• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Putusan MK RI NO. 46 2010 Terhadap Hubungan Antara Anak Dengan Ayah Biologisnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Hukum Putusan MK RI NO. 46 2010 Terhadap Hubungan Antara Anak Dengan Ayah Biologisnya"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN ANTARA ANAK YANG LAHIR DALAM PERKAWINAN YANG SAH DENGAN ORANG TUA SAH DAN

AYAH BIOLOGISNYA

A. Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan.

Pernikahan atau adalah upacara pengikatan janjinikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.18

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum, baik tehadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak, maka timbul

(2)

hubungan hukum antara anak dan orangtuanya. Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pekawinan ( selanjutnya disebut UU Perkawinan), sudah seyogyanya akan timbul hubungan hukum antara anak dan orang tuanya, antara lain memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mandiri.19

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian bagi yang beragama Islam perkawinannya sah apabila dilakukan menurut ketentuan dan tata cara hukum Islam. Perkawinan dan perceraian tidak bisa terpisahkan dengan Pengadilan Agama, karena baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, telah mengatur bahwa sengketa di bidang perkawinan bagi yang beragama Islam atau yang tunduk pada hukum Islam di selesaikan di Pengadilan Agama.20

Untuk melangsungkan pernikahan seorang peria atau wanita diharuskan memenuhi beberapa syarat tertentu, Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor

(3)

1 Tahun 1974 menjelaskan syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua

Di sisi lain Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut :

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

(4)

Undang-Undang, oleh karena itu untuk melangsungkan pernikahan diperlukan dispensasi kawin.21

Sementara bagi pria yang telah berusia 19 tahun dan wanita telah berusia 16 tahun telah diizinkan untuk melakukan perkawinan oleh Undang-Undang dengan ketentuan harus mendapat izin dari kedua orang tua terlebih dahulu, jika izin dari orang tua yang bersangkutan tidak diperoleh, maka izin tersebut dapat dimintakan ke Pengadilan. Izin nikah, karena yang bersangkutan telah mencapai batas minimal usia yang dizinkan Undang-Undang untuk melakukan perkawinan, hanya saja harus mendapat izin orang tua terlebih dahulu karena belum berusia 21 tahun. Karena izin dari orang tua tidak ada, maka untuk melangsungkan pernikahan diperlukan izin kawin dari Pengadilan. Dengan demikian kita dapat memahami perbedaan antara izin kawin dengan dispensasi kawin yang dapat diperoleh melalui tahapan proses presidangan di Pengadilan Agama.22

Selain dispensasi kawin dan izin kawin seperti diuraikan di atas, salah satu syarat pernikahan adalah adanya wali nikah. Apabila syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan hukum syara’ telah terpenuhi, tetapi wali nikah dalm hal ini orang tua mempelai perempuan tidak mau menikahkan dengan alasan-alasan yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan dan syari’at, maka calon mempelai perempuan dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama perihal keengganan walinya untuk menikahkan. Keengganan seorang wali untuk menikahkan

21Gatot Supramono,Segi –

(5)

anaknya dalam Hukum Materiil Peradilan Agama disebut Wali Adhal. Berdasarkan permohonan tersebut Pengadilan Agama akan memberikan penetapan apakah wali pemohon tersebut Adhal atau tidak.23

Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam UU Perkawinan adalah sebagai berikut:24

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materiil.

b. Dalam UU Perkawinan dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. UU Perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun, demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendai oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

(6)

d. UU Perkawinan menganut prinsip, bahwa calon isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk melaksanakan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri di bawah umur.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka UU Perkawinan menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbangdengan hak dan kedudukan suami

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.

(7)

selain akan menjadi cikal bakal penerus keturunan bagi orangtuanya juga akan membuktikan kesempurnaan ikatan cinta dan kasih sayang diantara mereka.25

Pada umumnya orang tua berharap kelak seorang anak akan mampu mewujudkan harapan dan cita-citanya yang belum tercapai, sedangkan disisi lain anak juga akan menjadi pewaris dari harta dan kekayaan yang ditinggalkan orangtuanya kelak jika ia meninggal. Sejalan dengan hal itu Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa tujuna utama dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya sebagai manusia, membentuk dan mengatur rumah tangga atas dasar cinta dan kasih sayang, memelihra manusia dari kejahatan dan menumbuhkan kesungguhan mencari rejeki yang halal dan memperbesar tanggung jawab.26 Begitu banyak makna sebuah perkawinan dalam menghiasi perjalanan hidup manusia, karena perkawinan merupakan fitrah yang harus dijalani dengan itikad yang tulus semata-mata untuk tujuan menciptakan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan agama dan kepercayaan yng diyakininya. Perkawinan bukanlah hal yang mudah, dan hal itu sangat penting karena menimbulkan akibat hukum bukan hanya antara si calon suami isteri saja, melainkan dengan anak yang akan mereka hasilkan nantinya. Apabila dari perkawinan tersebut menghasilkan anak, maka akan timbullah hubungan antara anak dan orangtua.

25Muhammad dan Zulchaina, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektip Konvensi

Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti,1999.hlm20-22

(8)

Dimana hukum antara orang tua dan anak menimbulkan kewajiban si orangtua untuk memelihara, bertanggung jawab dan mendidik sampai anak-anaknya bisa mandiri.

Dilihat dari Pasal 2 ayat 1 (satu) UU Perkawinan, perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan perumusan ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perUndang-Undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undnag-Undang, dengan begitu aturan-aturan tentang perkawinan yang telah menjadi hukum tersendiri didalam beberapa agama tetap tidak kehilangan eksistensinya sepanjang hal tersebut tidak bertentangan atau dinyatakan lain di dalam undang-undang.27

Di dalam perkawinan di Indonesia ini sering terjadi nya perkawinan campuran, dimana hal ini berpengaruh tehadap kedudukan anak yang terlahir dari perkawinan cmpuran yang sah. Istilah perkawinan campuran ialah dari Peraturan Perkawinan Campuran, yang merupakan objek sebenarnya dari disertasi ini. Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23, S. 1898/158 (“Regeling op de gemengde huwelijken”, selanjutnya disingkat GHR) memberi definisi sebagai berikut : “perkawinan orang-orang yang di Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan” (Pasal 1). Hukum yang berlainan ini, diantaranya dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai “regio” Kerajaan Belanda,

(9)

golongan rakyat (bevolkingsgroep, landaard), tempat kediaman atau agama. Dengan demikian kita mendapatkan perkawinan campuran internaisonal, perkawinan campuran antar regio (interregionaal) perkawinan campuran antar tempat (interlocaal), perkawinan campuran antargolongan (intergentiel) dan antar agama. Maka dari itu, perkawinan campuran dapat dibagi menjadi tiga bagian :28

1. Perkawinan Campuran Antartempat

Perkawinan antar tempat dimaksudkan perkawinan antara orang-orang Indonesia sendiri yang berasal dari suku bangsa atau daerah yang berlainan dan hidup dalam berbagai lingkungan hukum (rechtssferen, rechtskringen). Misalnya perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda, seorang Jawa dengan wanita Lampung dan sebagainya.Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa makin tertutup suatu masyarakat, makin besar perasaan yang menentang perkawinan-perkawinan dengan orang-orang dari luar.

Perkawinan seorang perempuan dari suku tertutup dengan orang asing akan membawa akibat buruk dari “vreemdenmagie” itu bukan saja bagi perempuan tersebut, tetapi juga bagi masyarakatnya. Akan tetapi, kontak dengan “dunia luar” bertambah, karena berpindahan tempat secara besar-besaran (volksverhuizing) semakin tipislah ketakutan ini.Makin kurang orang-orang asing dipandang sebagai “duivelendragers”maka makin banyak terjadi perkawinan interlokal.

Perkawinan campuran ternyata tidak terlarang secara mutlak oleh sesuatu peraturan adat, akan tetapi dianggap lebih baik untuk kawin dalam suku sendiri.

(10)

Kendor kencangnya hal yang belakangan ini bergantung pada keadaan masyarakat-masyarakat suku masing-masing. Untuk tahun-tahun belakangan dari abad ke-20, terlihat bahwa karena perbaikan perhubungan dan tambah sempurnanya pendidikan dapat dilihat, bahwa perkawinan-perkawinan campuran antartempat di kalangan rakyat Indonesia sendiri makin lama akan makin bertambah.

2. Perkawinan Campuran Antaragama,

Pernikahan beda agama (interfaith marriage) merupakan kenyataan sosial yang terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia. Hubungan antar masyarakat menyebabkan adanya hubungan antar keyakinan (interfaith relationship) yang memang dapat menghasilkan pernikahan di antara pemeluk keyakinan yang berbeda. Negara-negara maju telah lama memberlakukan peraturan yang mengizinkan pernikahan beda agama.

(11)

menyebabkan para pihak yang hendak melakukan pernikahan melakukan penyelundupan hukum (evasion of law). Ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:

1. Meminta penetapan pengadilan;

2. Pernikahan dilakukan menurut masing-masing agama; 3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama; dan 4. Menikah di luar negeri.

Dengan dicatatkannya pernikahan beda agama yang dilakukan di luar negeri tidak serta-merta membuat pernikahan itu sah berdasarkan hukum Indonesia. Kantor Catatan Sipil hanya lembaga pencatat pernikahan.

Pada tahun 1986, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 yang menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu diperkenankan untuk melangsungkan pernikahan beda agama. Kasus ini bermula dari pernikahan yang hendak dicatatkan oleh Andi Vonny Gani (wanita) dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (pria). Dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil maka Andi Vonny telah memilih untuk pernikahannya tidak dilangsungkan menurut agama Kristen. Dengan demikian, Andi Vonny memilih untuk mengikuti agama Andrianus. Maka, Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan pernikahan tersebut.

(12)

dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka pernikahan tersebut adalah sah menurut hukum. Usulan amandemen terhadap UU No. 1 Tahun 1974 telah lama dikemukakan oleh sejumlah kelompok. Salah satu usulan tersebut adalah memasukkan klausul pernikahan beda agama. Hal ini mendapat reaksi negatif dari seluruh lembaga keagamaan. Pernikahan beda agama merupakan pilihan bebas setiap pihak dengan segala konsekuensinya. Berdasarkan yurisprudensi MA tersebut di atas, maka syarat formal pernikahan telah terpenuhi sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, syarat materil pernikahan tidak terpenuhi karena berbenturan dengan ketentuan pasal 2 UU Perkawinan. Pendapat dari seluruh lembaga keagamaan di Indonesia menyatakan tidak sahnya pernikahan berbeda keyakinan ditinjau dari hukum setiap agama. Tidak terpenuhinya syarat materil pernikahan dalam agama berdampak pada waris dan status anak dari pasangan berbeda keyakinan.

(13)

muslim, pernikahan tersebut dapat disahkan sesuai syarat materil dalam UU Perkawinan. Jadi, pernikahan tersebut dapat diulang berdasarkan syariat.29

3. Perkawinan Campuran Negara

Pernikahan beda negara memang tengah marak di kalangan masyarakat. Apalagi, era yang semakin terbuka ini makin memudahkan seseorang untuk melakukan hal tersebut. Namun, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pernikahan tersebut, terutama kaum wanita. Hal ini mengingat di Indonesia memang belum ada aturan yang spesifik untuk melindungi mereka yang terkait dengan pernikahan beda negara. Perlindungan secara khusus tidak ada dalam pernikahan beda negara, tetapi kementerian PP-PA akan memberikan perlindungan kepada wanita yang menjadi korban kekerasan khususnya dalam rumah tangga sebagai akibat dari pernikahan beda negara, lebih baik sebelum melakukan pernikahan, hendaknya harus dibekali pengetahuan yang cukup. Tentu saja, semua itu dimaksudkan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Apalagi, tak sedikit wanita yang akhirnya menjadi korban. Harus diketahui dala pernikahan beda negara atau menikah dengan orang asing adalah suatu hal yang sangat pelik, belum lagi perbedaan bahasa, budaya gaya hidup dan pola pikir yang jelas sekali. Pemasalahan imigrasi, perjanjian pranikah, KDRT, tantangan dari Negara

(14)

(kebijakan, aturan hukum dan perundang-undangan), masyarakat maupun dari dalam keluarga sendiri.30

Surat-surat lengkap yang digunakan untuk perkawinan campuran beda negara harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah, kemudian dilegalisir oleh kedutaan Negara di mana calon suami menjadi warga negara. Setelah melangsungkan perkawinan dan tercatat di Pegawai Catatan Pernikahan maka akta pernikahan sebaiknya dilegalisir di departemen luar negeri dan didaftarkan di kedutaan asal calon suami. Hal ini perlu dilakukan agar pernikahan tersebut dianggapsah secara internasional.

Ada baiknya sebelum melakukan perkawinan campuran antar negara, dilakukannya Perjanjian Pra-Nikah. Perjanjian pra-nikah dibuat sebelum pernikahan dilaksanakan, dapatdibuat oleh notaris atau pengacara yang dipilih oleh calon pelaku pernikahan campuran. Perjanjian pra-nikah termuat dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 29 (3) UU no. 1 tahun 1974. Perjanjian pra-nikah menyangkut perjanjian perihal harta, pekerjaan maupun penghasilan. Perjanjian pranikah ini bukan merupakan bentuk persiapan untuk bercerai. Perjanjian pranikah malah akan melindungi masing-masing pasangan dari hal-hal yang tidak diinginkan bila terjadi sesuatu dengan salah satu dari mereka. Misalnya, salah satu dari mereka mengalami kebangkrutan usaha, maka kalau terjadi penyitaan harta akibat dari pailit itu, yang akan disita hanyalah harta yang bersangkutan. Sedangkan harta pasangannya tidak

(15)

akan diganggu gugat karena memang tidak terlibat dalam bisnis tersebut. Dengan demikian, kehidupa mereka masih bisa berjalan dengan baik karena mereka masih mempunyai pegangan secara ekonomi. Perjanjian pranikah juga bisa mengatur segala kesepakatan yang sekiranya akan merugikan salah satu di antara mereka. Ininya adalah, perjanjian pranikah ini untuk saling menghargai dan melindungi mereka berdua.

Masalah status anak berhubungan dengan asas kewarganegaraan Indonesia. Indonesia menganut asas Ius Sanguinis (garis darah), sehingga anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran secara hukum mengikuti kewarganegaraan ayahnya (WNA). Risikonya, anak hasil dari pernikahan campuran harus mengikuti aturan hukum yang berlaku untuk orang asing.

Bagi yang hendak melakukan perkawinan campuran hendaklah kuat secara mental dan materil, karena untuk memenuhi persyaratannya diperlukan waktu, tenaga, dan uang. Melihat kondisi maraknya pernikahan campuran antarnegara ini, diharapkan pemerintah merevisi undang-undang mengenai kewarganegaran lebih toleran. Semoga pembahasan makalah hukum perkawinan lebih disosialisasikan agar semua orang bisa lebih memahaminya.

Pengertian dan Kedudukan Perkawinan tidak Tercatat

(16)

maupun hukum menurut UU. Oleh karena itu, untuk mengetahui status hukum pernikahan yang tidak tercatat atau nikah di bawah tangan maka akan dijelaskan secara rinci melalui uraian sebagai berikut :

1. Status Hukum Pernikahan Yang Tidak Tercatat Menurut Syariat Islam

Perkawinan merupakan salah satu perikatan yang telah disyariatkan dalam Islam. Hal ini dilaksanakan untuk memenuhi perintah Allah agar manusia tidak terjerumus ke dalam perzinaan maka diperintahkan untuk melangsungkan pernikahan. Untuk membicarakan apakah sah pernikahan yang tidak tercatat (nikah di bawah tangan), menurut hukum Islam maka kita harus memahami syarat-syarat dan rukun pernikahan menurut hukum Islam.

(17)

menikah atau belum dan pengadilan pun tidak dapat membuktikannya. Karena pernikahan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pernikahan itu sendiri merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan perempuan ke dalam suatu ikatan yang sah. Oleh karena itu, pernikahan tidak dapat dipermainkan. Jadi setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan itu harus dipikirkan dengan matang terlebih dahulu, apabila kemauan dan kemampuan sudah ada sepenuhnya barulah pernikahan itu dilaksanakan. Pelaksanaan pernikahan itu ditetapkan menurut hukum Islam maupun menurut undang-undang, untuk menjaga agar tidak terjadi suatu hal yang mengkhawatirkan terhadap suatu umat, maka hal itu diperintahkan kepada para pemuda untuk melaksanakan suatu pernikahan dengan maksud untuk menjaga pandangan bagi para pemuda agar terhindar dari perbuatan zina.31

Islam mensahkan perkawinan dan segala akibat baik yang bertalian dengan perkawinan, baik bagi yang bersangkutan, bagi masyarakat maupun bagi kemanusiaan pada umumnya. Walaupun pernikahan itu dilakukan menurut syariat Islam dan pernikahan itu sah, tetapi pengadilan tidak menerima keberadaannya tentang pernikahan yang tidak tercatat.32

Pengumuman dan pendaftaran itu penting dan perihal untuk menghindari akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah tangan dalam hubungannya dengan pihak ketiga; misalnya tentang sahnya anak, wali nikah, tentang waris

(18)

mewaris. Bahwa bagaimanapun pendaftaran itu penting bagi kemaslahatan kedua belah pihak. Kepastian hukum bagi masyarakat demikian juga baik suami dengan isteri tidak demikian saja dapat mengingkari perjanjian perkawinan yang suci tersebut, dan tidak dengan mudah menjatuhkan talak, sesuai dengan analogi (qiyas). Dengan melakukan perkawinan yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, berarti telah melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Pencatatan tidak menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Perkawinan apabila dilakukan menurut ketentuan agama masing-masing, walaupun perkawinan tersebut tidak terdaftar dalam surat Keputusan Mahkamah Islam tinggi, pada tahun 1953 No. 23/19 menegaskan bahwa bila izin nikah telah lengkap, walaupun tidak terdaftar maka nikahnya tidak didaftarkan.33

Setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang menangani hal perkawinan selalu menegaskan bila perkawinan itu rukunnya telah lengkap tetapi tidak terdaftar, akan menghadapi kesulitan-kesulitan bahkan akan dikenakan denda sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Syarat dan rukun dalam perkawinan berkedudukan pada tingkat pertama menurut syariat Islam walaupun tidak tercatat. Tetapi pegawai pencatat perkawinan (KUA) selalu mengawasi terjadinya perkawinan karena dialah yang berhak untuk melaksanakan hal itu. Di dalam hukum Islam bahwa perkawinan di bawah tangan itu menempati kedudukan pada tingkatan kedua dari

(19)

syarat yang telah ditentukan dalam syariat Islam. Walaupun demikian pernikahan di bawah tangan sebaiknya tidak dilaksanakan.

Terkadang ada orang yang takut-takut kawin karena sangat takut untuk memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan. Memang banyak kesulitan yang dihadapi bagi orang yang telah melaksanakan pernikahan, tetapi dengan pernikahan akan dapat memperoleh hikmah-hikmah dalam pernikahan tersebut. Pernikahan merupakan salah satu aktivitas bagi setiap insan atau mendapatkan keturunan yang sah. Islam mengantarkan pernikahan sebagaimana tersebut karena pernikahan sangat mempunyai pengaruh bagi ummat manusia, tetapi apabila perkawinan itu tidak teratur maka akan mendapatkan dampak negatif, bagi kehidupan kita. Jika pernikahan itu dilakukan di bawah tangan dan telah diketahui oleh pihak yang berwenang melaksanakan pencatatan pernikahan yang dilakukan bagi umat Islam yaitu KUA, maka hal itu akan menjadi permasalahan besar bahkan dinyatakan sebagai pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum.

Allah SWT, tidak berkembang sesuai dengan apa yang menjadi kehendak manusia. Allah mengatur naluri yang terdapat pada manusia prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga manusia tetap utuh semakin baik suci dan bersih. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tidak akan terlepas dari didikan Allah semata.34

(20)

Sebenarnya segala hukum dan adat istiadat boleh dilakukan oleh setiap umat dalam hukum perkawinan asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam, kesucian dan keutuhan ikatan perkawinan hendaknya dijaga dengan sebaik-baiknya. Di Indonesia perkawinan umat Islam telah mendapat jaminan hukum dari pemerintahan RI, dengan UU perkawinan No. 2 tahun 1946 dan telah dinyatakan bagi seluruh bangsa Indonesia dengan UU No. 35 tahun 1954 menyatakan: “Barang siapa melakukan perkawinan yang tidak menurut Undang-undang dapat dituntut; walaupun sah menurut hukum Islam, karena Undang-undang mengatur perlindungan hakim yang tegas supaya benar-benar syariat Islam ditegakkan”.

Masyarakat yang beragama Islam wajib mengikut segala peraturan yang telah menjadi ketetapan pemerintah.Hukumlah yang mengatur segala yang dikerjakan oleh setiap manusia, baik hukum itu berasal dari Allah, Rasulullah maupun dari ketetapan pemerintah. Allah memudahkan pernikahan, tetapi pernikahan itu sendiri tidak boleh dimudah-mudahkan untuk dilaksanakan. Pernikahan tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah disyariatkan. Setiap manusia yang akan melangsungkan pernikahan maupun bentuk akad lainnya selalu terikat oleh hukum, tergantung dari niat seseorang yang akan melaksanakan pernikahan itu.

(21)

2. Kedudukan pernikahan yang tidak tercatat (Nikah di bawah tangan)

menurut UU No. 1 tahun 1974

Pencatatan pernikahan bertujuan untuk menjadikan peristiwa pernikahan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, bagi orang lain maupun bagi masyarakat. Suatu surat yang bersifat resmi dibuat dalam suatu daftar sehingga surat itu sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana hal itu perlu, terutama sehingga sebagai suatu alat bukti yang autentik.35

Dengan ketetapan tersebut di atas adalah sama seperti yang disyariatkan dalam Islam. Jadi dengan pencatatan peristiwa pernikahan itu dapat menjadi jelas dan bersifat resmi karena perkawinan tersebut telah terdaftar di KUA bagi beragama Islam.

Pada tanggal 1 April 1977 pemerintahan mengundangkan Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 2 ayat (1):

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.

Yang dimaksud menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yaitu apabila pernikahan itu dilakukan bagi orang yang beragama Islam maka pernikahan sebelum dilaksanakan kita harus melapor terlebih dahulu ke KUA dan jika melakukan pernikahan itu selain dari yang beragama Islam maka melapor pada kantor catatan sipil. Tentang tidak adanya pernikahan di luar hukum

(22)

masing-masing agamanya itu, dan pelanggaran pernikahan itu sebenarnya tidak diinginkan baik menurut hukum Islam itu sendiri maupun menurut agama lain yang ada di Indonesia. Setiap agama tentu sudah mempunyai peraturan-peraturan sendiri, bagi orang yang beragama Islam dicatat di KUA dan bagi non muslim dicatat di kantor catatan sipil.

Hal ini sebagaimana juga yang telah dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan sebagai berikut:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(23)

“Pada prinsipnya untuk melaksanakan pernikahan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan yang sah pemberitahuannya kehendak melangsungkan secara lisan, atau tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili dari mempelai atau memberitahukan kehendak melangsungkan pernikahan adalah wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus.36

Untuk menghindari diri dari hal-hal yang tidak diinginkan dalam pernikahan, olehnya itu seseorang diharuskan memperhatikan segala ketentuan yang telah disyariatkan baik dalam Islam maupun peraturan perundang-undangan.Pernikahan yang tidak tercatat sebaiknya tidak dilaksanakan bagi umat Islam. Sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pasal 26 ayat 2 UU Perkawinan yang berbunyi:

“Hak untuk membatalkan suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka sudah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang dan pernikahan harus diperbaharui supaya sah”.

Jika dalam pernikahan tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan dan ketentuan yang telah ditetapkan surat akte nikah itu dibuat oleh pihak yang berwewenang, maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Catatan pada tiap-tiap pernikahan sangatlah penting karena dengan pencatatan seseorang telah dapat membuktikan, bahwa adanya pernikahan tersebut telah terbukti bahwa kelahiran anaknya adalah anak yang sah.Dengan demikian kedudukan pernikahan di bawah

(24)

tangan menurut Undang-undang No. 1 / 1974 tentang perkawinan belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam ketentuan tersebut.

B. Akibat Hukum Keperdataan Perkawinan Sah Terhadap Anak Yang Dilahirkan

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga. Keluarga terdiri atas: ayah, ibu dan anak, bahkan menurut hukum adat tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Kehadiran anak itu sendiri menimbulkan hubungan-hubungan hukum, baik dengan ayah maupun ibunya; hubungan-hubungan-hubungan-hubungan tersebut, mulai persoalan legitimasi sampai pada persoalan warisan.Anak yang dilahirkan dari atau akibat suatu perkawinan, adalah anak sah.Demikian pula anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang dikawin oleh seorang pria yang bukan pembenih anak tersebut. Menurut ketentuan agama Islam, seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah hamil sebelum perkawinannya, dianggap sebagai anak yang tidak sah.Oleh karena suami ibunya dianggap bukan pembenih anak itu, maka anak tersebut dipandang sebagai anak hasil dari suatu perzinahan.

Dahulu anak luar kawin dianggap sebagai anak ibunya, bahkan mempunyai hubungan keperdataan dengan keluarga ibunya.Akibat lebih ianjut, bahwa anak tersebut juga berhak mewaris selain dari ibu juga dari keluarga ibunya.

(25)

dilahirkan diluar perkawinan. Dalam KUH Perdata diatur secara rincin dan tegas adanya 4 macam kedudukan anak sebagai berikut:

a . Anak Sah, yaitu anak yang dianggap lahir selama perkawinan orang tuanya (pasal 250 KUH Perdata).

Untuk kepentingan si bayi, maka anak yang lahir 180 hari setelah perkawinan dan

300 hari setelah perceraian dianggap sebagai bayi suami yang bersangkutan (pasal

251 KUH Perdata). Dalam hal demikian menurut pasal 251 si suami diberi hak untuk

menyangkal keabsahan bayi tersebut dengan mengemukakan alasan-alasan:

1. Sebelum 180 hari dan 300 hari tidak berhubungan badan dengan isterinya. 2. Karena zinah yang dilakukan isteri dan isteri menyembunyikan kelahiran

bayinya terhadap suaminya.

3. Karena bayi lahir 300 hari sesudah keputusan perpisahan meja dan tempat tidur sudah mendapat kekuatan pasti. Dalam hal demikian isteri / ibu bayi diberi hak dan kewenangan untuk mengajukan data-data sebagai pembuktian balik untuk dapat menguatkan bahwa suaminya benar-benar ayah yang sah dari bayinya.

Terhadap hak ingkar dari suami tersebut diadakan pembatasan-pembatasan, yakni:

1. Bilamana si suami sebelum perkawinan telah mengetahui kehamilan isterinya.

2. Bilamana dia hadir pada waktu dibuat akte kelahiran, menanda tangani akte tersebut atau menyatakan tidak dapat membubuhi tanda tangan.

(26)

Istilah anak wajar dipakai dalam dua buah pengertian:

1)Anak wajar dalam arti luas, yakni semua anak luar kawin yang tidak disyahkan.

2)Anak wajar dalam arti sempit, yakni terbatas pada anak luar kawin yang diperoleh dari zinah dan incest. Pasal 280 KUH Perdata menyatakan bahwa anak-anak wajar yang orang tuanya hanya ada hubungan hukum (hubungan perdata) bilamana si bapak dan si ibu mengakuinya. Bagi ibu mengakui anak luar kawin adalah merupakan suatu kewajiban.

Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan dengan sukarela dan yang dipaksakan (atas putusan Pengadilan Negeri karena gugatan anak luar kawin).Pengakuan sukarela adalah dengan membuat suatu pernyataan yang sebagaimana ditentukan UndangUndang yang menyatakan bahwa seseorang adalah bapak atau ibu seorang anak yang lahir di luar perkawinan. Pernyataan pengakuan ini dapat dilakukan melalui 3 proses, yakni: dalam akte kelahiran, dalam akte perkawinan (apabila orang tua dari bayi tersebut melangsungkan perkawinan), dan dalam akte autentik tersendiri.

(27)

Anak luar kawin yang diakui dengan ketiga proses tersebut, dengan kawinnya kedua orang tuanya akan menjadi anak sah. Akan tetapi jika pengesahan itu dilakukan dengan Surat Pengesahan, maka akan memperoleh akibat hukum yang lebih terbatas, yakni :

1) Pengesahan mulai berlaku sejak Surat pengesahan diberikan.

2) Pengesahan itu dalam hal pewarisan tidak boleh merugikan nak anak sah yang ada sebelum pengesahan itu.

3) Pengesahan itu tidak berlaku dalam pewarisan terhadap para wangsa yang lain kecuali kalau mereka memberi ijin untuk pengesahan itu. Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa "anak yang diakui" adalah anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, tetapi diakui oleh orang tuanya (ayahnya). Sedangkan "anak yang disahkan" adalah anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, yang telah diakui atau disahkan dengan Surat Pengesahan, dan akhirnya kedua orang tuanya kawin secara sah.

c . Anak Zina, yaitu anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, yang salah satu atau kedua orang tuanya telah mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain. Anak yang lahir karena hubungan zina (anak zina) ini dilarang untuk diakui dan disahkan (pasal 272 KUH Perdata).

(28)

dispensasi dari Menteri Kehakiman atas nama Presiden.

Menurut Pasal 45 (1) UU No. 1/1974, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (Pasal 45 ayat 1 UU, No. 1/1974). Kewajiban demikian dalam KUH Pdt ditentukan dalam pasal 298. Jadi kedua orang tua mempunyai ikatan /hubungan dengan anak-anaknya (anak sah) disebut dengan kekuasaan orang tua yang ditujukan untuk kesejahteraan anak-anaknya. Setiap anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Antara orang tua dengan anak terdapat kewajiban alimentasi, yakni kewajiban timbal balik antara orang tua dengan anak seperti yang ditentukan dalam Pasal 45 dan 46 UU Perkawinan dan Pasal 321 KUH Perdata. Orang tua dibebani kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum dewasa sesuai dengan kemampuan masing-masing, demikian sebaliknya anak yang telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.

Menurut KUH Perdata, alimentasi bersifat pribadi, oleh karena mana berakhir dengan kematian dari donor atau penerima. Dalam garis lurus pertama ke atas kewajiban alimentasi karena hubungan semenda berakhir bilamana ibu mertua kawin lagi, sedangkan mengenai ayah mertua pembatasan demikian tidak dikenal. Alimentasi merupakan hukum yang memaksa, jadi tidak dapat disimpangidan hak alimentasi tidak dapat dihapus antara mereka yang berkewajiban memberikannya secara timbal balik.

(29)

anak seperti tersebut di atas, juga meliputi kekuasaan terhadap harta benda kepunyaan anak yang terdiri dari :

a. Kekuasaan untuk mengelola harta benda.

b. Kekuasaan untuk memperoleh kenikmatan hasil dari harta benda.

Pelaksanaan dari kewajiban ini harus dilakukan dengan itikat baik disertai pemeliharaan harta benda termaksud seperti selayaknya dilaksanakan oleh seorang bapak rumah tangga yang baik.

Terhadap harta benda kepunyaan anak, dalam Pasal 48 UU Perkawainan menyatakan bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Menurut UU Perkawinan, kekuasaan orang tua berakhir: a. Anak kawin atau dapat berdiri sendiri (pasal 45 ayat 2).

b. Anak sudah dewasa (sudah mencapai umur 18-tahun), diatur dalam pasal 47. c. Apabila salah seorang atau kedua orang tua dicabut kekuasaannya terhadap

seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu (pasal 49).

Menurut KUH Perdata berakhirnya kekuasaan orang tua adalah sebagai berikut:

a. Berakhirnya secara relatif.

(30)

alasan-alasan:

a) Menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau melalaikan kewajiban untuk memelihara dan mendidik satu atau lebih anak-anaknya..

b) Kelakuan hidup yang tercela.

c) Telah dijatuhi hukuman oleh karena dengan sengaja ikut serta dengan suatu kejahatan terhadap anak yang masih di bawah kekuasaannya. d) Dihukum karena kejahatan yang termaktub dalam babXII, XIV, XV,

XIX dan XX KUH Pidana terhadap anak-anak di bawah umur termaksud di atas.

e) Karena dihukum dengan hukuman penjara minimal 2 tahun.

Apabila terjadi pemecatan kekuasan orang tua, maka hak orang tua untuk memperoleh kenikmatan hasil harta benda anaknya hapus.Pemecatan kekuasaan orang tua berlaku untuk semua anak-anaknya.

(31)

kejaksaan dan Dewan Perwalian.

b) Berakhirnya kekuasaan orang tua secara absolut. 1) Karena kematian anak.

2) Karena anak mencapai kedewasaan (umur 21 tahun).

3) Karena pembubaran perkawinan orang tua, sehingga anak-anaknya di bawah pengawasan seorang wali.

C. Hubungan Hukum Keperdataan Antara Anak yang Lahir Dalam

Perkawinan Yang Sah Dengan Ayah Biologisnya Pasca Putusan MK R.I No.46/2010.

Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah disini di maksudkan, si janin sudah ada di dalam perut ibunya sebelum pernikahan dilakukan dan dilahirkan sesudah perkawinan sah tetapi bukan dengan ayah biologis dari si anak yang dikandungnya, atau anak yang lahir dalam perkawinan yang sah ini bisa terjadi karena si isteri berselingkuh dan menghasilkan anak dari perselingkuhannya dengan pria lain. Sebelum diperdalam lagi tentang anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, dijelaskan dahulu arti dari perkawinan yang sah dilihat dari segi hukum UU Perkawinan atau dari segi hukum Islam.

(32)

hukum Islam, perkawinan sah apabila :37

a. Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita. b. Adanya akad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau

wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul). c. Adanya wali dari calon istri.

d. Adanya dua orang saksi.

Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya, dan dilihat dari syarat – syarat sahnya perkawinan dari hukum Islam maka banyak yang melakukan perkawinan yang hanya memakai syarat sahnya perkawinan hanya dari Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, tanpa mencatatkan perkawinan mereka. Hal ini yang akhirnya berpengaruh dengan anak – anak yang dihasilkan dari perkawinan Sirri dan terkadang si ayah biologis dan menyatakan bahwa si anak bukan darah dagingnya walaupun si anak dari perkawinan yang sah menurut agama.

Dan hal inilah yang akhirnya membuat seorang Machicha Mochtar mengajukan uji materi ke MK tentang Anak Biologisnya, hasil dari perkawinan Sirri nya dengan Moerdiono. Dan setelah beberapa tahun berusaha maka MK telah mengabulkannya, sehingga Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan No. 1/1974 diubah dan menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

(33)

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".

Nampak jelas bahwa si anak dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah menurut negara, dimana tidak tercatat di kantor catatan sipil, tetapi sah menurut agama. maka dari itu si anak disebut sebagai anak di luar nikah. Dalam pembuktiannya si anak memang hasil dari hubungan Machicha dengan Moerdiono, bisa di buktikan dari test DNA dan bukti – bukti lainnya seperti foto yang menunjukkan adanya perkawinan Sirri ataupun menunjukkan mereka melakukan hubungan suami isteri.

Selain dari perkawinan sah atau tidak sahnya sebuah pekawinan, penyangkalan juga dilakukan pria untuk tidak mengakui si anak adalah hasil hubungannya dengan wanita, dan sering terjadi didalam perkawinan yang sah, hasil dari perselingkuhan. Anak dapat diingkari ayahnya, apabila :38

a. Pasal 44 ayat 1 UU Perkawinan, menyatakan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu adalah akibat dari perzinahan tersebut.

b. Sedangkan dalam Pasal 251 KUH Perdata dinyatakan bahwa keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh dalam perkawinan suami istri, dapat diingkari oleh si suami. Dalam pasal ini pengingkaran tidak dimungkinkan jika:

(34)

1. si suami sebelum perkawinan sudah mengetahui akan mengandungnya si istri; 2. suami telah hadir tatkala akte kelahiran dibuat dan akta itu pun telah

ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tidak dapat menandatanganinya;

3. si anak tidak hidup tatkala dilahirkan;

c. Kompilasi Hukum Islam pasal 101 menyatakan bahwa suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaran dengan li’an (li’an adalah: permohonan yang diajukan seorang suami untuk menceraikan istrinya dengan alasan karena istrinya telah melakukan zinah).

Meski ketetuan-ketentuan diatas memberi hak kepada seorang ayah untuk mengingkari anaknya, namun si ayah harus dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu adalah akibat dari perzinahan itu Artinya, bila suami atau ayah dari anak tersebut tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat, maka pengingkaran tidak dapat dilakukan. Bahkan Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan sumpah berkaitan dengan keputusan yang akan dikeluarkan tentang sah/tidaknya anak tersebut (Pasal 44 ayat 1 dan 2 UU Perkawinan).

(35)

itupun disembunyikan darinya. Dalam hal ini ia harus membuktikan dengan sempurna, bahwa ia bukan bapak anak itu (Pasal 253 KUH Perdata).

Namun demikian, KUHPerdata pasal 254 juga memberikan hak kepada istri untuk mengemukakan segala bukti, baik dari peristiwa, saksi atau bukti lain yang bisa membuktikan bahwa suaminyalah bapak anak itu.

Alat bukti yang digunakan yang berkaitan dengan pembuktian adalah: a. Akta kelahiran anak (yang telah dibukukan dalam register catatan sipil); b. Saksi-saksi; hal ini dapat dilakukan bila tidak ada akta kelahiran. Pembuktian

dengan saksi ini hanya boleh dilakukan apabila telah ada bukti permulaan dengan tulisan, dugaan-dugaan dan petunjuk-petunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat disangkal lagi kebenarannya;

c. Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan sumpah (Penjelasan pasal 44 UU Perkawinan);

d. Melakukan tes DNA. Tes ini dapat membuktikan jenis darah dari pihak yang mengingkari dan yang diingkari, yang kemudian dapat dipakai untuk memperkirakan adanya hubungan darah antara keduanya.Namun tes ini sangat mahal.

Selain dari bukti yang harus diajukan apabila si ayah mengajukan penyangkalan, batas waktu penyangkalan juga adadi tuliskan di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 102 memberi batas waktu pengajuan pengingkaran anak ke Pengadilan Agama adalah:

(36)

2. 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau

3. setelah suami mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama

Sedangkan, didalam UU Perkawinan tidak menjelaskan secara tegas kapan seorang bapak dapat mengingkari anaknya.

Penyangkalan anak akan berdampak besar bagi anak salah satu dampaknya bukan hanya psikologis saja yang dapat terganggu namun identitas dari anak tersebut yaitu mengenai masalah akta kelahiran anak tersebut. Akta kelahiran sangat diperlukan untuk berbagai kepentingan misalnya, mendaftar sekolah, mencari kerja dan sebagainya. Identitas anak diatur oleh pasal 27 Undang-Undang perlindungan anak. Akta kelahiran bagi seseorang sangatlah dibutuhkan, penyebutan anak itu lahir dari perkawinan yang sah atau tidak dapat dilihat pada penyebutan nama ayah.apabila anak itu dilahirkan di luar perkawinan, nama ayahnya tidak boleh disebutkan dalam akta kelahiran.

(37)

pada pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mendidik dan melindungi anak, Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.39

Salah satu kasus penyangkalan anak Nomor : 185/Pdt.G/2010/PTA yang lahir dalam perkawinan yang sah ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Kasus penyangkalan anak ini, terjadi ketika seorang suami bernama A (bukan nama sebenarnya) umur 59 tahun, agama Islam, Pekerjaan PNS, tempat tinggal di Kabupaten Banyumas menggugat istrinya yang sah bernama B (bukan nama sebenarnya) umur 42 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta, tempat tinggal di Kabupaten Banyumas, atas anak yang lahir dalam perkawinannya. A dan B merupakan pasangan suami isteri yang menikah pada Tanggal 9 Mei 2002. Keraguan suami atau ayah pada kasus ini bermula pada pengakuan B pada Tanggal 22 november 2005, pernah melakukan perzinahan dengan seseorang lelaki bernama C (bukan nama sebenarnya) dalam kurun waktu pernikahan mereka yaitu pada bulan Mei dan Juni 2004. A menggugat B dengan gugatan penyangkalan anak, dan Sesuai putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor : 157/Pdt.G/2009/PA.Pwt Taggal 27 Mei 2010 antara lain memutuskan bahwa anak yang bernama X (bukan nama sebenarnya) bukan anak sah Penggugat (Sdr A) dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan Penggugat, kemudian Akta kelahiran Nomor : 1255/2005 Tertanggal 10 Mei 2005 atas nama X yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil Purwokerto

39Beirut Wienarsi Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan

(38)

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dan memerintahkan kepada Kantor Catatan sipil Purwokerto atau Lembaga yang berwenang untuk menghapus nama belakang anak yang sama dengan nama ayah dari nama anak tersebut.40

Dari semua rukun nikah tidak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya tetap dianggap anak sah.

Perbedaan pengaturan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu dalam hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang disangkal oleh ayahnya diantaranya :41

a. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan anak yang disangkal oleh ayahnya putus hubungan antara ayah dan anak yang berakibat pada hak-hak anak menjadi tidak terpenuhi seperti hak mendapatkan pengasuhan, bimbingan, perhatian,dan lain-lain.

b. menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, ayah berkewajiban dan bertanggung jawab atas mengasuh, memelihara menyiratkan anak harus mendapat perhatian dari kedua orang tuanya walau orang tuanya telah bercerai Menurut Sulaiman fiqri walaupun banyak peratuan dan pendapat mengenai

40Penyangkalan Terhadap Anak Dalam Perkawinan dan Akibat Hukmnya Ditinjau Dengan UU

RI No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam, http://fh.unpad.ac.id/repo/?p=1892, Oktober 2012

41Moh Idris Ramulyo,Tinjauan Beberapa Pasal Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

(39)

penyangkalan anak, barang siapa yang beragama islam harus tunduk pada apa yang dicantumkan dalam Al-Quran atau hadist.

Terlepas dari semua peraturan penyangkalan anak yang berlaku di Indonesia, proses penentuan kebenaran mengenai status anak tersebutlah yang harus diperhatikan lebih dalam, karna perlindungan anak harus dilaksanakan secara rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien terhadap anak yang bersangkutan. Karena dalam kasus penyangalan anak, anak sama sekali tidak bersalah dan sangat tidak adil apabila anaklah yang harus menanggung kerugian dan hak-hak mereka menjadi terlantar.42

Dengan adanya Keputusan MK R.I No.46/2010, penyangkalan seorang ayah tidak akan terkabulkan apabila bisa dibuktikan dengan test DNA dan kecanggihan tekhnologi lainnya. Dimana hak dari anak biologis akan sama halnya dengan hak anak dari perkawinan yang sah. Setelah pembuktian terhadap ayah biologisnya, maka akan putus juga hubungan anak dengan ayah Yuridisnya, yaitu suami dari ibunya. Dimana ini bisa saja terjadi didalam hubungan perkawinan yang sah apabila si isteri berselingkuh.43

Penyangkalan, pernikahan yang tidak sah ataupun anak yang dilahirkan di dalam perkawinan yang sah tapi bukan ayah biologisnya, akan selalu merugikan anak. Orang dewasa pada saat melakukan pelanggaran tidak pernah berfikir panjang yang akhirnya anak yang tidak bersalah dan akibat dari perbuatan ayah dan ibunya di

42Martiman Prodjohamijojo,Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta 2011.hlm 15

(40)

masa lalu merusak masa depan si anak dari segi mental dan pastinya hukum. Salah satunya pada saat pembuatan akta kelahiran yang sangat penting untuk pendidikan dan masa depannya. Terkadang nama yang ada di dalam akta itu bukan nama ayah biologisnya, bisa saja orang lain seperti halnya anak Machica Mochtar yang awalnya memakai nama orang lain bukan nama dari ayah biologisnya karena alasan karir dan pada saat itu Moerdiono masih menjabat sebagai menteri.44

Hal inilah yang akhirnya membuka kasus – kasus yang sama dalam hal pencatatan. Terungkaplah banyak ibu yang akhirnya hanya menuliskan namanya saja demi anaknya supaya bisa bersekolah ataupun tidak mengikuti jalur negara dengan memasukkan anaknya kesekolah yang tidak mempersoalkan akta kelahirannya karena ayah biologisnya mengundur pembuatan akta karena alasan karir.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI mencatat hampir 50 juta anak di Indonesia tak memiliki akte kelahiran.Salah satunya karena status perkawinan orangtua mereka, yaitu kawin siri tidak diakui Negara sebagai pernikahan yang sah.

Jika seorang anak, sebagai anak yang lahir di luar perkawinan, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yangmelahirkannya dan ayah/bapak alaminya (genetiknya), yaitu:45

1. Hubungan Nasab.

44anak indonesia, http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/melindungi-anak-di-luar-nikah, 26 maret 2012

45

(41)

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa anak yang lahirdi luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada ayah/bapak alaminya,meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita yangmelahirkannya itu.Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang diletakkan dipundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan laki-laki yang menjadi ayah genetik anak tersebut,namun ketentuan demikian dinilai menjunjung tinggi keluhuran lembaga perkawinan, sekaligus menghindaripencemaran terhadap lembaga perkawinan.

2. Nafkah.

Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dankeluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluargaibunya saja.Sedangkan bagi ayah/bapak alami (genetik), meskipun anak tersebut secara biologis merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis formal sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islamdi atas, tidak mempunyai kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak tersebut.

(42)

ibunya masih terikat tali pernikahan.Apabila ayah dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan memberi nafkah kepadaanak-anaknya, sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana maksud Pasal 105 huruf (c) dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.Meskipun dalam kehidupan masyarakat ada juga ayah alami/genetik yang memberikan nafkah kepada anak yang demikian, maka hal tersebut pada dasarnya hanyalah bersifat manusiawi, bukan kewajiban yangdibebankan hukum sebagaimana kewajiban ayah terhadap anak sah. Oleh karena itu secara hukum anak tersebut tidak berhak menuntut nafkah dari ayah/bapak alami (genetiknya).

3. Hak-Hak Waris.

Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka anak tersebut hanyamempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling mewarisidengan ayah/bapak alami (genetiknya).

4. Hak Perwalian.

(43)

menikahkannya (menjadi wali nikah), sebagaimana ketentuan wali nikah yang ditentukan dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam :

1. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

2. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaknimuslim, akil dan baligh.

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan penilaian hasil belajar PPKn terdapat sepuluh indikator, yaitu guru memiliki dokumen, guru mencantumkan kompetensi dasar yang dinilai dalam kisi-kisi,

Tindak lanjut : Dilakukan penyidikan tindak pidana Kepabeanan, diduga melanggar Pasal 102 huruf (a) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dengan Tersangka ZE selaku Nahkoda

a) BAZNAS Kabupaten Jepara mendapatkan kepercayaan dan dukungan yang baik dari Pemerintah Daerah. Dengan melibatkan pemerintah dalam penyusunan program dan memberikan

Sedangkan untuk variabel lifestyle, penelitian tentang pengaruh lifestyle terhadap niat membeli sudah pernah dilakukan oleh Gonzalez and Bello (2002), Parubak

Pemeriksaan sonografi pada trimester pertama, sering terjadi deteksi dini kehamilan kembar Sonografi juga dapat digunakan untuk menentukan jumlah janin, perkiraan

Penelitian ini meupakan suatu tahap awal, pengembangan komponen elektroni ka menjadi bentuk device mikroelektroni- ka, yang mempunyai dimensi dalam orde micrometer dengan

trauma yang dihantarkan pada diaphisis femur dimana sendi panggul dalam posisi flexi atau semiflexi. Trauma biasanya terjadi karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut