• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna kekerasan pada anak usia sekolah dasar - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Makna kekerasan pada anak usia sekolah dasar - USD Repository"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Maria Lourdes W. NIM: 059114080

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Maria Lourdes W.

NIM: 059114080

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

“ Don’ t

Never

Give Up,

(6)

v

 

Anak‐anak belajar dari yang mereka alami  By Dorothy Law 

 

Bila anak‐anak hidup dengan kritikan, mereka akan belajar untuk menyalahkan 

Bila anak‐anak hidup dengan permusuhan, mereka akan belajar untuk bermusuhan 

Bila anak‐anak hidup dengan rasa takut, mereka akan belajar untuk mudah gelisah 

Bila  anak‐anak  hidup  dengan  dikasihani,  mereka  akan  belajar  untuk  menyesali kehidupannya 

Bila anak‐anak hidup dengan ejekan, mereka akan belajar untuk rendah diri 

Bila anak‐anak hidup dengan rasa iri, ia akan belajar untuk mudah iri hati pula 

Bila anak‐anak hidup dengan dipermalukan, ia akan belajar untuk merasa bersalah 

Bila anak‐anak hidup dengan dorongan, mereka akan hidup dengan penuh percaya diri 

Bila anak‐anak hidup dengan toleransi, mereka akan belajar untuk menjadi sabar 

Bila anak‐anak hidup dengan pujian, mereka akan belajar untuk menghargai 

Bila anak‐anak hidup dengan penerimaan lingkungannya, mereka akan belajar untuk  mencintai

Bila anak‐anak hidup dengan diterima orang lain, ia akan belajar untuk menyukai dirinya 

Bila anak‐anak belajar dengan pengakuan, ia akan belajar untuk memiliki tujuan hidup

Bila anak‐anak hidup dengan berbagi, mereka akan belajar untuk menjadi murah hati 

Bila anak‐anak hidup dengan kejujuran, mereka akan belajar kebenaran 

Bila anak‐anak hidup dengan kejujuran, mereka akan belajar keadilan 

Bila anak‐anak hidup dengan kebaikan hati dan pertimbangan, mereka akan belajar 

untuk menghargai 

Bila anak‐anak hidup dengan rasa aman, mereka akan belajar untuk yakin diri

(7)
(8)

vii

Ada keprihatinan tentang perilaku kekerasan di kalangan anak-anak baik anak sebagai pelaku ataupun korban. Anak dapat mempelajari kekerasan dari lingkungan di sekitarnya. Kekerasan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah semua tindakan yang disengaja maupun tidak disengaja yang menyebabkan orang lain terluka tidak hanya secara fisik. Kekerasan sama sekali tidak dapat diterima oleh masyarakat karena sifatnya yang destruktif. Dalam banyak kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak sebagai korban dan pelaku tampak bahwa sesungguhnya anak tidak paham apa yang mereka lakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengungkap makna kekerasan yang dipahami anak-anak, darimana dan bagaimana anak-anak mempelajari kekerasan, dan sikap anak terhadap kekerasan melalui interaksi anak dengan lingkungan sosialnya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma representasi sosial. Penelitian ini melibatkan 34 siswa dari tiga sekolah dasar di Yogyakarta. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara terbuka dengan menggunakan dua buah gambar netral untuk memancing jawaban anak-anak tentang kekerasan.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa obyektivikasi dalam penelitian adalah kekerasan pada anak adalah cara untuk mendidik, bermain, hiburan, dan pembelaan diri. Pemahaman anak diperoleh dari proses interaksi anak-anak dengan lingkungan sosial terdekat anak yang sarat dengan perilaku kekerasan. Sedangkan anchoring kekerasan dalam penelitian ini adalah kekerasan dianggap wajar oleh anak karena prakteknya yang terselubung dalam praktek pendidikan, permainan, hiburan, dan pembelaan diri. Kultur Jawa pun secara tidak langsung turut memberi ruang praktek kekerasan terus terjadi dalam masyarakat. Kultur Jawa yang mendukung adanya senioritas memberi peluang orangtua untuk menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mendidik anaknya. Anak pun hanya dapat patuh karena dalam kultur Jawa anak harus hormat dan patuh kepada orang yang lebih tua. Televisi juga terus saja menayangkan kekerasan dalam bentuk tayangan yang menghibur sehingga melanggengkan kekerasan terjadi di masyarakat. Implikasi dari praktek kekerasan yang terselubung adalah kekerasan bisa terulang tanpa pernah bisa dihentikan siklusnya.

(9)

viii

There is a concern about violence behavior which happens to children either as an actor or a victim of violence. Children can learn violence from their surrounding area. In this research, definition of violence is every intentional or unintentional behavior which can hurt anybody not only physically but also psychology. Violence absolutely cannot be accepted by society. It is because violence is characterized as a destructive behavior. In many cases of violence, there are a lot of children involved not only as an actor but also the victim of the violence but actually they do not understand what they did. This research would like to reveal the meaning of violence in which the children understand the violence, how the children learn the violence and the attitude of children to violence through children interaction to their social environment.

This research used qualitative approach and social representative paradigm. This research involved 34 students of three elementary schools in Yogyakarta. Data collection was done by using open interview method which utilizing two neutral pictures in discovering the children’s answers about violence.

The result of this research revealed that the violence objectifications to children are the way to educate, play, entertain, and do self defense. Children understanding toward violence are taken from children interaction to their closer social environment which is full of violence behavior. The anchoring of violence is considered natural by the children. It is because violence happens in education practice, children games, entertainment, and self defense. Javanese culture gives indirectly space to continue violence practice in society. Javanese culture which supports seniority aspect, gives the chance for parents to misuse their authority to educate their children. Children who live in Javanese family culture can only obey to older people as like as the rule in Javanese culture for being an obedience person. Television also keeps showing violence which can entertain the audience. So that it can preserve violence in society. The implication of veiled violence practice is that violence can happen repeatedly and nobody can stop the cycle.

(10)
(11)

x

atas segala rahmat dan anugerah yang telah diberikan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan

membantu dengan sabar dan tekun selama proses pengerjaan skripsi ini :

1. Ibu Dr. Christina S. Handayani yang telah mendukung, membimbing, dan

mengarahkan, dan memotivasi saya selama pengerjaan skripsi ini.

2. Ibu Maria Laksmi Anantasari, S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing

akademik yang telah juga turut memotivasi saya lewat pesan singkatnya.

3. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

yang telah memberikan wawasan dan ilmunya kepada penulis selama kuliah.

4. Mas Gandung dan Mba Nanik, Mas Muji, Mas Doni terima kasih atas segala

bantuannya.

5. Seluruh keluargaku tercinta terutama ibu yang tidak lelah mengingatkan untuk

segera menyelesaikan kuliah.

6. Teman-teman seperjuangan Repsos (Arya, Tiwi, Alma, Wida, Sinta, Bela, dan

Luki) dan temen-teman bimbingan Ibu Siwi yang lain (Wira, Gita, Mbak

Nana, Iin) yang telah menjadi Keluarga Cemara terima kasih atas segala

supportnya dan segala cerita suka duka selama kita berjuang bersama.

7. Tris Saputra, makasih dah jadi tempatku berkeluh kesah, marah, nangis, dan

(12)

xi

9. Sahabat-sahabatku di Banjarbaru yang juga mendukungku dan mengingatkan

untuk segera menyusul mereka menjadi sarjana.

10.Kepala Sekolah SD Negeri Timbulharjo, SD Muhammadiyah, dan SD

BOPKRI Gondalayu serta siswa-siswa di tiga sekolah dasar tersebut. Terima

kasih atas ijin dan dukungan selama proses pengambilan data.

11.Teman-teman di kos yang juga selalu mendukungku. Terima kasih.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah

berperan dalam proses studi khususnya dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari karya ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu

dengan segala kerendahan hati dan keterbukaan, penulis menerima kritik dan

saran demi penyempurnaan skripsi ini.

Yogyakarta, 10 Februari 2010

(13)

xii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Paradigma Representasi Sosial ... 9

B. Kekerasan ... 12

B.1 Definisi Kekerasan ... 12

B.2 Tipe Kekerasan ... 15

C. Konteks Penelitian : Anak Sekolah Dasar ... 15

C.1 Kontribusi Kultur dan Media Dalam Pemaknaan Kekerasan Oleh Anak 15 C.2 Tahapan Perkembangan Anak ... 17

1)Perkembangan Kognitif ... 17

2)Perkembangan Psikososial ... 18

(14)

xiii

A. Jenis Penelitian ... 29

B. Responden Penelitian ... 31

C. Batasan Istilah ... 31

D. Metode Pengumpulan Data ... 32

D.1 Penelitian Pendahuluan ... 32

D.2 Proses Pengambilan Data ... 34

D.2.a Wawancara ... 34

D.2.b Observasi ... 39

E. Teknik Analisis Data ... 39

F. Kredibilitas Penelitian ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 43

A.1 Tahapan Pemilihan Responden ... 43

A.2 Tahapan Pengambilan Data ... 44

B. HASIL PENELITIAN ... 45

B.1 Data Demografi Responden ... 45

B.1.a Demografi Responden ... 45

B.1.b Deskripsi Data Demografi Responden ... 45

B.2 Hasil Analisis Data ... 46

B.2.a Pengalaman Responden Tentang Kekerasan ... 47

1)Responden sebagai Korban ... 48

a. Pelaku dan Tipe Kekerasan Terhadap Responden ... 48

b. Alasan Pelaku Melakukan Kekerasan Kepada Responden .... 51

c. Perasaan Responden sebagai Korban ... 60

2)Responden sebagai Pelaku ... 63

a. Korban dan Tipe Kekerasan Responden ... 63

(15)

xiv

b. Sikap Responden Terhadap Teman yang Melakukan

Kekerasan ... 75

c. Sikap Responden Terhadap Kakak yang Melakukan Kekerasan ... 77

B.2.b Sumber Anak Belajar Kekerasan ... 78

B.2.c Pengalaman Kekerasan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 80

1)Responden sebagai Korban ... 80

2)Responden sebagai Pelaku ... 83

B.2.d Hasil Metode Observasi ... 84

C. PEMBAHASAN ... 87

C.1 Makna Kekerasan: Kekerasan Selalu Terselubung ... 88

C.1.a Kekerasan Terselubung Atas Nama Pendidikan ... 89

C.1.b Kekerasan Terselubung dalam Bentuk Permainan dan Hiburan .... 93

C.1.c Kekerasan Terselunung sebagai Cara untuk Membela Diri ... 94

C.2 Sikap Anak Tentang Kekerasan ... 96

C.3 Kekerasan sebagai Representasi Sosial dan Hasil Belajar Anak ... 97

D. Skema Pembahasan ... 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA

(16)

xv

Tabel 2 : Pedoman Pertanyaan untuk Mengetahui Lebih Dalam Pengalaman

Responden Terhadap Kekerasan ... 38

Tabel 3 : Demografi Responden ... 45

Tabel 4 : Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Respon ... 48

Tabel 5: Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Responden ... 50

Tabel 6 : Alasan Orangtua Melakukan Kekerasan Berdasarkan Jumlah Respon ... 51

Tabel 7 : Alasan Orangtua Melakukan Kekerasan Berdasarkan Jumlah Responden 53 Tabel 8 : Alasan Teman Melakukan Kekerasan ... 54

Tabel 9 : Alasan Kakak Melakukan Kekerasan ... 56

Tabel 10: Alasan Adik Melakukan Kekerasan ... 58

Tabel 11: Alasan Guru Melakukan Kekerasan ... 59

Tabel 12: Perasaan Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Respon ... 60

Tabel 13: Perasaan Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Responden .. 62

Tabel 14: Responden sebagai Pelaku Berdasarkan Jumlah Respon ... 63

Tabel 15: Responden sebagai Pelaku Berdasarkan Jumlah Responden ... 64

Tabel 16: Alasan Responden Melakukan Kekerasan kepada Teman ... 66

Tabel 17: Alasan Responden Melakukan Kekerasan Kepada Adik ... 68

Tabel 18: Alasan Responden Melakukan Kekerasan Kepada Kakak ... 69

Tabel 19: Perasaan Responden sebagai Pelaku Berdasarkan Jumlah Respon ... 70

Tabel 20: Perasaan Responden sebagai Pelaku Berdasarkan Jumlah Responden .... 71

Tabel 21: Alasan Orangtua Boleh Melakukan Kekerasan ... 72

Tabel 22: Alasan Orangtua Tidak Boleh Melakukan Kekerasan ... 73

Tabel 23: Alasan Kekerasan Tidak Boleh Dilakukan Teman ... 75

Tabel 24: Alasan Kekerasan Boleh Dilakukan Teman ... 75

Tabel 25: Alasan Kekerasan Tidak Boleh Dilakukan Kakak ... 77

(17)

xvi

(18)

xvii

Lampiran 2 : Deskripsi Data Demografi Responden ... 109

Lampiran 3 : Tabulasi Kategori Responden Sebagai Korban ... 110

Lampiran 4 : Tabulasi Kategori Responden Sebagai Pelaku ... 127

Lampiran 5 : Tabulasi Demografis Responden Sebagai Korban ... 131

(19)

1 A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan kasus kekerasan anak di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terjadi 1.926 kasus kekerasan sepanjang tahun 2008 di Indonesia. Dari jumlah tersebut 28% diantaranya terjadi di lingkungan sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan pekerjaan. Selain itu, KPAI pun mencatat dari 28% kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, 42% diantaranya dilakukan oleh teman sekolah

(“28 %”, 2008). Sementara itu, lembaga Rifka Annisa dari tahun 2000-2008

mencatat terjadi 266 kasus kekerasan seksual pada anak di Yogyakarta. Dari 266 kasus tersebut, 64 kasus diantaranya dilakukan oleh anak-anak (“Awas Kekerasan

Anak”, 2008). Meninggalnya Resa Ikhzan Fadillah (9) setelah bermain

smackdown dengan temannya pada tahun 2008 (Mardiana, 2006) dan Edo Rinaldo

(8), setelah dikeroyok oleh empat temannya pada tahun 2007 (“Murid Kelas II

SD”, 2007) menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini. Data dan kasus di atas

juga menunjukkan adanya pergeseran usia pelaku dimana anak-anak menjadi pelaku kekerasan.

(20)

cara mengasuh anak. Seringkali orangtua tidak sadar telah bersikap keras meskipun lebih dimaksudkan untuk mengajarkan kedisiplinan dan kesopanan (“70

Persen Kekerasan”, 2005). Orangtua tampaknya semakin jarang menerapkan

bentuk hukuman yang tidak melibatkan kekerasan seperti pengurangan hak (uang saku dikurangi, tidak boleh makan, tidak boleh diajak ke rumah makan), penambahan tugas (menyapu halaman, mencuci piring, harus menyalin tulisan berkali-kali), dan pengurangan kenikmatan (tidak boleh bermain, tidak boleh menonton televisi) (Familia, 2004). Di samping itu, dari kacamata orangtua hukuman diterapkan kepada anak demi kebaikan anak (Gordon, 1985). Pandangan ini dapat muncul karena sebagai orangtua, orangtua merasa paling tahu apa yang terbaik bagi anak. Orangtua menggunakan kekuasaan yang dimiliki sebagai orangtua untuk mempermudah mereka mengajarkan kedisiplinan dan kesopanan kepada anak. Ketidaktahuan orangtua dalam mendidik anak dapat pula terlihat dalam praktek pendidikan di sekolah.

Data survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia selama Januari hingga April 2008 menyatakan jumlah kasus kekerasan terhadap anak berusia 0 – 18 tahun di Indonesia, terdata 95 kasus. Dari jumlah itu, persentase tertinggi yaitu

39,6 % diantaranya, dilakukan oleh guru (“39,6 % kekerasan”, 2008). Hasil survei

(21)

Para senior turut menunjukkan kuasanya pada junior yang biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi dari pihak pengajar. Tindakan senioritas dapat terjadi saat Orientasi Studi dan Perkenalan Siswa (OSPEK), saat jam-jam istirahat, atau saat jam pulang sekolah. Senior merasa lebih berkuasa, dominan dan merasa punya hak-hak istimewa untuk mensubordinasi dan mengeksploitasi juniornya dalam berbagai aspek. Menurut pengakuan Miko, siswa kelas II IPS SMA Pangudi Luhur, tindakan kekerasan yang dia dan teman-temannya lakukan untuk melatih mental junior agar tidak bermental lembek. Miko bahkan kemudian menganalogikan tindakan kekerasan yang dia dan teman-temannya lakukan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orangtua. Selain itu, dalam perspektif para senior, junior memang harus menghormati senior sebagai orang

yang lebih tua di sekolah (“Senioritas Makan”, 2007). Berdasarkan pengakuan

senior ini tampak bahwa kekerasan yang dilakukan kepada junior bertujuan memperlihatkan dominasi, mengatasnamakan pendidikan dan dipelajari dari tindakan kekerasan yang dilakukan orangtua.

(22)

dengan permainan virtual. Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 menunjukkan bahwa anak-anak menghabiskan waktu 10 jam bermain video games (“Info Lengkap Hari”, 2009). Banyak games bertema kekerasan menjadi game favorit anak-anak. Dalam game-game ini membunuh musuh dan menjadi pemenang menjadi sebuah ketertarikan kenikmatan tersendiri. Disamping itu, anak-anak bermain menjadi penguasa dengan cara kekerasan. Bahayanya dari games adalah anak-anak tidak diberi kesempatan berpikir dan merefleksikan apa yang dimainkan karena game bersifat teknis-mekanis interaktif (Wattimena, 2008).

(23)

Di samping itu, beberapa penelitian lain terhadap anak dan remaja menyatakan bahwa jenis kelamin, kondisi psikologis pelaku dan korban, dan jaringan sosial dapat menyebabkan terjadinya pelaku kekerasan di kalangan anak dan remaja (Gini, Pozzoli, 2006; Moutappa, Valente, Gallaher, Rohrbach, Unger, 2004; Seals, Young, 2003; van der Wal, de Wit, Hirasing, 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih berpotensi melakukan kekerasan daripada anak perempuan, anak yang memiliki harga diri tinggi dan tindakan nakal (delinquent) menunjukkan tindakan kekerasan, dan anak-anak yang memiliki teman yang agresif berpotensi melakukan kekerasan.

(24)

kekerasan sebagai cara untuk bermain dan tidak mengerti ada konsekuensi yang berakibat fatal dari tindakannya.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab keprihatinan pada permasalahan anak-anak yang melakukan kekerasan seperti yang dipaparkan di atas dengan melihat bagaimana pemaknaan anak tentang kekerasan ditinjau dari pengalaman anak, darimana mereka belajar melakukan kekerasan, dan sikap anak terhadap kekerasan. Penelitian ini nantinya dapat memberikan gambaran tentang pemaknaan kekerasan yang dimiliki oleh anak sehingga orangtua dapat memberikan informasi tentang kekerasan yang tepat sesuai pemahaman anak.

(25)

dan mendidik. (Poerwandari, 2004; Fromm, 2008; Sears, Freedman, Peplau, 2004). Dengan adanya perbedaan mendasar antara agresi dan kekerasan maka penelitian ini akan fokus pada agresi yang bersifat destruktif atau kekerasan dan bukan agresi kostruktif karena tindakan yang dilakukan anak pada kasus kekerasan anak mengarah pada tindakan kekerasan yang menyebabkan orang lain terluka.

Representasi sosial adalah salah satu paradigma yang akan digunakan untuk mengungkap permasalahan ini karena dapat membantu mengungkap pengetahuan sehari-hari anak tentang kekerasan sebagai suatu konsep yang selalu tumbuh, berkembang, dan dikomunikasikan dalam masyarakat. Representasi sosial merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Melalui paradigma ini peneliti akan mengungkap makna kekerasan yang dipahami anak melalui pengalaman anak tentang kekerasan, darimana dan bagaimana anak-anak mempelajari kekerasan, dan sikap anak-anak terhadap kekerasan melalui interaksi anak dengan lingkungan sosialnya.

B. RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimana pengalaman anak-anak tentang kekerasan dalam kehidupan sehari-hari?

2) Bagaimana dan darimana anak-anak mempelajari indakan kekerasan? 3) Bagaimana sikap anak terhadap tindakan kekerasan yang terjadi di sekitar

(26)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan makna kekerasan melalui pengalaman anak-anak tentang kekerasan, cara dan sumber anak-anak mempelajari kekerasan, dan sikap anak terhadap tindakan kekerasan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi tentang kekerasan dalam perspektif anak khususnya pemaknaan anak tentang kekerasan.

(27)

9

Dalam bab ini akan disajikan beberapa teori yang dapat membantu mengungkap makna kekerasan dari perspektif anak. Oleh karena penelitian ini menggunakan paradigma representasi sosial maka bab ini akan dimulai dengan pengertian representasi sosial. Kemudian dilanjutkan dengan deskripsi mengenai definisi dan tipe kekerasan. Teori perkembangan kognitif anak juga dipaparkan sebagai konteks yang diteliti dalam penelitian ini. Peneliti juga akan memaparkan tentang paradigma representasi sosial sebagai perspektif yang membantu mengungkap makna kekerasan pada anak.

A. Paradigma Representasi Sosial

(28)

diinterpretasikan dalam ingatan tentang representasi mental, objek dan kejadian dalam dunia sosialnya sehingga individu dapat membuat dunianya bermakna dan fokus pada proses komunikasi interpersonal (Wagner, dkk., 1999).

Inti dari representasi sosial adalah keyakinan yang menyatakan bahwa kondisi psikologis individu merupakan produk sosial yang berfungsi sebagai pedoman tindakan bagi individu-individu yang tergabung dalam lingkungan sosial yang sama. Representasi tidak "secara individual dihasilkan melalui replika dari data persepsi" tetapi dilihat sebagai ciptaan sosial. Oleh karena itu, representasi sosial dilihat sebagai bagian dari realitas sosial. Moscovici (dalam Walmsley, 2004) mengatakan bahwa representasi sosial dirumuskan melalui tindakan dan komunikasi di masyarakat, memahami serta mengkomunikasikan apa yang sudah kita pahami dengan cara tertentu. Tujuannya yakni untuk mempelajari hubungan yang terjadi antara pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan keilmuan; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial; pembiasaan akan hal-hal baru dan pemahaman kebaruan tersebut berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika sosial (Jodelet, 2006).

(29)

individual anak melainkan makna sebagai hasil produk sosial interaksi anak dengan masyarakat.

Dalam rangka mempelajari pengetahuan yang bersifat umum dan pengetahuan keilmuan, ada dua konsep sentral dari proses representasi sosial, yakni anchoring dan objectification. Anchoring merupakan sebuah proses yang hendak menemukan akar dari suatu ide atau pengetahuan, untuk mereduksinya ke dalam suatu kategori dan gambaran asal, sehingga menjadikannya berada dalam konteks yang familiar (Moscovici, 2001). Objectification merupakan sebuah proses menerjemahkan ide-ide dan konsep-konsep abstrak ke dalam sebuah gambaran konkrit ataupun menghubungkannya ke dalam suatu objek konkret (Moscovici, 2001).

(30)

praktek yang dimiliki anak terkait kekerasan.

Sikap dalam representasi sosial adalah sikap sosial, yakni suatu hasil konstruksi dan evaluasi terhadap suatu obyek pikiran. Sikap sosial terbentuk dari interaksi sosial yang dialami individu. Sikap sosial anak tentang kekerasan akan mengacu pada kumpulan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan sosial, baik itu berupa informasi tentang kekerasan yang dimilik anak sendiri dan dibagikan anak pada anggota kelompok lain, atau informasi tentang kekerasan dari anggota kelompoknya yang dapat mempengaruhi sikap anak terhadap kekerasan (lihat Wagner, 1999).

B. Kekerasan

B.1 Definisi Kekerasan

(31)

terluka bahkan kematian (Sears, Freedman, Peplau, 2004; Baron and Byrne, 2006; Fromm, 2008)

Pembedaan dasar antara agresi dan kekerasan adalah pada tindakan dua sifat agresi yaitu agresi yang bersifat destruktif dan agresi yang bersifat konstruktif. Tindakan agresi bisa bersifat konstruktif ketika dilakukan sebagai upaya pembelaan diri atau melindungi diri (misalnya dari binatang buas, penjahat dan sebagainya) (Fromm, 2008; Poerwandari, 2004; Sears, Freedman, Peplau, 2004).

Dalam tindakan agresi konstruktif ada pula istilah agresi prososial yang merupakan tindakan agresif yang diatur oleh norma sosial dan dianggap sebagai perilaku agresif yang baik, misalnya disiplin yang diterapkan orngtua, patuh kepada komandan, dan lain-lain. Agresi yang bersifat konstruktif dan agresi prososial ini diterima oleh masyarakat sosial karena ditujukan untuk mempertahankan atau melindungi hidup dan menegakkan disiplin dalam masyarakat.

(32)

Paparan tentang perbedaan agresi dan kekerasan jelas menunjukkan bahwa dalam masyarakat tindakan agresi masih diperbolehkan jika dilakukan untuk mendidik dan mempertahankan diri. Khusus tindakan agresi konstruktif untuk membela diri, meskipun tindakan agresi ini berakibat fatal namun masih diterima oleh masyarakat karena alasan untuk membela diri. Tindakan agresi untuk membela diri tidak masalah dilakukan sedangkan kekerasan sama sekali tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini lebih fokus pada kekerasan atau agresi yang bersifat destruktif karena tindakan anak-anak sudah mengarah pada kekerasan atau agresi yang destruktif yang berakibat fatal.

WHO (dalam Orpinas dan Horne, 2006) mendefinisikan kekerasan sebagai perilaku yang sengaja menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan melawan diri sendiri, orang lain, atau sebuah kelompok atau komunitas yang menyebabkan luka, kematian, masalah psikologis, maldevelopment, atau deprivasi. Poerwandari (2004) mendefinisikan kekerasan dalam dua batasan yaitu :

Tindakan yang sengaja untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan, melalui cara-cara fisik, psikologis, deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya, dalam beragam bentuknya. (penekanan pada intensi)

Tindakan yang mungkin tidak disengaja, bukan intensional, tetapi didasari oleh ketidaktahuan (ignorancy), kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain, yang menyebablan subyek secara langsung atau tak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dominasi, perendahan manusia lain...(h.13)

(33)

B.2 Tipe Kekerasan

Ada beberapa tipe perilaku kekerasan, yaitu (Poerwandari, 2004) :

a) Kekerasan Fisik : pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk melukai orang lain, dan lain-lain.

b) Kekerasan Seksual : pemerkosaan, upaya fisik untuk melukai pada alat seksual, dan lain-lain.

c) Kekerasan Psikologis : penyerangan harga diri, merendahkan, penghancuran motivasi, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, terror dalam banyak manifestasinya.

d) Kekerasan Deprivasi : penelantaran, penjauhan dari pemenuhan kebutuhan dasar dalam berbagai bentuknya.

Jadi, kekerasan adalah perilaku yang dilakukan dengan sengaja atau tidak disengaja yang menyebabkan orang lain terluka secara fisik, psikologis, deprivasi bahkan mengakibatkan kematian.

C. Konteks Penelitian : Anak Sekolah Dasar

C.1 Kontribusi Kultur dan Media Dalam Pemaknaan Kekerasaan Oleh Anak

(34)

perkembangan kognitif anak yang masih terbatas. Perkembangan kognitif anak yang baru sampai pada tahap operasional konkret memunculkan dugaan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan anak merupakan hasil belajar dari mengamati kekerasan yang dilakukan orang-orang di sekitar mereka dan kekerasan yang tampil di media atau pengalaman anak-anak sendiri.

Kultur Jawa dianggap memiliki peran serta dalam pemaknaan anak tentang kekerasan. Dalam kultur Jawa, orangtua dan guru memiliki ruang untuk melakukan kekerasan karena kultur Jawa sangat hierarkis. Selain itu, batasan sejauh mana tindakan kekerasan boleh dilakukan tidak jelas dalam mesyarakat. Oleh sebab itu, orangtua dan guru rentan untuk melakukan kekerasan dalam mendidik anak. Kedudukan dan kekuasaan yang dimiliki sebagai orang yang lebih tua memungkinkan mereka untuk melakukan kekerasan sebagai proses pembelajaran bagi anak. Kondisi kultur yang demikian membuat anak tidak mengetahui batasan kekerasan boleh dilakukan karena ada pengaruh kekuasaan yang digunakan untuk alasan mendidik.

Media massa pun dianggap memiliki peran dalam pemaknaan anak terhadap kekerasan. Media massa terutama televisi memborbardir anak dengan tayangan-tayangan yang sarat dengan kekerasan. Dalam tayangan-tayangan tersebut, kekerasan ditangkap sebagai sebuah hiburan yang menyenangkan (”Kartun Picu”, 2007; Mahayoni & Lim, 2008). Selain itu, games

(35)

anak bahwa kekerasan merupakan perilaku yang dapat membuat orang lain terluka. Melainkan menunjukkan kekerasan dalam bentuk hiburan dan permainan.

Dari uraian bagian ini, dapat disimpulkan bahwa konsep kekerasan di mata anak tidak dapat dipahami lepas dari konteks sosial anak. Proses psikologis seperti berpikir, mengamati, mengalami, dan merasa anak-anak terjadi saat kekerasan terjadi di sekitar mereka.

C.2 Tahapan Perkembangan Anak

Responden dalam penelitian ini adalah anak-anak usia sekolah dasar (6-12 tahun). Undang-undang perlindungan anak No. 23 tahun 2002 mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang berada dalam kandungan. Santrock (2007) mengklasifikasikan usia 6-12 tahun ke dalam masa pertengahan dan akhir anak-anak. Tetapi ahli perkembangan lain menyatakan usia tersebut berada dalam masa pertengahan anak (Papalia, Olds, Wendkos, Feldman, 2006). Perbedaan ini memutuskan peneliti untuk mengklasifikasikan responden pada masa anak-anak usia sekolah dasar. Pada masa ini ada beberapa tahapan penting perkembangan yang harus dilalui anak, yaitu :

1) Perkembangan Kognitif

(36)

pada situasi nyata di sini dan sekarang (Papalia et all, 2006). Jadi, anak-anak lebih cepat memproses informasi dari yang mereka lihat dan dengar.

Hukuman dan hadiah dapat menjelaskan proses perkembangan kognitif anak tersebut. Saat orangtua, kakak, dan guru memberikan hukuman atau hadiah, anak-anak mengetahui bahwa ada perilaku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, dan ada perilaku yang benar dan salah. Jadi, anak-anak belajar bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan memiliki konsekuensinya baik implikasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi anak.

2) Perkembangan Psikososial

Usia sekolah dasar adalah masa penting anak bersosialisasi dengan lingkungan pergaulannya. Anak-anak mulai mengembangkan hubungan sosial dengan teman sebaya. Anak-anak memilih teman sesuai dengan keinginannya seperti jenis kelamin sama, ketertarikan yang sama, usia yang sama, dan lain-lain. Bersama teman, anak-anak belajar berkomunikasi, bermain, dan bekerja sama. Mereka belajar tentang diri sendiri dan orang lain. Pada akhirnya anak-anak dapat membedakan antara sahabat, teman yang baik, dan teman yang tidak baik (Papalia et all, 2006).

(37)

mereka mendapatkan reward yaitu apa yang mereka inginkan. Oleh sebab itu, anak-anak kemudian menganggap kekerasan adalah cara yang efektif untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan (Papalia et all, 2006). Selain itu, anak-anak melakukan kekerasan untuk mendominasi dan mengontrol orang lain demi status dan dominasi mereka (Widyarini, 2009; Papalia et all, 2006).

Berdasarkan uraian kedua tahapan perkembangan anak sekolah dasar di atas, anak-anak lebih cepat mempelajari makna kekerasan lalu dapat melakukan kekerasan dari contoh yang anak-anak lihat dan dengar saat orang-orang di sekitar mereka melakukan kekerasan terhadap mereka.

D. Representasi Sosial Anak Tentang Kekerasan

D.1Proses Tebentuknya Pemaknaan Kekerasaan Pada Anak

Menurut paradigma representasi sosial, perilaku individu dipengaruhi oleh proses interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Selama proses interaksi ini melibatkan proses kognitif, pengalaman, ide-ide, nilai budaya, sikap dan lain-lain (Wagner, dkk., 1999; Walmsley, 2004). Anak dapat melakukan kekerasan dari proses interaksinya dengan lingkungan terdekat anak seperti keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Selain itu ada pula interaksi anak dengan media massa seperti televisi dan video game.

(38)

menggunakan hukuman dan hadiah dengan tujuan agar anak melakukan sesuatu sebagaimana yang dikehendaki atau mencegah melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki orangtua (Gordon, 1987; Ormrod, 2003).

Hukuman yang diberikan orangtua dapat berupa fisik (dijewer, dipukul, dicubit), psikologis (dimarahi di depan anggota keluarga lain, dimaki), pengurangan hak (uang saku dikurangi, tidak boleh makan, tidak boleh diajak ke rumah makan), penambahan tugas (menyapu halaman, mencuci piring, harus menyalin tulisan berkali-kali), dan pengurangan kenikmatan (tidak boleh bermain, tidak boleh menonton televisi). Sedangkan hadiah dapat diberikan berupa senyuman, pelukan, pujian, liburan atau memberikan barang-barang yang diinginkan anak (Papalia et all, 2006; Ormrod, 2003; Familia, 2004). Namun dalam prakteknya, seringkali orangtua menggunakan hukuman fisik bahkan sampai melibatkan kekerasan dalam mendidik anak.

(39)

kooperatif dan tingginya respon dan perilaku kekerasan dan negatif. Para orangtua sering menghardik, mencaci, atau mengancam anak ketika anak-anak menggerutu atau tidak mematuhi perintah orangtua. Anak-anak kemudian mempelajari situasi ini di rumah. Anak-anak menjadikan orangtua sebagai model dan belajar bahwa melakukan kesalahan dan tidak mematuhi orangtua memberikan dampak yang tidak menyenangkan.

(40)

Menurut Palmier (1969), kekuasaan dipakai untuk mengekspresikan kemampuan seseorang atau kelompok meraih tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) kekuasaan berarti kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekuatan. Berdasarkan ketiga pengertian tersebut kekuasaan adalah kemampuan yang ada pada seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuannya.

Jika dilihat dari definisi tersebut maka banyak orang atau kelompok berusaha untuk memperoleh kemampuan tersebut demi mencapai tujuannya. Palmier (1969) menyebut kemampuan ini sebagai status atau otoritas. Palmier kemudian melanjutkan bahwa status ini merupakan kekuasaan yang terlegitimasi atau dengan kata lain kekuasaan berasal dari status. Status seseorang atau kelompok dengan orang atau kelompok lain tentu berbeda-beda. Dengan demikian, kekuasaan muncul dari adanya perbedaan dalam hubungan atau status. Foucault mendukung hal tersebut dengan menyatakan bahwa kekuasaan menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan nampak jelas ketika berbicara kekuasaan dalam bingkai „hubungan kekuasaan: orangtua/anak, anak muda/dewasa,

pendidik/murid, pemerintah/penduduk” (Haryatmoko, 2009). Dengan

demikian, hubungan-hubungan kekuasaan ini menunjukkan adanya relasi senior-junior.

(41)

Dalam hal ini yang menduduki posisi senior adalah orang yang lebih tua dan posisi junior diduduki oleh orang yang lebih muda secara silsilah keluarga. Relasi senior-junior ini tercermin dari adanya sebutan, bahasa, dan gerak tubuh untuk menghormati orang yang lebih tua (Palmier, 1969; Geertz, 1983; Suseno, 1985). Ada tata krama yang harus dipelajari anak untuk menunjukkan rasa hormat itu. Tata krama tersebut antara lain, gerak badan, urutan duduk, dan bentuk suatu pembiacaraan (Suseno, 1985). Di samping itu, ada tiga perasaan dipelajari dalam situasi yang menuntut sikap hormat yaitu wedi, isin,

dan sungkan. Wedi berarti takut, baik kepada ancaman fisik maupun rasa takut

terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Isin berarti malu, merasa bersalah, dan sebagainya. Sungkan adalah rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal (Suseno, 1985). Tata krama dan ketiga perasaan yang menunjukkan rasa hormat ini memperkuat anak untuk patuh dan menunjukkan adanya kekuasaan dalam keluarga.

(42)

mengajarkan kedisplinan dan mendidik kepada anaknya. Jadi, kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang positif untuk membentuk kepatuhan demi ketunggalan, keteraturan dan keharmonisan.

Hal yang berbeda diungkapkan Helena Cixous. Cixous (dalam Poerwandari, 2004) secara tidak langsung mengatakan bahwa kekerasan disebabkan oleh kekuasaan. Individu yang memiliki kedudukan lebih tinggi memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan individu yang memiliki kedudukan yang lebih rendah. Perbedaan kedudukan ini menunjukkan relasi kekuasaan dalam hubungan antara senior dan junior yang tidak seimbang. Kemudian kekerasan terjadi ketika individu yang berada pada kedudukan tinggi (senior) berusaha mendominasi dengan melakukan kekerasan terhadap individu yang berada pada kedudukan yang lebih rendah (junior). Dengan demikian, kekerasan menjadi cara untuk memperoleh dan melanggengkan kekuasaan. Kekerasan kembali terjadi ketika individu yang berada pada kedudukan rendah melakukan kekerasan balasan untuk membalikkan posisi yang ada karena mereka tidak mau selalu menjadi korban dominasi individu yang berada pada kedudukan lebih tinggi. Misalnya junior melakukan kekerasan balasan agar senior tidak terus-terusan menjadi korban senior.

(43)

Perlindungan Anak, televisi menjadi salah satu penyumbang terbesar yang menimbulkan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan di stasiun-stasiun televisi, 62% diantaranya mengedepankan adegan-adegan kekerasan (Wattimena, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak telah dikepung dengan tayangan-tayangan televisi yang sarat dengan kekerasan karena pilihan tayangan-tayangan yang bebas dari kekerasan makin sedikit. Sebuah penelitian tentang kekerasan terhadap 750 remaja di Yogyakarta menyatakan bahwa remaja yang sering menonton tayangan kekerasan cenderung berperilaku agresif (Parwadi, 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa betapa bahayanya dampak televisi bagi perkembangan masa depan anak. Televisi telah membawa pengaruh negatif yang besar dalam perilaku anak.

Saat ini jenis permainan video games yang berkembang semakin banyak yang bertemakan kekerasan. Pada video game ini untuk mencapai tujuan permainan ada pihak yang harus dimusnahkan oleh pemain dengan cara kekerasan. Situs Video Games Indonesia melansir 10 jenis permainan video game favorit yang sering dimainkan para gamer diantaranya Grand Theft Auto, Manhunt, dan Scarface. Kesepuluh permainan video game tersebut bertemakan kekerasan yang cukup sadis (“Daftar 10 Game, 2007).

(44)

menjadi satu (Wattimena, 2008). Selain itu, pemain juga dapat merasakan nikmatnya berkuasa di dalam dunia video games. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah diperolehnya di dalam dunia “nyata”. Di dalam permainan video

games, manusia diubah menjadi mahluk yang bergerak melulu dengan pola aksi-reaksi, dan stimulus-respons. Refleksi menjadi tidak relevan, karena semuanya terjadi dan bergerak secara mekanis. Jadi, keberhasilan suatu permainan video games adalah sejauh mana permainan tersebut mampu “menghisap” pemainnya ke dalam logika yang bersifat

teknis-mekanis-interaktif (Wattimena, 2008). Sifat game yang teknis-mekanis-interaktif ini dapat mempermudah anak untuk mempelajari dan mempraktekkan kekerasan.

Jadi menurut representasi sosial anak memaknai kekerasan dan kemudian melakukan kekerasan dipelajari dari tindakan kekerasan yang dilakukan orangtua mereka. Selain itu adanya nilai-nilai budaya khususnya kultur Jawa dapat mendorong terjadinya kekerasan dan adanya relasi kekuasaan juga mendorong anak belajar bahwa kekuasaan dapat menimbulkan kekerasaan. Televisi dan video games turut berperan dalam menyampaikan pesan yang kurang tepat mengenai kekerasan melalui tayangan dan permainan yang menghibur atau menyenangkan.

D.2 Makna Kekerasan pada Anak Usia Sekolah Dasar

(45)

tentang kekerasan. Konsep kekerasan yang abstrak, kekerasan yang terjadi di sekitar anak, dan simbolisasi kekerasan terkait erat dengan representasi yang berkembang di pemahaman sehari-hari masyarakat. Masyarakat juga mengembangkan pengetahuan mereka sendiri mengenai fenomena atau objek yang ada disekitar mereka. Salah satu cara menangkap representasi mental masyarakat mengenai suatu obyek adalah dengan menggunakan representasi sosial.

Representasi sosial dalam penelitian ini dapat membantu memahami bagaimana anak-anak memaknai perilaku kekerasan yang terjadi di sekitar mereka dalam konteks keseharian anak-anak. Pemaknaan kekerasan oleh anak ini merupakan hasil diskursus interaksi anak-anak dan lingkungan sosial di sekitar kehidupan anak. Berbagai macam informasi, nilai, ide, konsep, dn praktek kekerasan terjadi dalam interaksi anak dan lingkungan sosialnya. Informasi, ide, nilai, konsep, dan praktek kekerasan ini kemudian dimaknai anak dengan memproses apa yang dipahami, dialami, dan dirasakan anak sesuai dengan pengalaman mereka ketika kekerasan terjadi di sekitar mereka.

(46)

Anak Usia Sekolah Dasar

Anak-anak melihat, mengamati, atau mengalami kekerasan dalam

kehidupan sehari-hari

Faktor-faktor yang memepengaruhi

1. Media massa (televisi, video, games)

2. Lingkungan social (keluarga, sekolah, teman sebaya) 3. Kultur Jawa

(47)

29 A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan paradigma representasi sosial. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berfokus pada fenomena yang terjadi dalam seting natural atau kehidupan sehari-hari dan mempelajari fenomena tersebut dalam semua kompleksitasnya, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. (Ormrod & Leedy, 2005; Moleong, 2006). Melalui pendekatan kualitatif deskriptif, berbagai dimensi gejala-gejala psikologis dapat digali dan diuraikan secara intensif. Pemaknaan terjadi dalam suatu interpretasi yang subyektif berdasarkan sudut pandang yang diambil. Tetapi subyektivitas interpretasi justru menghadirkan kekayaan makna atas suatu gejala (Suwignyo, 2002).

(48)

dengan kekerasan inilah yang menjadi aspek penting dalam memahami pemaknaan anak tentang tindakan kekerasan beserta dinamika psikologisnya.

Penelitian ini mencoba menggali data yang dicari secara „grounded’.

Maksudnya adalah penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data di lapangan untuk menemukan metode yang tepat bagi penelitian ini. Selain itu, kerangka teori tidak dipakai ketika peneliti masuk pertama kali ke sumber data. Penjelasan teoritis dapat dicari setelah data terkumpul. Jadi, teori yang disajikan dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis dan memahami fakta.

(49)

B. Responden Penelitian

Responden penelitian ini adalah anak-anak usia sekolah dasar. Responden dalam penelitian ini dipilih berdasarkan tujuan tertentu. Anak-anak sekolah dasar ini dipilih sebagai responden karena kekerasan terjadi dekat dengan kehidupan anak usia sekolah dasar dan adanya kasus yang memperlihatkan semakin dininya usia pelaku kekerasan. Peneliti menentukan tiga kriteria dalam memilih sampel, yaitu:

1) Responden adalah anak usia sekolah dasar yakni berusia 6 sampai 12 tahun. 2) Responden adalah siswa sekolah dasar yang tersebar dari kelas satu sampai

dengan kelas enam.

3) Responden berasal dari beberapa sekolah dasar di Yogyakarta agar penelitian tidak terfokus pada satu macam sekolah saja.

Penentuan jumlah responden tidak ditentukan sejak awal penelitian, melainkan dengan mempertimbangkan muncul tidaknya kategori yang baru. Jika penambahan responden dianggap tidak memunculkan kategori baru dan hanya berupa pengulangan makan penambahan responden dihentikan.

C. Batasan Istilah

Ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1) Makna adalah hasil interaksi sosial yang dinegosiasikan melalui bahasa (Blumer dalam Mulyana, 2002). Kekerasan adalah segala bentuk

tindakan baik disengaja atau sebagai bentuk

(50)

maupun kelompok yang mengakibatkan orang lain terluka baik secara fisik atau psikologis (Poerwandari, 2004). Jadi, makna kekerasan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang dipahami, dialami, dan dirasakan anak dari interaksi sosial anak dengan lingkungannya tentang segala bentuk tindakan baik disengaja atau sebagai bentuk ketidaktahuan/ketidakpedulian yang dilakukan anak baik secara individu maupun kelompok yang mengakibatkan orang lain terluka baik secara fisik atau psikologis.

2) Sumber informasi mengenai kekerasan yakni segala hal yang menjadi sumber pengetahuan bagi responden mengenai kekerasan.

3) Sikap anak terhadap kekerasan adalah sikap anak yang menunjukkan boleh atau tidaknya kekerasan dilakukan.

D. Metode Pengumpulan Data D.1 Penelitian Pendahuluan

(51)

Metode yang dicoba dalam penelitian pendahuluan ini adalah metode stimulus gambar dan jurnal. Dalam metode jurnal anak diminta untuk menuliskan seluruh kegiatan mereka selama satu hari seperti menuliskan catatan harian. Dalam metode jurnal, anak tidak hanya diminta menuliskan kegiatan mereka tapi juga perasaan mereka terhadap pengalaman yang mereka alami selama satu hari. Metode jurnal diujicobakan kepada 4 responden berusia 6 sampai 10 tahun. Setelah diujicobakan kepada responden, metode stimulus jurnal tidak dapat dipakai dalam penelitian ini karena anak hanya menuliskan daftar kegiatannya dan bukan pengalaman anak selama satu hari.

Data dengan menggunakan stimulus gambar diambil dengan menggunakan wawancara semi terstruktur terhadap beberapa responden yang dipilih secara acak. Khusus untuk metode stimulus gambar, ada beberapa tahapan yang dilakukan yaitu :

1) Tahapan pertama, ada beberapa langkah yang dilakukan : a) Gambar yang dipilih adalah gambar anak-anak ”bule”.

b) Tindakan anak-anak yang berada dalam gambar mengarah pada tindakan kekerasan.

c) Jumlah gambar 28 buah.

(52)

2) Tahapan kedua, langkah-langkah yang dilakukan :

a) Gambar yang dipilih adalah gambar anak-anak Indonesia.

b) Gambar yang digunakan netral atau tidak langsung mengarah pada tindakan kekerasan.

c) Jumlah gambar 4 buah. 3) Tahapan ketiga

Setelah dilakukan uji coba kepada beberapa responden maka diperoleh dua gambar dari empat gambar pada tahapan kedua yang paling sensitif dapat membuat anak bercerita pengalamannya tentang kekerasan. Dua gambar ini dapat mengungkap data tentang kekerasan karena dua gambar ini lebih konkret bagi anak sehingga dapat mengungkap pengalaman anak tentang kekerasan dan tidak langsung mengarah pada tindakan kekerasan. Sedangkan dua gambar yang lain tidak banyak memunculkan pengalaman kekerasan pada anak.

Dalam proses pemilihan gambar ini, peneliti juga berkonsultasi dengan dosen proyektif sebagai ahli untuk menentukan gambar yang dipilih.

D.2 Proses Pengambilan Data D.2.a Wawancara

(53)

Wawancara dilakukan dengan maksud memperoleh pengetahuan tentang makna subyektif yang dipahami individu, dalam hal ini tentang kekerasan. Proses wawancara responden direkam dengan menggunakan alat perekam. Wawancara responden dilakukan secara bertahap. Artinya setelah mengambil data dari beberapa responden, lalu dilakukan analisa data. Pengambilan data dengan wawancara dilakukan sampai tidak ditemukannya lagi kategori baru. Setelah itu, analisa data kembali dilakukan. Proses ini berlangsung terus menerus hingga variasi jawaban yang relatif sama diperoleh.

(54)

Pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah gabungan dari pertanyaan-pertanyaan tertutup dan terbuka. Pertanyaan tertutup membatasi jawaban yang diberikan responden. Sedangkan pertanyaan terbuka tidak membatasi jawaban responden (Bungin, 2001). Kombinasi dua jenis pertanyaan wawancara ini diharapkan mampu menggali data tentang kekerasan dari responden lebih banyak dan mendalam.

Pertanyaan yang diajukan kepada responden dimulai dengan dua gambar netral sebagai stimulus. Kedua gambar tersebut adalah gambar anak sedang menangis dan tangan menggenggam (lihat lampiran 1). Kedua gambar tersebut dipilih karena stimulusnya ambigu, tidak langsung menunjukkan tindakan kekerasan, dan wajah anak dalam gambar adalah anak Indonesia bukan gambar anak “bule”.

(55)

Pedoman pertanyaan yang dipakai untuk menggali data melalui gambar adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Pedoman Pertanyaan Awal untuk Mengetahui Pengalaman Kekerasan Responden

Tema Pertanyaan Pertanyaan

1. Pendahuluan Menurut adik, gambar apakah ini?

Mengapa dia (subyek dalam gambar) menangis/memukul?

2. Pengalaman dan bentuk kekerasan Lalu apakah adik pernah menangis/dipukul?

Apakah adik pernah membuat orang lain menangis/memukul orang lain?

(56)

Tabel 2

Pedoman Pertanyaan untuk Mengetahui Lebih Dalam Pengalaman Responden Terhadap Kekerasan

Tema Pertanyaan Pertanyaan

1. Pengalaman kekerasan

a) Pengalaman sebagai korban kekerasan

b) Pengalaman sebagai pelaku kekerasan

Siapa yang membuat adik

menangis/memukul?

Siapa yang adik perlakukan demikian?

2. Alasan melakukan kekerasan

a) Alasan orang lain melakukan kekerasan kepada responden b) Alasan responden melakukan

kekerasan

Mengapa orang tersebut

memperlakukan adik demikian? Mengapa adik berbuat demikian?

3. Perasaan terhadap tindakan kekerasan

a) Akibat sebagai korban

b) Akibat sebagai pelaku

Bagaimana perasaan adik diperlakukan demikian?

Bagaimana perasaan adik setelah berbuat demikian?

4. Sikap anak terhadap kekerasan Perbuatan yang orang lain atau adik lakukan tersebut boleh atau tidak dilakukan?

(57)

D.2.b Observasi

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan keadaan yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif responden (Poerwandari, 2005). M penelitian. Metode ini dilakukan dengan mengamati ekspresi anak saat menceritakan pengalaman kekerasan mereka. Melalui metode observasi, diharapkan dapat diperoleh data nonverbal mengenai ekspresi responden terhadap pertanyaan peneliti. Metode observasi ini dilakukan dengan membuat catatan lapangan selama proses penelitian berlangsung, kemudian dari data tersebut peneliti memilih data observasi yang mendukung hasil.

E. Teknik Analisis Data

(58)

(mendalam) kata tersebut dalam pemahaman responden tentang kekerasan. Sedangkan banyaknya responden akan mengekspresikan tingkat penyebaran pengetahuan tersebut atau dengan kata lain semakin banyak responden yang mengungkapkan kata yang sama maka semakin tinggi tingkat penyebaran kata tersebut.

Analisa kuantitatif akan disajikan dalam bentuk frekuensi dalam angka. Data yang dianalisa secara kuantitatif adalah data yang sebelumnya telah dianalisa secara kualitatif yang variasinya sudah relatif kecil. Analisa kuantitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui representasi apa yang muncul tentang kekerasan dari data frekuensi data yang dominan.

Secara kualitatif metode yang digunakan untuk menganalisis transkrip verbatim adalah analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema tersebut, atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang telah disebutkan (Poerwandari, 2005). Langkah-langkah analisisnya adalah :

1) Organisasi Data

(59)

2) Koding

Setelah melakukan organisasi data, peneliti melakukan koding. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari dan menemukan makna dari data yang dikumpulkan (Poerwandari, 2005).

3) Kategorisasi

Kategorisasi bertujuan mengelompokkan koding-koding yang sama untuk kemudian disusun dan dimaknai sehingga gambaran dan makna tentang topikyang diteliti semakin jelas.

4) Interpretasi

Pada tahapan ini peneliti berusaha memahami data lebih ekstensif dan mendalam. Peneliti mengambil jarak untuk mengembangkan struktur dan hubungan bermakna yang tidak dapat langsung terlihat dari transkrip verbatim.

F. Kredibilitas Penelitian

(60)

lain (Moleong, 2007). Ada beberapa teknik triangulasi yang dapat digunakan, yaitu triangulasi dengan menggunakan :

a) Sumber data, berarti membandingkan dan mengecek kembali kredibilitas suatu informasi yang diperoleh melalui waktu, orang, tempat, dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.

b) Metode, berarti pengecekan kredibilitas penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data atau pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang berbeda.

c) Peneliti, berarti peneliti memanfaatkan peneliti atau pengamat lain untuk mengecek kredibilitas.

d) Teori, berarti hasil penelitian dicek kredibilitasnya dengan teori.

(61)

43 A. Pelaksanaan Penelitian

A.1 Tahapan Pemilihan Responden

Setelah proses menentukan kriteria responden dengan menggunakan teknik pemilihan responden berdasarkan pada tujuan tertentu dilakukan, proses selanjutnya adalah responden dipilih dengan tahapan :

1) Peneliti mengunjungi tiga sekolah dan meminta ijin untuk melakukan pengambilan data dengan wawancara terhadap beberapa siswa.

2) Kemudian setelah pihak sekolah memberikan ijin, maka peneliti mulai melakukan proses pengambilan data.

3) Wali kelas memilih siswa yang akan diwawancara. Tidak ada kriteria khusus dalam pemilihan responden karena dalam representasi sosial ingin diketahui makna kekerasan melalui pengalaman anak tentang kekerasan entah sebagai pelaku, korban, atau tidak keduanya. Kemudian peneliti melakukan rapport kepada siswa pada 2x jam istirahat. Rapport dilakukan agar anak merasa nyaman dan dekat dengan peneliti sehingga anak dapat menjawab pertanyaan tanpa rasa takut dan malu. Rapport selama 2x jam istirahat dirasa cukup karena setiap siswa cukup koperatif.

(62)

SD BOPKRI Gondolayu, 27 Mei 2009 di SD Muhammadiyah Condong Catur, dan 29-30 Mei 2009 di SDN Timbulharjo. Wawancara dilakukan selama kurang lebih 25-30 menit setiap anak. Waktu tersebut dirasakan cukup karena jika wawancara dilakukan lebih dari 30 menit, anak akan merasa bosan sehingga sulit untuk melakukan wawancara kembali.

A.2 Tahapan Pengambilan Data

(63)

B. Hasil Penelitian

B.1 Data Demografi Responden B.1.a Demografi Responden

Tabel 3 Demografi Responden

Demografi Responden Jumlah Responden Total

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan

17 17

34

Asal sekolah SDN Timbulharjo

SD Muhammadiyah Condong Catur

B.1.b Deskripsi Data Demografi Responden

(64)

Catur dan SD BOPKRI Gondolayu. Jumlah responden laki-laki dan perempuan sama rata yaitu 17 responden laki-laki dan 17 responden perempuan. Rincian jumlah responden laki-laki dan perempuan pada setiap sekolah dapat dilihat pada tabel 3. Responden merupakan siswa sekolah dasar yang tersebar dari kelas I sampai dengan kelas VI. Setiap kelasnya diwakili dua orang responden. Responden kelas I dan II berjumlah 4 anak, kelas III sampai dengan kelas VI masing-masing berjumlah 6 anak. Seluruh responden tinggal dalam wilayah Kabupaten Sleman, Yogyakarta (lihat lampiran 2).

B. 2 Hasil Analisis Data

Peneliti akan melakukan analisis data wawancara dan observasi berdasarkan jumlah respon yang berarti banyaknya kata yang paling intens diingat oleh responden, dan jumlah responden yaitu penyebaran suatu kata di antara responden. Berdasarkan hasil analisis data wawancara, diperoleh makna kekerasan yang dapat dikelompokkan atau dikategorisasikan menjadi lima tema utama yaitu

1) Pengalaman responden tentang kekerasan 2) Sumber anak belajar kekerasan

3) Sikap anak terhadap kekerasan

(65)

Tema pertama sampai dengan empat merupakan hasil dari metode wawancara sedangkan tema lima merupakan hasil dari metode observasi. Data penelitian berdasarkan demografi jenis kelamin merupakan data tambahan karena data tersebut menunjukkan adanya variasi jawaban. Sementara data demografi yang lain seperti kelas dan asal sekolah tidak menimbulkan variasi jawaban. Hasil-hasil tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

B.2.a Pengalaman Responden Tentang Kekerasan

(66)

1) Responden sebagai Korban

a. Pelaku dan Tipe Kekerasan Terhadap Responden Tabel 4

Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Respon

Pelaku Tipe Kekerasan Fisik

Bentuk Jumlah Bentuk Jumlah

(67)

Berdasarkan tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa teman adalah pelaku kekerasan yang paling banyak diingat oleh responden yaitu sebesar 30,11%. Dengan kata lain, responden lebih sering menerima kekerasan dari temannya. Selain teman, ibu adalah pelaku kekerasan yang cukup banyak diingat responden dengan persentase 20,43%. Selanjutnya ada ayah dan kakak yang juga menjadi pelaku kekerasan yang cukup diingat oleh responden dengan masing-masing persentase sebesar 17,2% dan 16,13%. Hal ini menunjukkan bahwa selain teman, responden sering menerima kekerasan dari ibu, ayah, dan kakak.

Tipe kekerasan yang paling diingat oleh responden untuk pelaku teman adalah kekerasan fisik dengan persentase 25,81%. Pelaku kekerasan kakak juga menunjukkan tipe kekerasan fisik sebagai tipe kekerasan yang paling diingat oleh responden dengan persentase 8,6%. Hal ini menunjukkan bahwa responden lebih sering menerima kekerasan fisik daripada kekerasan verbal dari teman dan kakak. Sedangkan pada pelaku ibu dan ayah, tipe kekerasan verbal adalah tipe kekerasan yang paling diingat responden dengan persentase masing-masing 15,05% dan 10,75%. Artinya responden lebih sering menerima kekerasan verbal dari ibu dan ayah daripada kekerasan fisik.

Dipukul adalah bentuk kekerasan fisik dari pelaku teman dan

(68)

lebih sering memukul responden daripada mencubit, mendorong atau melakukan bentuk kekerasan lainnya. Sedangkan bentuk kekerasan verbal yang paling diingat oleh responden ketika ibu dan ayah melakukan kekerasan adalah dimarahi.

Tabel 5

Responden Sebagai Korban Berdasarkan Jumlah Responden

Pelaku

Kekerasan Fisik Kekerasan Verbal

Total sependapat bahwa teman adalah pelaku kekerasan yang paling dominan terhadap responden. Selanjutnya sebanyak 50% responden sepakat menyatakan bahwa ibu adalah pelaku kekerasan terhadap responden yang dominan setelah teman. Ayah dan kakak menempati urutan berikutnya untuk pelaku kekerasan yang cukup banyak diungkap responden dengan persentase masing-masing 44,12% dan 38,24%.

(69)

Sedangkan tipe kekerasan fisik pada pelaku kakak tidak banyak diungkap pada sebagian besar responden karena persentasenya hanya 20,59%. Artinya kekerasan fisik yang diterima oleh responden dominan dilakukan oleh teman daripada kakak ataupun pelaku lainnya. Pada pelaku ibu dan ayah tipe kekerasan verbal cukup banyak diungkap pada sebagian besar responden dengan persentase 41,18% dan 29,41%. Hal ini menunjukkan bahwa responden lebih sering menerima kekerasan verbal dibandingkan kekerasan fisik dari ibu dan ayah.

b. Alasan Pelaku Melakukan Kekerasan Kepada Responden Alasan yang dimaksudkan di sini adalah alasan pelaku melakukan kekerasan yang dipersepsikan oleh responden.

Alasan Orangtua

Tabel 6

Alasan Orangtua Melakukan Kekerasan Berdasarkan Jumlah Respon

(70)

Jika dilihat dari tabel 6 di atas orangtua tidak berniat untuk melakukan kekerasan melainkan melakukan tindakan agresi prososial untuk mendidik anak. Tabel 6 menunjukkan bahwa kategori tidak menuruti orangtua adalah alasan orangtua melakukan agresi prososial yang paling diingat oleh responden baik untuk pelaku ibu (31,25%) maupun ayah (17,19%). Selain itu, alasan yang cukup mendalam bagi responden adalah

menganggu orang lain dengan persentase untuk pelaku ibu

sebesar 10,94% dan persentase untuk pelaku ayah sebesar 6,25%. Respon lain yang muncul dan cukup menarik adalah adanya

prestasi menjadi alasan orangtua melakukan agresi prososial

dengan persentase 7,81% untuk pelaku ibu dan 4,69% untuk pelaku ayah.

Bentuk dari alasan tidak menuruti orangtua yang paling diingat oleh responden berbeda untuk setiap pelaku. Pada pelaku ibu, bentuk yang banyak diingat adalah tidak mau tidur siang dan

melakukan kesalahan. Sedangkan untuk pelaku ayah bentuk

alasan yang banyak diingat adalah saat main tidak mau pulang,

tidak mau shalat, dan tidak mau disuruh tidur. Sedangkan bentuk

(71)

Tabel 7

Alasan Orangtua Melakukan Kekerasan Berdasarkan Jumlah Responden

Pelaku orangtua paling banyak diungkap oleh responden dibandingkan alasan lain dengan persentase sama yaitu 26,47%. Akan tetapi alasan mengganggu orang lain dan prestasi tidak banyak muncul pada sebagian responden karena persentase masing-masing yang cukup rendah pada kedua pelaku. Artinya kedua alasan ini tidak menyebar pada sebagian responden.

(72)

Alasan Teman

Tabel 8

Alasan Teman Melakukan Kekerasan

Kategori Alasan Sub Kategori Jumlah

Respon

diganggu saat belajar 1

dimintain uang tapi g ngasih 2

dikira marah trus disuruh minta maaf 1

g ngasih contekan 1

dikira nyontek 1

naik sepeda didorong 1

belain adek 1

kelompok informan kalah saat pelajaran

olahraga 1

responden nakal 1

Bermain/Bercanda diingat oleh responden saat teman melakukan kekerasan kepada responden dengan persentase 76,48%. Alasan ini memiliki tingkat penyebaran respon paling tinggi pada sebagian besar responden dengan persentase 52,94%. Artinya alasan ini paling diingat dan dialami oleh sebagian besar responden.

(73)

berbuat apa-apa). Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi dikarenakan teman responden memulai duluan tindakan kekerasan dan bukan dimulai oleh responden. Dengan demikian, responden memandang kekerasan dari sudut pandang korban. Selain itu, kekerasan yang dilakukan teman dapat pula mengindikasikan adanya usaha teman untuk mendominasi responden.

Di samping itu, hal menarik yang ditemukan adalah adanya respon kekerasan yang dilakukan teman merupakan cara untuk

bercanda atau bermain antar teman. Respon ini menunjukkan

(74)

Alasan Kakak

Tabel 9

Alasan Kakak Melakukan Kekerasan

Kategori

Alasan Sub Kategori

Jumlah

Respon Total Respon

Total

responden nakal 1

informan ngambil barang

paling diingat oleh responden yang mendapatkan kekerasan dari kakak dengan persentase 27,78%. Namun alasan ini tidak banyak diungkapkan oleh sebagian responden karena presentasenya hanya 11,76%. Artinya alasan kakak melakukan kekerasan ini tidak dialami oleh sebagian responden.

(75)

tidak banyak diungkap pada sebagian besar responden karena persentasenya hanya 8,82%. Hal yang menarik adalah alasan

bercanda muncul kembali pada bagian ini dan alasan ini cukup

diingat oleh responden dengan persentase sebesar 16,67%. Sama halnya dengan alasan bercanda pada pelaku teman, hal ini menunjukkan adanya opini dari responden bahwa kekerasan bukanlah sesuatu yang berbahaya melainkan sesuatu yang menyenangkan karena kekerasan adalah cara responden bermain dengan teman-temannya.

Cara-cara responden mengganggu kakak sehingga kakak melakukan kekerasan adalah mengobrak-abrik kamar kakak,

mengganggu adik, atau memukul kakak. Jadi, kekerasan

(76)

Alasan Adik

Tabel 10

Alasan Adik Melakukan Kekerasan

Kategori Alasan Sub Kategori

Jumlah

adik minta sesuatu tapi

kakak g ngasih 1 (2.94%) 2

(5.88%)

G mo diajak main 1 (2.94%)

Jumlah 2 34

Berdasarkan tabel 10, adik tergolong melakukan kekerasan. Pada tabel ini tampak bahwa hanya ada dua orang responden yang menerima kekerasan dari adik. Kedua orang responden tersebut menyatakan satu alasan yang sama tentang adik melakukan kekerasan yaitu karena responden tidak menuruti

keinginan adik. Caranya adalah tidak memberikan uang saat adik

Gambar

gambar ini
Tabel 3  Demografi Responden
Tabel 4
Tabel 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berita yang terkait dengan garis atau area ditampilkan dalam bentuk chartlet untuk membantu pelaut mengetahui posisi suatu objek, Contoh : Peletakan kabel laut

Peraturan KPPU Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan

Analisa dan pembahasan meliputi pengaruh variasi temperatur dan waktu pemanasan, serta pH pada hasil ukuran partikel yang dihasilkan... Partikel anatase yang besar merupakan

Siswa juga memberikan perhatian terhadap pelajaran sosiologi yaitu dengan mendengarkan penjelasan guru dan mencatat materi yang disampaikan karena guru menyampaikan

Langkah perta ma dalam penelit ian ini menganalisis produktivitas TPA Sumur Batu dala m menghas ilkan listrik dan faktor yang dapat me mpengaruhi rendahnya

Indikasi gejala yang timbul yaitu saat kita memasukkan SIM Card lalu menyalakan ponsel, tidak ada sinyal ataupun jaringan yang muncul pada LCD ponsel. Setelah

ISO 9001:2008, Klausul 4.2.1, memperjelas bahwa dokumensatasi sistem manajemen mutu tidak hanya berupa catatan atau rekaman mutu yang diperlukan oleh standar ISO