• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tata Cara Pembuatan Akta PPAT

2. Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Materil.

Di samping sebab kebatalan kekuatan pembuktian sempurna dari suatu akta PPAT menjadi terdegradasi kekuatan pembuktiannya selayaknya akta dibawah tangan yang disebabkan oleh penyimpangan terhadap syarat formil dari tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana telah diuraikan di atas, juga terdapat faktor penyebab kebatalan lain, yakni yang berkaitan dengan penyimpangan terhadap syarat materil dari tata cara pembuatan akta PPAT baik menyangkut subyek maupun obyeknya. Faktor lain pembatalan sebagaimana dimaksud adalah ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Sahnya suatu perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diantaranya dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

b. Kecakapan membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu; dan

d. Kausa yang halal atau tidak terlarang.

Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa syarat tersebut bersifat kumulatif artinya setiap perjanjian yang dibuat harus memenuhi keempat persyaratan tersebut secara bersama-sama. Tidak dipenuhinya salah satu syarat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, mengakibatkan perjanjian cacat hukum, yang keabsahannya dapat dipertanyakan, dalam arti dapat batal demi hukum dan/atau dapat dibatalkan oleh pihak ketiga yang berkepentingan.

Syarat a dan b merupakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, dan jika syarat subyektif dilanggar, maka aktanya dapat dibatalkan, sedangkan syarat c dan d merupakan syarat obyektif, karena mengenai isi perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar, maka akta batal demi hukum. Berdasarkan Pasal 1320

63 KUHPerdata, cacat dalam perjanjian diancam kebatalan baik dalam bentuk dapat dibatalkan maupun batal demi hukum.

Pembatalan suatu akta PPAT yang tidak memenuhi syarat materil dari tata cara pembuatan akta PPAT bisa dibedakan menjadi 2 terminologi yang memiliki konsekuensi yuridis, yaitu:57

1. Voidable ; Bila salah satu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

2. Null and Void ; Dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Penyimpangan terhadap syarat materil (obyektif) ini menyebabkan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dinyatakan batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

Jadi kesimpulannya secara materil faktor yang dapat menyebabkan akta PPAT menjadi cacat hukum, apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 1320 KUHPerdata, maka akta PPAT yang dibuatnya akan berkonsekuensi logis dapat ditolak pendaftarannya, dimana berkas permohonan pendaftaran peralihan haknya sudah diproses secara administratif, namun ketika diteliti substansi perbuatan hukumnya, terdapat permasalahan yang menyebabkan akta ditolak pendaftarannya. Selanjutnya berkaitan dengan tugas dan wewenang dari PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah yang mengandung unsur penyimpangan terhadap syarat materil dari prosedur pembuatan akta PPAT, yang terdiri dari syarat subyek (subyek hak atau orang-orang yang menghadap

57 Bung Pokrol, 2004, Batalnya Suatu Perjanjian”, diakses pada tanggal 20 November 2015, URL

64 atau komparan) dan syarat obyek (obyek hak yang dialihkan), baik disengaja maupun karena kealpaan dan/atau kelalaian dari PPAT bersangkutan, maka akta PPAT itu akan memiliki konsekuensi yuridis atau berakibat hukum yaitu dapat dibatalkan dan/atau batal demi hukum.

Seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya tersebut, khususnya berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT adakalanya melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa saja menyangkut persyaratan formil maupun materil, misalnya : kesalahan mengenai ketidakwenangan PPAT dalam membuat akta otentik, yang berakibat hilangnya otensitas akta yang dibuatnya, atau kekuatan pembuktian akta tersebut tidak lagi sebagai alat bukti yang lengkap/sempurna, di antara dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan menjadi akta/surat di bawah tangan, dimana kesalahan tersebut bisasaja dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja.

Pertanggungjawaban PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau kelalaiannya dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang dari syarat formil dan syarat materil tata cara pembuatan akta PPAT, maka PPAT dapat dikenakan sanksi administratif. Berdasarkan Perka BPN 1/2006, penyimpangan terhadap syarat formil dan materil tersebut adalah termasuk pelanggaran berat oleh PPAT yang dapat dikenakan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan Pertanahaan Nasional Indonesia.

Pertanggungjawaban secara administratif juga ditentukan pada Pasal 62 PP No. 24 Tahun 1997, yaitu:

PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan- ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.

65 Sanksi administratif yang diberikan kepada PPAT karena melanggar ketentuan yang berlaku dalam menjalankan jabatannya dapat mengakibatkan PPAT diberhentikan dari jabatannya. Pemberhentian PPAT dapat terjadi dikarenakan dalam menjalankan tugas jabatannya melakukan pelanggaran ringan maupun berat. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai dengan pemberhentian jabatannya sebagai PPAT (Pasal 10 PJPPAT), juga ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT, yakni bagi anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat dikenai sanksi berupa:

a. Teguran; b. Peringatan;

c. Schorsing(pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT; d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT;

e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.

Penjatuhan sanksi-sanksi tersebut disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut (Pasal 6 ayat (2) Kode Etik IPPAT).