• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARIS

B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak adalah suatu tindakan hukum dan oleh karena itu tentu akan menimbulkan akibat hukum terhadap anak angkat maupun orang tua angkat. Akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut sebagai berikut:

a. Beralihnya tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat baik mengenai biaya hidup sehari-hari, pendidikan, dan kasih sayang;

b. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarganya;

c. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya,demikian juga dengan orang tua angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya;

d. Untuk melindungi hak-hak anak angkat dan orang tua angkat harus ada kepastian hukum yaitu dengan adanya wasiat wajibah;

e. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali hanya sebagai tanda pengenal atau alamat;

      

67

f. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.68

Akibat hukum yang terpenting dari pengangkatan anak (adopsi), ialah tentang kekuasaan orang tua (ouderlijke macht), hak waris, hak alimentasi (pemeliharaan), dan juga soal nama.69 Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Perwalian terhadap anak angkat, dapat dikaji dari aspek definisi anak angkat sebagaimana diatur Pasal 1 angka 9 UU No. 23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “anak angkat adalah: anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan orangtua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa perwalian anak angkat telah beralih dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya. Jadi orang tua angkat memiliki hak dan bertanggung jawab terhadap perwalian anak angkatnya, termasuk perwalian terhadap harta kekayaan. Oleh karena itu, apabila anak angkat telah dewasa, maka orang tua angkat wajib memberikan pertanggungjawaban atas pengelolaan harta kekayaan anak angkatnya tersebut.

      

68

 M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm. 59

69

Perwalian terhadap anak angkat diatur dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 23 tahun 2003, yang menyebutkan bahwa:

a. Dalam hal orang tua anak angkat tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau lembaga hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan;

b. Untuk menjadi wali anak yang berada dibawah perwaliannya, dilakukan melalui penetapan pengadilan;

c. Wali yang ditunjuk sebagai wali seorang anak, agamanya harus sama dengan agama yang di anut anak;

d. Untuk kepentingan anak, wali tersebut wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

e. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.70

Wali yang ditunjuk berdasarkan putusan pengadilan tersebut, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh balai harta peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan. Balai harta peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan, bertindak sebagai       

70

wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak. Pengurus harta anak tersebut harus mendapat penetapan dari pengadilan.

Ketentuan perwalian terhadap anak angkat diatas berbeda dengan ketentuan dalam hukum Islam, karena menurut hukum Islam anak angkat adalah anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain yang diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak dan menasabkan kepada dirinya.71 Islam menganggap bahwa pengangkatan anak secara mutlak merupakan pemalsuan terhadap keaslian nasab dan keturunan. Selain itu secara sosiologis, akibat pengangkatan anak secara mutlak dapat menimbulkan kedengkian diantara saudara dan kerabat, dan memutuskan hubungan persaudaraan.

Hukum Islam hanya mengakui bahkan menganjurkan pengangkatan anak dalam arti pemeliharaan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan, tanpa adanya pemutusan hubungan nasab dengan orang kandungnya. Artinya meskipun anak yang diangkat dipelihara, dididik, dibiayai keperluaannya sehari-hari oleh orangtua angkat, tetapi anak tersebut dengan orang kandungnya masih tetap mempunyai hubungan hukum dengan segala akibatnya. Lembaga pengangkatan anak inilah yang dibenarkan sebagai bentuk ibadah kepada Allah, kepeduliaan dan tanggungjawab sosial keluarga yang mampu secara ekonomi untuk memberikan bantuan kepada anak yang kurang beruntung. Dengan kata lain pengangkatan anak dalam hukum islam adalah

khadhonah yang diperluas dengan sama sekali tidak merubah hubungan hukum,       

71

nasab, mahrom, hijab antara orang tua angkatnya. Perubahan yang terjadi hanya perpindahan tanggungjawab pemeliharaan, pengasuhan dan pendidikan dari orangtua asal atau kandung kepada orang tua angkat.

Menurut Mu’thi Artho akibat hukum dari pengangkatan anak, yaitu:

a. Beralih tanggung jawab pemeliharaan hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya dari orang tua asal kepada orang tua angkat.

b. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah/nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, sehingga tetap berlaku hubungan mahram dan saling mewarisi.

c. Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan darah/nasab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.72

Penjabaran pasal 171 KHI pada huruf h, menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Jika melihat pengertian tersebut maka dapat diartikan pula bahwa anak angkat telah menjadi bagian keluarga dari orang tua yang mengangkatnya. Sebagai bagian dari keluarga yang mengangkatnya ia pun berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua seperti anak-anak pada umumnya.

      

72

Akibat lain dari pengangkatan anak adalah dalam hal waris mewaris antara anak angkat dengan orang tua angkat. Namun dalam hukum Islam, seperti dalam penjelasan diatas, anak angkat dan orang tua angkat tidak memiliki hubungan darah/nasab. Dengan tidak adanya hubungan darah/nasab diantara anak angkat dan orang tua angkat, maka konsekuensinya adalah anak angkat tidak memiliki hubungan mewaris dengan orang tua angkat maupun sebaliknya antara orang tua angkat dengan anak angkatnya. Anak angkat tetap mewaris dengan orang tua kandungnya. Pada prinsipnya, hal pokok dalam kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah. Namun, anak angkat dapat mewaris dengan jalan wasiat wajibah sesuai dengan ketentuan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa anak angkat berhak atas 1/3 (sepertiga) bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya begitu juga sebaliknya sebagai suatu wasiat wajibah.

Karena anak angkat tidak dapat saling mewaris dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa antara anak angkat dengan orang tua angkatnya tidak ada hubungan kewarisan, tetapi sebagai pengakuan mengenai baiknya lembaga pengangkatan anak tersebut, maka hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantaraan wasiat yaitu wasiat wajibah.

Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Adapun disebut wasiat wajibah karena hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi wasiat dan munculnya kewajiban melalui peraturan perundangundangan atau putusan pengadilan tanpa bergantung pada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan penerimaan wasiat.

Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menentukan kewajiban orang tua angkat untuk memberikan wasiat wajibah kepada anak angkatnya untuk kemaslahatan anak angkat sebagaimana orang tua angkat telah dibebani tanggung jawab untuk mengurus segala kebutuhannya.

Dokumen terkait