumber).

Hewan Model Aspek yang Diamati Relevansi dengan Badak

jawa

Badak Sumatra Perilaku

Konsumsi pakan Kecernaan

Perilaku badak jawa (video) Jumlah asupan pakan Perhitungan kecernaan Badak India Konsumsi Pakan

Kecernaan

Jumlah asupan pakan Perhitungan kecernaan

Kuda Perilaku

Respons terhadap defisit pakan Respons terhadap defisit air

Perilaku badak jawa (video) Defisit pakan / nutrisi

Defisit air pada musim kering

Tujuan Penelitian

Tingkat kesulitan yang tinggi dalam mempelajari badak jawa secara langsung di habitatnya serta status badak jawa yang sudah terancam punah menyebabkan penelitian biomedis langsung dengan menggunakan badak jawa sebagai obyek nyaris tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu penggunaan hewan model atau orphan perlu dilakukan untuk mempelajari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan badak jawa tersebut seperti faktor cekaman akibat defisiensi pakan dan defisiensi air. Mengingat adanya kebutuhan penelitian tersebut, maka penelitian ini dirancang untuk mendapatkan informasi sebagai berikut:

1. Kompilasi dan dinamika perilaku kuda pada kondisi cekaman defisit pakan dan defisit air.

2. Dinamika hormon kortisol/glukokortikoid dan hematologi terhadap cekaman berupa defisiensi pakan dan air.

3. Dinamika pola respirasi dan kecernaan kuda dalam kondisi cekaman.

Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: model untuk penelitian badak jawa dapat dilakukan dengan menggunakan kuda sebagai pembanding dalam aspek kecernaan (posterior dari esophagus) dengan adanya respons (sensitifitas) terhadap perlakuan defisit air dan pakan (profil hormon, kecernaan, dan respirasi).

Bahan dan Metode

Perbandingan Perilaku

Perilaku badak dan hewan model pembandingnya (badak sumatera dan kuda) perlu disusun dalam sebuah ethogram yang kemudian menjadi dasar (baseline) yang dibandingkan dengan perilaku badak jawa sebagai contoh dalam penelitian ini. Ethogram merupakan perangkat yang kerap digunakan oleh pengamat perilaku untuk dapat mengklasifikasikan berbagai perilaku hewan serta memungkinkannya untuk dapat dianalisis lebih lanjut secara kuantitatif sehingga analisis perilaku dapat memberikan informasi yang obyektif sesuai dengan penjelasan Colgan (1978). Penggunaan ethogram pada penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengklasifikasikan perilaku badak Jawa, badak Sumatra, dan kuda serta memungkinkan perbandingan yang obyektif pada penggolongan tersebut.

Perilaku badak Jawa dapat dengan mudah diamati menggunakan kamera video otomatis yang digunakan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan WWF Indonesia dalam memantau populasi badak jawa di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Hariyadi et al. 2010). Melalui pemilihan hewan model serta pemilihan parameter perilaku yang tepat, perlakuan dan induksi cekaman pada hewan model akan dapat memberikan gambaran perubahan perilaku serta fisiologis yang kompatibel dan dapat diterapkan pada badak jawa.

Dua ekor badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan dua ekor kuda sumba berkelamin jantan dipilih sebagai hewan model yang digunakan sebagai model perilaku untuk dibandingkan dengan perilaku pada badak jawa yang sudah tercatat dalam penelitian kamera jebak (Hariyadi et al. 2010). Tabel perilaku badak sumatera dibuat berdasarkan informasi berdasarkan kompilasi oleh Siswandi(2005) yang mengamati perilaku badak sumatera jantan Torgamba dan Andalas di Taman Nasional Way Kambas.Dua ekor kuda jantan (satu ekor dewasa dan satu ekor kuda muda) dengan berat masing-masing 104 kg dan 98 kg dipilih sebagai hewan model untuk menjalani perlakuan induksi cekaman dengan mengurangi ransum pakan 50% dari jumlah yang biasanya tersedia di kandang (defisit pakan) dan mengurangi ransum air 50% dari jumlah yang biasanya tersedia di kandang (defisit air).

Perilaku kuda dikompilasi dengan melakukan pengamatan dan menyusun tabel perilaku dua ekor kuda sumba yang menjadi obyek penelitian di Rumah Sakit Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan IPB Darmaga dengan dasar ijin dari komisi etik no: 05- 2011 RSH-IPB untuk melakukan induksi cekaman.

Gambar 22 menampilkan profil kedua ekor kuda jantan yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari kuda jantan dewasa bernama Garuda dan kuda jantan muda bernama Elang.Untuk menyesuaikan dengan ketersediaan data perilaku pada badak jawa dan badak sumatera, perilaku kuda dicatat pada pagi, siang/sore, dan malam hari baik saat kuda dalam keadaan bebas sebelum penelitian, maupun dalam periode pencucian atau washing out setelah perlakuan defisit pakan.

A B

Gambar 22. Kuda jantan dewasa bernama Garuda (A) dan kuda jantan dewasa muda bernama Elang (B) yang digunakan sebagai hewan model dalam pengamatan di Rumah Sakit Hewan IPB Darmaga

Pengambilan Data Pakan dan Air Minum (Fase Kontrol)

Sebelum perlakuan defisit pakan dan defisit air diberikan kepada kuda yang menjadi hewan model dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pencatatan jadwal dan kuantitas pakan yang diberikan sehari-hari dalam keadaan normal. Kedua ekor kuda model ditempatkan dalam kandang untuk memastikan bahwa konsumsi pakan dan air dapat terpantau dan tercatat secara obyektif.

Kedua ekor kuda model ditempatkan di dalam kandang dan diberi waktu enam hariyang cukup untuk aklimatisasi (Noble et al. 2007) sebelum pemberian pakan dan air, dan sebelum pengamatan perilaku dilakukan. Sampel darah diambil dari vena jugularis kuda model untuk mendapatkan data hematologi rutin, dan juga kadar kortisol pada darah. Pemeriksaan darah dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB. Pengambilan darah dilakukan pada saat kuda baru dimasukkan ke kandang dan enam hari kemudian setelah masa aklimatisasi berakhir, sementara pengamatan perilaku dilakukan pada pagi dan siang hari dalam dua hari selama periode aklimatisasi.

Kuda diberi pakan ransum yang terdiri dari pelet (Royal Horse) dan bran (Bogasari) dengan perbandingan 1:2 (pelet:bran) yang dicampur dengan 800 ml air. Selain itu, kuda juga diberi rumput segar sebanyak 14.8-14.9 kg/e/h yang diambil dari lapangan tempat kedua ekor kuda tersebut makan dalam di luar kandang dalam keadaan normal. Komposisi pakan seperti ini diberikan setiap dua hari pada kedua ekor kuda model. Air minum diberikan dalam bak minum yang diisi penuh dengan menggunakan ember takar berukuran delapan liter setiap tiga hari. Pemberian pakan dan air minum secara normal ini dilakukan dalam periode enam hari.

Induksi Cekaman

1. Perlakuan defisiensi Pakan

Untuk mensimulasikan kondisi defisit pakan yang terjadi pada badak jawa, maka pengurangan ransum pakan (perlakuan defisit pakan) dilakukan pada kedua ekor kuda jantan yang digunakan sebagai hewan model dalam penelitian ini. Perlakuan defisit pakan dilakukan secara bertahap dengan mengurangi jumlah ransum pakan yang diberikan menjadi 70% dan akhirnya menjadi 50% dari jumlah yang biasanya diberikan. Dengan berat badan kuda sebesar 104 kg untuk kuda dewasa (Garuda) dan 98 kg untuk kuda muda (Elang), pengurangan yang dilakukan dirancang untuk menurunkan asupan pakan kering kuda dari 5.34%-5.56% berat badan menjadi 2.65%- 2.76% berat badan.Tingkat asupan ini berbeda dengan asupan kering pakan badak yang berada pada 1% berat badan. Pengurangan jatah pakan kuda ini tidak dilakukan untuk menyamai secara persis kondisi yang dihadapi oleh badak dengan mempertimbangkan etika penggunaan hewan model. Pengurangan pakan dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan perubahan yang dapat mengakibatkan kolik (Evans et al. 1990) dan juga dengan mempertimbangkan agar total asupan pakan kering tidak jatuh di bawah 2.35% dari berat badan kuda. NRC (1989) menyebutkan bahwa kebutuhan minimun bagi seekor kuda untuk mempertahankan fungsi normalnya adalah dengan asupan kering 2.35% setiap hari, oleh karena itu, asupan kering di bawah 2.35% dikhawatirkan akan menimbulkan defisit asupan nutrien yang akan berdampak negatif.Pengurangan pakan secara bertahap seperti ini dilakukan dengan memperhitungkan faktor kesejahteraan hewan model (animal welfare).

Pada hari pertama sampai hari ketiga pada perlakuan defisit pakan ini, setiap ekor kuda model menerima pakan 70% dari biasanya yaitu konsumsi bahan kering (KBK) sebesar 3,41 g/ek/hari atau 3.28% berat badan kuda dewasa (Garuda) dan 3.48%

berat badan kuda muda (Elang) . Kemudian pada hari keempat sampai keenam jumlah asupan kering dikurangi menjadi 50% dari yang biasa diberikan yaitu konsumsi bahan kering (KBK) sebesar 2.7 g/ek/hari atau 2.6% berat badan kuda dewasa (Garuda) dan 2.76% berat badak kuda muda (Elang). Dalam setiap perlakuan (kontrol dan defisiensi pakan) pengamatan perilaku kuda model dilakukan pada pagi, dan siang/sore pada hari keempat, dan keenam.

Pengambilan sampel darah dilakukan pada harikeempat dan ketujuh dengan mengambil darah dari vena jugularis. Sampel darah kemudian dikirim ke laboratorium Pusat Studi Satwa Primata IPB untuk menjalani analisis: hematologi rutin, fungsi ginjal (ureum, kreatinin), dan hormon kortisol.

2. Perlakuan Defisiensi Air

Untuk mensimulasikan kondisi defisit air yang kerap dialami oleh badak jawa, maka kedua ekor kuda model mendapatkan perlakuan berupa pengurangan jatah air minum harian selama enam hari. Baseline data air minum didapatkan dari informasi yang tercatat selama periode kontrol adalah pemberian rata-rata 16 liter setiap hari dan pengurangan jumlah ketersediaan air menjadi 50% dilakukan dengan memberikan air satu kali setiap dua hari (16 liter air pada hari berselang). Jadwal pemberian air selama periode uji coba defisiensi air disajikan dalam Tabel 12.

Perlakuan dilakukan selama enam hari dan pengamatan perilaku dilakukan pada pagi, dan siang/sore di hari ketiga dan hari keenam. Pengambilan sampel darah dilakukan dua kali yaitu pada hari kedua dan ketujuh dengan mengambil darah dari vena jugularis. Sampel darah kemudian dikirim ke laboratorium Pusat Studi Satwa Primata IPB untuk menjalani analisis: hematologi rutin, fungsi ginjal (ureum, kreatinin), dan hormon kortisol.

Tabel 12. Pemberian air minum untuk setiap ekor kuda pada periode perlakuan defisit air Kuda 100% air (l/hari) 50%air (l/hari) Garuda 16 8 Elang 16 8

Periode “Pencucian”

Periode pencucian bukanlah bagian dari perlakuan, namun proses ini dilakukan setelah perlakuan defisit pakan dan sebelum perlakuan defisit air untuk memastikan bahwa kedua ekor kuda model terbebas dari pengaruh perlakuan defisit pakan dan pengandangan yang dijalani sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan melepaskan kuda model dari kandangnya dan membiarkan mereka beraktifitas dan merumput seperti biasanya. Periode ini dilakukan selama tiga hari untuk memungkinkan kuda beradaptasi kembali dengan kondisi dan lingkungannya. Rivera et al. (2002)menunjukkan bahwa kuda sudah menunjukkan perubahan kadar kortisol ke tingkat basal pada hari ke-empat, oleh karena itu, masa “pencucian” yang dilakukan selama tiga hari sudah mencukupi untuk mengembalikan kadar kortisol ke tingkat awal (aklimatisasi) untuk kemudian dibandingkan dengan kadar kortisol setelah induksi cekaman.

Pengamatan Pola Respirasi

Respirasi pada kuda dihitung berdasarkan pergerakan pada bagian samping badan (rusuk dan abdomen) pada saat respirasi berlangsung. Satu siklus respirasi dihitung sebagai satu proses yang dimulai dari penghirupan udara yang ditandai dengan mengembangnya rongga dada dan abdomen dan diakhiri dengan penghembusan udara yang ditandai dengan menyusutnya rongga dada dan abdomen. Penghitungan siklus respirasi dilakukan dengan mengamati kuda di dalam kandang dalam waktu 30 detik sambil menghitung siklus respirasi yang terjadi dalam periode pengamatan, data ini kemudian dikonversikan menjadi jumlah siklus per menit (respirasi per menit) dengan mengalikan jumlah respirasi dalam 30 detik dengan dua.

Penghitungan Konsumsi dan Kecernaan kuda

Konsumsi dihitung dengan menimbang, mencatat, dan menjumlahkan berat pakan segar harian yang diberikan kepada setiap ekor kuda di kandang. Konsumsi pakan kuda terdiri dari rumput, pelet, dan dedak yang diberikan setiap hari dan ditimbang menggunakan timbangan top loading merk Oxone dengan kapasitas maksimum 15 kg. Jumlah pemberian pakan dicatat setiap hari dan kemudian rataan pemberian pakan per ekor per hari dilakukan berdasarkan jumlah hari perlakuan.

Untuk melengkapi informasi mengenai perubahan pada kecernaan yang terjadi dalam kondisi cekaman, feses kuda dikumpulkan untuk kemudian menjalani proses

gravimetri untuk mendapatkan kadar Acid Insoluble Ash (AIA) pada feses sebelum dan setelah perlakuan induksi cekaman untuk mempelajari adanya perubahan kecernaan sebagai respons terhadap adanya cekaman defisit pakan maupun air. Penghitungan kecernaan dilakukan dengan metoda VanKeulen & Young (1977) dengan koreksi 10% berdasarkan Mainka et al. (1989) dan Sims et al. (2007).

Analisis Data

Analisis perilaku dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif untuk membandingkan trend perilaku pada kedua ekor kuda model pada fase kontrol dan pada saat diberikan perlakuan. Statistik deskriptif juga akan dilakukan pada hasil laboratorium untuk hematologi (rasio netrofil : limfosit), dan cekaman (berdasarkan