• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Keperdataan Perkawinan Sah Terhadap Anak Yang Dilahirkan

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga. Keluarga terdiri atas: ayah, ibu dan anak, bahkan menurut hukum adat tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Kehadiran anak itu sendiri menimbulkan hubungan-hubungan hukum, baik dengan ayah maupun ibunya; hubungan-hubungan-hubungan-hubungan tersebut, mulai persoalan legitimasi sampai pada persoalan warisan.Anak yang dilahirkan dari atau akibat suatu perkawinan, adalah anak sah.Demikian pula anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang dikawin oleh seorang pria yang bukan pembenih anak tersebut. Menurut ketentuan agama Islam, seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah hamil sebelum perkawinannya, dianggap sebagai anak yang tidak sah.Oleh karena suami ibunya dianggap bukan pembenih anak itu, maka anak tersebut dipandang sebagai anak hasil dari suatu perzinahan.

Dahulu anak luar kawin dianggap sebagai anak ibunya, bahkan mempunyai hubungan keperdataan dengan keluarga ibunya.Akibat lebih ianjut, bahwa anak tersebut juga berhak mewaris selain dari ibu juga dari keluarga ibunya.

Dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan hanya mengatur secara singkat tentang kedudukan anak. Dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UU Perkawinan hanya menyebutkan 2 macam kedudukan anak, yakni anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, dan anak luar kawin atau anak yang

dilahirkan diluar perkawinan. Dalam KUH Perdata diatur secara rincin dan tegas adanya 4 macam kedudukan anak sebagai berikut:

a . Anak Sah, yaitu anak yang dianggap lahir selama perkawinan orang tuanya (pasal 250 KUH Perdata).

Untuk kepentingan si bayi, maka anak yang lahir 180 hari setelah perkawinan dan 300 hari setelah perceraian dianggap sebagai bayi suami yang bersangkutan (pasal 251 KUH Perdata). Dalam hal demikian menurut pasal 251 si suami diberi hak untuk menyangkal keabsahan bayi tersebut dengan mengemukakan alasan-alasan:

1. Sebelum 180 hari dan 300 hari tidak berhubungan badan dengan isterinya. 2. Karena zinah yang dilakukan isteri dan isteri menyembunyikan kelahiran

bayinya terhadap suaminya.

3. Karena bayi lahir 300 hari sesudah keputusan perpisahan meja dan tempat tidur sudah mendapat kekuatan pasti. Dalam hal demikian isteri / ibu bayi diberi hak dan kewenangan untuk mengajukan data-data sebagai pembuktian balik untuk dapat menguatkan bahwa suaminya benar-benar ayah yang sah dari bayinya.

Terhadap hak ingkar dari suami tersebut diadakan pembatasan-pembatasan, yakni: 1. Bilamana si suami sebelum perkawinan telah mengetahui kehamilan

isterinya.

2. Bilamana dia hadir pada waktu dibuat akte kelahiran, menanda tangani akte tersebut atau menyatakan tidak dapat membubuhi tanda tangan.

Istilah anak wajar dipakai dalam dua buah pengertian:

1)Anak wajar dalam arti luas, yakni semua anak luar kawin yang tidak disyahkan.

2)Anak wajar dalam arti sempit, yakni terbatas pada anak luar kawin yang diperoleh dari zinah dan incest. Pasal 280 KUH Perdata menyatakan bahwa anak-anak wajar yang orang tuanya hanya ada hubungan hukum (hubungan perdata) bilamana si bapak dan si ibu mengakuinya. Bagi ibu mengakui anak luar kawin adalah merupakan suatu kewajiban.

Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan dengan sukarela dan yang dipaksakan (atas putusan Pengadilan Negeri karena gugatan anak luar kawin).Pengakuan sukarela adalah dengan membuat suatu pernyataan yang sebagaimana ditentukan UndangUndang yang menyatakan bahwa seseorang adalah bapak atau ibu seorang anak yang lahir di luar perkawinan. Pernyataan pengakuan ini dapat dilakukan melalui 3 proses, yakni: dalam akte kelahiran, dalam akte perkawinan (apabila orang tua dari bayi tersebut melangsungkan perkawinan), dan dalam akte autentik tersendiri.

Untuk melakukan pengakuan anak luar kawin, seorang laki-laki harus mencapai umur 19 tahun.Dan apabila pengakuan itu karena penipuan dan kekhilafan, maka pengakuan tersebut tidak sah.

Anak luar kawin yang diakui dengan ketiga proses tersebut, dengan kawinnya kedua orang tuanya akan menjadi anak sah. Akan tetapi jika pengesahan itu dilakukan dengan Surat Pengesahan, maka akan memperoleh akibat hukum yang lebih terbatas, yakni :

1) Pengesahan mulai berlaku sejak Surat pengesahan diberikan.

2) Pengesahan itu dalam hal pewarisan tidak boleh merugikan nak anak sah yang ada sebelum pengesahan itu.

3) Pengesahan itu tidak berlaku dalam pewarisan terhadap para wangsa yang lain kecuali kalau mereka memberi ijin untuk pengesahan itu. Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa "anak yang diakui" adalah anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, tetapi diakui oleh orang tuanya (ayahnya). Sedangkan "anak yang disahkan" adalah anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, yang telah diakui atau disahkan dengan Surat Pengesahan, dan akhirnya kedua orang tuanya kawin secara sah.

c . Anak Zina, yaitu anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, yang salah satu atau kedua orang tuanya telah mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain. Anak yang lahir karena hubungan zina (anak zina) ini dilarang untuk diakui dan disahkan (pasal 272 KUH Perdata).

d . AnakIncest (anak sumbang), anak yang lahir dari kedua orang tua yang oleh Undang-Undang dilarang kawin. Menurut Pasal 273 KUH Perdata, anak-anak yang dilahirkan karena incest (anak incest/anak sumbang) dapat disahkan dengan cara mengakuinya dalam akta perkawinan setelah mendapat

dispensasi dari Menteri Kehakiman atas nama Presiden.

Menurut Pasal 45 (1) UU No. 1/1974, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (Pasal 45 ayat 1 UU, No. 1/1974). Kewajiban demikian dalam KUH Pdt ditentukan dalam pasal 298. Jadi kedua orang tua mempunyai ikatan /hubungan dengan anak-anaknya (anak sah) disebut dengan kekuasaan orang tua yang ditujukan untuk kesejahteraan anak-anaknya. Setiap anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Antara orang tua dengan anak terdapat kewajiban alimentasi, yakni kewajiban timbal balik antara orang tua dengan anak seperti yang ditentukan dalam Pasal 45 dan 46 UU Perkawinan dan Pasal 321 KUH Perdata. Orang tua dibebani kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum dewasa sesuai dengan kemampuan masing-masing, demikian sebaliknya anak yang telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.

Menurut KUH Perdata, alimentasi bersifat pribadi, oleh karena mana berakhir dengan kematian dari donor atau penerima. Dalam garis lurus pertama ke atas kewajiban alimentasi karena hubungan semenda berakhir bilamana ibu mertua kawin lagi, sedangkan mengenai ayah mertua pembatasan demikian tidak dikenal. Alimentasi merupakan hukum yang memaksa, jadi tidak dapat disimpangidan hak alimentasi tidak dapat dihapus antara mereka yang berkewajiban memberikannya secara timbal balik.

anak seperti tersebut di atas, juga meliputi kekuasaan terhadap harta benda kepunyaan anak yang terdiri dari :

a. Kekuasaan untuk mengelola harta benda.

b. Kekuasaan untuk memperoleh kenikmatan hasil dari harta benda.

Pelaksanaan dari kewajiban ini harus dilakukan dengan itikat baik disertai pemeliharaan harta benda termaksud seperti selayaknya dilaksanakan oleh seorang bapak rumah tangga yang baik.

Terhadap harta benda kepunyaan anak, dalam Pasal 48 UU Perkawainan menyatakan bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Menurut UU Perkawinan, kekuasaan orang tua berakhir: a. Anak kawin atau dapat berdiri sendiri (pasal 45 ayat 2).

b. Anak sudah dewasa (sudah mencapai umur 18-tahun), diatur dalam pasal 47. c. Apabila salah seorang atau kedua orang tua dicabut kekuasaannya terhadap

seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu (pasal 49).

Menurut KUH Perdata berakhirnya kekuasaan orang tua adalah sebagai berikut:

a. Berakhirnya secara relatif.

alasan-alasan:

a) Menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau melalaikan kewajiban untuk memelihara dan mendidik satu atau lebih anak-anaknya..

b) Kelakuan hidup yang tercela.

c) Telah dijatuhi hukuman oleh karena dengan sengaja ikut serta dengan suatu kejahatan terhadap anak yang masih di bawah kekuasaannya. d) Dihukum karena kejahatan yang termaktub dalam babXII, XIV, XV,

XIX dan XX KUH Pidana terhadap anak-anak di bawah umur termaksud di atas.

e) Karena dihukum dengan hukuman penjara minimal 2 tahun.

Apabila terjadi pemecatan kekuasan orang tua, maka hak orang tua untuk memperoleh kenikmatan hasil harta benda anaknya hapus.Pemecatan kekuasaan orang tua berlaku untuk semua anak-anaknya.

a) Karena pembebasan kekuasaan orang tua, misalnya kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga orang tua tidak mampu/tidak, berdaya lagi, untuk mendidiknya. Pembebasan kekuasaan orang tua tidak menghapuskan hak orang tua untuk memperoleh kenikmatan hasil harta benda anaknya. Pembebasan kekuasaan orang tua hanya meliputi satu anak saja, jadi tidak semua anak-anaknya. Kekuasaan orang tua yang dipecat dan dibebaskan tersebut dapat diserahkan kembali kepada orang tua bila ternyata bahwa alasan-alasan yang mengakibatkan pencabutan dan pembebasan sudah tidak ada. Pemulihan hak ini dapat diminta oleh orang tua yang bersangkutan,

kejaksaan dan Dewan Perwalian.

b) Berakhirnya kekuasaan orang tua secara absolut. 1) Karena kematian anak.

2) Karena anak mencapai kedewasaan (umur 21 tahun).

3) Karena pembubaran perkawinan orang tua, sehingga anak-anaknya di bawah pengawasan seorang wali.

C. Hubungan Hukum Keperdataan Antara Anak yang Lahir Dalam

Perkawinan Yang Sah Dengan Ayah Biologisnya Pasca Putusan MK R.I No.46/2010.

Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah disini di maksudkan, si janin sudah ada di dalam perut ibunya sebelum pernikahan dilakukan dan dilahirkan sesudah perkawinan sah tetapi bukan dengan ayah biologis dari si anak yang dikandungnya, atau anak yang lahir dalam perkawinan yang sah ini bisa terjadi karena si isteri berselingkuh dan menghasilkan anak dari perselingkuhannya dengan pria lain. Sebelum diperdalam lagi tentang anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, dijelaskan dahulu arti dari perkawinan yang sah dilihat dari segi hukum UU Perkawinan atau dari segi hukum Islam.

Didalam UU Perkawinan, syarat dari sahnya perkawinan jelas dituliskan di Pasal 2 ayat 1 dan 2, yang menuliskan perkawinan itu sah dilangsungkan menurut agamanya masing-masing dan dilakukannya pencatatan. Apabila tidak dilakukannya pencatatan maka perkawinan itu tidak sah menurut negara. Dan kalau dilihat dari segi

hukum Islam, perkawinan sah apabila :37

a. Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita. b. Adanya akad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau

wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul). c. Adanya wali dari calon istri.

d. Adanya dua orang saksi.

Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya, dan dilihat dari syarat – syarat sahnya perkawinan dari hukum Islam maka banyak yang melakukan perkawinan yang hanya memakai syarat sahnya perkawinan hanya dari Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, tanpa mencatatkan perkawinan mereka. Hal ini yang akhirnya berpengaruh dengan anak – anak yang dihasilkan dari perkawinan Sirri dan terkadang si ayah biologis dan menyatakan bahwa si anak bukan darah dagingnya walaupun si anak dari perkawinan yang sah menurut agama.

Dan hal inilah yang akhirnya membuat seorang Machicha Mochtar mengajukan uji materi ke MK tentang Anak Biologisnya, hasil dari perkawinan Sirri nya dengan Moerdiono. Dan setelah beberapa tahun berusaha maka MK telah mengabulkannya, sehingga Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan No. 1/1974 diubah dan menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

37Victor dan Cormentyna, 1991,Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 25

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".

Nampak jelas bahwa si anak dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah menurut negara, dimana tidak tercatat di kantor catatan sipil, tetapi sah menurut agama. maka dari itu si anak disebut sebagai anak di luar nikah. Dalam pembuktiannya si anak memang hasil dari hubungan Machicha dengan Moerdiono, bisa di buktikan dari test DNA dan bukti – bukti lainnya seperti foto yang menunjukkan adanya perkawinan Sirri ataupun menunjukkan mereka melakukan hubungan suami isteri.

Selain dari perkawinan sah atau tidak sahnya sebuah pekawinan, penyangkalan juga dilakukan pria untuk tidak mengakui si anak adalah hasil hubungannya dengan wanita, dan sering terjadi didalam perkawinan yang sah, hasil dari perselingkuhan. Anak dapat diingkari ayahnya, apabila :38

a. Pasal 44 ayat 1 UU Perkawinan, menyatakan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu adalah akibat dari perzinahan tersebut.

b. Sedangkan dalam Pasal 251 KUH Perdata dinyatakan bahwa keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh dalam perkawinan suami istri, dapat diingkari oleh si suami. Dalam pasal ini pengingkaran tidak dimungkinkan jika:

1. si suami sebelum perkawinan sudah mengetahui akan mengandungnya si istri; 2. suami telah hadir tatkala akte kelahiran dibuat dan akta itu pun telah

ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tidak dapat menandatanganinya;

3. si anak tidak hidup tatkala dilahirkan;

c. Kompilasi Hukum Islam pasal 101 menyatakan bahwa suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaran dengan li’an (li’an adalah: permohonan yang diajukan seorang suami untuk menceraikan istrinya dengan alasan karena istrinya telah melakukan zinah).

Meski ketetuan-ketentuan diatas memberi hak kepada seorang ayah untuk mengingkari anaknya, namun si ayah harus dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu adalah akibat dari perzinahan itu Artinya, bila suami atau ayah dari anak tersebut tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat, maka pengingkaran tidak dapat dilakukan. Bahkan Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan sumpah berkaitan dengan keputusan yang akan dikeluarkan tentang sah/tidaknya anak tersebut (Pasal 44 ayat 1 dan 2 UU Perkawinan).

Pasal 252 KUH Perdata juga menentukan bahwa suami dapat mengingkari keabsahan si anak, apabila ia dapat membuktikan bahwa sejak 300 sampai dengan 180 hari sejak lahirnya anak itu, baik karena perpisahan maupun sebagai akibat suatu kebetulan, ia berada dalam ketidakmungkinan yang nyata untuk mengadakan hubungan seks dengan istrinya.Jika anak itu lahir berdasar atas perbuatan zinah, suami tak dapat mengingkari keabsahan seorang anak, kecuali jika kelahiran anak

itupun disembunyikan darinya. Dalam hal ini ia harus membuktikan dengan sempurna, bahwa ia bukan bapak anak itu (Pasal 253 KUH Perdata).

Namun demikian, KUHPerdata pasal 254 juga memberikan hak kepada istri untuk mengemukakan segala bukti, baik dari peristiwa, saksi atau bukti lain yang bisa membuktikan bahwa suaminyalah bapak anak itu.

Alat bukti yang digunakan yang berkaitan dengan pembuktian adalah: a. Akta kelahiran anak (yang telah dibukukan dalam register catatan sipil); b. Saksi-saksi; hal ini dapat dilakukan bila tidak ada akta kelahiran. Pembuktian

dengan saksi ini hanya boleh dilakukan apabila telah ada bukti permulaan dengan tulisan, dugaan-dugaan dan petunjuk-petunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat disangkal lagi kebenarannya;

c. Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan sumpah (Penjelasan pasal 44 UU Perkawinan);

d. Melakukan tes DNA. Tes ini dapat membuktikan jenis darah dari pihak yang mengingkari dan yang diingkari, yang kemudian dapat dipakai untuk memperkirakan adanya hubungan darah antara keduanya.Namun tes ini sangat mahal.

Selain dari bukti yang harus diajukan apabila si ayah mengajukan penyangkalan, batas waktu penyangkalan juga adadi tuliskan di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 102 memberi batas waktu pengajuan pengingkaran anak ke Pengadilan Agama adalah:

2. 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau

3. setelah suami mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama

Sedangkan, didalam UU Perkawinan tidak menjelaskan secara tegas kapan seorang bapak dapat mengingkari anaknya.

Penyangkalan anak akan berdampak besar bagi anak salah satu dampaknya bukan hanya psikologis saja yang dapat terganggu namun identitas dari anak tersebut yaitu mengenai masalah akta kelahiran anak tersebut. Akta kelahiran sangat diperlukan untuk berbagai kepentingan misalnya, mendaftar sekolah, mencari kerja dan sebagainya. Identitas anak diatur oleh pasal 27 Undang-Undang perlindungan anak. Akta kelahiran bagi seseorang sangatlah dibutuhkan, penyebutan anak itu lahir dari perkawinan yang sah atau tidak dapat dilihat pada penyebutan nama ayah.apabila anak itu dilahirkan di luar perkawinan, nama ayahnya tidak boleh disebutkan dalam akta kelahiran.

Dari Segi Nafkah Status anak yang sah yang lahir dalam perkawinan kemudian disangkal oleh ayahnya menjadi anak tidak sah. Hal ini terdapat pada pasal 162 Kompilasi Hukum Islam.Pada pasal tersebut berarti apabila anak yang disangkal tersebut ternyata benar anak biologis dari ayah yang menyangkat tersebut, tentulah sungguh sesuatu ketidakadilan karena suami/ayah terbebas dari kewajiban terhadap anaknya yang pada dasarnya seorang anak itu berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sudah dilahirkan ini terdapat

pada pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mendidik dan melindungi anak, Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.39

Salah satu kasus penyangkalan anak Nomor : 185/Pdt.G/2010/PTA yang lahir dalam perkawinan yang sah ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Kasus penyangkalan anak ini, terjadi ketika seorang suami bernama A (bukan nama sebenarnya) umur 59 tahun, agama Islam, Pekerjaan PNS, tempat tinggal di Kabupaten Banyumas menggugat istrinya yang sah bernama B (bukan nama sebenarnya) umur 42 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta, tempat tinggal di Kabupaten Banyumas, atas anak yang lahir dalam perkawinannya. A dan B merupakan pasangan suami isteri yang menikah pada Tanggal 9 Mei 2002. Keraguan suami atau ayah pada kasus ini bermula pada pengakuan B pada Tanggal 22 november 2005, pernah melakukan perzinahan dengan seseorang lelaki bernama C (bukan nama sebenarnya) dalam kurun waktu pernikahan mereka yaitu pada bulan Mei dan Juni 2004. A menggugat B dengan gugatan penyangkalan anak, dan Sesuai putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor : 157/Pdt.G/2009/PA.Pwt Taggal 27 Mei 2010 antara lain memutuskan bahwa anak yang bernama X (bukan nama sebenarnya) bukan anak sah Penggugat (Sdr A) dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan Penggugat, kemudian Akta kelahiran Nomor : 1255/2005 Tertanggal 10 Mei 2005 atas nama X yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil Purwokerto

39Beirut Wienarsi Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata Barat, Gitama Jaya, Jakarta, 2005,hlm 20

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dan memerintahkan kepada Kantor Catatan sipil Purwokerto atau Lembaga yang berwenang untuk menghapus nama belakang anak yang sama dengan nama ayah dari nama anak tersebut.40

Dari semua rukun nikah tidak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya tetap dianggap anak sah.

Perbedaan pengaturan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu dalam hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang disangkal oleh ayahnya diantaranya :41

a. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan anak yang disangkal oleh ayahnya putus hubungan antara ayah dan anak yang berakibat pada hak-hak anak menjadi tidak terpenuhi seperti hak mendapatkan pengasuhan, bimbingan, perhatian,dan lain-lain.

b. menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, ayah berkewajiban dan bertanggung jawab atas mengasuh, memelihara menyiratkan anak harus mendapat perhatian dari kedua orang tuanya walau orang tuanya telah bercerai Menurut Sulaiman fiqri walaupun banyak peratuan dan pendapat mengenai

40Penyangkalan Terhadap Anak Dalam Perkawinan dan Akibat Hukmnya Ditinjau Dengan UU RI No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam, http://fh.unpad.ac.id/repo/?p=1892, Oktober 2012

41Moh Idris Ramulyo,Tinjauan Beberapa Pasal Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2002,hlm 35

penyangkalan anak, barang siapa yang beragama islam harus tunduk pada apa yang dicantumkan dalam Al-Quran atau hadist.

Terlepas dari semua peraturan penyangkalan anak yang berlaku di Indonesia, proses penentuan kebenaran mengenai status anak tersebutlah yang harus diperhatikan lebih dalam, karna perlindungan anak harus dilaksanakan secara rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien terhadap anak yang bersangkutan. Karena dalam kasus penyangalan anak, anak sama sekali tidak bersalah dan sangat tidak adil apabila anaklah yang harus menanggung kerugian dan hak-hak mereka menjadi terlantar.42

Dengan adanya Keputusan MK R.I No.46/2010, penyangkalan seorang ayah tidak akan terkabulkan apabila bisa dibuktikan dengan test DNA dan kecanggihan tekhnologi lainnya. Dimana hak dari anak biologis akan sama halnya dengan hak

Dokumen terkait