• Tidak ada hasil yang ditemukan

a Kekerasan Terselubung Atas Nama Pendidikan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. PEMBAHASAN

C.1. a Kekerasan Terselubung Atas Nama Pendidikan

Pemaknaan anak tentang kekerasan sebagai cara untuk mendidik anak diperoleh dari pengalaman anak sebagai korban kekerasan orangtua dan guru. Artinya orangtua dan guru melakukan kekerasan untuk menghukum tindakan anak-anaknya jika mereka melakukan kesalahan. Anak mempelajari konsep ini paling banyak dari orangtua karena berdasarkan hasil penelitian orangtua adalah pelaku kekerasan dominan kedua setelah teman.

Orangtua menjadi pelaku kekerasan dominan karena orangtua bertanggung jawab memenuhi kebutuhan demi pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara fisik maupun psikologis. Di samping itu, orangtua juga bertanggung jawab dalam mendidik anak agar bertindak sesuai

dengan norma dan nilai yang ada di masyarakat serta mengajarkan kedisiplinan (Papalia, Olds, Feldman, 2006; Gordon, 1985; Widyarini, 2009). Norma dan nilai yang muncul dalam penelitian ini adalah anak tidak menuruti kemauan orangtua, melalaikan tugas/kewajiban sekolah, prestasi yang kurang baik, dan melakukan tindakan yang sifatnya mengganggu orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa norma dan nilai yang ada dalam masyarakat kita adalah anak tidak boleh melawan orang yang lebih tua, tidak boleh mengganggu orang lain, dan tugas anak adalah sekolah dan berprestasi baik. Dengan demikian, orangtua dan guru memiliki kekuasaan untuk mengatur, mengarahkan, dan membina tindakan anak-anaknya.

Hal tersebut ditegaskan pula dalam kultur Jawa yang menyebutkan bahwa orangtua bertanggungjawab mendidik anak agar dapat bertindakan sesuai tata krama Jawa dan menunjukkan sikap hormat dan patuh terhadap orang yang lebih tua (Geertz, 1983; Suseno, 1985). Tugas dan tanggung jawab yang dipikul orangtua ini sebenarnya didukung oleh norma sosial masyarakat sehingga cara orangtua menghukum tindakan anak yang salah disebut agresi prososial (Sears, Freedman, Peplau, 2004). Namun tidak adanya batasan yang jelas mengenai sejauh mana agresi prososial boleh dilakukan membuat orangtua dengan mudah menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mendidik anak. Di samping itu, kakak menjadi pelaku kekerasan karena dalam kultur masyarakat Indonesia kakak mendapatkan tanggung jawab untuk merawat, mendidik, dan mengawasi saudara yang lebih muda (Papalia, Old, Feldman, 2006). Guru menjadi pelaku kekerasan karena guru

adalah pengajar dan pendidik yang bertanggung jawab dalam pendidikan anak sebagai siswa di sekolah.

Jelas bahwa kekerasan terselubung untuk pendidikan muncul karena adanya pengaruh kekuasaan. Kekuasaan diperoleh karena adanya perbedaan tingkat kedudukan antara pelaku dan korban. Pelaku biasanya memiliki kedudukan lebih tinggi dan bertindak sebagai senior sedangkan korban memiliki kedudukan lebih rendah dan bertindak sebagai junior. Orangtua, guru, dan kakak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari anak. Dengan demikian, ketiga pelaku ini bertindak sebagai senior dan anak sebagai junior. Kekuasaan yang dimiliki orangtua menjadikan orangtua memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak. Guru memiliki kekuasaan karena kedudukan struktural di sekolah yang lebih tinggi sebagai pengajar. Sedangkan kakak memiliki kekuasaan karena posisinya sebagai saudara yang lebih tua dalam keluarga.

Foucault (dalam Haryatmoko, 2009) menyatakan kekuasaan membentuk individu yang berdisiplin agar menjadi orang yang produktif melalui aturan yang persuasif. Kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang positif untuk membentuk kepatuhan demi ketunggalan, keteraturan, dan keharmonisan. Hal inilah yang terjadi dalam keluarga. Orangtua menggunakan kekuasaan untuk mempermudah dalam mendidik anak agar anak melakukan dan mencegah tindakan yang diinginkan orangtua, serta bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang ada di masyarakat.

Selain itu, kultur Jawa yang sangat hierarkis mendukung relasi kekuasaan. Orangtua jelas berada dalam posisi senior dan anak berada dalam posisi junior. Kultur Jawa telah memberi ruang bagi terjadinya kekerasan atas nama pendidikan. Selain itu, pendapat anak yang menyatakan bahwa orangtua boleh melakukan kekerasan karena orangtua adalah orang yang harus dihormati menunjukkan adanya pengaruh kekuasaan yang besar dari orangtua terhadap anak. Relasi kekuasaan juga terlihat dari anak yang tidak melakukan kekerasan kepada orangtua. Kekuasaan telah membuat anak patuh, taat, dan menghormati orangtua. Meskipun anak tidak merasa senang dengan kekerasan yang dilakukan orangtua, anak tidak berani melakukan kekerasan balik atau protes dan hanya menerima tindakan kekerasan orangtua tersebut sebagai sebuah kewajaran. Dengan demikian, kekuasaan lewat kedudukan telah melegitimasi kekerasan yang dilakukan orangtua.

Bentuk kekerasan yang dilakukan orangtua hanya terbatas pada memarahi atau memukul saja. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua semakin jarang menerapkan bentuk hukuman yang lebih mendidik seperti pengurangan hak (uang saku dikurangi, tidak boleh makan, tidak boleh diajak ke rumah makan), penambahan tugas (menyapu halaman, mencuci piring, harus menyalin tulisan berkali-kali), dan pengurangan kenikmatan (tidak boleh bermain, tidak boleh menonton televisi) (Familia, 2004). Jadi, hukuman dalam bentuk memarahi atau memukul dianggap menjadi cara yang paling efektif dan mudah dilakukan orangtua untuk mendidik anaknya. Kekerasan dilakukan kepada anak sebagai bentuk hukuman jika melakukan kesalahan

dengan harapan anak mencegah melakukan sesuatu yang tidak diinginkan orangtua dan melakukan sesuatu sebagaimana yang dikehendaki orangtua (Gordon, 1987; Ormrod, 2003).

Bagi orangtua, hukuman diterapkan kepada anak demi kebaikan anak (Gordon, 1985). Namun dalam prakteknya pemikiran orangtua ini belum tentu benar dan positif untuk perkembangan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tidak merasa senang dengan kekerasan yang diterima. Anak-anak merasa sedih dan sakit saat menerima tindakan kekerasan dari orangtua, kakak, maupun guru. Hal ini dikarenakan orangtua, kakak, maupun guru tidak sadar telah bersikap terlalu keras kepada anak. Ketika memberikan hukuman sering kali orangtua melibatkan emosi, tidak memberikan alasan mengapa anak dihukum, dan memberikan hukuman di depan saudara kandung atau orang lain (Ormrod, 2003). Orangtua tidak mengetahui bahwa hukuman fisik dan psikologis sebaiknya dihindari karena akan menurunkan harga diri dan kepercayaan diri anak (Ormroad, 2003).

C.1.b Kekerasan Terselubung dalam Bentuk Permainan dan Hiburan

Dokumen terkait