• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Diterapkannya Kelembagaan Kompensasi (Set-Off) Dalam Hukum Hutang Piutang Hukum Hutang Piutang

KELEMBAGAAN KOMPENSASI DALAM PELAKSANAAN PENJAMINAN SIMPANAN NASABAH

B. Akibat Hukum Diterapkannya Kelembagaan Kompensasi (Set-Off) Dalam Hukum Hutang Piutang Hukum Hutang Piutang

Akibat hukum diterapkannya kelembagaan kompensasi (set-off) dalam hukum hutang piutang adalah:

1. Terhadap para pihak. Hutang-hutang di antara kedua belh pihak yang melakukan kompensasi dihapus. Jika perjanjian hanya berisi kewajiban

membayar sejumlah uang yang dikompensasikan saja, maka perikatan dihapus. 2. Terhadap pihak ketiga. Pihak ketiga dikategorikan dua, yaitu pihak ketiga pada umumnya dan pihak ketiga berupa penjamin (borg). Dalam hal pihak ketiga pada umumnya, kompensasi mempunyai daya kerja sebagai tagihan yang didahulukan pemenuhannya, sedangkan dalam hal penjamin (borg) yang menanggung perikatan tertentu dari debitur, apabila antara kreditur dan debitur diadakan kompensasi atas hutang-hutang mereka yang timbul secara bertimbal balik, dan hutang-hutang tersebut menjadi hapus, maka penjamin (borg) yang merupakan perjanjian accessoir terbebaskan untuk menanggung kewajiban lebih lanjut karena causa untuk penanggungan yang diberikan telah hapus. 3. Terhadap para debitur secara tanggung menanggung. Yang dimaksud dengan

debitur tanggung menanggung adalah debitur, berikut debitur lainnya, yang

49

dapat dituntut untuk membayar atau melunasi seluruh utang, dengan pengertian bahwa pembayaran atau pelunasan yang dilakukan seorang debitur akan membebaskan debitur lainnya.

4. Terhadap pihak ketiga yang mengambil alih hak-hak suatu tagihan. Pasal 1434 KUH Perdata menetapkan bahwa kompensasi tidak dapat terjadi atas kerugian hak-hak yang diperoleh pihak ketiga. Yang dimaksud dengan pihak ketiga disini adalah pihak ketiga yang mengambil alih hak-hak tagihan.

Pihak ketiga yang mengambil alih hak-hak dapat berdasarkan alas hak umum, seperti halnya dalam pewarisan dan alas hak khusus seperti cessie, penyitaan atau gadai.

Sedangkan yang dapat dihapuskan melalui kompensasi dapat dilihat berdasarkan Pasal 1426 KUH Perdata yaitu:

1. Semua utang, bila secara bersamaan kedua belah pihak memiliki hutang piutang yang sama besar jumlahnya, perjumpaan dan perhitungan adalah untuk semua hutang. Dengan demikian, seluruh hutang antara kedua belah pihak akan terhapus melalui kompensasi

2. Sebagian hutang, yakni sampai batas bagian terkecil dari tagihan. Jika hutang piutang yang menjadi tagihan di antara pihak-pihak tidak sama besarnya, maka hutang yang terhapus adalah sebesar batas tagihan yang terkecil.

Di samping hal-hal yang dihapuskan kompensasi, patut pula untuk dibicarakan mengenai tempat dan biaya yang timbul dalam kompensasi. Hutang-hutang yang hendak dikompensasikan mungkin berbeda tempat atau letaknya. Jika demikian halnya, antara hutang piutang yang terletak pada tempat yang berbeda,

dalam pelaksanaan kompensasi, biaya pengiriman harus diganti oleh pihak yang menerima.

Umumnya kompensasi terjadi tanpa mempersoalkan sebab peristiwa atau sumber penyebab hutang piutang berjumpa. Yang menjadi sebab timbulnya hutang piutang antara kedua belah pihak tidak relevan, yang menjadi persoalan adalah berjumpanya hutang piutang di antara para pihak. Namun terdapat pengecualiaan menurut M. Yahya Harahap dari ketentuan dalam Pasal 1429 KUH Perdata:

1. Apabila satu pihak dituntut untuk menyerahkan kembali suatu barang yang diperolehnya dari pihak lawan dengan cara melawan hukum. Misalnya barang yang hendak dikompensasikan diperoleh dengan cara paksa atau tipu muslihat. Bila terhadap barang tersebut terdapat tuntutan pengembalian maka pihak yang menguasai barang tidak dapat mengkompensasikan hutangnya kepada pihak lain.

2. Apabila satu pihak dituntut mengembalikan barang yang dititpkan atau dipinjamkan kepadanya oleh pihak lawan. Ketentuan ini jelas, baranng-barang pinjaman atau titipan tidak memberikan hak bagi pemegangnya untuk menukarkannya, sehingga logis jika barang-barang demikian tidak mungkin logis jika barang-barang demikian tidak mungkin dikompenasikan oleh pemegang.

3. Apabila salah satu pihak dituntut membayar uang nafkah (alimentasi) yang tidak boleh disita, Perjumpaan hutang seperti ini tidak dapat dkompensasikan.50

Di samping hal-hal yang dihapuskan kompensasi, perlu juga dibicarakan

50

mengenai tempat dan ongkos yang timbul dalam kompensasi. Kemungkinan saja hutang-hutang yang hendak dikompensasikan berbeda tempat /letaknya. Jika demikian halnya antara hutang piutang terletak pada tempat yang berbeda, pelaksanaan kompensasi biaya pengiriman harus diganti oleh pihak yang menerima (Pasal 1432 KUH Perdata).

Selain dari hal di atas, yang penting untuk diingat, ialah ketentuan Pasal 1334 KUH Perdata “kompensasi tidak boleh merugikan hak kepunyaan pihak ketiga”. Yang dimaksud dengan pihak ketiga dalam ketentuan ini ialah setiap pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap salah satu pihak baik debitur maupun kreditur. Apalagi jika telah terjadi perletakan derden beslag tadi mempunyai tagihan pula kepada kreditur. Maka debitur yang telah diletakkan derden beslag tidak boleh lagi melakukan kompensasi, jika hal itu merugikan pihak ketiga tersebut. Umpamanya: A mempunyai hutang pada B. Lantas B berhutang pula pada C. Untuk melunasi hutang B tadi kepada C, oleh B telah diletakkan sita pihak ketiga C terhadap A. Dalam hal ini seandainya pada saat itu A mempunyai tagihan pula pada B, dengan adanya derden beslag untuk kepentingan C yang diletakkan pada A, maka A tidak boleh melakukan kompensasi hutangnya itu dengan tagihan yang ada pada B, jika kompensasi itu berakibat merugikan kepentingan C.

C. Perlindungan Hukum Kelembagaan Kompensasi (Set-Off) Dalam

Lembaga Jaminan Simpanan

pada dasarnya adalah merupakan penjaminan atas dana nasabah pada suatu bank apabila di waktu tertentu bank dimana nasabah menyimpan uangnya tidak dapat lagi beroperasi misalnya karena dilikuidasi. Untuk hal yang demikian dalam pelaksanaan perlindungan hukum tersebut dibutuhkan kerjasama dari nasabah berupa kejelasan tentang jenis simpanan, dimana dengan kejelasan jenis simpanan tersebut maka akan memudahkan pembayaran hak-hak nasabah. Di samping memudahkan pembayaran klaim yang dilakukan LPS, kejelasan tentang jenis simpanan nasabah juga akan memudahkan LPS menghitung premi yang haus dibayar anggota.

Jadi pada dasarnya perlindungan hukum lembaga penjamin simpanan pada dasarnya adalah meletakkan hak-hak nasabah penyimpan pada tempatnya sehingga mereka tidak merasa kehilangan dana yang mereka simpan pada suatu bank.

Jenis-jenis simpanan yang dijamin oleh lembaga penjamin simpanan sebagai suatu bentuk perlindungan hukum kepada nasabah adalah :51

1. Semua jenis simpanan termasuk giro, deposito dan tabungan dalam mata uang rupiah.

2. Pokok nan bunga. Bunga yang dijamin dihitung berdasarkan yang tercatat pada pembukuan pada tanggal dilakukannya penutupan bank. Nasabah penyimpan pada bank bermasalah biasanya menerima bunga yang lebih tinggi. Lembaga penjamin simpanan tidak berkewajiban membayar bunga tinggi tersebut terhitung sejak bank diserahkan kepadanya. Perlu pula dipertimbangkan untuk menetapkan batasan pada suku bunga simpanan dari bank yang bangkrut.

51

Zulkarnaen Sitompul, “Memberantas Kejahatan Perbankan, Tantangan Pengawasan”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24 No. 1 Tahun 2005, hlm. 84.

3. Simpanan dalam valuta asing sebaiknya juga dijamin. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya capital flight atau flight to quality. Namun demikian, dengan menjamin simpanan dalam valuta asing, lembaga penjamin simpanan akan menghadapi risiko nilai tukar. Untuk itu dapat ditentukan bahwa pembayaran klaim dilakukan dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai tukar pada saat bank diserahkan kepada lembaga penjamin simpanan.

Ketentuan mengenai jenis simpanan yang dijamin dan mekanisme pembayarannya diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 17 Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Dalam kaitannya dengan pembayaran simpanan, Pasal 19 Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan dengan tegas menetapkan bahwa apabila data simpanan nasabah tidak tercatat pada bank maka LPS akan membayar kalim atas simpanan tersebut. Nasabah yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada LPS atau pengadilan. Dalam hal LPS menerima keberatan nasabah maka LPS hanya membayar simpanan nsabah tersebut sesuai dengan penjaminan berikut bunga yang wajar.

Jika nasabah yang dilindungi adalah juga merupakan debitur dari bank yang bermasalah maka perlindungan hukum yang diberikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan adalah secara set-off atau kompensasi.

Kompensasi diakomodasi dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang berbunyi “Dalam hal nasabah penyimpan pada saat yang bersamaan mempunyai kewajiban kepada bank maka pembayaran kalim penjaminan dilakukan setelah kewajiban nasabah penyimpan kepada bank terlebih dahulu diperhitungkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan”.

Penjelasan Pasal 18 berbunyi “Perjumpaan utang (set-off/kompensasi) hanya dapat dilakukan kepada kewajiban nasabah debitur yang telah jatuh tempo dan/atau gagal bayar (default/macet). Misal A memiliki simpanan sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan kewajiban sebeaar Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Simpanan A yang dijamin sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah), tetapi yang dapat dibayarkan kepadanya adalah Rp. 100.000.000 – Rp. 25.000.000 = Rp. 75.000.000.

Penerapan kompensasi atau set off dalam menyelesaikan hubungan kontraktual antara bank gagal dan nasabah, patut untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Buku III tentang Perikatan, bab keempat tentang hapusnya perikatan-perikatan, bagian keempat tentang kompensasi atau perjumpaan utang, Pasal 1425 sampai dengan Pasal 1435 KUH Perdata sebagai dasar hukumnya.52

Selain pelaksanaan pengembalian dana nasabah penyimpan, maka perlindungan hukum kepada nasabah penyimpan perlu juga dilakukan dengan cara melakukan pengusutan terhadap bank yang bermasalah atau dilikuidasi, dengan ca-ra mencari penyebab timbulnya bank bermasalah, apakah akibat pca-raktek-pca-raktek pemberian kredit yang tidak baik, atau bahkan merupakan kejahatan perbankan. Tindakan salah urus bank, apalagi dilakukan dengan sengaja, sangat merugikan masyarakat luas. Bila terdapat unsur kriminalnya, Pasal 49 ayat (2) huruf b Tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berikut penjelasannya akan diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan perundang-undangan.

52

Undang-Undang Perbankan menentukan :

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja …b) tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 6 milyar.53

Likuidasi merupakan akibat hukum pencabutan izin usaha bank. Makna likuidasi tak banyak dimengerti oleh nasabah, yang penting uang/dana simpanannya dikembalikan oleh bank dalam likuidasi. Demikian juga halnya de-ngan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) oleh nasabah juga sebagian besar tidak dikenal nasabah, mereka baru mengenal lembaga tersebut tatkala bank dimana mereka menyimpan uangnya dilikuidasi. Menurut Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Tentang Likuidasi Bank, likuidasi bank adalah tindakan pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pembubaran badan hukum bank. Dalam hal nasabah sebagai kreditur bank dalam likuidasi dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan, itu berarti ia berhak atas pengembalian uang/dana

Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan ini, semua pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank terhadap kewajiban, pembatasan ataupun larangan yang ditetapkan bukan saja oleh Undang-Undang Perbankan, tetapi juga ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, yang pada umumnya berupa Keputusan Direksi Bank Indonesia, diancam dengan pidana penjara dan denda yang berat.

53

simpanannya. Piutang konsumen ini menjadi kewajiban kewajiban bank dalam likuidasi untuk melunasinya melalui peranan LPS. Dalam hal ini nasabah juga perlu mendapat perlindungan penyelesaian kreditnya secara wajar dan layak, antara lain tidak dikenakan kenaikan suku bunga kredit yang kelewat batas/tidak rasional, denda keterlambatan/late cahrge karena proses likuidasi oleh Lembaga Penjaminan Simpanan.

Suatu hal yang sangat sulit untuk ditembus dalam pelaksanaan perlindungan hukum khususnya bagi nasabah bank adalah rahasia bank. Bukan tidak dimungkinkan hasil kerja Lembaga Penjamin Simpanan terhadap beberapa bank menemuka indikasi bank tersebut bermasalah, tetapi karena hal-hal yang diantisipasi agar tidak terjadinya rush dan bahkan rahasia bank maka keadaan tersebut tidak dikemukakan kepada masyarakat luas. Keadaan ini merupakan suatu dilema bagi LPS dalam menjalankan tugasnya memberikan perlindungan kepada nasabah bank.

Ada beberapa alternatif lainnya bagi LPS dalam memberikan perlindungan hukum bagi nasabah suatu bank sebelum hal-hal yang diluar dugaan terjadi yaitu dengan menggunakan asuransi. Hanya saja dalam memakai asuransi ini ditemukan permasalahan dalam penetapan premi karena masing-masing risiko untuk nasabah peminjam tentunya berbeda.

Masalah yang yang juga perlu diperhatikan adalah sistem pengenaan premi bagi bank peserta LPS. Terdapat dua cara dalam menetapkan premi tersebut yaitu sistem flat rate dan sistem risk based premium. Sistem flat rate dipercaya dapat menimbulkan insentif bagi bank untuk meningkatkan risiko dalam portofolio

mereka. Pelaku pasar normalnya dihadapkan pada risk return trade off yaitu keuntungan yang besar hanya dapat diperoleh dari risiko yang tinggi.

Praktek pada beberapa bank anggota LPS adalah dengan memakai sistem

risk based premium yaitu suatu sistem dengan menetapkan harga premi yang

berbeda bagi masing-masing nasabah tergantung dari risiko yang dihadapi oleh nasabah tersebut, yang sangat berlainan dengan sistem flat rate yaitu menyamakan premi untuk semua nasabah.54

Secara konseptual, keuntungan memanfaatkan informasi pasar adalah karena informasi tersebut mewakili penilaian dari sejumlah individu yang memiliki taruhan keuangan dalam melakukan penilaian secara benar risiko sebuah bank. Namun demikian mendasarkan premi asuransi pada informasi pasar menimbulkan Masalah mendasar dari penerapan risk based premium adalah bagaimana cara yang tepat dalam menentukan risiko yang sedang dihadapi oleh sebuah bank. Untuk itu terdapat dua sistem yang dapat dipergunakan yaitu sistem yang mempergunakan informasi pasar dan sistem yang menggunakan informasi non pasar. Secara ideal pemecahannya adalah dengan menetapkan premi asuransi yang merefleksikan perbedaan-perbedaan yang terdapat antar bank dalam perkiraan biaya yang mereka hadapi. Biaya tersebut antara lain : biaya dalam menyelesaikan kebangkrutan bank, biaya pengawasan, biaya monitoring dan biaya auditing, dan biaya pihak ketiga yang ditanggung oleh lembaga lain di luar lembaga penjamin simpanan. Untuk itu lembaga penjamin simpanan harus memiliki informasi secara jelas tentang jenis risiko yang dihadapi oleh bank.

54

pertanyaan mengenai kualitas informasi pasar yang dapat diperoleh dan apakah skim berdasarkan pasar tersebut mengarah kepada penetapan harga yang akurat. Masalahnya adalah pendekatan ini memiliki suatu bentuk masalah informasi, misalnya mendasarkan penetapan premi berdasarkan suku bunga yang dibayar oleh simpanan yang tidak diasuransikan membutuhkan pasar yang sudah berkembang baik untuk bank besar maupun bank kecil.

Jalan keluar yang dapat ditempuh mengatasi hal ini adalah dengan tidak mengenakan denda maksimal pada bank yang berisiko tinggi pada saat bank tersebut dalam kondisi keuangan yang parah, tetapi sebagian dari denda tersebut dikenakan setelah kondisi bank membaik. Selama periode dimana bank diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi tetapi masih operasional, denda yang lebih ringan dapat dikenakan dan tindakan pengawasan yang ketat dilakukan untuk mengurangi prodil risiko bank.

Metode lain yang dapat ditempuh dalam menetapkan premi yang harus dibayar bank kepada peserta penjaminan simpanan adalah berdasarkan teori market base portfolio monitoring. Teori ini menjelaskan bahwa pasar sekuritas secara efisien dapat melakukan evaluasi terhadap tingkat risiko portofolio bank. Teori ini mensyaratkan semua bank yang melampaui ukuran tertentu, menerbitkan surat utang jangka panjang yang diperdagangkan di pasar. Lembaga Penjamin Simpanan kemudian melakukan ekstrafolio tingkat risiko portofolio bank tersebut portofolio yang terkait dengan premi lembaga penjamin simpanan berdasarkan harga pasar dimana surat utang bank tersebut diperdagangkan. Bagi bank kecil preminya dapat ditetapkan dengan membandingkan surat utang tersebut. Kelemahan teori ini

adalah industri perbankan menjadi terbagi antara bank besar, yaitu bank yang diwajibkan mengeluarkan surat utang dan bank kecil.

Sudaryatmo menjelaskan dalam hal pelaksanaan perlindungan khususnya terhadap nasabah perbankan maka dapat dilakukan dengan cara :

1. Dengan memakai lembaga asuransi deposito. 2. Dengan dana talangan oleh pemerintah.55

Dimensi yang sangat berhubungan dalam hal pelaksanaan perlindungan nasabah penyimpan adalah peran dari instansi terkait dalam kaitannya dengan sistem perbankan di Indonesia, baik itu Bank Indonesia maupun Lembaga Penja-min Simpanan dalam hal memberikan informasi kepada masyarakat mana bank yang sehat dan mana bank yang bermasalah. Perihal kerahasian bank juga hendaknya tidak dijadikan sebagai tameng sehingga masyarakat tidak punya akses untuk secara langsung mengontrol keberadaan suatu bank. Masyarakat tidak dapat membedakan mana bank yang sehat dan mana bank yang sekarat.

Kontrol terhadap kesehatan suatu bank sepenuhnya menjadi monopoli otoritas moneter. Sehingga nasib nasabah menjadi kurang ironis, masyarakat yang memiliki dana, tidak punya akses untuk mengontrol. Sementara kalau otoritas perbankan mengambil kebijakan, seperti likuidasi bank, masyarakat harus menanggung risiko.

Fondasi utama praktek bisnis perbankan adalah kepercayaan. Konsumen percaya ketika menyimpan uang di bank, pihak bank tidak saja dapat mengamankan dananya tetapi juga dapat mengembangkan dana itu, untuk

55

selanjutnya nasabah mendapatkan bunga.

Kasus pencabutan izin usaha 16 bank sebagaimana diuraikan terdahulu telah membuat konsumen tertegun, kepercayaan masyarakat selama ini pada dunia perbankan di Indonesia dan juga kepercayaan masyarakat pada Bank Indonesia, selaku otoriras moneter untuk melindungi dana masyarakat telah disalahgunakan.

Dengan demikian melalui keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan ini maka masalah perlindungan konsumen khususnya nasabah penyimpan harus menjadi agenda utama dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan. Kasus pencabutan izin usaha 16 bank menunjukkan dari segi substansi hukum positif yang ada dan kelembagaan (Bank Indonesia) dan Departemen Keuangan belum sepenuhnya secara optimal dapat melindungi kepentingan nasabah.

Pada akhirnya, lembaga perbankan yang dapat membaca aspirasi konsumen, menempatkan konsumen sebagai subjek, memberi jaminan rasa aman kepada nasabah, yang akan tetap bertahan.

Sejak beroperasinya LPS terhitung tanggal 22 September 2005, banyak pihak-khususnya kalangan Perbankan hanya melihat satu sisi saja dari fungsi LPS. Pada umumnya LPS hanya dipersepsikan sebagai lembaga penjaminan simpanan dengan cara memungut premi dan mengeluarkan tingkat suku bunga penjaminan (SBP).

Sosialisasi LPS memang belum berjalan secara optimal. Padahal sesuai UU No.24 Tahun 2004 fungsi LPS adalah (1) menjamin simpanan nasabah penyimpan dan (2) turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Bahkan begitu strategisnya LPS dalam pertanggung jawabannya

langsung kepada Presiden tampa melalui Departemen Tehnis. Untuk mewujudkan amanat dari UU LPS tersebut, maka LPS tugas untuk (1) merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas perbankan dan (2) merumuskan, menetapkan dan melaksanakan penanganan bank gagal baik yang berdampak sistemik maupun tidak sistemik.

Karena kedudukannya yang strategis, maka sesuai UU setiap setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia diwajibkan untuk menjadi peserta penjaminan. Tidak termasuk dalam program penjaminan menurut UU tersebut adalah Badan Kredit Desa.

Program penjaminan yang dilaksanakan oleh LPS adalah hanya berupa simpanan yaitu giro,deposito,sertifikat deposito, tabungan dan yang dipersamakan dengan itu. Dalam penjelasan UU LPS dinyatakan bahwa transfer masuk dan transfer keluar serta inkaso tidak termasuk dalam lingkup yang dijamin karena bukan termasuk simpanan.

Sebagai peserta LPS setiap bank peserta wajib membayar premi penjaminan dan biaya kepersertaan. Untuk premi penjaminan simpanan ditetapkan sebesar 0,1% yang dihitung dari saldo rata-rata simpanan setiap periode (Jan s/d Juni dan Juli s/d Des), sedangkan untuk kepersertaan dipungut sebesar 0,1% yang hitung dari modal dan hanya sekali saja disaat bank yang brsangkutan menjadi peserta LPS.

Di samping besaran jumlah simpanan yang dijamin, maka Penetapan premi saat ini masih diberlakukan sama untuk seluruh bank peserta LPS. Penetapan premi tersebut dapat dirubah sehingga dimungkinkan penetapan premi yang berbeda

antara satu bank dengan bank yang lain atas dasar skala risiko kegagalan bank. Berdasarkan UU LPS juga dinyatakan bahwa nilai simpanan untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak sebesar Rp. 100 juta. Namun demikian pemberlakuan ketentuan tersebut dilakukan secara bertahap dengan kerangka waktu sebagai berikut;

1. 6 (enam) bulan pertama sejak LPS beroperasi yaitu dari tanggal 22 September sampai dengan 21 Maret 2006, yang dijamin adalah seluruh simpanan berupa tabungan,giro,sertifikat deposito, deposito dan yang dipersamakan dengan itu. 2. Kemudian 6 (enam) bulan berikutnya yaitu dari 22 Maret 2006 sampai dengan 21 September 2006, jumlah simpanan yang dijamin paling tinggi adalah Rp 5 milyar.

3. 6 (enam) bulan berikutnya yaitu periode 22 September 2006 sampai dengan 21 Maret 2007 jumlah simpanan yang dijamin menjadi Rp 1 milyar, dan terhitung mulai tanggal 22 Maret 2007, maka jumlah simpanan yang dijamin paling tinggi adalah Rp 100 juta untuk setiap penyimpan di sebuah bank.56

Tahapan tersebut di atas sangat jelas menunjukkan bahwa era blanket guarantee sudah mulai berakhir sejak 22 September 2005 dan menuju kearah limited guarantee

56

Krisna Wijaya, “Prospek Perbankan Dan Keberadaan LPS: Beorientasi Kepada Penciptaan Stabilisasi”, http:\\www.com.google\Lembaga Penjamin Simpanan.htm, diakses tanggal, 25 September 2010.

pada Maret 2006. Perubahan tersebut sedikitnya pasti akan berpengaruh kepada Perbankan dalam menjalankan bisnisnya. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana dampaknya bagi Perbankan sekiranya pada saat

Dokumen terkait