• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat Menurut PP Nomor 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat Menurut PP Nomor 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARIS

ORANG TUA ANGKAT MENURUT PP NO. 54 TAHUN 2007 DAN

KOMPILASI HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH

LUTHFI FAUZI FAHMI 090200250

DEPARTEMEN : HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat Menurut PP Nomor 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum DISUSUN OLEH : LUTHFI FAUZI FAHMI

NIM : 090200250

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN : PERDATA BW

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. H. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A Dr. Idha Aprilyana, SH., M.Hum NIP.195103171980031002 NIP.197604142002122003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : LUTHFI FAUZI FAHMI NIM : 090200250

JUDUL SKRIPSI : Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat Menurut PP Nomor 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya..

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 30 Januari 2014

LUTHFI FAUZI FAHMI

NIM: 090200250

Ket :

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Allah SWT, puji syukur atas segala karunia dan berkah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Sehubungan dengan itu, disusun skripsi yang berjudul : KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARIS ORANG TUA ANGKAT MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 dan KOMPILASI HUKUM ISLAM

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang besar kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu :

(5)

2. Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. T. Rusydi, SH, M. Hum sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasehat kepada penulis selama perkuliahan.

4. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan bantuan, bimbingan, nasehat, pengarahan dan juga dukungan moril kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

5. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan pengarahan serta nasehat kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

6. Kepada seluruh Dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

yang sangat penulis sayangi. Juga untuk mimi, abah, bi eno, om cito dan keluarga besar yang selalu memberikan dukungan untuk penulis.

9. Dea Arum Amelia yang telah banyak membantu dan mendukung serta menemani suka dan duka penulis selama perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini. 10.Kepada sahabat-sahabatku Cut Anisa, Khairunnisa Idris, Sarahp Sylviana, Uly

Basariah, Aldar Pk Velery, Budi Bahreisy, Fauzul Asyura, Mhd. Subhi Solih, yang telah membantu dan memaksa Penulis untuk cepat menyiapkan skripsi ini. 11.Kepada seluruh teman-teman stambuk 2009 Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Akhir kata kiranya diharapkan oleh Penulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, terutama dalam penerapan serta pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia dan semoga dengan skripsi ini dapat memberikan masukan yang berguna bagi Nusa dan Bangsa.

Medan, 30 Januari 2014 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI………...iv

ABSTRAK………...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...1

B. Rumusan Masalah………8

C. Tujuan Penulisan……….8

D. Manfaat Penulisan………...8

E. Metode Penulisan...………..9

F. Keaslian Penulisan………...10

G. Sistematika Penulisan………11

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak………...13

1. Pengertian dan Dasar Hukumnya……….………13

2. Latar Belakang Pengangkatan Anak……….………...16

3. Syarat-syarat Pengangkatan Anak……….………..21

BAB III WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A.Pengertian dan Dasar Hukum Wasiat………..27

(8)

1. Syarat-syarat Orang yang Berwasiat……….32

2. Syarat Penerima Wasiat……….33

3. Syarat Harta yang diwariskan………33

4. Syarat yang Berkaitan dengan Ijab dan Qabul (shinghat)…….34

C.Hal-hal yang Membatalkan Wasiat……….36

D.Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat………38

BAB IV KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARIS ORANG TUA ANGKAT MENURUT PP NO. 54 TAHUN 2007 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat………42

B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak………...47

C. Pembagian Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat………53

BAB V PENUTUP………..57

A. Kesimpulan………57

B. Saran………..58

(9)

ABSTRAK

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT., bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lain. Setiap keluarga pasti sangat mengharapkan kehadiran seorang anak sebagai penerus keturunan dan penerus harta kekayaan orang tua. Namun terkadang keinginan untuk memiliki anak tidak dapat terwujud, maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mengangkat anak orang lain (adopsi) untuk dipelihara dan diperlakukan seperti anak kandung. Dalam hukum adat terdapat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang berbagai masalah, termasuk mengenai pengangkatan anak. Anak angkat dalam hukum adat diartikan sebagai suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan biologis. Anak angkat dalam hukum adat mempunyai kedudukan yang hampir sama dengan anak sendiri, yaitu dalam hal perkawinan dan kewarisan.

Hukum Islam pada prinsipnya mengakui dan membenarkan pengangkatan anak dengan ketentuan tidak boleh membawa perubahan hukum dalam nasab, wali mewali, dan waris mewaris. Seperti yang tertera dalam Surat Al Ahzab ayat (4 dan 5). Pada awalnya tujuan dari pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, manakala didalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dalam perjalanannya seiring dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Kedudukan anak angkat tidak dapat dipersamakan dengan anak kandung, karena pengangkatan anak menurut peraturan perundang-undangan maupun hukum Islam tidak memutus hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandung. Namun hanya terjadi peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. Pengangkatan anak tidak merubah hubungan hukum, nasab, dan mahram antara anak angkat dengan orang tua kandung ataupun orang tua angkat. Akibat hukum Pengangkatan anak hanya peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dalam hal pemeliharaan, spiritual, pendidikan, kesehatan, moril dan materiil. Pengangkatan anak juga tidak menyebabkan anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, walaupun anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua angkatnya, namun tetap diberi jalan untuk menikmati harta peninggalan orang tua angkat dengan cara wasiat wajibah sebesar 1/3 bagian harta peninggalan orang tua angkat.

Kata kunci: Pengangkatan anak, Kompilasi Hukum Islam, Wasiat Wajibah

 

(10)

ABSTRAK

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT., bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lain. Setiap keluarga pasti sangat mengharapkan kehadiran seorang anak sebagai penerus keturunan dan penerus harta kekayaan orang tua. Namun terkadang keinginan untuk memiliki anak tidak dapat terwujud, maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mengangkat anak orang lain (adopsi) untuk dipelihara dan diperlakukan seperti anak kandung. Dalam hukum adat terdapat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang berbagai masalah, termasuk mengenai pengangkatan anak. Anak angkat dalam hukum adat diartikan sebagai suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan biologis. Anak angkat dalam hukum adat mempunyai kedudukan yang hampir sama dengan anak sendiri, yaitu dalam hal perkawinan dan kewarisan.

Hukum Islam pada prinsipnya mengakui dan membenarkan pengangkatan anak dengan ketentuan tidak boleh membawa perubahan hukum dalam nasab, wali mewali, dan waris mewaris. Seperti yang tertera dalam Surat Al Ahzab ayat (4 dan 5). Pada awalnya tujuan dari pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, manakala didalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dalam perjalanannya seiring dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Kedudukan anak angkat tidak dapat dipersamakan dengan anak kandung, karena pengangkatan anak menurut peraturan perundang-undangan maupun hukum Islam tidak memutus hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandung. Namun hanya terjadi peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. Pengangkatan anak tidak merubah hubungan hukum, nasab, dan mahram antara anak angkat dengan orang tua kandung ataupun orang tua angkat. Akibat hukum Pengangkatan anak hanya peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dalam hal pemeliharaan, spiritual, pendidikan, kesehatan, moril dan materiil. Pengangkatan anak juga tidak menyebabkan anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, walaupun anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua angkatnya, namun tetap diberi jalan untuk menikmati harta peninggalan orang tua angkat dengan cara wasiat wajibah sebesar 1/3 bagian harta peninggalan orang tua angkat.

Kata kunci: Pengangkatan anak, Kompilasi Hukum Islam, Wasiat Wajibah

 

(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT., bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lain.1 Setiap keluarga pasti sangat mengharapkan kehadiran seorang anak sebagai penerus keturunan dan penerus harta kekayaan orang tua.

Kenyataan yang banyak dijumpai sehari-hari dalam masyarakat adalah masih banyak anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan mereka yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat.

Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri seorang manusia yang normal, namun terkadang suatu keluarga tidak dapat memiliki anak atau keturunan. Harus pula disadari bahwa semua kuasa ada di tangan Allah SWT, jika Allah SWT tidak menghendaki, maka keinginan manusia pun tidak akan tercapai.

      

1

 Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,

(12)

Dalam rumusan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2

Bagi keluarga yang tidak mempunyai anak, mereka akan berusaha untuk memperoleh anak meskipun anak tersebut bukan hasil dari perkawinannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengangkat anak orang lain (adopsi) dengan maksud memelihara dan memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Pengangkatan anak merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga.

Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu:

pertama, pengangkatan anak dalam arti luas, ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak terhadap orang tua sendiri.

kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas, yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.3

Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia, masyarakat Indonesia sudah lazim melakukan pengangkatan anak. Namun setiap masyarakat memiliki cara dan motivasi yang berbeda-beda menurut sistem hukum yang dianut       

2

 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1

3

(13)

daerah bersangkutan. Keanekaragaman hukum yang mengatur tentang pengangkatan anak di Indonesia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan anak dari berbagai sumber hukum yang berlaku, baik dari hukum Barat BW, hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, maupun hukum Islam yang banyak dianut oleh masyarakat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional, yang menuju kepada unifikasi hukum.

Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebudayaan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang per orang dalam keluarga. Oleh karena itu, lembaga pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian budaya masyarakat, akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.

Hukum adat atas kedudukannya dalam tata hukum nasional Indonesia merupakan hukum tidak tertulis yang berlaku sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia dan menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat.4 Dalam hukum adat terdapat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang berbagai masalah, termasuk mengenai pengangkatan anak. Anak angkat dalam hukum adat diartikan sebagai suatu ikatan sosial yang sama dengan

      

4

 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: PT. Gunung

(14)

ikatan biologis. Anak angkat dalam hukum adat mempunyai kedudukan yang hampir sama dengan anak sendiri, yaitu dalam hal perkawinan dan kewarisan.

Hukum Islam sendiri pada prinsipnya mengakui dan membenarkan pengangkatan anak dengan ketentuan tidak boleh membawa perubahan hukum dalam nasab, wali mewali, dan waris mewaris. Seperti yang tertera dalam Surat Al Ahzab ayat (4 dan 5), yang artinya :5

“Allah tidak menjadikan bagi seorang dua buah hati dalam rongganya: Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar sebagai ibumu. dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu adalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang (benar). Pangillah mereka (anak-anak angkatmu itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pad sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamu.”

Pada awalnya tujuan dari pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, manakala didalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan.6 Tetapi dalam perjalanannya seiring dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak berubah menjadi untuk kesejahteraan anak, hal ini tercantum pula dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan: “Pengangkatan anak       

5 Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 

6

(15)

(adopsi) menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.

Sebelum adanya peraturan pemerintah, pelaksanaan pengangkatan anak berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yaitu SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tanggal 7 April 1979 tentang Pengangkatan Anak, SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979, SEMA Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak, dan terakhir SEMA Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak. Selain itu, juga berpedoman pada Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan anak sebagai tindak lanjut dari SEMA Nomor 6 Tahun 1983. Surat Edaran ini merupakan petunjuk dan pedoman bagi hakim-hakim Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia dalam mengambil keputusan atau ketetapan bila ada permohonan pengangkatan anak.

(16)

adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan hukum, oleh karena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status anak angkat sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status tentang anak angkat inilah yang sering menimbulkan permasalahan dalam keluarga. Masalah yang dapat terjadi adalah tentang sah atau tidaknya pengangkatan anak, serta kedudukan anak angkat sebagai ahli waris orang tua angkat.

Menurut hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam adalah hubungan darah / nasab / keturunan.7 Dengan kata lain bahwa peristiwa mengangkat anak menurut hukum kawarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang setelah mengangkat anak tersebut. Hal ini, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari apabila dalam hal warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat, dikarenakan menurut hukum Islam, anak angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang tua angkatnya. Maka sebagai solusinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan pemberian “Wasiat Wajibah” sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta warisan orang tua       

7

(17)

angkatnya. Sebagaimana telah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat 2 yang berbunyi : “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.

Permasalahan pengangkatan anak dan pembagian harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas sangat menarik untuk dibahas. Menurut ketentuan umum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 bahwa, “anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.8 Atas dasar pengertian tersebut jelaslah bahwa yang dilarang menurut hukum Islam adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal. Dari sini terlihat adanya titik persilangan menurut ketentuan hukum adat, yang menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tua kandungnya sendiri. Hal ini bersifat prinsip dalam lembaga Adopsi karena adanya ketentuan yang menghilangkan hak-hak ayah kandung dan dapat merombak ketentuan-ketentuan mengenai waris.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sudah selayaknya apabila ada suatu cara untuk menjembatani masalah anak angkat, sehingga anak angkat dapat dipelihara dengan baik dan dapat terjamin masa depannya khususnya yang berkaitan dengan bagian waris anak angkat yang bersangkutan. Berpijak dari uraian diatas maka

      

(18)

penelitian ini mengambil judul: “Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang tua Angkat Menurut PP No. 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemuakan diatas, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkatnya?

2. Apa akibat hukum yang timbul dalam pengangkatan anak menurut PP No.54 Tahun 2007 dan KHI?

3. Bagaimana cara pembagian harta warisan orang tua angkat terhadap anak angkat menurut PP No.54 Tahun 2007 dan KHI?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban anak angkat terhadap harta waris orang tua angkatnya.

2. Untuk mengetahui bagian anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya.

(19)

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkat.

2. Sebagai bahan referensi bagi masyarakat yang ingin mempelajari lebih dalam tentang permasalahan yang berkaitan dengan anak angkat dalam menerima harta orang tua angkat.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji kaidah atau norma hukum yang ada mengenai pelaksanaan pengangkatan anak menurut PP Nomor 54 Tahun 2007 serta hak wasiat wajibah anak angkat terhadap harta orang tua angkatnya. Sedangkan untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan anak angkat terhadap warisan ini, diadakan penelitian pustaka (Library Research) yaitu penelitian data yang ada di perpustakaan yang berkenaan dengan pembahasan ini, data tersebut diambil dari bahan primer dan bahan sekunder. Bahan primer tersebut, antara lain : Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri. Sedangkan yang termasuk bahan sekunder adalah buku-buku referensi, hasil penelitian, makalah, media informasi cetak maupun elektrotik. Serta bahan hukum tertier yang meliputi kamus umum, kamus hukum, dan lain-lain.

(20)

Penelitian ini bersifat deskriptif. Dengan sifat penelitian tersebut, maka pada penelitian ini akan digambarkan bagaimana keberadaan anak angkat dalam keluarga berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta kekayaan orang tua angkatnya menurut KHI. Gambaran tersebut akan menjelaskan bagaimana anak angkat dapat memperoleh harta peninggalan orang tua angkat.

3. Pengumpulan data

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research), maka pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi. Dengan metode ini, dilakukan dengan berbagai literatur atau buku-buku yang isinya membahas tentang pengangkatan anak dan pemberian wasiat wajibah terhadap anak angkat.

4. Analisis data

Setelah penulis memperoleh data, maka data-data tersebut diolah/dianalisa untuk diperiksa kembali validitas data dan sekaligus melakukan kritik sumber dengan metode komparatif, yaitu memperbandingkan antara dua sistem hukum tentang pemberian harta terhadap anak angkat. Selanjutnya dilakukan penafsiran terhadap makna kata-kata dan kalimat tersebut kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif yang kemudian dilaporkan secara deskriptif.

F. Keaslian Penulisan

(21)

memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menguraikan pembahasan masalah skripsi ini, maka untuk lebih memudahkan, penyusunannya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam 5 (lima) BAB, yang gambarannya sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab ini secara umum digambarkan garis besar tentang Latar Belakang Pemilihan Judul yang dipilih oleh penulis serta hal-hal yang mendorong penulis untuk mengangkat judul “Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang tua Angkat Menurut PP Nomor 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam”, dan bab ini juga mencakup permasalahan pokok skripsi ini, tujuan penulis melakukan penelitian, manfaat dari penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007

(22)

syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pengangkatan anak.

BAB III WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK ANGKAT

Dalam bab ini dibahas tentang pengertian dan dasar hukum wasiat, rukun dan syarat-syarat tentang wasiat, tentang hal-hal yang dapat membatalkan wasiat serta pemberian wasiat wajibah terhadap anak angkat.

BAB IV: KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARIS ORANG TUA ANGKAT MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Bab ini merupakan pembahasan dari judul yang diambil oleh penulis sehingga dalam bab ini menjelaskan akibat hukum dari pengangkatan anak, bagaimana kedudukan anak angkat terhadap harta waris orang tua angkat, pembagian wasiat wajibah kepada anak angkat.

BAB V: PENUTUP

(23)

BAB II

PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN

2007

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan anak.

Pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi, kata adopsi berasal dari bahasa latin “adoptio” yang berarti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.9 Pengangkatan anak dalam bahasa Belanda dikenal dengan kata “adoptie” atau “adoption” dalam bahasa Inggris yang berarti menjadikan anak angkat. Sementara dalam kamus umum bahasa Indonesia dapat dilihat arti dari anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anak sendiri.

Menurut W.J.S Poerwadarminta,10 dalam kamus umum bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pengangkatan anak angkat berasal dari kata dasar “angkat” artinya membawa ke atas, kemudian ditambahkan awalan “peng” dan akhiran “an” yang membentuk maksud kata kerja suatu proses. Jadi “pengangkatan berarti suatu proses untuk membawa ke atas. Sedangkan kata “anak” berarti keturunan yang kedua artinya anak itu diambil dari lingkungan asalnya (orang tua kandungnya), dan       

9

 Andi Hamzah, Kamus Hukum, PT.Ghalia Indah:Bandung, 1986, hlm.28 

10

(24)

kemudian dimasukkan dalam keluarga yang mengangkatnya (orang tua angkatnya) menjadi anak angkat.

Adopsi merupakan salah satu perbuatan manusia termasuk perbuatan perdata yang merupakan bagian hukum kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia.11

Dalam perkembangan hukum nasional, pengertian pengangkatan anak berlaku bagi seluruh pengangkatan anak di Indonesia tanpa membedakan golongan penduduk, berlaku juga pada pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption) maupun pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia (inter-country adoption) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.12 Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.13

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain kedalam keluarganya sendiri, sehingga demikian antara orang yang mengambil anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan hukum.14

      

11

 Muderis Zaini, Op.cit., hlm.30

12

 Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta: SinarGrafika, 2012, hlm.105

13

 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007, Pasal 1 butir 2

14

(25)

Menurut Muderis Zaini,15 pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.

Dalam perkembangannya, anak dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Pertama, anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah atau hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.16 Kedua, anak terlantar, yaitu anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.17 Ketiga, anak yang menyandang cacat, adalah anak yang mengalami hambatan fisik atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.18 Keempat, anak yang mengalami keunggulan, adalah anak yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa atau memiliki potensi dan bakat istimewa.19 Kelima, anak asuh, adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.20

      

15

 Zaini Muderis, Op.cit 

16

 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 99  

17

 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 butir 6

(26)

Dengan meningkatnya praktek pengangkatan anak yang terjadi dalam masyarakat, dan untuk menambah aturan yang mengatur tentang pengangkatan ini, maka Mahkamah Agung mengeluarkan aturan dalam bentuk Surat Edaran. Beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) mengenai pengangkatan anak tersebut antara lain :

a. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.

b. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 6 Tahun 1983. c. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 1989.21 B.Latar Belakang Pengangkatan Anak

Pada mulanya pengangkatan anak (adopsi) dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu keluarga yang tidak dapat memiliki keturunan. Disamping itu juga untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul perceraian, tetapi sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum dalam pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi : “Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.”22

Dalam praktiknya, pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa tujuan dan/atau motivasinya, tujuannya adalah untuk       

21

 Mahkamah Agung RI, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung RI. 

22

 Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1979 tentang Pelaksanaan

(27)

meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan.23 Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak mungkin melahirkan anak, padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak dalam pelukannya ditengah-tengah keluarga.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.24 Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya.

Gagasan bahwa dalam pengangkatan anak harus mempertimbangkan kepentingan anak yang diangkat, hal ini dapat ditemui dalam Penetapan Pengadilan Negeri Bandung No.30/1970 Comp. Tanggal 26 Februari 1970, tetapi sikap ini dengan tegas dinyatakan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ketentuan dalam pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) UU Kesejahteraan Anak. Sikap ini kemudian diikuti oleh Mahkamah Agung RI dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979. Kemudian Pasal 39 ayat (1) UU Perlindungan Anak serta pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak (Pasal 2).

      

23

 Andi Syamsu dan M.Fauzan, Op.Cit., hlm 216  

24

(28)

Pengangkatan anak semakin kuat dipandang dari sisi kepentingan yang terbaik bagi si anak sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan anak, untuk memperbaiki kehidupan dan masa depan si anak yang akan diangkat.25 Hal ini tidak berarti melarang calon orang tua angkat mempunyai pertimbangan lain yang sah dalam mengangkat anak, seperti ingin mempunyai anak karena tidak mempunyai anak kandung, tetapi didalam pengangkatan anak, sisi kepentingan anak angkatlah yang harus menjadi pertimbangan utama.

Mengenai adanya kepentingan terbaik bagi calon anak angkat dengan pengangkatan yang tercermin dalam permohonan untuk mendapatkan suatu penetapan atau putusan pengadilan. Pada masa lalu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, adanya kepentingan anak harus dinyatakan atau diindikasikan dalam surat permohonan untuk penetapan atau putusan yang ditujukan ke Pengadilan. Sekarang indikasi tersebut dimanifestasikan dalam bentuk surat pernyataan tertulis dari calon orang tua angkat yang dilampirkan dalam permohonan untuk penetapan atau putusan pengadilan.

Walau demikian, tentu masih ada juga penyimpangan-penyimpangan, seperti, ingin menambah/mendapatkan tenaga kerja yang murah. Adakalanya keluarga yang telah mendapatkan anak kandung, merasa perlu untuk mengangkat anak, yang bertujuan menambah tenaga kerja dikalangan keluarga atau merasa kasihan terhadap anak terlantar itu.

Beberapa alasan seseorang melakukan pengangkatan anak diantaranya :       

25

(29)

1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orangtuanya tidak mampu memeliharanya atau alas an kemanusiaan.

2. Tidak mempunyai anak dan keinginan anak untuk menjaga dan memeliharanya kelak dikemudian hari tua.

3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak angkat dirumah, maka akan mempunyai anak sendiri.

4. Untuk mendapat teman bagi anaknya yang sudah ada. 5. Untuk mendapat atau menambah tenaga kerja.

6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga.26 Menurut Muderis Zaini, inti dari pengangkatan anak adalah :

1. Tidak mempunyai anak.

2. Rasa belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberi nafkah kepadanya.

3. Rasa belas kasihan, disebabkan anak tersebut tidak memiliki orang tua (yatim piatu).

4. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan.

5. Pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung.

6. Untuk menambah tenaga dalam keluarga.

7. Untuk menyambung keturunan dan mendapat regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung.27

      

26

(30)

M. Budiarto,28 menyebutkan bahwa latar belakang dilakukan pengangkatan anak yaitu :

1. Keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak mempunyai anak.

2. Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau sebagai “pancingan”.

3. Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah dimiliki. 4. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu dan

sebagainya.

Dari pendapat-pendapat yang diuraikan para sarjana diatas terlihat bahwa pada dasarnya latar belakang seseorang melakukan pengangkatan anak adalah karena tidak memiliki keturunan, untuk mempertahankan sebuah ikatan perkawinan atau kebahagiaan, adanya harapan atau kepercayaan akan mendapatkan anak atau pancingan. Apapun alasan-alasan yang melatarbelakangi seseorang untuk melakukan pengangkatan anak, orang tua angkat harus dapat memperhatikan kesejahteraan anak yang diangkatnya.

Harus disadari bahwa pengangkatan anak yang sesuai dengan budaya dan akidah masyarakat Indonesia tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Hal ini disebutkan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007, bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan       

27 Zaini Muderis, Adopsi,Bina Aksara : Jakarta.1995

28 Budiarto M., Pengangkatan Anak ditinjau Dari Segi Hukum, Jakarta: Akademika Pressindo,

(31)

hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.29 Hal sensitif yang juga harus disadari oleh calon orang tua angkat dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkat hanya memiliki satu arus arah dari orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung anak angkat tersebut.

Hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan anak, dan orang tua kandung tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua kandung, oleh karena itu orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.30

C.Syarat-syarat Pengangkatan Anak

Mengenai syarat pengangkatan anak hendaknya dibedakan antara sifat yang bersifat formal yaitu mengenai acara pengangkatan anak dan syarat yang bersifat materiil yaitu syarat calon orang tua angkat dan calon anak angkat.31

Tentang syarat materiil dapat dikemukakan bahwa calon orang tua angkat pada umumnya adalah pasangan suami istri, kadang kala mereka yang pernah kawin.

      

29

 Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Nomor 54 Tahun 2007 Pasal

4

30

 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pengangkatan Anak, Pasal 40

31

(32)

Mengenai jumlah anak yang dapat diangkat pada umumnya tidak ada pembatasan dan pada umumnya mengangkat lebih dari satu orang anak dimungkinkan. Calon orang tua angkat dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling sedikit 2 (dua) tahun. Dalam hal anak yang diangkat adalah anak kembar, maka pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya.32 Jarak waktu pengangkatan anak pertama dan kedua itu dapat dikecualikan bagi anak penyandang cacat.

Ketentuan ini secara eksplisit mengatur berapa kali dan dalam jarak berapa lama orang boleh melakukan pengangkatan anak. Ketentuan tidak menyatakan dengan tegas tentang berapa anak yang boleh diangkat, tetapi jika ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) dihubungkan dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 13 butir (g) PP No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, secara implisit terkandung maksud dari pembentuk PP Pengangkatan Anak bahwa sekali pengangkatan anak hanya untuk satu anak (angkat) saja, sehingga dengan dua kali pengangkatan anak maka jumlah anak yang diangkat adalah hanya 2 (dua) orang anak. Tetapi dalam hal calon anak angkat adalah kembar maka pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 pasal 12 ayat (1) syarat anak yang hendak diangkat adalah :

1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.       

32

 Pasal 21 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

(33)

2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.33

3. Berada dalam asuhan keluarga atau Lembaga Pengasuhan Anak.34 4. Memerlukan perlindungan khusus.35

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 pasal 12 ayat (2), mengenai usia anak yang hendak diangkat adalah :

1. Anak berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama.

2. Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak.

3. Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.36

Pada penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 dijelaskan pengertian sepanjang ada alasan mendesak dan sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Yang dimaksud dengan “ada alasan mendesak” seperti anak korban bencana, anak pengungsian dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan “anak memerlukan perlindungan khusus” adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban       

33

 Anak terlantar atau ditelantarkan adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara

wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial (Pasal (1) butir 6 UU Perlindungan Anak)

34

 Lembaga Pengasuhan Anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang

berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari Menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak (Pasal (1) butir 5 PP Pengangkatan Anak)

35

 Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak

36

(34)

penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.37

Mengenai syarat-syarat bagi calon orang tua angkat diatur dalam pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, sebagai berikut :

1. Sehat jasmani dan rohani;

2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 50 (lima puluh) tahun;

3. Beragama sama dengan calon anak angkat;

4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan kejahatan; 5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

6. Tidak merupakan pasangan sejenis;

7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; 8. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;

9. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua wali anak;

10.Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

11.Adanya laporan sosial dari pekerja sosial Instansi Sosial Provinsi setempat; 12.Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan sejak izin

pengasuhan diberikan;

13.Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala Instansi Sosial Provinsi.38       

37

(35)

Menyimpang dari syarat bahwa calon orang tua angkat harus berstatus menikah seperti syarat yang disebutkan diatas, bagi pengangkatan anak antar WNI masih terbuka kemungkinan calon orang tua angkat tunggal (tidak dalam status perkawinan) baik karena tidak menikah atau seorang duda/janda, dengan syarat tambahan sebagai berikut:

a. Mendapat izin pengangkatan dari Menteri Sosial, dapat juga izin dari Instansi Sosial Provinsi yang didelegasikan kewenangan oleh Menteri untuk menerbitkan izin pengangkatan anak oleh orang tua tunggal;39

b. Pengangkatan dilakukan melalui Lembaga Pengasuhan Anak. Yang dimaksud dengan Lembaga Pengasuh Anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak. Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal tidak dapat dilakukan terhadap anak yang langsung dibawah pengasuhan orang tuanya (Pengangkatan Anak Secara Langsung).

Pada pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 harus memenuhi syarat yang terdapat pada pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yaitu :

1. Memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan Negara pemohon yang ada di Indonesia.

      

38

 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, Pasal 13

39

(36)

2. Memperoleh izin tertulis dari pemerintah. 3. Melalui lembaga pengasuhan anak.40

Pada pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia harus memenuhi persyaratan yang terdapat pada pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yaitu :

1. Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia; 2. Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara asal anak.41

Selain syarat-syarat yang disebutkan diatas, pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia juga harus memenuhi syarat:

1. Calon anak angkat dan calon orang tua angkat harus berada di wilayah Negara Republik Indonesia;

2. Pelaksanaannya harus memenuhi persyaratan dan prosedur yang berlaku di Negara anak itu berasal.42

Pada pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 mengenai syarat calon orang tua angkat untuk Warga Negara Asing, selain harus memenuhi syarat yang disebutkan dalam pasal 13, juga harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun; 2. Mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah Negara pemohon;

      

40 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, Pasal 14

41 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, Pasal 15

(37)

3. Membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.43

BAB III

WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wasiat

Wasiat merupakan salah satu bentuk pemilikan atas harta yang dikenal dan diakui dalam syariat Islam, disamping bentuk-bentuk pemilikan lainnya. Wasiat diambil dari kata washoitu al syaia, uushihi yang bermakna asholtuhu yaitu menyampaikan sesuatu. Maka muushi yaitu yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu hidupnya untuk dilaksanakan sesudah ia mati. Dengan demikian, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.44

A. Hanafi mendefinisikan wasiat dengan pesan seseorang untuk menyisihkan sebagian harta bendanya untuk orang yang ditentukannya dan pelaksanaannya terjadi sesudah ia meninggal dunia.45

      

43 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Pasal 17

44 M. Fahmi Al Amruzi, Rekonstrusi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam,

Yogyakarta : Aswaja Pressindo, hlm. 124

(38)

Definisi tersebut mencakup seluruh bentuk wasiat, seperti pemilikan harta, pembebasan seseorang dari utangnya, pembagian harta bagi ahli waris yang ditinggalkan, wasiat berupa pemberian manfaat, dan mencakup pula wasiat berupa pesan untuk melaksanakan kewajiban yang masih tersangkut pada harta yang ditinggalkan.46 Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara wasiat dan pemilikan harta lainnya seperti jual beli dan sewa menyewa, karena pemilikan dalam kedua bentuk akad yang disebutkan terakhir ini bisa berlaku ketika yang bersangkutan masih hidup. Adapun wasiat, sekalipun akadnya dibuat ketika orang yang berwasiat masih hidup, tetapi baru bisa direalisasikan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Sebelum itu, akad wasiat tersebut tidak memiliki akibat hukum apapun dari segi perpindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat.

Pendapat Imam Syafi’i mengatakan bahwa wasiat tidak boleh untuk ahli waris, karena turunnya ayat-ayat kewarisan yang berarti tidak boleh merugikan hak-hak ahli waris.menurut Ibn Qudamah, pengikut madzhab Hanbali, menyatakan membolehkan adanya wasiat kepada ahli waris apabila dikehendaki.47 Sedangkan menurut Imam Malik, wasiat boleh dilaksanakan bila disetujui oleh ahli waris. Bila yang menyetujui hanya sebagian maka wasiat diambil dari orang yang membolehkan saja. Hal ini sesuai dengan Pasal 195 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan sebagai berikut:

      

46 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,Cit, hlm 126

(39)

(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.48

Berbeda dengan hukum Islam, dalam hukum perdata barat, wasiat berupa hibah tidak dibatasi berapa besarnya, sedangkan dalam hukum Islam besarnya wasiat paling banyak hanya 1/3 (sepertiga) harta peninggalan. Menurut Oemarsalim, jika wasiat (testament) tersebut menetapkan penghibahan barang tertentu dipakailah sebutan “legaat”, sedangkan istilah “efstelling” digunakan untuk penghibahan semua harta warisan atau bagian tertentu (seperberapa) atas harta warisan terhadap seseorang tertentu.49

Sedangkan menurut Syi’ah Imamiyah, bahwa wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan ahli waris, dan tidak tergantung pada persetujuan ahli waris lainnya, sepanjang tidak melebihi 1/3 (sepertiga) harta warisan.50

Wasiat mempunyai dasar yang kuat dalam syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ayat-ayat tentang perintah untuk memberikan wasiat dan yang berhubungan wasiat dapat dilihat dalam:

Q.S Al Baqarah ayat 180.       

48 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 195 ayat (2) dan (3) 

49 Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cet. IV, Jakarta: Rineka Cipta, hlm

83

50 Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, terjemahan Afif Muhammad, Cet.

(40)

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk

ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas

orang-orang yang bertakwa.”

Q.S Al Baqarah ayat 181.

maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya bagi orang-orang yang mengubahnya.

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Q.S An Nisa ayat 11.

“…Pembagian-pembagian tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat

atau sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu,

kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat, banyak

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah swt.”

Q.S An Nisa ayat 12.

Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak member mudharat (kepada ahli waris). (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah,

(41)

Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya Allah bersedekah (berbaik hati) kepada kamu tatkala kamu akan menghadapi kematian (untuk berwasiat)

sepertiga dari harta kamu, sebagai tambahan terhadap amalan-amalan

kamu.”(HR. Al Bukhari dan Muslim )

B. Rukun dan Syarat Wasiat

Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan rukun wasiat. Ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya satu, yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat). Menurut mereka, wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, sedangkan bagi pihak penerima wasiat, akad itu tidak bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi menyamakan antara hak yang akan diterima melalui warisan dan wasiat, yaitu hanya berlaku setelah pemilik harta meninggal dunia. Oleh sebab itu, qabul tidak diperlukan, sebagaimana yang berlaku dalam hak waris.51 Adapun rukun wasiat terdiri atas:

1. Orang yang mewasiatkan (mushi)

2. Orang yang menerima wasiat (musha lah) 3. Harta yang diwasiatkan (musha bih) 4. Lafal ijab dan qabul (shighat).52

      

51 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,cit, hlm.132

(42)

Sesuai dengan rukun wasiat tersebut, maka beberapa syarat harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat, yaitu:

1.

Syarat-syarat orang yang berwasiat

a. Orang yang berwasiat merupakan pemilik sempurna terhadap harta yang diwasiatkan;

b. Orang yang berwasiat haruslah orang yang cakap bertindak hukum (mumayiz), merdeka, berakal (tidak gila) dan adil;

c. Wasiat dilakukan secara sadar dan sukarela. Oleh sebab itu, orang yang dipaksa untuk berwasiat atau tidak sengaja dalam berwasiat, wasiatnya tidak sah;

d. Orang yang berwasiat tidak mempunyai utang yang jumlahnya sebanyak harta yang akan ditinggalkannya, karena wasiat baru bisa ditunaikan ahli waris apabila seluruh utang orang yang berwasiat telah dibayarkan. Apabila utang orang yang berwasiat meliputi seluruh harta yang ditinggalkan, maka wasiat yang dibuat tidak ada gunanya, karena hartanya habis untuk membayar hutang.53

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, memberikan syarat bahwa orang yang berwasiat sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain.54

      

53 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,Cit, hlm. 133-134

(43)

2.

Syarat Penerima Wasiat

a. Penerima wasiat adalah orang yang ditunjukkan secara khusus bahwa ia berhak menerima wasiat;

b. Penerima wasiat mesti jelas identitasnya, sehingga wasiat dapat diberikan kepadanya;

c. Penerima wasiat tidak berada didaerah musuh (dar al-harb);

d. Penerima wasiat bukan orang yang membunuh pemberi wasiat, jika yang disebut akhir ini wafatnya karena terbunuh;

e. Penerima wasiat bukan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam); akan tetapi diperbolehkan wasiat kepada kafir zimmi selama dia bersifat adil; f. Wasiat tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam atau

sesuatu maksiat.;

g. Penerima wasiat bukan ahli waris.55

3.

Syarat Harta yang Diwasiatkan

Ulama fikih mengemukakan beberapa persyaratan terhadap harta yang akan diwasiatkan, yaitu:56

      

55 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,Cit, hlm.135

56 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

(44)

a. Harta/benda yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bernilai harta secara

syara’ (al-mutaqawimah). Oleh sebab itu, apabila harta yang diwasiatkan itu tidak bernilai harta menurut syara’, seperti minuman keras dan babi, maka wasiatnya tidak sah. Secara lahirnya, minuman keras dan babi merupakan harta, tetapi bagi umat Islam kedua benda itu tidak termasuk harta yang halal sehingga tidak sah dijadikan objek wasiat.

b. Harta yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik berupa materi maupun manfaat. Misalnya, mewasiatkan sebidang tanah, seekor unta, atau mewasiatkan pemanfaatan lahan pertanian selama 10 tahun, atau mendiami rumah selama satu tahun. Bahkan ulama fikih membolehkan mewasiatkan sesuatu yang akan ada, sekalipun ketika akad dibuat, materi yang diwasiatkan belum ada. Misalnya, mewasiatkan buah-buahan dari sebidang kebun. Ketika wasiat dibuat, pohon itu baru berputik, apabila pemilik kebun berwasiat, “apabila saya wafat, buah-buahan dikebun ini saya wasiatkan pada fulan.” Maka wasiatnya sah.

c. Harta yang diwasiatkan adalah milik mushi (pewasiat), ketika berlangsungnya wasiat.

d. Harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi 1/3 (sepertiga) harta mushi

(pewasiat).

e. Sesuatu yang diwasiatkan tidak mengandung unsur maksiat.57

4.

Syarat-syarat yang Berkaitan Dengan ijab dan qabul (Shighat)       

(45)

Pada dasarnya shighat wasiat hanya disyaratkan berupa suatu lafal perkataan atau lafadz yang jelas yang menunjukkan pada pengertian pemberian wasiat untuk seseorang atau lebih, baik secara lisan maupun tulisan. Ada beberapa ketentuan yang mesti dipenuhi dalam shighat wasiat, diantaranya:

a. Ulama fikih menetapkan bahwa shighat ijab dan qabul yang digunakan dalam wasiat harus jelas, dan qabul dan ijab harus sejalan. Misalnya, apabila seseorang dalam ijab-nya menyatakan, “saya wasiatkan kepada engkau sepertiga harta saya.”, maka qabul orang yang menerima wasiat itu harus sesuai dengan ijab tersebut, yaitu “saya terima wasiat anda yang jumlahnya sepertiga harta anda.” Apabila qabul tidak sejalan dengan ijab, maka wasiat itu tidak sah.

b. Ucapan qabul dari orang yang diberi wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, tidak berlaku. Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi,

qabul boleh diucapkan sebelum atau sesudah orang yang berwasiat wafat. Ulama juga sepakat bahwa apabila seseorang berwasiat kepada fulan, lalu fulan wafat setelah mushi wafat tetapi belum menyatakan qabul-nya, maka ucapan qabul digantikan oleh ahli waris fulan.

c. Qabul harus diungkapkan oleh orang yang telah baligh dan berakal. Apabila penerima wasiat adalah anak kecil atau orang gila, maka qabul

mesti diwakili oleh walinya.

(46)

identitasnya tidak dijelaskan dalam wasiat, maka hukum wasiat bersifat mengikat, sekalipun tanpa qabul, setelah orang yang berwasiat wafat. e. Wasiat diperbilehkan melalui isyarat yang dipahami, akan tetapi menurut

ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali, ketentuan ini hanya diterima apabila orang yang berwasiat itu bisu dan tidak bisa baca tulis. Apabila yang berwasiat mampu baca tulis, maka wasiat melalui isyarat tidak sah. Sebaliknya, ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun orang yang berwasiat mampu untuk berbicara dan baca tulis.

f. Qabul, menurut jumhur ulama, harus diungkapkan melalui lisan atau tindakan hukum yang menunjukkan kerelaan penerima wasiat tersebut, seperti bertindak hukum pada barang yang diwasiatkan. Menurut mereka

qabul tidak cukup hanya dengan sikap tidak menolak wasiat, tetapi harus jelas. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan qabul bisa dengan ungkapan yang jelas, atau tindakan yang menunjukkan kerelaan menerima wasiat, bahkan boleh juga dengan sikap tidak menolak sama sekali wasiat (diam saja).58

C. Hal-hal yang Membatalkan Wasiat

Sah atau tidak sahnya wasiat tergantung dari praktik wasiat itu, apakah sudah memenuhi segala rukun dan persyaratan wasiat yang telah ditetapkan. Jika wasiat sudah memenuhi segala rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap sah dan bisa       

(47)

dilaksanakan, sebaliknya jika tidak memenuhi segala rukun dan persyaratan, atau tidak terpenuhi salah satu rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap batal dan tidak sah, karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apa pun.59

Ulama fikih menetapkan beberapa hal yang dapat membatalkan wasiat, sebagiannya disepakati seluruh ulama fikih dan sebagian lainnya diperselisihkan. Adapun hal-hal yang disepakati dapat membatalkan wasiat adalah:

1. Dari aspek pewasiat (mushi)

a. Mencabut wasiatnya, baik secara terang-terangan maupun melalui tindakan hukum;

b. Yang berwasiat mewasiatkan yang bukan miliknya; c. Yang berwasiat tidak cakap hukum;

2. Dari aspek penerima wasiat

a. Penerima wasiat menyatakan penolakannya terhadap wasiat tersebut; b. Orang yang menerima wasiat tidak jelas;

c. Penerima wasiat lebih dahulu meninggal daripada yang berwasiat; d. Penerima wasiat membunuh orang yang berwasiat;

e. Penerima wasiat menggunakannya untuk perbuatan maksiat; f. Penerima wasiat adalah ahli waris si pemberi wasiat.

3. Dari aspek harta yang diwasiatkan

a. Harta yang diwasiatkan musnah, seperti terbakar atau hancur ditelan banjir;

(48)

b. Penerima wasiat meminta harta lebih dahulu sebelum orang yang berwasiat meninggal;

c. Benda yang diwasiatkan adalah yang diharamkan atau tidak bermanfaat secara syara’;

d. Wasiat lebih dari 1/3 (sepertiga) harta orangb yang berwasiat.

4. Syarat yang ditentukan dalam akad wasiat tidak terpenuhi. Misalnya, pewasiat mengatakan, “Apabila sakit saya ini membawa kematian, maka saya wasiatkan sepertiga harta saya untuk Fulan.” Tetapi, ternyata si pewasiat itu sembuh dan tidak jadi wafat, maka wasiat itu batal.

D. Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat

Istilah Wasiat Wajibah dipergunakan pertama kali digunakan di Mesir melalui UU Hukum Waris 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya.60 Ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal (ibn al-ibn) atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja tidak berlanjut sampai generasi selanjutnya. Pemberian wasiat wajibah ini harus tidak melebihi dari 1/3 (sepertiga) tirkah yaitu harta yang ditinggalkan.

Yurisprudensi tetap di Lingkungan Peradilan Agama telah berulang kali diterapkan oleh praktisi hukum di Pengadilan Agama yang memberikan hak wasiat

      

60 Atho Mudhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta:

(49)

kepada anak angkat melalui lembaga wasiat wajibah. Dalam kasus yang terjadi di Pengadilan Agama, masalah wasiat wajibah biasanya masuk dalam sengketa waris. Misalnya orang tua angkat, yang karena kasih sayangnya kepada anak angkatnya berwasiat dengan menyerahkan dan mengatasnamakan seluruh harta kekayaannya kepada anak angkatnya. Karena orang tua kandung dan saudara kandung almarhum atau almarhumah yang hanya meninggalkan anak angkat saja, lalu mereka mengajukan gugatan waris. Dalam kasus ini umumnya wasiat dibatalkan oleh Pengadilan Agama dan hanya diberlakukan paling banyak 1/3 (sepertiga) saja, selebihnya dibagikan kepada ahli waris.

Suparno Usman mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergangtung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan, atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.61

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Wasiat wajibah dibatasi 1/3 (sepertiga) harta dengan syarat bagian tersebut sama dengan yang seharusnya diterima oleh       

61 Suparno Usman, Fikih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,

(50)

ashabul furud secara kewarisan seandainya ia masih hidup. Ketentuan seperti ini ditetapkan berdasarkan penafsiran terhadap kalimat “al-khair” yang terdapat dalam ayat wasiat surat Al-baqarah ayat 180.

Mengenai wasiat wajibah ini dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam pasal 209, sebagai berikut:62

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya;

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Berdasarkan bunyi isi Pasal 209 KHI ayat 1 dan 2 tersebut, dapat dipahami bahwa wasiat wajibah yang dimaksud oleh KHI adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 bagian dari harta peninggalan.

Muhammad Daud Ali mengemukakan bahwa pemberian hak wasiat wajibah kepada anak angkat oleh KHI dilakukan dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara terbatas ke dalam hukum Islam, karena berpindahnya tanggung jawab orang tua asal kepada orang tua angkat nya mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari       

(51)

dan biaya pendidikan berdasarkan keputusan pengadilan yang disebutkan dalam Pasal 171 huruf (h) tentang Ketentuan Umum Kewarisan.63

Dilihat dari metodologis, dapat dipahami bahwa persoalan wasiat wajibah dalam KHI adalah persoalan Ijtihadi yang ditetapkan berdasarkan argument hukum

maslahah al-murshalah yang berorientasi untuk mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat muslim Indonesia.

      

63 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta:

(52)

BAB IV

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARIS

ORANG TUA ANGKAT

A.Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat.

Kedudukan anak angkat tidak dapat disamakan dengan anak kandung, karena pengangkatan anak menurut peraturan perundang-undangan maupun hukum Islam tidak memutuskan hubungan darah/nasab anak angkat dengan keluarga kandungnya. Yang terjadi hanyalah peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dalam hal pembiayaan hidup sehari-hari, pendidikan, kesehatan dan membesarkan anak yang diangkat melalui keputusan atau penetapan pengadilan.

(53)

Agama Islam menganjurkan umatnya untuk menolong dan membantu sesama, juga menolong dan membantu anak-anak atau bayi yang terlantar, agama islam memungkinkan untuk melakukan pengangkatan anak tetapi tidak dalam arti pengangkatan untuk dijadikan seperti anak kandung. Menurut hukum Islam bahwa pengangkatan anak bertujuan utama untuk kepentingan kesejahteraan anak angkat dan bukan untuk melanjutkan keturunan.

Kedudukan anak angkat dalam keluarga orang tua angkatnya juga mempengaruhi kedudukan anak angkat dalam hal mewarisi harta orang tua angkatnya. Anak angkat mempunyai kedudukan yang berbeda di setiap daerah di Indonesia menurut hukum adat masing-masing. Penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku, bagi keluarga yang menganut sistem parental, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya.64 Misalnya di Jawa Barat, kedudukan anak angkat menurut hukum adat Jawa Barat adalah dipersamakan dengan anak kandung (Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 317/1971/C/Bdg tanggal 3

      

(54)

Agustus 1972),65 dengan demikian maka anak angkat berhak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Putusan yang sama juga sebelumnya dilakukan oleh Pengadilan Negeri Pandeglang yang menyatakan bahwa kedudukan hukum anak angkat sama dengan kedudukan hukum anak kandung (Putusan Pengadilan Negeri Pandeglang No. 36/1969/Perd/Pdg tanggal 10 Agustus 1971).66 Namun, menurut hukum adat Jawa Tengah, seorang anak angkat tidak berhak mewaris barang tinggalan orang tua angkatnya yang bukan harta gono-gini (Putusan Mahkamah Agung No. 384K/Sip/1961 tanggal 4 Juli 1961). Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, anak angkat tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, anak angkat hanya dapat mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya. Dengan demikian, anak angkat dibatasi haknya dalam mewarisi harta peninggalan orang tua angkat hanya dapat mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya tanpa dapat mewarisi harta asal orang tua angkatnya.

Kedudukan anak angkat di beberapa daerah di Indonesia:

a. Menurut hukum adat Minahasa, anak angkat adalah ahli waris orang tua angkatnya yang tidak mempunyai anak kandung (Putusan Pengadilan Negeri Tondano No. 259/1980/Perdata tanggal 25 Novemberb1980 jis Pengadilan

Tinggi Manado No. 139/PT/1982/Perdata tanggal 7 September 1982 dan

Mahkamah Agung No. 48K/Sip/1983 tanggal 25 Mei 1984).

      

65

 Rusli Pandika, Op.,Cit, hlm. 61

Referensi

Dokumen terkait

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah

Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab

Menurut Rosliani (2006) perlakuan mikoriza yang menyebabkan tersedianya unsur P lebih banyak didalam tanah sehingga dapat diserap perakaran tanaman dengan baik

Dalam penelitian ini di- lakukan dengan menggabungkan antara model matematik heuristik permintaan dinamis Pujawan dan Silver [5] dan model matematik sistem rantai

Tanaman kakaopetani di Desa Timbang Jaya Kecamatan Bahorok diberikan pengendalian hama PBK secara biologis dengan memasang sarang sarang semut hitam permanen

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keragaman genetik RTBV dari tiga daerah endemis virus tungro di Indonesia berdasarkan sekuen basa nukleotida dan

Hal ini memberikan makna bahwa variabel bebas yang terdiri dari kepemilikan manajerial (X1), kepemilikan institusional (X2) dan profitabilitas yang diproksi dengan

Bastanta dkk pada tahun 2001 di Kabupaten Mandailing Natal yang membandingkan efikasi kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin dibandingkan pirimetamin- sulfadoksin