BAB II
PELAKSANAAN PERJANJIAN KEAGENAN
Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena
mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si penjual mengingini sesuatu barang si penjual .12
a.
Syarat itikad baik,
Sedangkan syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata
yang terdiri dari :
b.
Syarat sesuai dengan kebiasaan,
12
c.
Syarat sesuai dengan kepatuhan,
d.
Syarat sesuai dengan kepentingan umum,
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri
dari :
a.
Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu,
b.
Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,
c.
Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak
tertentu,
d.
Syarat izin dari yang berwenang.
13Menurut Mariam Darus Badrulzaman:
Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata
dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita
harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat
subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua
syarat yang terakhir.
142). Sesuatu sebab yang halal (kausa).
Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH
Perdata yaitu:
a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi :
1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan)
2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi :
1). Suatu hal (objek) tertentu
15
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus
13
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 34.
14
Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, , hal. 98.
15
Abdul R. Saliman, et. al. 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Prenada, hal. 12-13.
dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus
diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila
kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat
mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata
sepakatnya.
Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.16
Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak
memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu
dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang
bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan
apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya,
sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas
bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak
sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal
1320 KUH Perdata.
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian,
yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan,
tetapi secara tidak benar.
16
dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat
pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap
kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek
perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur
pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau
seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu
tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu
adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan
untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna
menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa
barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai
pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan
yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa
kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu
sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan
seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.17
Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan
diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam
perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira
bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya
17
ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu
pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok
barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh
pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas
dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH
Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal
penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu
penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya
melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada
sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu
terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak.
Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana
kecakapan itu dapat kita bedakan:
a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian
secara sah.
b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap
untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata
yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila
diadakan antara suami isteri.
Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan
bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh
Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :
a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan
c. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi
kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu
sendiri. Menurut pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada
umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau
ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum
harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.
Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga
adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.
Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah
berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya
sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat
Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap
Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri
untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan
pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.
Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang
tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh
mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang
beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh
pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak
cakap itu mengadakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan
konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh
bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang
merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan
membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH
Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan
hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa
keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain.
Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah
mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat
suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula
mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab
yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan
apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu
adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran
yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat
menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.
Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang
dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban
hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu
pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka
adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus
orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta
kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat
dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan
atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah
adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang
diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya
(Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya
barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau
ditetapkan.
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa
saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian
yang mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak
dapat dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak
dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.18
Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320
KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu
sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi
perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro,
yaitu: “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah
bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya
beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian
adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya
perjanjian itu”.19
Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang
halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang
18
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, hal. 94.
19
terlarang.
“Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang
terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si
pembeli membunuh orang”20
Wewenang Keagenan
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu
perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif
dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi,
perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal
syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang
demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian
yang telah dibuat menjadi batal.
Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi
maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang
tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Semua definisi keagenan yang dibuat senantiasa ada kekurangannya, akan tetapi
pada intinya keagenan didefinisikan sebagai hubungan yang timbul dimana satu
pihak yang disebut sebagai agen bertindak untuk pihak lainnya yang disebut
prinsipal.
Berdasarkan tindakan agen, prinsipal dan pihak ketiga masuk ke dalam
hubungan kontraktual. Agen juga dapat memiliki kekuasaan untuk melepaskan
harta kekayaan milik prinsipal kepada pihak ketiga. Umumnya, agen dapat
bertindak demikian karena prinsipal telah memberikan wewenang kepadanya
untuk melakukan tindakan yang dimaksud dan agen menyetujui untuk
melakukannya. Agen sepertinya menjadi perpanjangan tangan dari prinsipal dan
karenanya dapat mengubah kedudukan hukum prinsipal baik berupa mengikat
prinsipal ke dalam suatu perjanjian atau melakukan pelepasan harta kekayaan
milik prinsipal yang bersifat mengikat.
diberikan kepadanya oleh kontrak keagenan. Namun kekuasaannya untuk mengikat
prinsipal melampaui wewenang kontraktual ini.
Cara yang paling jelas terlihat dalam hal terbentuknya suatu hubungan
keagenan adalah berdasarkan pemberian ijin atau kewenangan. Kewenangan secara
tegas timbul ketika prinsipal berkata secara tegas bahwa ia memberikan ijin kepada
agen untuk bertindak atas namanya dengan cara tertentu dan agen menyetujui
untuk melakukannya. Prinsipal dan agen akan dianggap telah sepakat apabila
mereka telah menyetujui apa akibat hukum atas hubungan tersebut, meskipun
mereka tidak mengakuinya sendiri dan meskipun mereka menyatakan untuk
menyangkalnya. Akan tetapi, masing-masing dari mereka harus memberikan
persetujuan tersebut. Kebanyakan orang akan melihat apa yang dikatakan dan
dilakukan pada saat timbulnya dugaan terbentuknya hubungan keagenan. Kata-kata
dan tindakan sebelumnya dapat menjadi bukti adanya suatu hubungan yang pernah
dilakukan sebelumnya pada saat itu dan umumnya dapat dipertimbangkan sebagai
latar belakang historis. Kata-kata dan tindakan di kemudian hari dapat pula
memiliki arti meskipun mungkin tidak terlalu penting.
Cara lain terbentuknya suatu hubungan keagenan adalah ketika
adanya pemberian kewenangan secara tersirat. Dalam hal pemberian
kewenangan secara tersirat, prinsipal tidak berkata secara tegas kepada
agen bahwa agen telah diberikan kewenangan untuk bertindak dengan cara
tertentu. Sementara sebaliknya, tindakan-tindakan dari prinsipal dan agen
sedemikian jelasnya terlihat bahwa prinsipal telah mengijinkan agen untuk
memiliki kewenangan tertentu, dan agen telah menyetujuinya. Dengan kata
20
lain, kesepakatan itu disimpulkan dari tindakan para pihak dan
keadaan-keadaan dari kasus yang bersangkutan. Contoh yang paling umum dari
pemberian kewenangan secara tersirat adalah ketika seseorang diangkat
untuk menduduki suatu jabatan tanpa memberikan kewenangan secara
tegas kepada orang itu, dan jabatan tersebut adalah jabatan yang biasanya
memiliki kewenangan tertentu. Misalnya, ketika direksi mengangkat salah
satu anggotanya untuk menduduki posisi managing director atau chief
executive officer, maka direksi secara tersirat memberikan wewenang
kepadanya untuk melakukan segala sesuatu yang biasanya masuk dalam
lingkup kewenangan jabatan itu. Orang akan berharap bahwa kebanyakan
managing director biasanya akan memiliki sekurang-kurangnya
kewenangan tersirat untuk menyetujui atau mengadakan perjanjian yang
berada dalam lingkup usaha perusahaan sehari-hari.
Harus diperhatikan bahwa pemberian kewenangan secara tegas
ataupun tersirat dianggap sebagai kewenangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya. Dengan kata lain, kewenangan itu sungguh-sungguh ada.
Akan tetapi, dalam situasi dimana tidak ada kewenangan yang diberikan
baik secara tegas ataupun tersirat, seorang ‘agen’ tetap dapat mengikat
‘prinsipal’. Dalam hal ini, ‘agen’ dikatakan memiliki kewenangan yang
terlihat. Meskipun kewenangannya tidak sungguh-sungguh ada, sepanjang
tindakan ‘agen’ dapat mengikat ‘prinsipal’, suatu hubungan keagenan telah
terbentuk.
Alasan mengapa prinsipal dapat terikat berdasarkan cara ini adalah
karena hukum keagenan terutama berlaku dalam lingkup komersial dimana
kepastian transaksi merupakan hal yang penting. Dengan demikian, hukum
keagenan tidak dapat terbatas pada kasus-kasus dimana agen memiliki
kewenangan yang sesungguhnya, baik yang diberikan secara tegas ataupun
tersirat. Apabila transaksi-transaksi komersial dalam perekonomian modern
harus dilakukan secara cepat dan efisien, maka batas-batas tersebut akan
sangat memberatkan biaya untuk bertransaksi. Penyelidikan harus
dilakukan dan, dalam hal perusahaan, keputusan secara formal harus
diperoleh. Hal ini akan sangat tidak sesuai dengan tujuan diperbolehkannya
penggunaan agen-agen. Lebih lanjut, di dalam perdagangan modern,
seringkali dirasa perlu untuk memberikan keleluasaan sampai batas tertentu
kepada agen, misalnya untuk melakukan perundingan dan melakukan tahap
finalisasi atas ketentuan-ketentuan dari suatu perjanjian, terutama jika agen
adalah seorang karyawan senior dari organisasi usaha. Dengan keleluasaan
tersebut, kadangkala terjadi dimana agen bertindak di luar lingkup
kewenangannya yang sesungguhnya. Apabila terjadi demikian, maka agen
akan bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas pelanggaran terhadap
jaminan tentang kewenangan agen (lihat perkara Bagian 9 di bawah ini).
Akan tetapi, hal ini mungkin tidak memuaskan pihak ketiga, yang seringkali
lebih memilih untuk menghubungi prinsipal sehubungan dengan kontrak
yang telah diadakannya.
Dengan demikian, apabila tidak ada keadaan-keadaan tertentu
dimana hukum keagenan memperbolehkan kontrak-kontrak tersebut dapat
dilaksanakan, maka kepercayaan terhadap penggunaan agen akan sangat
terusik yang mana hal ini dapat menganggu kenyamanan dalam berdagang
dan efisiensi dalam pengoperasian pasar. Apabila hukum mengatur
sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun keadaan dimana prinsipal akan
selalu menghubungi prinsipal untuk memastikan pengadaan transaksi yang
bersifat mengikat. Prinsipal dapat mengelak dari perjanjian yang diadakan
oleh agennya tanpa wewenang, terlepas bagaimanapun pihak ketiga secara
obyektif sebagaimana layaknya berpikir bahwa agen telah diberikan
wewenang sebagaimana mestinya. Prinsipal juga tidak terdorong untuk
memiliki prosedur untuk memastikan bahwa para agennya bertindak secara
baik.
Dengan demikian, hukum keagenan telah mengembangkan suatu
doktrin kewenangan yang terlihat, dimana seorang agen yang kelihatannya
memiliki kewenangan dapat mengikat prinsipalnya ketika pihak ketiga
bertindak dengan mengandalkan kewenangan yang terlihat tersebut,
biasanya dengan mengadakan perjanjian dengan agen. Doktrin ini bukanlah
doktrin yang tanpa syarat, doktrin ini timbul ketika, berdasarkan fakta,
tampak atau terlihat seolah-olah seseorang (‘agen’) memiliki kewenangan
yang sesungguhnya. Kewenangan yang terlihat ini timbul karena ‘prinsipal’
melakukan atau mengatakan sesuatu, dengan kata lain, karena suatu
pernyataan dari ‘prinsipal’. Apabila pihak ketiga mengandalkan ini dan
mengadakan perjanjian dengan ‘agen’ karena meyakini bahwa ‘agen’
bertindak atas nama ‘prinsipal’, maka ‘prinsipal’ menjadi terikat. Penjelasan
yang paling umum untuk kewenangan yang terlihat adalah doktrin estoppe.
Kewenangan yang terlihat dapat timbul ketika seorang agen
melampaui kewenangannya atau ketika seseorang yang bukan agen terlihat
bertindak seperti agen karena apa yang dilakukan atau dikatakan oleh
‘prinsipal’. Misalnya, A telah ditunjuk untuk bertindak sebagai agen dari P.
Hubungan keagenan kemudian diakhiri oleh P tetapi A terus bertindak
yang tidak tahu bahwa hubungan keagenan telah diakhiri. P dengan
demikian terikat oleh tindakan A. Contoh lain adalah apabila P tidak pernah
menunjuk A sebagai agen P tetapi P memperbolehkan A bertindak
seolah-olah ia adalah agen, atau membuat T merasa yakin bahwa A adalah agen
dari P. Dalam situasi-situasi tersebut, P akan terikat dengan T apabila T
mengadakan transaksi dengan A yang dengan sengaja bertindak atas nama
P dalam lingkup kewenangannya yang terlihat.
Perlu diperhatikan bahwa kewenangan yang terlihat harus timbul
karena apa yang dilakukan oleh ‘prinsipal’. Seorang agen tidak dapat
membuat pernyataan mengenai kewenangannya dan mengikat prinsipal
berdasarkan apa yang dikatakan oleh agen itu sendiri. Apabila pendapat ini
tidak ada, maka setiap orang yang memiliki suatu hubungan dengan
prinsipal dapat mengaku bahwa ia memiliki kewenangan untuk mengikat
prinsipal dan dapat membuat prinsipal memiliki kewajiban kepada pihak
ketiga. Usaha-usaha dagang terpaksa harus mengambil langkah yang luar
biasa guna memberitahukan semua orang dan menjelaskan apa yang dapat
atau tidak dapat dilakukan oleh karyawannya, meskipun seringkali tidak
berhasil.
Kewenangan yang terlihat dapat timbul bahkan di perusahaan. Suatu
perusahaan dapat membuat pernyataan-pernyataan penting melalui
pejabatnya yang sah atau melalui salah satu organnya seperti direksi.
Kewenangan yang terlihat juga dapat membuat pihak ketiga
mengajukan gugatan terhadap prinsipal. Apabila prinsipal ingin mengajukan
gugatan terhadap pihak ketiga, ia tidak dapat mengandalkan kewenangan
yang terlihat karena ia jelas-jelas mengetahui bahwa agennya tidak memiliki
doktrin estoppel yang timbul dari tindakan prinsipal itu sendiri. Agar dapat
menggugat pihak ketiga, prinsipal harus mengesahkan tindakan agen.
Dasar Hukum Keagenan
Lembaga keagenan bukan merupakan lembaga baru dalam dunia
perdagangan di Indonesia, hanya saja undang-undang yang secara khusus
mengatur lembaga keagenan belum ada. Dengan demikian bukan berarti lembaga
keagenan beraktivitas tanpa aturan. Pijakan yuridis untuk beraktivitas, pranata
dagang yang disebut agen ini dapat dilihat dari :
1.
Kitab undang-undang Hukum perdata
Hal ini karena pola hubungan hukum yang terjadi antara prinsipal dengan
agen adalah perjanjian pemberian kuasa, maka ketentuan perjanjian pemberian
kuasa yang diatur dalam pasal 1792 sampai dengan 1819 KUHPerdata berlaku
sebagai dasar perjanjian keagenan. Selain itu, pranata hukum agen ini muncul
dalam praktik bisnis, sehingga dasar hukum diantara mereka dibangun atas dasar
perjanjian yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh Pasal
1338 ayat 1 KUHPerdata.
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Di dalam KUHDagang ada pengaturan yang berkaitan atau mirip dengan
keagenan, yaitu pengaturan tentang makelar (pasal 62 s/d 73 KUHD) dan
komisioner (pasal 76 s/d 85 KUHD), yang pada dasaranya berfungsi sebagai
pranata dagang. Dengan demikian pengaturan KUHD tentang makelar dan
bukan saja merupakan pekerjaan selingan dan bagian dari perusahaan pemberi
kuasa, tetapi merupakan perusahaan yang berdiri sendiri. Dengan demikian hukum
perusahaan berlaku pada agen.
3.
Pengaturan Administrasi
Walaupun agen, makelar, komisioner termasuk pranata, tetapi
ketentuan-ketentuan tentang makelar dan komisioner dalam KUHD dan ketentuan-ketentuan pemberian
kuasa dalam KUHPerdata tidaklah dapat diterapkan begitu saja untuk lembaga
keagenan.
21Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 1977 pemerintah telah
mengeluarkan peraturan pemerintah No. 36 tahun 1997 yang menentukan bahwa
perusahaan asing yang telah berakhir masa kegiatannya hanya dapat terus
melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan perdagangan
nasional sebagai penyalur/agen dengan membuat surat perjanjian. Dengan adanya
peraturan pemerintah ini, lembaga keagenan baru berkembang dalam dunia
perdagangan di Indonesia. Peraturan yang bersifat administratif lainnya
dikeluarkan Menteri Perindustrian yaitu SK Menteri Perindustrian No.
295/M/SK/1982 yang dalam pasal 22 menyebutkan bahwa
pengangkatan/penunjukan suatu perusahaan nasional oleh prinsipal asing wajib
dilakukan dengan suatu perjanjian yang berisfat akslusif untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan sifat dan tujuan penggunaan barang-barang modal dan
Artinya selain undang-undang tersebut di atas, lembaga keagenan ini
diperlukan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Peraturan yang
barang-barang modal dan barang-barang industri tertentu yang menjadi obyek
perjanjian. Selain peraturan tersebut masih ada beberapa peraturan administratif
yang lain.
Pelaksanaan Perjanjian Keaganen
Perjanjian baku adalah bentuk perjanjian yang disetujui oleh para pihak
dalam bentuk tertulis berupa formulir perjanjian yang telah ditentukan oleh pihak
pertama yaitu pihak prinsipal, dimana dengan demikian kontrak yang diadakan
merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku adalah
perjanjian yang dibuat secara kolektif dalam bentuk formulir. Pernyataan ini
sejalan dengan memperhatikan fakta dari format kontrak yang telah ditandatangani
oleh para pihak tersebut di atas secara awam dapat diketahui terdapat beberapa
bagian yang memang sengaja dikosongkan sebagai reservasi apabila ternyata
terdapat perbedaan antara kontrak distributor yang satu dengan kontrak yang
lainnya. Adapun bagian-bagian yang sengaja dikosongkan antara lain adalah :
1.
Kolom para pihak, khususnya kolom agen.
2.
Kolom Territory
3.
Kolom yang berkenan dengan masa berlaku perjanjian dan ketentuan-ketentuan
lain yang mengatur mengenai pembatasan jangka waktu (baik dalam hitungan
hari, bulan maupun tahun)
4.
Kolom Agen (dalam hal ini adalah agen pembayaran dalam transaksi ini yang
setiap saat dapat berubah)
21