• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan Dan Pada Dan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kekerasan Dan Pada Dan Anak"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Artikel 1

http://www.gizikia.depkes.go.id/sekretariat/dampak-kekerasan-terhadap-tumbuh-kembang-anak/

Jakarta– Direktorat Bina KesehatanAnak, Ditjen Bina Gizi dan KIA menyelenggarakan seminar “Dampak Kekerasan Terhadap Tumbuh Kembang Anak” dalam memperingati Hari Anak Nasional 2014 yang digelar di Aula Siwabessy gedung Kementerian Kesehatan pada selasa 1/8/2014. Selain dihadiri peserta dari instansi pelayanan kesehatan, guru, orang tua juga dari kepolisian.

Kasus kekerasan terhadap anak merupakan masalah sosial yang memiliki dampak besar pada aspek kesehatan yang berpengaruh buruk terhadap proses tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun psikologis terutama trauma psikologis yang berdampak pada penurunan kualitas hidup anak yang berada dalam proses tumbuh kembang antar usia 0-18 tahun.

Pembicara dalam seminar, selain pskiatri anak dan remaja, RSCM/FKUI, Bareskrim juga dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta.

Dalam masing-masing paparan nara sumber disinggug tentang menciptakan lingkungan yang kodusif untuk mencegah kekerasan terhadap anak, kerjasama kepolisian, masyarakat dan media dalam pelindungan perempuan dan anak, gerakan anti kejahatan seksual serta peran P2TP2A dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.

Tujuan penyelenggaran seminar selain untuk meningkatkan peran keluarga, pendidik, dan masyarakat dalam mencegah timbulnya kekerasan terhadap anak juga meningkatkan peran serta masyarakat, tenaga kesehatan serta lintas sektor terkait dalam menditeksi dan menindaklanjuti adanya kasus kekerasan terhadap anak, dengan harapan meningkatnya kerjasama jejaring dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak.

Menyinggung hal ini, Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA, dr.Anung Sugihantoro, M.Kes ketika membuka seminar itu menyampaikan bahwa salah satu tugas Kementerian Kesehatan adalah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada anak dan masyarakat, terkait kesehatan reproduksi, dampak kejahatan seksual terhadap tumbuh kembang anak, pemberdayaan anak, serta upaya lainnya.

Lebih jauh Dirjen Anung sampaikan, “Harus kita sadari bersama bahwa pada dasarnya semua pihak dapat berperan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak”.

(2)

Di bagian lain, Wakil Ketua Bidang Program P2TP2A, Jakarta, DR. Margaretha Hanita, SH.MSi, dalam paparannya berharap kepada para petugas kesehatan untuk menditeksi secara dini pasien korban kekerasan terhadap anak dan berikan pelayanan pasien yang menjadi korban dengan lebih responsif dan empati

Katanya lagi, “Laporkan kekerasan terhadap anak kepada polisi, kekerasan terhadap anak bukan delik aduan tetapi delik murni.!” ujar DR.Margaret bersemangat.

Artikel 2

http://www.sorasirulo.com/2014/06/28/kekerasan-pada-anak-dan-dampaknya/

Akhir-akhir ini banyak sekali kita saksikan dan dengarkan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang/ sekelompok orang terhadap orang lain. Kekerasan yang dilakukan bisa memiliki banyak alasan dan motivasi, tetapi perilaku kekerasan yang dilakukan memiliki dasar pengalaman kekerasan pada masa sebelumnya. Salah satunya adalah pengalaman mengalami perlakuan kekerasan pada masa kecil.

Kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk tindakan/ perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lainnya yang mengakibatkan cidera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh-kembangnya anak atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggungjawab.

□ Kekerasan fisik adalah kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali orangtua atau orang dalam hubungan posisi tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan.

□ Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau dengan anak lain.

(3)

□ Kekerasan emosional adalah suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Beberapa contoh kekerasan emosional adalah pembatasan gerak, sikap tindak meremehkan anak, mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek, atau menertawakan, atau perlakukan lain yang kasar atau penolakan.

□ Penelantaran anak adalah kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya seperti kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernaung, dan keadaan hidup yang aman yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh. Penelantaran anak dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial.

Kelalaian di bidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi, perawatan medis, mental, gigi, dan pada keadaan lainnya yang bila tidak dilakukan akan dapat mengakibatkan penyakitnya atau gangguan tumbuh kembang. Kelalaian di bidang bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus.

Kelalaian di bidang fisik meliputi pengusiran dari rumah atau menolak sekembalinya anak dari kabur dan pengawasan yang tidak memadai. Kelalaian dalam bidang emosional melipti kurangnya perhatian atas kebutuhan kasih sayang, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan narkoba oleh anak.

Dampak Kekerasan Terhadap Anak

Korban atau kasus anak yang mengalami kekerasan dapat berdampak jangka pendek ataupun jangka panjang.

(4)

 Jangka panjang. Dampak jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan fisik, seksual, maupun emosional.

1. Kekerasan fisik. Kecacatan yang dapat mengganggu fungsi tubuh anggota tubuh

2. Kekerasan seksual. Kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, gangguan /kerusakan organ reproduksi.

3. Kekerasan emosional. Tidak percaya diri, hiperaktif, sukar bergaul, rasa malu dan bersalah, cemas, depresi, psikosomatik, gangguan pengendalian diri, suka mengompol, kepribadian ganda, gangguan tidur, psikosis, dan penggunaan napza.

Penanganan Kekerasan Pada Anak

Pertama : Pencegahan. Aktivitas pencegahan ini dapat dilakukan secara bersama dalam bentuk sosialisasi hak-hak anak dan sejumlah peraturan ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan keluarga.

Kedua : Deteksi Dini. bagi anak-anak yang rentan terhadap terjadinya kekerasan serta dalam lingkungan keluarga dan masyarakat perlu dilakukan langkah cepat (quick response) untuk mengevakuasi sementara anak ke tempat yang aman, serta memberikan peringatan dini kepada lingkungan keluarga yang rentan melakukan kekerasan. Artinnya, bagi anak-anak yang rentan terhadap kekerasan sedini mungkin bisa dihindari.

Ketiga : Intervensi Krisis. Bagi anak-anak yang telah mengalami kekerasan, langkah yang perlu dilakukan melalui pendekatan Intervensi Krisis. Aktivitas ini dilakukan dengan metoda mendampingi korban dan keluarga korban untuk melakukan upaya hukum, dan melakukan terapy terhadap trauma yang diakibatkan oleh tindak kekerasan.

Menghindari Kekerasan Pada Anak

Ada beberapa upaya yang patut dilakukan agar kita dapat terhindar dari kekerasan terhadap anak diantaranya adalah : Hargai anak dan bersikap adil : Ciptakanlah suasana hangat dan penuh kasih sayang di lingkungan anak. Berilah penghargaan bila anak melakukan perbuatan terpuji dan beritahu kesalahannya bila melakukan tindakan tidak baik. Dengan demikian anak belajar menghargai orang lain, terutama orangtuanya.

(5)

□ Ungkapkan dengan jelas ketidaksetujuan anda ketika anak berperilaku tidak baik.

□ Hindari ungkapan yang memojokan dan menyalahkan anak. Hindari kata-kata menghardik seperti “Ayo, cepat mandi, mama tidak suka punya anak bau dan pemalas!”

□ Gunakanlah kata-kata mengajak, “Yuk mandi sayang, supaya wangi dan bersih. Setelah itu, kita jalan-jalan”.

□ Peringatan lebih awal. Ketika anda ingin anak anda melakukan sesuatu, cobalah ingatkan lebih awal dan berikan pilihan serta penjelasan. Misalnya, “Nak, sepuluh menit lagi waktunya tidur ya, supaya besok pagi kamu tidak terlambat bangun dan tidak mengantuk ketika sekolah” .

□ Menghindar ketika marah (time out). Ketika anda marah karena perilaku anak, maka menghindarlah seketika dari anak-anak kemudian tenangkanlah diri anda, setelah itu dialogkan dengan anak, mengapa anda marah.

□ Berupaya lebih akrab. Binalah hubungan yang lebih hangat dan akrab dengan anak, sehingga anak menjadi lebih terbuka pada orang tua.

□ Jadilah contoh bagi anak dalam menanamkan nilai-nilai moral dan sosial yang berlaku. Dunia anak adalah dunia yang penuh kegembiraan dan keceriaan, karena itu kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi anak-anak.

Artikel 3

https://nsholihat.wordpress.com/tag/dampak-psikologis-memukul-anak/

Di 29 negara, kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang dewasa adalah sebuah perbuatan melanggar hukum. Di 113 negara, sekolah juga dilarang memberikan hukuman dengan memukul. Dikutip dari Natural Growth, Dr. Peter Newell, koordinator organisasi End of Punishment of Children mengatakan, semua orang berhak mendapat perlindungan atas kebebasan fisik mereka, anak-anak termasuk orang yang berhak itu. Kedua kondisi diatas menunjukkan bahwa melakukan kekerasan pada anak, adalah sebuah masalah yang sangat penting sehingga perlu diatur dengan undang-undang, bahkan dibuat lembaga khusus untuk menangani dan mengurusi mereka yang dibentuk oleh negara. Secara psikologis dan jangka panjang, beberapa alasan mengapa kita tidak dibolehkan melakukan kekerasan pada anak adalah sebagai berikut:

(6)

pengamatan dan meniru orangtua mereka. Makanya jika Anda suka memukul, saat dewasa nanti, mereka pun akan menganggap apa yang Anda lakukan itu memang boleh dilakukan. Dan tanpa sadar, mereka juga akan melakukan cara yang sama untuk anak-anaknya. Maka melakukan kekerasan pada anak, akan menjadi semacam siklus seumur hidup yang jika tidak diputus, akan berulang terus pada beberapa generasi.

2. Hukuman kekerasan fisik malah membuat anak tidak belajar bagaimana seharusnya menyelesaikan konflik dengan cara yang efektif dan lebih manusiawi. Anak yang dihukum jadi memendam perasaan marah dan dendam. Anak yang dipukul orangtuanya pun jadi tidak bisa belajar bagaimana menghadapi situasi yang serupa di masa depan.

3. Hukuman untuk anak dengan kekerasan bisa mengganggu ikatan antara orangtua dan anak. Ikatan yang kuat seharusnya didasari atas cinta dan saling menghargai. Pukulan anda, akan membuat anak merasa tidak dihargai. Padahal harga diri yang positif, adalah aset bagi anak untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan sehat secara psikis. Mungkin saat Anda memukul anak, dan si anak kemudian menuruti perkataan Anda, tetapi apa yang dilakukannya itu hanya karena dia takut. Sikap itu pun tidak akan bertahan lama karena pada akhirnya anak akan memberontak lagi.

4. Pada anak yang mudah marah dan frustasi, kebiasaannya itu tidaklah terbentuk dari dalam dirinya. Kemarahan tersebut sudah terakumulasi sejak lama, sejak orangtuanya mulai memberinya hukuman dengan kekerasan. Mungkin pada awalnya hukuman itu memang sukses membuat anak bersikap baik. Namun, saat si anak beranjak remaja dan menjadi dewasa, hukuman itu malah menjadi semacam bahaya laten, yang jika ada masalah yang menjadi triggernya, tingkah laku kita saat menghukumnya malah menjadi bumerang buat kita sendiri.

5. Hukuman fisik bisa membuat anak menangkap pesan yang salah yaitu ‘tindakan itu dibenarkan’. Mereka merasa memukul orang lain yang lebih kecil dari mereka dan kurang memiliki kekuatan, adalah diperbolehkan. Saat dewasa, anak ini akan tumbuh menjadi orang yang kurang memiliki kasih sayang pada orang lain, empatinya menjadi kurang berkembang dan selalu merasa takut pada orang yang lebih kuat dari mereka.

(7)

Artikel 4

http://geraldinyesi.blogspot.com/2012/06/karya-ilmiah-tentang-kekerasan-terhadap.html BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus mengembuskan napasnya yang terakhir. Menurut data pelanggaran hak anak yangdikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Anak . Dari data induk lembaga perlindungan anak yang ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Disamping itu Komnas Anak juga melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat merekaseperti orang tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Data statistik tersebut, ditambah dengan data-data tentang jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak yang terpapar asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta kelahiran, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Kenakalan anak adalah hal yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orang tua, sehingga anak menerima hukuman dan bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bila hal ini sering dialami olehanak maka akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan anak akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga menurunkan prestasi anak disekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan teman - temannya menjadi terganggu, hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau membentak bila timbul rasa kesal didalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas,mengalami mimpi buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah.

(8)

1.2 Rumusan Masalah

Kekerasan yang dilakukan banyak orang terhadap anak dan perempuan, mempunyai dampak yang kurang baik. adapun seperti beberapa pertanyaan di bawah ini, antara lain:

1.2.1 Apakah kekerasan terhadap anak itu ?

1.2.2 Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang sering melakukan tindakan kekerasan tersebut ?

1.2.3 Apa yang terjadi pada anak jika kekerasan yang dilakukan sangat menyiksa ? 1.2.4 Berikan solusi untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak ? 1.2.5 Bagaimana upaya pemerintah untuk menyikap kekerasan tersebut ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui sebab-sebab terjadinya kekerasan pada anak.

1.3.2 Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat seseorang melakukan tindakan kekerasan. 1.3.3 Mengetahui kondisi anak yang mengalami tindakan kekerasan.

1.3.4 Mencari solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. 1.3.5 Mencari tahu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat Penulisan dari karya ilmiah ini adalah untuk menyadari orangtua bahwa sebenarnya kekerasan terhadap anak tidak lagi pantas dilakukan, karena anak-anak juga mendapat perlindungan dari Komisi Perlindungan Anak. Disini juga anak-anak harus menjaga sikap sehingga emosi orangtua tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dari dalam diri, baik orangtua maupun anak.

(9)

Bagi penulis

Untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia. · Bagi lembaga/ tempat.

Sebagai rujukan untuk penulis selanjutnya dalam menyelesaikan karya ini dengan topic yang sama. · Bagi masyarakat atau pembaca.

Sebagai pedoman agar tidak terjadinya tindakan kekerasan.

1.5 Sistematika penulisan

Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah 1.2 Rumusan masalah 1.3 Tujuan penulisan 1.4 Manfaat penulisan 1.5 Sistematika penulisan BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Uraian materi

BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian kekerasan terhadap anak

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.

(11)

2.2 Sebab terjadinya kekerasan pada anak

Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang melukai anaknya. Masyarakat sering beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya mengalami kelainan jiwa. Tetapi banyak pelaku penganiayaan sebenarnya menyayangi anak-anaknya namun cenderung bersikap kurang sabar dan kurang dewasa secara pribadi. Karakter seperti ini membuatnya sulit memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan

meningkatkan kemungkinan tindak kekerasan secara fisik atau emosional. Namun, tidak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penganiayaan pada anak. Hal itu terjadi sebagai akibat kombinasi faktor dari kepribadian, sosial dan budaya. Menurut Richard J. Gelles, Ph.D. Faktor-faktor penyebab penganiayaan ini dapat dikelompokkan dalam empat kategori utama, yaitu sebagai berikut :

2.2.1 Penyebaran perilaku jahat antar generasi

Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai model ketika mereka menjadi orang tua kelak.

Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak. Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.

2.2.2 Ketegangan Sosial

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :

• Pengangguran. • Sakit-penyakit.

• Kemiskinan dalam rumah tangga. • Ukuran keluarga yang besar.

• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah. • Kematian anggota keluarga.

• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.

2.2.3 Isolasi sosial

(12)

Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada anak.

2.2.4. Struktur Keluarga

Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak kekerasan pada anak. Sebagai contoh :

• Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit

mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.

• Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.

• Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.

2.3 Dampak kekerasan pada anak

Efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.

(13)

agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.

2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),

kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.

Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.

3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);

4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal

mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal

(14)

2.4 Solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. · Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup

Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.

· Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis

Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya. Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya,

menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point

Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).

· Membangun Komunikasi Yang Efektif

Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali

(15)

Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.

Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain

· Orang tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi

Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak

· Orang tua yang terlalu menuntut

Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.

· Orang tua yang terlalu keras.

Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).

2.5 Upaya yang dilakukan pemeritahan

Mengsosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak

merupakan masalah yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4). Sering pejabat terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana.

(16)

Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan rumah tangga.

Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.

Macam-macam kekerasan terhadap anak: 1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).

2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse). 3. PelecehanSeksual(SexualAbuse).

(17)

Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan: 1. Lingkaran kekerasan

2. Stres dan kurangnya dukungan 3. Pecandu alkohol atau narkoba

4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga

5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis. 6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.

Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah: 1) Kerusakan fisik atau luka fisik;

2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif

3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;

4) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri.

3.2 Saran

Dokter sebagai klinisi yang bertugas di lapangan harus mempunyai kemampuan dalam mengenali segala kemungkinan bentuk penyiksaan dan penelantaran anak, terutama sekali dari

kunjungan pasien ke tempat prakteknya. Manifestasi klinis yang didapatkan pada korban penyiksaan dan penelantaran anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis pada kasus kecelakaan biasa. Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam mengenalinya.

Dokter mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu dan kemudian bekerjasama dengan pihak lain seperti pekerja sosial dan penegak hukum dalam penindaklanjutan kasus penyiksaan dan penelantaran anak.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Jakarta : Penerbit Nuansa,Emmy

Soekresno S. Pd.(2007). Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan Terhadap Anak. Mafrukhi dkk. (2006). Kompeten Berbahasa Indonesia. Jakarta :Penerbit Erlangga.

Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go . Didwonload September 2007.http://www.setneg.go.id

Referensi

Dokumen terkait

Minyak ikan salmon, minyak cumi dan minyak kedelai mengandung asam lemak esensial yang berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan dan sintasan crablet sehingga dilakukan

Halaman pesanan akan menampilkan tentang status pemesanan barang yang konsumen pesan disetujui oleh admin atau tidak dan pada halaman ini konsumen juga dapat

Perusahaan harus menjaga semua aspek yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian, dalam penelitian ini citra merek, kualitas layanan dan harga harus sesuai dengan

Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini lebih berhasil menyusui eksklusif dan akan lebih lama disusui.. Hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di

Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon dengan memberikan nasehat, agar tidak terjadi perceraian dan Majelis

Pegadaian cabang Panam kota Pekanbaru Provinsi Riau untuk melakukan strategi tertentu disaat menjalankan tugas dalam memasarkan produk kepada masyarakat atau

user dan akan menampilkan “gagal login” Password dan username yang anda masukkan salah” 4 Mengetikkan salah satu kondisi salah pada username atau password kemudian

Upaya pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan di Indonesia mengacu pada Undang Undang No 23 tahu 1997, yaitu Pelestarian lingkungan hidup adalah rangkaian