• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Allah SWT. Tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu luhur, yakni untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban antara Suami istri.

KHI mengatur hak dan kewajiban suami dan isteri dalam Pasal 77-84. Seperti halnya dalam UUP, KHI juga mengatur mengenai hak dan kewajiban suami isteri bersama-sama dan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

1) Hak dan kewajiban suami isteri bersama-sama

Suami isteri memiliki hak yang sama dalam menentukan tempat kediaman yang tetap (Pasal 78 KHI). Hak dan kedudukan isteri adalah

seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum (Pasal 79 KHI), adapun isi kedua pasal ini mempertegas kembali ketentuan Pasal 31 dan 32 UUP.

Sedangkan kewajiban suami isteri bersama-sama diatur dalam Pasal 77 KHI yaitu :

a) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.

b) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. c) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

d) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

e) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

2) Kewajiban suami

Tali perkawinan dalam Islam adalah sebuah ikatan yang kokoh yang menjalin pasangan suami isteri dalam rangka mencapai jalinan rumah tangga yang penuh cinta dan kasih. Allah menyifati hubungan perkawinan itu dengan istlah mitsaqanghalizhan (ikatan yang kokoh). Untuk menjaga perkawinan tersebut suami isteri memiliki tugas masing-masing, hak suami merupakan kewajiban dari isteri begitu juga sebaliknya hak isteri merupakan kewajiban suami. Kewajiban suami diatur dalam Pasal 80 KHI, yaitu :

a) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.

b) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. c) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan

member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

d) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : (1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

(2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;

(3) Biaya pendididkan bagi anak.

e) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

f) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

g) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

Suami wajib pula menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anak dari pihak lain sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Kewajiban suami melengkapi tempat kediaman tersebut sesuai dengan kemampuannya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 81 KHI.

3) Kewajiban isteri

Kewajiban isteri yang merupakan hak suami diatur dalam Pasal 83 KHI, yaitu :

a) Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.

b) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Pembagian tanggung jawab antara suami dan isteri ini merupakan urusan yang vital, untuk menegakkan kehidupan keluarga dan mengatur urusan nya serta merealisasikan misinya, maka tolong menolong diantara mereka merupakan sesuatu yang vital juga, untuk kesempurnaan penunaian tanggung jawab tersebut dari satu sisi dan untuk memelihara rasa cinta kasih dari segi lain.

b. Harta bersama dalam perkawinan dalam KHI

Dalam konteks konvensional beban ekonomi keluarga adalah hasil pencarian suami, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga bertindak sebagai menejer yang mengatur menejemen ekonomi keluarganya. Namun sejalan dengan tuntutan perkembangan, isteri juga bisa melakukan pekerjaan yang dapat mendatangkan kekayaan. Jika yang pertama digolongkan ke dalam syirkah al-abdan, modal dari suami, isteri andil jasa dan tenaganya. Yang kedua di mana masing-masing mendatangkan modal, dikelola bersama, disebut dengan syirkah

‘inan.117

Bab XIII KHI menyebutkan mengenai terjadinya harta bersama, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 UUP. Akan tetapi dalam Pasal 1 huruf f disebutkan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Ujung kalimat mempunyai makna

117

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), Hal 201

penting karena tidak hanya menyangkut hukum perkawinan akan tetapi juga hukum benda tentang pendaftaran yang masih memerlukan perhatian lebih jauh.

Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan. Pasal-pasal tersebut dari KHI memberi pengaturan cukup rinci mengenai masalah harta bersama ini.

Sayuti Thalib memberikan pengertian harta bersama adalah, kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atau usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.118

KHI mengatur mengenai harta bersama secara berturut-turut dalam Pasal 85, 86 dan 87 yaitu Adanya harta bersama dalam perkawinan tersebut tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. disebutkan bahwa harta isteri tetap menjadi harta isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Sedangkan mengenai harta bawaan, masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Oleh karena itu suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hadiah, hibah, sedekah atau lainnya.

118

Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, suami atau isteri berhak membelanjakan harta bawaan masing-masing seperti yang diatur di dalam Pasal 87 ayat 2 KHI. Pengeturan lebih rinci masalah ini diatur dalam Pasal 88 , 89 dan 90, yaitu : Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Suami mempunyai bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, demikian pula Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

c. Lahirnya keturunan anak dalam KHI

Anak-anak merupakan titipan dan amanah dari Allah Swt yang harus dijaga, dipelihara, dibimbing, dan dididik oleh kedua orang tuanya. KHI memberikan arti dari anak sah, dalam Pasal 99 KHI yang dimaksud dengan anak sah adalah :

1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah 2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan

oleh isteri tersebut (bayi tabung).

KHI juga mengenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau anak tidak sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 KHI yang menyebutkan anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarganya. Ini berarti jika anak yang lahir dari perkawinan atau anak sah memiliki hubungan nasab dari kedua orang tuanya, berbeda dengan anak tidak sah yang hanya memiliki hubungan nasab dari ibu dan keluarga ibunya saja.

Pasal 101 KHI menyebutkan bahwa “seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”. Kata “li’an” diambil dari kata Al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami yang saling berli’an berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami isteri selama-lamanya.119 Permohonan yang diajukan seorang suami untuk menceraikan istrinya dengan alasan karena istrinya telah melakukan zina.

Apabila terjadi pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang dilahirkan isterinya, seorang ayah yang akan menyangkal sahnya anak yang dikandung isterinya harus mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Namun pengingkaran itu tidak akan berlaku apabila sudah lewat waktu, ini diatur dalam Pasal 102 KHI. Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah (Pasal 162 KHI).

Untuk membuktikan asal usul seorang anak dapat dilakukan atau dibuktikan dengan akta kelahiran namun bila akta kelahiran tidak ada maka pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal asul anak tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 103 KHI.

119

Abdul Rahman Gozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2012) Hal 238

Berdasarkan uraian di atas ketentuan mengenai pemeliharaan anak tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam UUP dan batas usia anak yang sama dengan batas usia yang ditentukan dalam hukum perdata. Seorang suami juga diberikan hak untuk mengingkari anaknya sebagaimana diatur juga dalam UUP. Hanya saja dalam KHI dikenal usia mummayiz yang ditentukan dalam batas usia 12 tahun. Pasal 105 KHI huruf (b) menyatakan bahwa :

“Pemeliharaan anak yang sudah mummayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah dan ibunnya sebagai pemegang pemeliharaan haknya.”

Hak ini disebut hak khiyar (hak memilih). Suami isteri memiliki hak yang sama untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak perempuan karena biasanya lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta menjunjung anak, sedangkan laki-laki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga, melindungi dan memberikan yang terbaik kepada anak secara fisik.120

120

Efendi Satria, Makna Urgensi Dan Kedudukan Nasab Dalam Perspekstif Hukum Islam, (Jakarta, Al hikmah, 1999) Hal 42.

Dokumen terkait