• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Kelembagaan Kompensasi Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Kelembagaan Kompensasi Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN KELEMBAGAAN KOMPENSASI DALAM

UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2004

TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan

memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M

MU

UH

HA

AM

MM

MA

AD

D

T

TA

AU

UF

FI

IK

K

NIM. 060200131

Program Reguler

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PENERAPAN KELEMBAGAAN KOMPENSASI DALAM

UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2004

TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan

memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M

MUUHHAAMMMMAADDTTAAUUFFIIKK NIM. 060200131 Program Reguler

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS.

Pembimbing I

Prof.Dr.Tan Kamello, SH, MS

Pembimbing II

Puspa Melati, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga penulis

persembahkan kepada Junjungan Kita Nabi Besar Muhammad SAW telah

membawa kabar tentang pentingnya ilmu bagi kehidupan di dunia dan di akhirat

kelak.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul “Penerapan Kelembagaan Kompensasi Dalam Undang-Undang No.

24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, sebagai Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku

Dosen Pembimbing I Penulis

- Ibu Puspa Melati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

(4)

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang

tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita

jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Medan, Oktober 2 010 Penulis

Muhammad Taufik A.NIM : 060200131

(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 3

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metodologi Penulisan ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG KOMPENSASI ... 9

A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian ... 9

B. Jenis-Jenis Perjanjian ... 23

C. Pengertian Kompensasi ... 28

D. Kompensasi atau Set-Off Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan ... 31

(6)

A. Pengertian Nasabah ... 32

B. Sejarah dan Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan Nasabah ... 33

C. Fungsi dan Tujuan Lembaga Penjamin Simpanan Nasabah ... 46

D. Hal-Hal Yang Dijamin Dalam Lembaga Penjamin Simpanan Nasabah ... 49

BAB IV. KELEMBAGAAN KOMPENSASI DALAM PELAKSANAAN PENJAMINAN SIMPANAN NASABAH ... 53

A. Penerapan Kelembagaan Kompensasi (Set-Off) Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan ... 53

B. Akibat Hukum Diterapkannya Kelembagaan Kompensasi (Set-Off) Dalam Hukum Hutang Piutang ... 58

C. Perlindungan Hukum Kelembagaan Kompensasi (Set-Off) Dalam Lembaga Jaminan Simpanan ... 61

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA

(7)

ABSTRAK

Kompensasi atau set off adalah suatu cara untuk mengakhiri perjanjian

dengan cara memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang antara

kreditur dan debitur. Perihal lahirnya lembaga kompensasi sebagai suatu dimensi

lembaga penjamin simpanan pada dasarnya dilatar belakangi oleh lahirnya

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Sedangkan lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 adalah dilatar belakangi

oleh keadaan ekonomi Indonesia yang juga melingkupi kelesuan di bidang

kegiatan perbankan pada awal tahun 1997 tatkala bangsa Indonesia masuk dalam

krisis mo- neter sehingga memaksa pemerintah mengambil kebijakan melakukan

likuidasi beberapa bank.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana

penerapan kelembagaan kompensasi (set-off) dalam Undang-Undang No. 24 Tahun

2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, bagaimana akibat hukum

diterapkannya kelembagaan kompensasi (set-off) dalam hukum hutang piutang dan

bagaimana perlindungan hukum kelembagaan kompensasi (set-off) dalam lembaga

jaminan simpanan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode yuridis

normative. Dan dalam pelaksanannya menggunakan penelitian kepustakaan

(library research).

Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui penerapan

(8)

tentang Lembaga Penjamin Simpanan nasabah pada dasarnya meliputi : Kedua

belah pihak satu sama lain harus merupakan nasabah debitur dan kreditur, pokok

masalah dari kewajiban silang kedua belah pihak harus sama, artinya menurut

penata-bukuan bank dapat ditetapkan serta ditagih seketika, ketentuan-ketentuan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH perdata) yang patut untuk

dikaji ulang berkenaan dengan : Pokok masalah dalam kewajiban silang tidak

tergantung dari jenis mata uang yang sama atau legal tender dari suatu negara,

Persyaratan bahwa klaim silang itu harus cair (liquid) artinya besarnya

masing-masing klaim harus dapat ditentukan dengan segera dan secara sederhana, tidak

dapat diterapkan lagi dalam transaksi perbankan yang memperhitungkannya tidak

sederhana lagi. Akibat hukum diterapkannya kelembagaan kompensasi (set-off)

dalam hukum hutang piutang maka terhadap para pihak hutang piutang di antara

(9)

ABSTRAK

Kompensasi atau set off adalah suatu cara untuk mengakhiri perjanjian

dengan cara memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang antara

kreditur dan debitur. Perihal lahirnya lembaga kompensasi sebagai suatu dimensi

lembaga penjamin simpanan pada dasarnya dilatar belakangi oleh lahirnya

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Sedangkan lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 adalah dilatar belakangi

oleh keadaan ekonomi Indonesia yang juga melingkupi kelesuan di bidang

kegiatan perbankan pada awal tahun 1997 tatkala bangsa Indonesia masuk dalam

krisis mo- neter sehingga memaksa pemerintah mengambil kebijakan melakukan

likuidasi beberapa bank.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana

penerapan kelembagaan kompensasi (set-off) dalam Undang-Undang No. 24 Tahun

2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, bagaimana akibat hukum

diterapkannya kelembagaan kompensasi (set-off) dalam hukum hutang piutang dan

bagaimana perlindungan hukum kelembagaan kompensasi (set-off) dalam lembaga

jaminan simpanan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode yuridis

normative. Dan dalam pelaksanannya menggunakan penelitian kepustakaan

(library research).

Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui penerapan

(10)

tentang Lembaga Penjamin Simpanan nasabah pada dasarnya meliputi : Kedua

belah pihak satu sama lain harus merupakan nasabah debitur dan kreditur, pokok

masalah dari kewajiban silang kedua belah pihak harus sama, artinya menurut

penata-bukuan bank dapat ditetapkan serta ditagih seketika, ketentuan-ketentuan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH perdata) yang patut untuk

dikaji ulang berkenaan dengan : Pokok masalah dalam kewajiban silang tidak

tergantung dari jenis mata uang yang sama atau legal tender dari suatu negara,

Persyaratan bahwa klaim silang itu harus cair (liquid) artinya besarnya

masing-masing klaim harus dapat ditentukan dengan segera dan secara sederhana, tidak

dapat diterapkan lagi dalam transaksi perbankan yang memperhitungkannya tidak

sederhana lagi. Akibat hukum diterapkannya kelembagaan kompensasi (set-off)

dalam hukum hutang piutang maka terhadap para pihak hutang piutang di antara

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

B. Latar Belakang

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) salah satu

cara untuk mengakhiri sebuah perikatan, yaitu dalam bentuk kompensasi.

Kompensasi atau set-off dikenal di berbagai sistem hukum, baik dalam “sistem

Common Law (hukum kebiasaan yang berasal dari Inggeris)”1 maupun “Civil Law

(hukum perdata)”,2

Keadaan ini memberikan akibat kurangnya rasa kepercayaan masyarakat

dan pelaku ekonomi terhadap bank itu sendiri sehingga terjadi penarikan sebagai upaya hukum dalam penyelesaian yang memberikan

manfaat kepada kedua belah pihak. Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang

Lembaga Penjamin Simpanan telah mengakomodasikan lembaga dimaksud

sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 berikut penjelasannya.

Perihal lahirnya lembaga kompensasi sebagai suatu dimensi lembaga

penjamin simpanan pada dasarnya dilatar belakangi oleh lahirnya Undang-Undang

No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sedangkan

lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 adalah dilatar belakangi oleh

keadaan ekonomi Indonesia yang juga melingkupi kelesuan di bidang kegiatan

perbankan pada awal tahun 1997 tatkala bangsa Indonesia masuk dalam krisis mo-

neter sehingga memaksa pemerintah mengambil kebijakan melakukan likuidasi

beberapa bank..

1

JCT Simorangkir, et.al, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 28. 2

(12)

besaran atas dana masyarakat di dalam bank (rush). Untuk mengembalikan

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan maka pemerintah melakukan

penjaminan atas dana masyarakat dan selanjutnya mengeluarkan Undang-Undang

No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Sebagai salah satu upaya perlindungan nasabah, maka set-off atau

kompensasi juga dikenal dalam Pasal 1425 sampai dengan Pasal 1435 KUH

Perdata, yang merumuskan bahwa kompensasi adalah “Perjumpaan dua utang,

yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang

dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing

pihak berkedudukan baik sebagai kreditor maupun debitor terhadap yang lain,

sampai jumlah yang terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut”.

Kompensasi atau set off adalah suatu cara untuk mengakhiri perjanjian

dengan cara memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang antara

kreditur dan debitur. Untuk dapat dilakukan perjumpaan utang atau kompensasi

Pasal 1427 KUH Perdata memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:

1. Kedua utang harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat

dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama.

2. Kedua utang seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika

dapat ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang sedangkan utang lainnya

baru dapat satu bulan yang akan datang maka kedua utang itu tidak dapat

diperjumpakan.

Dalam kenyataan yang terjadi maka terlihat suatu keadaan bahwa perihal

(13)

membalikkan telapak tangan. Ada prosedur yang didahului sebelumnya yaitu

perjanjian antara nasabah dan pihak perbankan untuk melakukan kompensasi, dan

pelaksanaan kompensasi tersebut tidak semata-mata persoalan matematis dengan

memperhitungkan kredit dan piutang masing-masing pihak, tetapi suatu persoalan

yang penyelesaiannya harus memberikan kepastian hukum.

Di sisi lain terlihat bahwa kompensasi tersebut terlihat seperti kepentingan

pemerintah bukan kepentingan nasabah. Dikatakan demikian karena dengan

adanya kompensasi maka dapat dipastikan bahwa terjadinya minimalisasi

kewajiban pemerintah dalam melakukan penjaminan seluruh kewajiban bank,

khususnya sewaktu pemerintah mengambil kebijakan melikuidasi sebuah bank.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan

menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain :

1. Bagaimana penerapan kelembagaan kompensasi (set-off) dalam

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan?

2. Bagaimana akibat hukum diterapkannya kelembagaan kompensasi (set-off)

dalam hukum hutang piutang?

3. Bagaimana perlindungan hukum kelembagaan kompensasi (set-off) dalam

lembaga jaminan simpanan?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(14)

1. Untuk mengetahui penerapan kelembagaan kompensasi (set-off) dalam

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

2. Untuk mengetahui akibat hukum diterapkannya kelembagaan kompensasi

(set-off) dalam hukum hutang piutang.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum kelembagaan kompensasi (set-off)

dalam lembaga jaminan simpanan.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini

diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Dari segi teoretis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum

keperdataan dan perbankan khususnya dalam pelaksanaan perlindungan nsabah

perbankan.

2. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para

pihak yang berkepentingan sehingga didapatkan kesatuan pandangan tentang

penerapan konsep set off atau kompensasi dalam hukum perbankan dan hukum

perdata.

E. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Penerapan Kelembagaan

Kompensasi Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga

Penjamin Simpanan” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri.

Penlisan skripsi yang bertemakan mengenai hak cipta memang sudah cukup

banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi dengan adanya objek batik ini belum

(15)

penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

F. Tinjauan Kepustakaan

Membicarakan konsep teori dalam bidang set-off atau kompensasi dalam

bidang perjanjian kredit perbankan khususnya dalam sisi pelaksanaan penjaminan

nasabah maka hal tersebut sangat berhubungan dengan teori-teori perjanjian yang

pada umumnya.

Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : “Suatu persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1

(satu) orang lain atau lebih”.

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula

terlalu luas.3

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung

pengertian: “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian

sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan

di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga,

tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku

III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai

secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

3

(16)

lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya”.4

Menurut Sutarno “kompensasi atau perjumpaan hutang adalah suatu cara

untuk mengakhiri perjanjian dengan cara memperjumpakan atau memperhitungkan

utang piutang antara kreditur dan debitur".

Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang

memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi.

Sebagai suatu perjanjian tentunya ada masa berakhirnya perjanjian tersebut.

Salah satu cara untuk berakhirnya perjanjian tersebut adalah dalam bentuk

kompensasi. Kompensasi selain dikenal dalam hubungan hukum hutang piutang

juga dikenal dalam lapangan hukum perbankan dengan diterapkan suatu konsep

kompensasi dalam lembaga jaminan simpanan nasabah.

5

G. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode yuridis

normatif. Dan dalam pelaksanannya menggunakan penelitian kepustakaan (library

research), dimana sumber data diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum berupa ketentuan-ketentuan tentang

penerapan konsep kompensasi (set-off) dalam Undang-Undang No. 24 Tahun

4

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6. 5

(17)

2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer berupa buku-buku bacaan, hasil karya ilmiah para

sarjana dan hasil penelitian yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier.

Bahan ini berupa keterangan tentang hal-hal yang kurang atau belum dipahami

mengenai data-data hukum di atas sebagai bahan hukum penungjang, seperti

kamus hukum, ensiklopedia dan lain sebagainya.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian

pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Kompensasi

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Pengertian dan

Syarat Sahnya Perjanjian, Jenis-Jenis Perjanjian, Pengertian

Kompensasi serta Kompensasi atau Set-Off Dalam Undang-Undang

(18)

Bab III. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Nasabah

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian

Nasabah, Sejarah dan Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan

Nasabah, Fungsi dan Tujuan Lembaga Penjamin Simpanan Nasabah

serta Hal-Hal Yang Dijamin Dalam Lembaga Penjamin Simpanan

Nasabah.

Bab IV. Kelembagaan Kompensasi Dalam Pelaksanaan Penjaminan Simpanan

Nasabah

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap permasalahan

yang diajukan yaitu Penerapan Kelembagaan Kompensasi (Set-Off)

Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga

Penjamin Simpanan, Akibat Hukum Diterapkannya Kelembagaan

Kompensasi (Set-Off) Dalam Hukum Hutang Piutang serta

Perlindungan Hukum Kelembagaan Kompensasi (Set-Off) Dalam

Lembaga Jaminan Simpanan

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab kesimpulan dan saran, yang merupakan bab

(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KOMPENSASI

A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal

1313 KUH Perdata menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih”.

Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1

(satu) orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal”.6

R. Wirjono Prodjodikoro, mendefinisikan “perjanjian adalah suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak

melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.7

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa “definisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula

terlalu luas”.8

6

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994, hlm.1 7

R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1991, hlm. 9 8

(20)

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian

sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan

di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga,

tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku

III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai

secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung

pengertian “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau

lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi

dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya”.9

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan

yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang

memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi”.

Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/

rechtbe-trekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya.

Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara

perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan

hukum.

9

(21)

kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya

timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang

diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara

pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan

itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum/rechtshandeling.10

Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam

hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan

mempunyai karakter yang paling mutlak.

Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang

menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi

hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain

itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul

kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau

voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan

berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum

perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai

schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan

sebagai schuldenaar atau debitur.

11

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum

kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata

10

Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 6. 11

(22)

karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat

pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan

hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun

hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan

benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde

persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht dengan

hukum perjanjian.

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi

mempunyai droit de suite.

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati

hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas

benda tersebut.

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.12

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang

pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap

hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite, tidak

12

(23)

mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok

Agraria sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku II BW tidak

dinyatakan berlaku lagi.

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi

ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan

fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari

perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada

persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas

perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian:

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu

(bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan

tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat

dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan

hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan

Arrest (H.R. 10 Juni 1910).

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam

perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan

prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi

(24)

kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Apabila debitur enggan secara

sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk

melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi

tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal

ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis

adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian,

perjanjian dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi

hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya

perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke

verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu

atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi

kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak

dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat

dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan

kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan

sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta

(25)

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

c. Mengenai suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan

dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian

sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si penjual mengingini sesuatu barang si penjual .13

a. Syarat itikad baik,

Sedangkan syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata

yang terdiri dari :

b. Syarat sesuai dengan kebiasaan,

c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,

d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum,

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri

dari :

a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu,

13

(26)

b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,

c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak

tertentu,

d. Syarat izin dari yang berwenang. 14

Menurut Mariam Darus Badrulzaman:

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir. 15

2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).

Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH Perdata

yaitu:

a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliput i :

1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan) 2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi :

1). Suatu hal (objek) tertentu

16

14

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 34.

15

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung , 1993, hlm. 98.

16

Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Prenada, Jakarta, 2004, hlm. 12-13.

Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan

dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari

pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila

kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat

(27)

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.17

Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak

memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud

dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang

mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat

pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa

kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang

apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak

mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana

orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan

orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari

orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah

perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat

dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu

suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara

tidak benar.

17

(28)

perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan

itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk

mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna

menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa

barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai

pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang

cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus

diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus

mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.18

18

Ibid, hlm. 24.

Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas

adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang

itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut

adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada

perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang

sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan,

gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan

inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau

(29)

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut

ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal

penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan

atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan

mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan.

Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan

membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah,

kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata,

dimana kecakapan itu dapat kita bedakan:

a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.

b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang

menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara

suami isteri.

Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa

orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH

Perdata ada tiga, yaitu :

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan

c. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan

curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut pasal

(30)

untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang.

Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari

suaminya.

Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah

besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah

berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah

tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan Surat Edarannya No. 3

Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110

KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum

dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya

sudah tidak berlaku lagi.

Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong

tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang

dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa

perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu

sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengadakan bahwa

perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat

dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak

berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan

oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat

(31)

kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada

hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan

ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana

dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang

wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh

perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan

tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit

diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu

adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada

umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa

sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari

sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam

masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti

juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang

yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak

berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian

itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah

pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab

lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya

hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan

(32)

perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH

Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal

saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang

menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka

buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan ,

maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini,

perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.19

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH

Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal.

Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau

seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu: “Azas-azas hukum

perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan

hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan

saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang

menyebabkan adanya perjanjian itu”.20

“Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang,

adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal,

dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

19

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 94. 20

(33)

orang”21

B. Jenis-Jenis Perjanjian

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian

telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat

subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat

dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak

dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai

hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka

dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi,

maka perjanjian itu batal demi hukum.

Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang

selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi

yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain

dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai

coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu,

merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci

dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh

masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis

yang berbeda tentunya.

21

(34)

Perbedaan tersebut dapat penulis kelompokkan sebagai berikut:

a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan

kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya : jual beli, sewa-menyewa. Dari

contoh ini, penulis menguraikan tentang apa itu jual beli.

Jual-beli itu adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dimana pihak yang

satu ( si penjual ) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang

pihak lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga, yang terdiri atas sejumlah

uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut .

Dari sebutan jual-beli ini tercermin kepada kita memperlihatkan dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan di pihak lain dinamakan pembeli. Dua perkataan bertimbal balik itu, adalah sesuai dengan istilah Belanda Koop en verkoop yang mengandung pengertian bahwa, pihak yang satu Verkoop (menjual), sedangkan koop adalah membeli.22

b. Perjanjian Sepihak

Perjanjian sepihak merupakan kebalikan dari pada perjanjian timbal balik.

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu

pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contohnya : Perjanjian hibah.

Pasal 1666 KUH Perdata memberikan suatu pengertian bahwa penghibahan

adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan

cuma-cuma, dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan suatu

barang, guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Perjanjian ini juga selalu disebut dengan perjanjian cuma-cuma.

22

(35)

Yang menjadi kriteria perjanjian ini adalah kewajiban berprestasi kedua

belah pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud berupa

hak, misalnya hak untuk menghuni rumah .

c. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alasan hak yang membebani

Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya memberi

keuntungan pada satu pihak, misalnya: Perjanjian pinjam pakai. Pasal 1740 KUH

Perdata menyebutkan bahwa : Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana

pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya, untuk

dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah

memakainya atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan mengembalikannya

kembali.

Sedangkan perjanjian atas beban atau alas hak yang membebani, adalah

suatu perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang satu selalu

terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua prestasi ini ada

hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak

lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A

menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerah lepaskan

suatu barang tertentu kepada A .

d. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,

maksudnya bahwa perjanjian itu memang ada diatur dan diberi nama oleh

undang-undang. Misalnya jual-beli ; sewa-menyewa; perjanjian pertanggungan; pinjam

(36)

perjanjian yang munculnya berdasarkan praktek sehari-hari. Contohnya: Perjanjian

sewa-beli. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas banyaknya.

Lahirnya perjanjian ini dalam praktek adalah berdasarkan adanya suatu

azas kebebasan berkontrak, untuk mengadakan suatu perjanjian atau yang lebih

dikenal Party Otonomie, yang berlaku di dalam hukum perikatan.

Contohnya: A ingin membeli barang B, tetapi A tidak mempunyai uang

sekaligus, dalam hal ini B si empunya barang mengizinkan A untuk

mempergunakan barang tersebut sebagai penyewa, dan apabila dikemudian hari A

mempunyai uang, A diberi kesempatan oleh B (si empunya barang) untuk membeli

lebih dahulu barang tersebut. Perjanjian sewa beli itu adalah merupakan ciptaan

yang terjadi dalam praktek .

Hal di atas tersebut, memang diizinkan oleh undang-undang sesuai dengan

azas kebebasan berkontrak yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata. Bentuk perjanjian sewa beli ini adalah suatu bentuk perjanjian jual-beli

akan tetapi di lain pihak ia juga hampir berbentuk suatu perjanjian sewa-menyewa.

Meskipun ia merupakan campuran atau gabungan daripada perjanjian jual

beli dengan suatu perjanjian sewa menyewa, tetapi ia lebih condong dikemukakan

semacam sewa menyewa.

e. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik

dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan

perjanjian obligatoir.

(37)

sejak terjadinya perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak.

Untuk berpindahnya hak milik atas sesuatu yang diperjual belikan masih

dibutuhkan suatu lembaga, yaitu lembaga penyerahan. Pentingnya perbedaan

antara perjanjian kebendaan dengan perjanjian obligatoir adalah untuk mengetahui

sejauh mana dalam suatu perjanjian itu telah adanya suatu penyerahan sebagai

realisasi perjanjian, dan apakah perjanjian itu sah menurut hukum atau tidak.

Objek dari perjanjian obligatoir adalah : Dapat benda bergerak dan dapat

pula benda tidak bergerak, karena perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang

akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang membuat

perjanjian tersebut. Maksudnya bahwa sejak adanya perjanjian, timbullah hak dan

kewajiban mengadakan sesuatu.

f. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya

perjanjian kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian

disamping adanya perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata

atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak perjanjian penitipan, pinjam

pakai. Salah satu contoh uraian diatas yaitu: “Perjanjian penitipan barang, yang

tercantum dalam Pasal 1694 KUH Perdata, yang memberikan seseorang menerima

suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan

mengembalikannya dalam wujud asalnya”.23

Dari uraian diatas tergambar bahwa perjanjian penitipan merupakan sauatu

perjanjian real, jadi bukan suatu perjanjian yang baru tercipta dengan adanya suatu

(38)

Setelah penulis kemukakan tentang keanekaan dari perjanjian, maka telah

dapat penulis kelompokkan bentuk atau jenis-jenis dari perjanjian yang terdapat

dalam undang-undang maupun di luar undang-undang.

C. Pengertian Kompensasi

Kompensasi atau set-off sebagaimana dijelaskan terdahulu ada diatur dalam

Buku III, Pasal 1425 sampai dengan Pasal 1435 KUH Perdata KUH Perdata. Pasal

1425 KUH Perdata menjelaskan “Jika dua orang saling berutang antara mereka

suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut

dihapuskan, dengan cara dan adalah hal-hal yang akan disebutkan sesudah itu”.

Mariam Darus menterjemahkan pasal tersebut yaitu “kompensasi terjadi

apabila dua orang saling berhutang pada yang lain dengan mana hutang-hutang

antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa di

antara mereka telah terjadi suatu perhitungan menghapuskan perikatannya”.

Menurut Johannes Ibrahim, kompensasi adalah “perjumpaan dua utang,

yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang

dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing

pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap yang lain,

sampai jumlah yang terkecil yang ada di antara kedua hutang tersebut”.

24

25

Untuk dapat dilakukan perjumpaan utang atau kompensasi Pasal 1427

KUH Perdata memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:

23

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Op.Cit, hlm. 155. 24

(39)

1. Kedua hutang harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama.

2. Kedua utang seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang sedangkan utang lainnya baru dapat satu bulan yang akan datang maka kedua utang itu tidak dapat diperjumpakan.26

Menurut subekti “agar dua hutang dapat diperjumpakan, perlulah dua

hutang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat

ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang tetapi yang lainnya baru satu bulan

lagi, teranglah dua hutang itu tidak dapat diperjumpakan. Kedua hutang itu harus

sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan

kualitas yang sama”.

Pasal 1428 KUH Perdata menjelaskan “Suatu penundaan pembayaran yang

diberikan kepada seorang tidak menghalangi suatu perjumpaan”.

27

1. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan

dengan hukum dirampas dari pemiliknya.

Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dan sumber apa hutang piutang

antara kedua belah pihak itu telah lahir kecuali:

2. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau

dipinjamkan.

3. Terdapat sesuatu hutang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah

dinyatakan tak dapat disita (alimentasi). Demikianlah apa yang diatur dalam

Pasal 1429 KUH Perdata. Maksudnya adalah jelas, jika memperkenankan

25

Johannes Ibrahim, “Penerapan Konsep Kompensasi (Set-Off) Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24-No. 2. Tahun 2005, hlm. 67.

26

Sutarno, Op.Cit., hlm. 52. 27

(40)

perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas. Itu berarti mengesahkan

seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Dari itu pasal tersebut

di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang demikian.

Undang-undang itu menerangkan bahwa kompensasi terjadi demi hukum,

akan tetapi apabila dibaca ketentuan-ketentuan Pasal 1430, 1432, 1435 KUH

Perdata, maka kompensasi itu menghendaki adanya aktivitas dari pihak-pihak yang

berkepentingan untuk mengemukakan hutang masing-masing dan pelaksanaan dari

perhitungan atau kompensasinya. Kompensasi yang terjadi demi hukum akan

mengakibatkan terjadinya hal-hal menegangkan antara pihak-pihak yang

berkepentingan.

Masih satu hal lagi yang perlu dikemukakan mengenai kompensasi ini,

yaitu hal-hal dalam mana undang-undang melarang untuk diadakannya

kompensasi, yaitu sebagaimana disebutkan oleh Pasal 1429 KUH Perdata.

Pasal 1429 KUH Perdata berbunyi:

Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak itu dilahirkan, terkecuali:

1. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.

2. Apabila dituntutnya pengembalikan barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.

3. Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita.28

D. Kompensasi atau Set-Off Dalam Undang-Undang No. 24 TAhun 2004

tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Lembaga kompensasi diakomodasikan dalam Pasal 18 Undang-Undang No.

28

(41)

24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berbunyi: “dalam hal

nasabah penyimpan pada saat yang bersamaan mempunyai kewajiban kepada bank

maka pembayaran klaim penjaminan dilakukan setelah kewajiban nasabah

penyimpan kepada bank terlebih dahulu diperhitungkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan”.

Penjelasan Pasal 18 berbunyi “perjumpaan utang (set off/kompensasi)

hanya dapat dilakukan kepada kewajiban nasabah debitur yang telah jatuh tempo

dan/atau gagal bayar”.

Penerapan lembaga kompensasi atau set off dalam menyelesaikan hubungan

kontraktual antara bank gagal dan nasabah, patut untuk memperhatikan

ketentuan-ketentuan dalam Buku III tentang perikatan, bab keempat tentang hapusnya

perikatan-perikatan, bagian keempat tentang kompensasi atau perjumpaan utang,

(42)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

NASABAH

E. Pengertian Nasabah

Tidak dijumpai rumusan/pengertian nasabah dalam Undang-Undang No. 7

Tahun 1992 Tentang Perbankan, padahal di dalamnya dijumpai rumusan bank.

Bagaimana mungkin sebuah undang-undang yang mengatur tentang perbankan

tetapi tidak memberikan pengertian tentang nasabah.

Pengertian nasabah baru dapat direalisasikan dalam Undang-Undang No.

10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan diatur perihal nasabah yang terdiri dari dua pengertian yaitu:

a. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank

dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan.

b. Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu

berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

Sementara itu Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan mengenal pengertian nasabah sebagaimana dijelaskan dalam

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.

(43)

a. Nasabah penyimpan, yaitu nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam

bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan.

b. Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu

berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

Demikian juga halnya dalam praktek perbankan dikenal ada tiga macam

nasabah yaitu :

a. Nasabah deposan yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank.

b. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan.

c. Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank.29

Kamus besar Bahasa Indonesia menjelaskan nasabah adalah “orang yang

biasa berhubungan dengan atau menjadi pelanggan bank (Dalam hal keuangan),

dapat juga diartikan sebagai orang yang menjadi tanggungan asuransi,

perbandingam pertalian.30

Sedangkan Muhammad Djumhana menyebutkan nasabah merupakan

konsumen dari pelayanan jasa perbankan.31

F. Sejarah dan Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan Nasabah

Perkembangan dunia perbankan memberikan kontribusi yang besar bagi

29

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 40-41.

30

Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, 2003, hlm. 775. 31

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 282.

(44)

perekonomian di Indonesia. Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana

dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya. Setiap bank harus memiliki image

yang baik di dalam masyarakat agar suatu bank dapat dipercaya oleh masyarakat

untuk melakukan kegiatan perbankan yaitu meminjam dan menyimpan uang

maupun memanfaatkan jasa perbankan lainnya.

Bank harus dapat menjaga dan menjamin pengelolaan dana para nasabah

sehingga memberikan rasa aman bagi nasabah untuk memberikan kepercayaan

yang penuh bagi bank dalam menyimpan dan mengelola dananya. Image suatu

bank dalam masyarakat menentukan kualitas dari suatu bank. Apabila kepercayaan

masyarakat terhadap suatu bank menurun maka akan mempengaruhi sistem

perbankan itu sendiri. Para nasabah akan melakukan penarikan dananya secara

besar-besaran (rush).

Pada tahun 1998 ketika krisis moneter melanda Indonesia, dunia

perbankan seakan guncang karena dilikuidasinya 16 bank yang mengakibatkan

menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Sebelum krisis

moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit

bermasalah atau Non-Performing Loans yang memprihatinkan, yaitu sebagai

akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter tersebut.32

Untuk mengatasi krisis yang terjadi, maka pemerintah mengeluarkan

beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban

pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee) yang

32

(45)

ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang “Jaminan

Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum“ dan Keputusan Presiden Nomor

193 Tahun 1998 tentang “Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank

Perkreditan Rakyat“. Pada saat terjadi likuidasi terhadap 16 bank, terjadi penarikan

dana masyarakat yang jumlahnya cukup signifikan. Hal ini didorong karena

menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan di Indonesia.33

Sesungguhnya pada tahun 1992 telah diundangkan Undang-undang No.7

tentang Perbankan yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut dunia

perbankan. Seiring dengan perkembangan dan permasalahan ekonomi yang

semakin kompleks terutama setelah Indonesia dilanda krisis moneter maka pada

tahun 1998 diubah dengan Undang-undang No.10. Undang-undang ini disahkan

oleh Presiden pada tanggal 10 November 1998. Perubahan undang-undang tersebut

dilatarbelakangi oleh Undang-undang No.7 Tahun 1992 tersebut sudah tidak lagi

memadai dalam perkembangan perekonomian nasional dan internasional.

Sedangkan sumber-sumber hukum lainnya yang mendukung Undang-undang

tersebut adalah antara lain berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden, Peraturan Bank Indonesia, Keputusan Direksi, Surat Edaran

Bank Indonesia, dan peraturan pelaksana lainnya. Sumber hukum perbankan dapat

dibedakan atas sumber hukum dalam arti formil dan sumber hukum dalam arti

materiil. Sumber hukum dalam arti material adalah sumber hukum yang

menentukan isi hukum itu sendiri dan itu tergantung dari sudut mana dilakukan

peninjauannya, apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan

33

(46)

lain sebagainya. Sedangkan sumber hukum formal adalah tempat di mana

ditemukannya ketentuan hukum dan perundang-undangan baik yang tertulis

maupun yang tidak tertulis. Secara umum hukum perbankan adalah hukum positif

yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank yang berlaku pada

saat ini.

Bank-bank yang ada saat ini tetap berada di bawah pengawasan Bank

Indonesia. Menjadi wewenang Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi

bank-bank tersebut juga membina bank-bank yang bermasalah. Bank Indonesia

tidak lagi menjadi bagian lembaga pemerintah tetapi secara operasional Bank

Indonesia tetap berhubungan dengan pemerintah.

Pada saat BPPN berakhir tugasnya pada 27 Februari 2004, pelaksanaan

program penjaminan Pemerintah dialihkan ke Menteri Keuangan berdasarkan

Keputusan Presiden nomor 17 Tahun 2004. Program penjaminan yang belum

diselesaikan oleh BPPN selanjutnya dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. Untuk

melaksanakan program penjaminan Pemerintah ini, Menteri Keuangan diberi

wewenang untuk membentuk unit pelaksana penjaminan Pemerintah dalam

lingkungan Departemen Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 27

Februari 2004 Menteri Keuangan membentuk Unit Pelaksana Penjaminan

Pemerintah (UP3).34

Pada tanggal 22 September 2004, Presiden mengesahkan pelaksanaan

Undang-Undang RI No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang

kemudian disingkat dengan LPS sebagai upaya untuk lebih menguatkan kondisi

34

(47)

moneter pada saat itu. Salah satu isi dari undang-undang tersebut yaitu ketentuan

tentang penjaminan simpanan nasabah seperti pada Pasal 10 yang menjelaskan

simpanan nasabah yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan

dan/atau bentuk lainnnya yang dipersamakan dengan itu dijamin oleh LPS.

Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan

kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang

lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik

dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan

agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas

sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu

digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.

Program penjaminan simpanan yang sangat luas lingkupnya memang telah

terbukti menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem

perbankan tetapi luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah membebani

anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari

pengelola bank maupun dari masyarakat. Pengelola bank menjadi kurang hati-hati

dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk

mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin secara penuh oleh

pemerintah. Dengan demikian program penjaminan atas seluruh kewajiban bank

kurang mendorong terciptanya disiplin pasar. Selain itu, penerapan penjaminan

secara luas ini yang berdasarkan kepada Keputusan Presiden kurang dapat

memberikan kekuatan hukum sehingga menimbulkan permasalahan dalam

(48)

dalam bentuk undang-undang.

Pengertian asuransi simpanan sebenarnya berbeda dengan asuransi pada

umumnya, ada dua perbedaan mendasar yaitu: Pertama, dalam asuransi simpanan

ada tiga pihak yang menjadi subjek yaitu penyelenggara asuransi simpanan sebagai

pihak penanggung, bank sebagai pihak tertanggung, dan nasabah bank sebagai

pihak yang menerima manfaat penanggungan. Kedua, kewajiban membayar premi

dan menerima penggantian kerugian. Pada asuransi yang wajib membayar premi

adalah pihak yang berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta

miliknya yang diasuransikan sedangkan dalam asuransi simpanan, premi dibayar

oleh bank sedangkan yang berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugia

adalah nasabah yaitu nasabah penyimpan.35

Pada tahun 1980, sistem penjamin simpanan baru diterapkan di 16 negara.

Selama kurun waktu 20 tahun, penerapannya meningkat dalam kelipatan tiga kali

menjadi 68 negara saat ini. Sistem ini diterapkan pada tahun 2004 di Indonesia

maka menjadi negara yang ke 69 di dunia dan negara ke 10 di Asia. Dari 68 negara

yang telah menerapkan sistem ini hampir separuh yaitu 32 negara berada di Eropa.

Sisanya 36 negara terdistribusi di Afrika, Asia, Timur Tengah dan benua Amerika Pentingnya untuk melindungi uang masyarakat yang disimpan di bank

mulai disadari terutama setelah terjadinya krisis moneter yang dilanda Indonesia

pada tahun 1998. Kemudian baru pada tahun 2004 pemerintah menyesahkan

Undang-Undang No.24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS yang pada

dasarnya suatu usaha untuk menjamin dan melindungi uang nasabah.

35

(49)

masing-masing 10, 9, 3, dan 14 negara.

Sistem ini diterapkan dengan skema yang bervariasi pada setiap negara

diantaranya menyangkut sumber pembiayaan, penetapan premi yang menjadi

pengelola, dan wajib tidaknya bank mengikutinya. Sejumlah 68 negara yang

menerapkan sistem penjamin simpanan, 52 negara menerapkan sistem dengan

sumber pembiayaan secara gabungan antara pembiayaan oleh bank dan

pembiayaan dari publik atau negara. Cile merupakan satu-satunya negara yang

menerapkan sistem penjaminan dengan sepenuhnya dibiayai oleh dana publik yang

bersumber dari pajak yang diberlakukan pada seluruh rakyat. Delapan negara di

Eropa dengan 7 negara lainnya malakukan pembiayaan secara privat dari bank

yang menjadi anggota sistem ini.

Terdapat tiga skema yang menyangkut lembaga yang menjadi pengelola

yaitu: 1) Skema di mana LPS dikelola oleh pemerintah melalui suatu badan

tertentu; 2) LPS sepenuhnya dikelola oleh badan privat atau swasta; 3) LPS

dikelola secara bersama oleh pemerintah dengan privat.36

Sebanyak 24 negara termasuk Amerika Serikat, Canada, dan Kamerun

menyerahkan pergelolaan lembaga penjamin simpanan kepada gabungan pihak

privat dan pemerintah. Selebihnya, 11 negara yang meliputi 8 negara Eropa, seperti Distribusi dari 68 negara yang telah menerapkan sistem penjaminan

simpanan berdasarkan tiga skema pengelolaanya seperti yang telah disebutkan

adalah 33 negara menetapkan sistem penjaminan simpanan dengan lembaga yang

dikelola oleh badan pemerintah.

36

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum dari pemberian reward terhadap deposito nasabah serta perlakuan reward dalam norma di Industri perbankan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai perlindungan hukum nasabah penyimpan dana dalam likuidasi bank ditinjau dari

Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau salah satu arbiter atau para

(2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberhentikan dari jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) Tim Likuidasi wajib membuat perhitungan hak-hak pegawai lainnya yang timbul sebagai akibat pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di

Menurut Direktur Klaim dan Resolusi Bank Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), proses penanganan dana nasabah akan dilakukan sesuai dengan skim penjaminan. LPS terlebih

(2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberhentikan dari jabatannya karena alasan sebagaimana

(2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberhentikan dari jabatannya karena alasan sebagaimana