BAB III AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI
C. Akibat hukum dari perceraian
Akibat hukum perceraian terhadap suami-istri
Meskipun diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjian suci (miitshaaqan ghaliizhan), namun tidak menutup kemungkinan bagi suami-istri tersebut mengalami pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah
45
tangga. Hubungan suami-istri terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan.
Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh)hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b). serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk dapat kawin lagi adalah sampai ia melahirkan anaknya (Pasal 39 ayat (1) huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita lainnya boleh langsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah.
Akibat hukum perceraian (Undang-Undang Perkawinan)
Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan hukum keluarga maupun dalam hukum kebendaan serta perjanjian.63
63 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Publishing, Jakarta, 2002, hal. 46.
Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah. Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga
perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami istri masing-masing terhadapnya.
Seperti yang terdapat dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagi berikut:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak memenuhi kewajibannya tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dana atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Oleh karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, telah diatur jelas dalam Undang-undang Perkawinan.
D. Akibat HukumTerhadap Anak
Akibat hukum perkawinan terhadap anak 1. Kedudukan anak
47
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
b. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
c. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunannya ke atas sesuai kemampuannya, apabila, memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
3. Kekuasaan orang tua
a. Anak yang berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
b. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik didalam maupun diluar pengadilan.
c. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
d. Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila :
Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak dan ia berkelakuan buruk sekali
e. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedangkan yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah : f. Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak
yang belum berusia 18 belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah :
1.) Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaan.
2.) Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di dalam maupun diluar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.Kekuasaan orang tua berakhir apabila :
(a.) Anak itu dewasa (b.) Anak itu kawin
(c.) Kekuasaan orang tua dicabut Akibat hukum perceraian perhadap anak
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi perceraian, bukan berarti kewajiban sebagai ayah dan ibu terhadap anak dibawah umur berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah
49
anak harus terus menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri. Baik bekas suami ataupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak.
E. Akibat Hukum Terhadap Harta
Akibat hukum perkawinan terhadap harta kekayaan 1. Timbulnya harta bawaaan dan harta bersama.
2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.
3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No 1 Tahuan 1974 Tentang Perkawinan).64
Dilihat dari asal usulnya harta suami istri itu dapat digolongkan pada tiga golongan yaitu:
a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah, dan usaha mereka sendiri atau disebut pula harta bawaan.
b. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan, tetap diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau
64Agus Salim, Hukum Perdata Akibat Hukum Perkawinan,
https://kuliahade.wordpress.com/2010/04/02/hukum-perdata-akibat-hukum-perkawinan, diakses pada tanggal 17 Agustus 2018, Pukul 18.00 WIB.
sama, tetapi berubah hibah, wasiat, atau warisan untuk masing-masing.
c. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atau usaha mereka berdua atau usaha salah satu seorang mereka atau disebut harta pencarian. 65
Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat harta itu akan berupa:
1.) Harta milik bersama;
2.) Harta milik seorang tetap terikat kepada keluarga;
3.) Harta milik seorang dan pemilikan dengan tegas oleh orang yang bersangkutan;
Pada dasarnya harta suami dan harta istri terpisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami atau istri atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta hibah yang diperoleh oleh salah seorang mereka karena hadiah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.66
Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang sudah ditentukan dalam Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukum masing-Akibat hukum perceraian terhadap harta bersama
65 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 83-84.
66Ibid.
51
masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.
Memperhatikan Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara pembagian, undang-undang menyerahkan kepada “hukum yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Kalau kita kembali pada penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan maka undang-undang memberi jalan pembagian :
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukumyang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
3. Atau hukum-hukum lainnya.
Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.
Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami istri yang beragama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami istri non-Islam menurut Hukum Perdata.67
67Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 2, mengutip prof. Dr. Hazairin., S. H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Tintamas, Jakarta, hal, 189.
52 BAB IV
TATA CARA TERHADAP IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL BERDASARKAN PP NO 45 TAHUN 1990 JO PP NO 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
A. Tinjauan Yuridis Terhadap PP No 45 Tahun 1990 Jo PP No 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat diharapkan dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pegawai Negeri Sipil harus menaati kewajiban tertentu dalam hal hendak melangsungkan perkawinan, beristri lebih dari satu, dan atau bermaksud melakukan perceraian.
Meskipun dalam kedaan yang sangat terpaksa masih dimungkinkan seorang pria beristri lebih dari seorang sepanjang:
1. Tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran/peraturan agama yang dianutnya/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dihayatinya;
53
2. Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dan
3. Disetujui oleh pihak-pihak yang besangkutan.68
Sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya diharapkan tidak terganggu oleh urusan kehidupan rumah tangga atau keluarganya.Dalam pelaksanaannya, beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tidak jelas.
Pegawai negeri sipil tertentu yang seharusnya terkena ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 dapat menghindar, baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut.Di samping itu ada kalanya pula pejabat tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidakjelasan rumusan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 itu sendiri, sehingga dapat memberi peluang untuk melakukan penafsiran sendiri-sendiri.Oleh karena itu dipandang perlu melakukan penyempurnaan dengan menambah dan atau mengubah beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tersebut.
Beberapa perubahan yang dimaksud adalah mengenai kejelasan tentang keharusan mengajukan permintaan izin dalam hal akan ada perceraian, larangan bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat, pembagian gaji sebagi akibat terjadinya perceraian yang diharapkan dapat lebih menjamin keadilan bagi kedua belah pihak.Perubahan lainnya yang bersifat mendasar dan lebih memberi kejelasan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ialah mengenai pengertian hidup bersama yang tidak diatur sebelumnya.Dalam Peraturan Pemerintah ini disamping diberikan batasan yang
68 Surat Edaran, Nomor 08, Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, PT Inattu, Jakarta, 1983, hal. 12.
lebih jelas, juga ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil dilarang melakukan hidup bersama. Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.Mengingat faktor penyebab pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 berbeda-beda maka sanksi terhadap pelanggaran yang semula berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dalam Peraturan Pemerintah ini diubah menjadi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, hal mana dimaksudkan untuk lebih memberikan rasa keadilan.
Mereka yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil, apabila melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan peraturan pemerintah ini, dikenakan pula hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Atas dasar pokok pikiran sebagai berikut di atas, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah ini untuk menjamin keseragaman dan kelancaran pelaksanaannya, maka dipandang perlu, mengeluarkan petunjuk teknis tentang pelaksanaan izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.69
Ketentuan ini berlaku bagi setiap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, yaitu bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan mengajukan gugatan perceraian (penggugat) wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat, sedangkan bagi pegawai negeri sipil yang PASAL DEMI PASAL
Pasal 3 Ayat (1)
69Ibid, hal. 13.
55
menerima gugatan (tergugat) wajib memperoleh surat keterangan lebih dahulu dari pejabat sebelum melakukan perceraian.
Ayat (2)
Permintaan izin perceraian diajukan oleh penggugat kepada pejabat secara tertulis melalui saluran hierarki sedangkan tergugat wajib memberitahukan adanya gugatan perceraian dari suami/istri secara tertulis melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya enam hari kerja setelah menerima gugatan perceraian.
Ayat (3)
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi Pegawai Negeri Sipil. melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan secara tertulis kepada Pejabat.
Pertimbangan itu harus memuat hal-hal yang dapat digunakan oleh Pejabat dalam mengambil keputusan, apakah permintaan izin mempunyai dasar yang kuat atau tidak.
Sebagai bahan dalam membuat pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat memberikan keterangan dari suami /istri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
Pasal 8
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan hidup bersama adalah melakukan hubungan sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah yang seolah-olah merupakan suatu rumah tangga.
Pasal 15
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Perubahan Atas Peraturan Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam aturan tersebut Pegawai Negeri Sipil diatur tata cara perkawinan dan perceraian. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan
57
perceraian harus sesuai dengan ketentuan pada perundang-undangan dan terlebih dulu mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang memberikan izin.
Perceraian akan semakin rumit apabila Pegawai Negeri Sipil yang bercerai tidak disertai dengan izin dari atasannya. Karena pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peratuaran Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Pasal 3 diatur bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan bercerai harus mendapat izin dari atasannya.
Apabila pegawai negeri sipil disangka melakukan pelanggaran maka Pegawai Negeri Sipil tersebut diperiksa oleh pejabat yang berwenang menghukum. Tidak hanya dikenai sanksi karena melakukan perceraian tanpa izin atasannya saja tetapi apabila terbukti melakukan kekerasan dalam rumah tangga maka dikenai sanksi oleh pejabat yang berwenang menghukumnya. Sanksinya dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
1.) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari :
a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama (tiga) tahun
b. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah c. Pembebasan dari jabatan
d. Pemberhentian dengan tidak hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan
Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
B. Sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan Perkawinan dan Perceraian tanpa Prosedur yang Sesuai
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian, Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat atau pegawai negeri sipil yang berkedudukan sebagai penggugat, untuk memperoleh izin atau surat keterangan tersebut, maka harus permintaan secara tertulis. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.
Memperhatikan substansi Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, maka dapat dipahami bahwa permohonan izin untuk bercerai harus diajukan secara tertulis oleh Pegawai Negeri Sipil kepada Pejabat. Namun khusus bagi pegawai negeri sipil yang proses hukum perceraiannya sudah diperiksa, tetapi belum diputus Pengadilan, baik yang bersangkutan sebagai penggugat maupun tergugat, maka harus memberitahukan adanya gugatan perceraian tersebut kepada pejabat guna memperoleh surat keterangan dari pejabat yang bersangkutan. Baik permohonan izin maupun pemberitahuan yang disertai permohonan surat keterangan tersebut, harus dicantumkan secara jelas alasan-alasan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil untuk bercerai.70
Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, Pejabat dapat mendelegasikan wewenangannya kepada Pejabat lain dalam
70 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 454.
59
lingkungannya, serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau yang dipersamakan dengan itu, untuk memberikan atau menolak pemberian izin tersebut,sepanjang mengenai permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil golongan II kebawah atau yang dipersamakan dengan itu. Jadi, berdasarkan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ini dapat dilakukan “delegasi wewenang” dari pejabat kepada pejabat lainnya yang berkaitan dengan pemberian atau penolakan pemberian izin untuk bercerai yang dimohon oleh Pegawai Negeri Sipil.71
1. Pegawai Negeri Sipil akan dipanggil oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
Adapun tata cara/prosedur perceraian terhadap Pegawai Negeri Sipil secara umum apabila seorang suami mengajukan tuntutan cerai terhadap istri adalah sebagai berikut :
2. Mengajukan surat permohonan izin melakukan perceraian kepada kepala SKPD dengan bebagai alasan yang dapat diterima akal sehat.
Contoh dengan alasan :
a. Terjadinya percekcokan atau pertengkaran yang berulang-ulang b. Si istri melakukan perselingkuhan terhadap laki-laki lain
c. Si istri pindah agama atau keyakinan yang menyebabkan tidak seakidah
d. Si istri madat, pemabuk, judi , dst
3. Kepala SKPD menanggapi dengan memanggil kedua belah pihak untuk diberi nasehat sebanyak minimal 2 kali pertemuan dalam bentuk rapat.
71Ibid.
a. Dibuat undangan pemanggilan
b. Dibuat berita acara rapat dan harus ditanda-tangani oleh kepala SKPD, kedua belah pihak, dan pejabat dilingkungan SKPD.
4. Kepala SKPD memanggil masing-masing pihak yang bersangkutan untuk diperiksa oleh pejabat dilingkungan SKPD.
a. Berita acara pemeriksaan terhadap kedua belah pihak ditanda-tangani kedua belah pihak
b. Jika bisa dipertemukan maka kedua belah pihak akan dijadwalkan untuk memenuhi undangan rapat pembinaan (diluar berita acara) 5. Kepala SKPD mengirimkan berkas kasus izin perceraian Pegawai
Negeri Sipil ke Bupati/Walikota atau BKPP, (Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan) dilingkungan setempat jika kedua belah pihak tetap berpendirian melakukan perceraian
6. Setelah berkas masuk di BKPP, diadakan rapat pembinaan yang pertama setingkat kota diketuai oleh Asisten Administrasi Umum beserta unsur anggota tim pembina.
Tim pembinaadalah sebagai berikut :
a. Asisten Administrasi Umum Sekda kota sebagai ketua
b. Staf ahli Bidang Kemasyarakatan dan SDM Sekda kota sebagai anggota
c. Inspektorat sebagai anggota
d. BKPP sebagai sekretasis merangkap anggota e. Kelapa SKPD yang bersangkutan sebagai anggota
f. Bagian Hukum dan Organisasi Sekda kota sebagai anggota
61
g. Bagian Administrasi Keuangan Sekda kota sebagai anggota
7. Dibuat berita acara untuk meminta semua keterangan dari kedua belah pihak atas usul izin perceraian dan ditandatangani oleh tim pembina dan kedua belah pihak dan diberi waktu kepada kedua belah pihak untuk cool down.
8. Dibuat rapat pembinaan kedua, ini lebih kepada mencari solusi terbaik apakah kedua belah pihak rujuk atau tidak. Dan apabila tidak ditemukan solusi maka akan dijadwalkan untuk rapat pembinaan ketiga.
9. Pada rapat pembinaan ketiga, tim pembina mengambil keputusan
a. Memberikan rekomendasi kepada PKK (Pejabat Pembinaan Kepegawaian) dalam hal ini Bupati/Walikota untuk memberikan surat keputusan izin perceraian
b. Agar pihak yang mengajukan usul izin perceraian melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan.
10. BKPP membuat nota kepada Bupati/Walikota beserta lampiran Surat Keputusan izin perceraian yang bersangkutan dengan kelengkapan berkas.
11. Jika Bupati/Walikota setuju maka akan keluar Surat Keputusan Bupati/Walikota tentang izin perceraian.
12. Surat Keputusan dari Bupati/Walikota diserahkan kepada yang bersangkutan untuk dipergunakan ketingkat Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri.
Sehingga apabila Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan Pekawainan dan Perceraian tanpa Prosedur Izin yang sesuai maka didalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil mengatur tentang ancaman hukuman disiplin atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya, berupa pemberhentian dengan tidak hormat tidak atas permintaannya sendiri.
Adapun bentuk pelanggarannya, maka hukumannya adalah berupa jenis hukuman disiplin yang sama. Dengan demikian ancaman hukuman disiplinnya hanya tunggal, berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
Adapun bentuk pelanggarannya, maka hukumannya adalah berupa jenis hukuman disiplin yang sama. Dengan demikian ancaman hukuman disiplinnya hanya tunggal, berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri