• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM TERHADAP MEREK YANG DIDAFTARKAN DENGAN ITIKAD TIDAK BAIK

3.3 Akibat Hukum Dan Sanksi Terhadap Pelanggaran Merek

Pelanggaran terhadap Hak Merek motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan secara mudah, dengan mencoba, meniru, atau memalsu merek-merek yang sudah terkenal di masyarakat. Tindakan tersebut dapat merugikan masyarakat, baik terhadap pihak produsen maupun konsumennya. Selain itu, negara pun dirugikan atas tindakan tersebut. Dari setiap Undang-Undang yang mengatur Merek, maka pasti ditetapakan ketentuan yang mengatur penyelesaian hukum dan sanksi terhadap pelanggaran merek, adapun penyelesaian hukum yakni :

1. Penyelesaian Hukum dengan Cara Non Litigasi

Dalam Pasal 1 angka10 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dirumuskan bahwa :

Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Agar dapat memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai mekanisme atau bentuk ADR, maka berikut ini diuraikan beberapa mekanisme ADR. Masyarakat dalam perkembangannya memandang bahwa dengan melakukan kekerasan, sengketa yang terjadi dapat diselesaikan. Penyelesaian sengketa dengan cara kekerasan tidak akan pernah dapat diselesaikan karena masing-masing pihak akan berusaha untuk membalas kekalahan pada pihak lainnya karena itu faktor tersebut lahir penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang sering disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa (APS). Adapun jenis Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternative penyelesaian sengketa (APS) yang

46

dikenal di Indonesia27 dan yang lebih dikembangkan dalam sistem peradilan nasional, yaitu :

a. Konsultasi

Konsultasi adalah suatu metode pertukaran pemikiran dua orang atau lebih untuk mendapatkan suatu kesimpulan terhadap suatu masalah atau sengketa yang sedang dihadapi, kemudian setelah itu para pihak dapat menentukan cara penyelesaian sengketa dengan menggunakan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mereka inginkan.

b. Negosiasi

Merupakan komunikasi dua arah, agar masing-masing pihak dapat saling mengemukakan keinginannya. Teknik bernegosiasi tentunya tidak dapat diterapkan pada semua orang, semua itu dikarenakan beberapa faktor antara lain :

1) Latar belakang pendidikan 2) Sifat

3) Karakter 4) Pengalaman

Negosiasi dapat dilakukan dengan atau direncanakan terlebih dahulu. Negosiasi yang direncanakan adalah negosiasi atas permasalahan yang timbul dari hubungan hukum antara pihak dan telah dipersiapkan terlebih

27Jimmy Joses Sembiring, 2010, Cara Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Visimedia Meretas Generasi Bijak, Jakarta, Hal. 15

47

dahulu, hal-hal yang akan dikemukakan pada saat dilaksanakannya negosiasi. Definisi daripada negosiasi adalah proses tawar menawar dari masing-masing pihak untuk mencapai kesepakatan, dengan menjalani proses komunikasi dua arah yang baik yang diciptakan oleh para pihak.28

Menurut Suyud Margono, negosiasi adalah “komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda.29Gary Goodpaster menyatakan bahwa negosiasi adalah proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beranekaragam.30

Setiap orang tentu memiliki teknik-teknik tersendiri dalam menjalankan pekerjaan yang dapat dipelajari atau diperoleh berdasarkan pengalaman. Oleh karena itu, setiap orang memiliki style atau gaya masing-masing dalam menjalankan proses negosiasi, diantaranya:31

1) Teknik Negosiasi Kompetitif

Diterapkan untuk negosiasi yang bersifat awal. Ada pihak yang mengajukan permintaan tinggi pada awal negosiasi. Ada pihak yang menggunakan cara-cara berlebihan untuk menekan pihak lawan.

28Ibid.

29 Suyud Margono, 2004, ADR (Alternatif Dispute Resolution ) &Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, Cetakan kedua, hal. 49.

30 Rachmadi Usman, 2003, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53.

48 2) Teknik Negosiasi Kooperatif

Menganggap negosiator pihak lawan sebagai mitra bukan sebagai musuh. Para pihak saling menjajagi kepentingan nilai-nilai bersama dan mau bekerjasama.

3) Teknik Negosiasi Lunak

Menempatkan pentingnya hubungan timbal balik antar pihak. Tujuannya untuk mencapai kesepakatan, memberi konsesi untuk menjaga hubungan timbal balik, mempercayai perunding dan mudah mengubah posisi

4) Teknik Negosiasi Keras

Negosiator lawan dipandang sebagai musuh. Tujuannya adalah kemenangan, menuntut konsesi sebagai persyarat dari hubungan baik.

5) Teknik Negosiasi Interest Based

Sebagai jalan tengah atas pertentangan teknik keras dan lunak karena teknik keras berpotensi menemui kebuntuan (dead lock) sedangkan teknik lunak berpotensi citra pecundang (loser) bagi pihak yang minor.

Tidak setiap orang memiliki bakat atau kemampuan sebagai seorang negosiator yang baik. Untuk menjadi negosiator, seseorang harus memiliki hal-hal sebagai berikut:32

49

1) Kemampuan berkomunikasi yang baik. 2) Supel

3) Keterampilan teknis yang baik 4) Memiliki rasa simpati yang tinggi. c. Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantara pihak ketiga, yakni pihak yang memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Pada mediasi tidak terdapat kewajiban dari masing-masing pihak untuk menaati apa yang disarankan oleh mediator.

Mediasi sudah mulai diperkenalkan di Indonesia sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini selain bertujuan perkara di pengadilan tidak semakin menumpuk, juga memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk dapat menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi. Mediasi juga diharapkan dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, karena selama ini pengadilan dipandang tidak dapat diandalkan untuk dapat memberikan rasa keadilan.

Saat ini, pada bidang tertentu mediasi sudah mulai diterapkan untuk menyelesaikan suatu sengketa sebagai berikut:33

1. Mediasi di pengadilan

Para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan diwajibkan untuk menempuh prosedur mediasi terlebih dahulu

50

sebelum dilakukan pemeriksaan pokok perkara. Merupakan proses mediasi di pengadilan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan proses yang wajib dijalankan oleh para pihak yang berperkara. Pasal ini menentukan bahwa “pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi”.

Sebelum mediasi dilaksanakan para pihak terlebih dahulu harus memilih mediator yang akan menangani perkara tersebut, memilih mediator merupakan hak para pihak. Selain berhak memilih mediator, para pihak juga dapat menentukan menggunakan hanya satu mediator atau lebih dari satu mediator. Hal ini ditentukan pada Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 sebagai berikut: (1) Para pihak berhak memilih mediator pada pengadilan yang

berikut:

a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan

b. Advokat atau akademisi hukum;

c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;

d. Hakim majelis pemeriksa perkara;

e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan b atau gabungan butir b dan d atau gabungan butir c dan d. (2) Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang

mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.

(3) Mediator yang menjadi penengah dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan dipilih oleh para pihak berdasarkan daftar mediator yang ada di setiap pengadilan.

Perdamaian dalam proses banding, kasasi dan peninjauan kembali berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 ini,

51

para pihak masih tetap dapat untuk berdamai meskipun proses mediasi telah gagal. Diperkenankannya para pihak untuk berdamai di setiap tingkatan pengadilan diatur pada Pasal 21 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 sebagai berikut:

(1) Para pihak atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.

(2) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili.

(3) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.

(4) Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian.

(5) Jika berkas atau memori banding, kasasi dan peninjauan kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau memori banding, kasasi dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian.

Pada pihak yang bersengketa dan menyelesaikan sengketa tersebut di luar pengadilan dengan bantuan dari mediator yang telah bersertifikat, dapat meminta penetapan kepada pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian,sebagaimana yang diaturpada Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 bahwa Kesepakatan di Luar Pengadilanyakni :

(1) Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian

52

tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.

(2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.

(3) Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c. tidak merugikan pihak ketiga; d. dapat dieksekusi.

e. dengan iktikad baik.

Dengan ditetapkannya akta peradamaian secara tidak langsung menghukum para pihak untuk mentati apa yang telah disepakati dan akta tersebut memiliki kekuatan eksekutorial sehingga dapat dipaksakan pelaksanaannya.

2. Mediasi di Luar Pengadilan dibagi menjadi beberapa mediasi, diantaranya:

1) Mediasi Perbankan

2) Mediasi hubungan Industrial 3) Mediasi Asuransi

d. Konsiliasi

Menurut Suyud Margono, konsiliasi merupakan tahap awal dari proses mediasi dengan acuan penerapan yaitu apabila seseorang diajukan kepada proses mediasi dan tuntutan yang diajukan claimant (penuntut) dapat diterima dalam kedudukannya sebagai respondent. 34Dalam

53

menjalankan tugasnya konsiliator hanya memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang masuk ke dalam wilayah kerja dari konsiliator tersebut. Dalam hal ini tidak mungkin meminta konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Jakarta untuk menjadi konsiliator suatu sengketa di Jayapura.

Selain itu konsiliator hanya dapat menangani satu sengketa yaitu apabila para pihak mengajukan permintaan secara tertulis kepada konsiliator yang bersangkutan yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Adapun data-data mengenai konsiliator yang akan dipilih dapat diperoleh di kantor instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Tugas utama konsoliator setelah dipilih oleh para pihak adalah mengadakan penelitian mengenai duduk perkara yang sedang terjadi dalam jangka waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja. Pada hari delapan, konsiliator sudah harus mengadakan sidang konsiliasi yang pertama.

e. Arbitrase

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 menguraikan tentang definisi arbitrase, yaitu suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Apabila para pihak telah terikat dalam perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak tersebut. Dengan

54

demikian, pengadilan wajib mengakui dan menghormati wewenang dan fungsi arbiter.35 Persyaratan utama yang harus dilakukan oleh para pihak untuk dapat mempergunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi ataupun telah terjadi adalah adanya kesepakatan di antara para pihak terlebih dahulu yang dibuat dalam bentuk tertulis dan disetujui oleh para pihak.

Lembaga arbitrase adalah lembaga yang berfungsi sebagai salah satu alat untuk dapat menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi di antara para pihak. Cara kerja arbitrase hampir sama dengan pengadilan sehingga masyarakat sering menyebut lembaga arbitrase sebagai pengadilan swasta.

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai lembaga arbitrase :

Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”

Berdasarkan hal tersebut, lembaga arbitrase dapat diartikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa bagi para pihak yang bersengketa. Karena lembaga ini merupakan salah satu upaya agar setiap sengketa yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan secara tepat dan memiliki kekuatan hukum sehingga kepentingan dari masing-masing pihak menjadi terlindungi.

35 Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa – Suatu Pengantar, Fikahati Aneska, Jakarta, hal. 93.

55

Apabila segala hal yang berkaitan dengan prosedur untuk dapat menggunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa telah terpenuhi, langkah selanjutnya adalah memilih arbiter yang harus dilakukan oleh para pihak. Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mendefinisikan arbiter sebagai seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau oleh lembaga arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tersebut yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbiter.Untuk dapat menjadi arbiter pada lembaga arbitrase, setidak-tidaknya harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai berikut:

a. Cakap melakukan tindakan hukum; b. Berumur paling rendah 35 tahun;

c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

d. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan

e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Ada beberapa alasan, mengapa perusahaan kebanyakan memilih penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dikarenakan antara lain menjaga reputasi atau nama baik perusahaannya, menghemat biaya dan kebanyakan pengusaha bahkan hampir keseluruhan pengesuha sangat tidak menyukai suatu kegiatan yang terlalu banyak menghabiskan waktu termasuk apabila terjadi sengketa dalam perusahaannya.

56

2. Penyelesaian Hukum Dengan Cara Litigasi

Hak merek adalah merupakan hak kebendakan yang dilindungi oleh Undang-Undang sehingga konsekuensinya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa saja bertanda bahwa hak merek itu terdapat hak absolute yakni diberinya hak gugat oleh Undang-Undang kepada pemegang hak, disamping itu adanya tuntunan pidana terhadap orang yang melanggar hak tersebut.36

Jika pelanggaran hak itu semata-mata terhadap hak yang telah tercantum dalam Undang-Undang merek, maka gugatannya dapat dikatagorikan sebagai peristiwa perbuatan melawan hukum (Onrechtsmatige dead), (vide Pasal 1365 KUH Perdata),yakni tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Tetapi jika pelanggaran itu menyangkut perjanjian lisensi, dimana para pihak dalam perjanjian memenuhi isi perjanjian itu baik seluruhnya atau sebagian, maka gugatannya dapat dikategorikan sebagai gugatan dalam peristiwa wanprestasi (vide Pasal 1234 KUH Perdata).

Dalam Undang-Undang Hak Merek Tahun 2001 ditetapkan bahwa ada 2 bentuk atau isi dari tuntunan dari gugatan tersebut, yaitu :

1. Berupa permintaan ganti rugi 2. Penghentian pemakaian merek

57

Ganti rugi itu dapat berupa ganti rugi material dan ganti rugi immaterial. Ganti rugi material itu berupa kerugian nyata dan dapat dinilai dengan uang. Misalnya akibat pemakaian oleh pihak yang tdak berhak tersebut menyebabkan produk barangnya menjadi sedikit yang terjual oleh karena konsumen membeli produk barang yang menggunakan merek palsu yang diproduksi oleh pihak yang tidak berhak tersebut. Jadi secara kuantitas barang-barang dengan merek yang sama menjadi banyak beredar di pasaran. Sedangkan ganti rugi immaterial yaitu berupa tuntunan ganti rugi yang disebabkan oleh pemakaian merek dengan tanpa hak sehingga pihak yang berhak menderita kerugian secara moril misalnya pihak yang tidak berhak atas merek tersebut memproduksi barang dengan kualitas (mutu) yang rendah untuk kemudian berakibat kepada konsumen sehingga ia tidak mengkonsumsi produk yang dikeluarkan oleh pemilik merek yang bersangkutan. 37

Dalam Pasal 76 Undang-Undang Merek Tahun 2001 disebutkan tentang gugatan ganti rugi,dikatakan bahwa:

(1) Pemilik merek terdapat dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanda hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseliruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa :

a. Gugatan ganti rugi dan/atau

b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut.

(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.

58

Pengadilan niaga berwenang menangani sengketa-sengketa komersial, yang salah satunya adalah sengketa dalam bidang hak kekayaan intelektual (HKI), dalam hal ini adalahsengketa merek.

Ditentukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga formal untuk gugatan yang bersifat keperdataan, maka terbuka kesempatan luas pada pemegang merek untuk mempertahankan haknya, tanpa pembatalan lembaga peradilan seperti pada Undang yang lama Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang merek. Undang-Undang-Undang-Undang Hak Merek Tahun 2001 menggolongkan delik dalam perlindungan hak merek ini sebagai delik kejahatan, dan delik pelanggaran.

Sebagai delik pelanggarn yang secara tegas yang disebutkan dalam Pasal 94 yang menyatakan bahwa :

Barang siapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/ jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaiman dimaksud dalam Pasal 90, 91, dan 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) Tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah).

Selebihnya adalah delik kejahatan, termasuk pengunaan indikasi asal sebagai berikut yang diatur dalam Pasal 93 yang menyatakan

bahwa:

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang dan jasa sehingga dapat memberdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut, di pidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah).

Itu berarti pula bahwa terhadap percobaan untuk melakukan delik yang digolongkan dalam delik kejahatan tetap diancam hukuman pidana

59

(vide pasal 53 KUH Perdata). Adapun ancaman pidana yang dimaksud tersebut termuat dalam Pasal 90 dan 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sebagai berikut :

Pasal 90 Barang siapa yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Pasal 91 barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000 (delapan ratus juta rupiah). Harus diperhatikan pula bahwa ancaman pidana itu bersiat Pasal 93 barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan

tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersubut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Dari bunyi ketentuan tersubut diatas Nampak bahwa ancaman pidana dimaksud bersifat kumulatif bukan alternatif.Jadi disamping dikenakan ancaman hukuman berupa denda. Sebab kalau hanya denda Rp. 1.000.000.000,- atau Rp. 800.000.000,- barangkali para pelaku tidak keberatan,tetapi ancaman penjara dan tuntutan ganti rugi perdata dimaksudkan pula untuk membuat si pelaku menjadi jera (tujuan preventif) dan orang lain tidak mengikuti perbuatannya.38

Untuk penyidik dalam tindak pidana ini, Pasal 89 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menentukan :

60

(1) Selain pentidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang merek.

(2) Penyidik pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berwenang :

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana dibidang merek.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a.

c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana dibidang merek.

d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana dibidang merek. e. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat

barang bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang merek.

(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagai mana dimaksud pada Ayat (1) pemberitahuan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikan kepada penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan mengingat Pasal 107 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

61 BAB IV

Dokumen terkait