• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Terhadap Hak Kewarisan Anak Incest

Atas Harta yang Ditinggalkan Orang tuanya

3. Kedudukan Anak Incest

Hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologis merupakan fitrah manusia tapi penyalurannya perlu diatur. Agama Islam telah mengatur batas-batas yang boleh dilakukan, sehingga tidak terjadi penyelengan hukum. Agama Islam telah menetapkan hal tersebut melalui jalur perkawinan yang sah.233 Agama Islam juga memelihara keturunan agar jangan sampai tersia-sia, jangan didustakan dan jangan dipalsukan karena hal ini merupakan hak anak. 234

Anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin akan menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya. Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan anak cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan orang lain.235

Lahirnya seseorang anak menunjukan adanya bapak dan ibu dari si anak itu. Dalam arti bahwa, sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari seseorang laki-laki dan seorang wanita, maka si wanita akan melahirkan

233M. Ali Hasan, Masail Fiqhiah Al-Hadist Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo, 1998), hal. 79.

234 Ibid. 235 Ibid.

manusia lain yang dapat menyatakan bahwa seseorang laki-laki adalah ayahnya dan seorang wanita adalah ibunya.236

Oleh karena itu, antara waktu bersetubuh dan waktu lahirnya si anak ada tenggang waktu beberapa bulan, maka pada waktu anak itu lahir tidak mungkin pada saat itu pula dapat ditentukan siapakah sebenarnya ayah dari si anak itu. Dengan kenyataan inilah, maka perlu adanya suatu perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh akan menghasilkan seorang anak. hukum di manapun didunia yang mengenal lembaga perkawinan mempunyai harapan bahwa seorang suami atau isteri setelah kawin tidak akan bersetubuh dengan orang ketiga.237

Apabila timbul suatu keragu-raguan dalam memastikan seorang adalah betul-betul anak dari seorang laki-laki tersebut, maka menjadi persoalan hukum, lalu apakah tidak mungkin diadakan penyelidikan yang tepat dan seksama tentang keturunan seorang anak dari bapaknya,238 karena asal usul seorang anak merupakan dasar untuk menunjukan hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya.239

Untuk membuktikan sah atau tidaknya seorang anak itu diperlukan dua macam akta, yaitu:240

236 Ibid.

237 M. Ridwan Indra, Hukum Perkawinan di Indonesia , (Jakarta: Haji Masagung, 1994), hal. 48.

238 Ibid, hal. 56.

239 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga , (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 43.

a. Akta perkawinan orang tua yang membuktikan dengan siapa ibu itu menikah.

b. Akta kelahiran yang membuktikan dari mana anak itu

dilahirkan dan kapan anak itu dilahirkan.241

Adapun isi pokok dari akta kelahiran atau surat lahir yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, demikian sebagai bukti adanya kelahiran seorang anak yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:242

1. Nomor akta;

2. Tempat, tanggal, bulan dan tahun anak tersebut dilahirkan

3. Nama anak yang bersangkutan

4. Jenis kelamin;

5. Nama kedua orang tuanya (dapat dibuktikan dengan salinan

akta nikah)

6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran

7. Nama dan tanda tangan penjabat kantor cacatan sipil yang ditunjuk untuk itu atau dalam bentuk bentuk surat kenal lahir adalah lurah atau kepala desa.

Dari akta kelahiran tersebut pihak yang bersangkutan diberikan kutipannya. Demikian juga dalam bentuk surat kenal lahir atau surat kelahiran dari lurah atau kepala desa dimana dan kapan dilahirkannya anak tersebut.

241 R. Soetojo Prawirahamidjojo, Asis Sofioedin, Hukum Orang dan Keluarga , (Bandung: Alumi, 1986), hal. 135.

Manfaat lain dari adanya akta kelahiran atau yang sejenis, hal ini merupakan indentitas resmi yang akan sering digunakan misalnya untuk keperluan sekolah, pengurusan passport, dan lain-lain. Jadi, secara internal akta kelahiran merupakan indentitas asal-usul seorang anak, secara eksternal merupakan indentitas diri dari yang bersangkutan.243

Dengan adanya gugutan pengingkaran suami terhadap keabsahan anak atau dengan kata lain pembuktian asal usul anak (keturunan). Hal ini hanya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti permulaan berupa surat-surat tertulis, bisa dibuktikan dengan keadaaan-keadaan nyata. Yang dimaksud dengan keadaan yang nyata adalah. Yang telah menunjuk pada praktek kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara mereka yang bersangkutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 262 KUH Perdata bahwa:244

1. Masyarakat menganggap atau memperlakukan seseorang

anak adalah anak sah dari keluarga.

2. Nama belakang dari anak itu selalu memakai nama bapak.

3. Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak si

bapak.

4. Bahwa saudara-saudaranya mengakui dia sebagai anak si

bapak.245

243 Ahmad Rofiq, Hukum Islammm di Indonesia, (Jakarta:PT. Grafindo Persada, 1998), hal. 220.

244Ibid.

Kalau kenyataan-kenyataan yang disebutkan di atas itu cocok dengan isi akta kelahiran, maka kebenaran tersebut tidak boleh diganggu gugat lagi (Pasal 263 KUH Perdata)

Hanya jika akta kelahiran atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada, maka asal usul anak (keturunan) baru dapat dibuktikan dengan saksi-saksi, tetapi dengan ketentuan harus sudah ada permulaan pembuktian tertulis atau juga sudah adanya petunjuk-petunjuk yang sangat kuat (Pasal 264 KUH Perdata).246

Kekuatan mengenai adanya peristiwa hukum (rechteit) seperti nikah, talak, rujuk, dan akibat hukumnya adalah penting, baik bagi yang berkepentingan sendiri maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya pencatatan resmi dari pemerintah, yang tertuang dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya dalam masalah kelahiran, kematian, yang dinyatakann dengan surat-surat keterangan suatu akte resmi, yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.247

Dengan adanya pencatatan nikah tersebut, maka tidak mungkin akan terjadi suatu perselisihan antara suami istri ketika mereka melahirkan seorang anak. kecuali apabila sang istri sebelum nikah sudah terlanjur hamil dahulu, dan hamilnya itu disembunyikan dari suaminya. Atau sang suami selama dalam ikatan perkawinan tidak pernah merasa berkumpul dan melakukan perselisihan yang sangat berkepanjangan. Dalam hal ini

246 M. Ridwan Indra, Op.Cit, hal. 58. 247 Amin Syarifuddin, Op.Cit, hal 329.

untuk memastikan asal usul anak (keturunan) atau untuk memastikan sah tidaknya seorang anak.248

Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum, sehingga hasil dari perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi sipelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain yang mengenai anak hasil perbuatan zina.249

Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya

melaksanakan mu’amalat atau hubungan antar manusia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh syara’. Islam

menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat, tetangga. Dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap anak harus dikenal siapa bapak dan ibunya.250

Wiryono dalam bukunya “Hakekat Dalam Hukum Islam”

mengatakan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai bapak. Jadi, status anak yang lahir di luar perkawinan itu menurut hukum Islam itu adalah anak yang tidak sah yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, namun tetap mempunyai hubungan dengan ibunya yaitu wanita yang melahirkannya itu.251

248 Ahmad Rofiq, Op.Cit,hal. 225. 249 M. Ali Hasan, Loc.Cit.

250 Ibid. 251 Ibid.

Di dalam Islam terdapat peraturan yang termasuk dalam kategori anak yang tidak sah antara lain:252

1. Anak yang lahir diluar perkawinan, yaitu anak yang

dilahirkan oleh seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki secara sah.

2. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah

tetapi terjadi kehamilan itu diluar perkawinannya, yaitu:

a. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tapi lahirnya 6

(enam) bulan sesudah perkawinan dan diketahui sudah hamil sebelum perkawinan

b. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan

hamilnya kurang dari 6 (enam) bulan sejak perkawinannya.253 Berdasarkan uraian di atas, maka anak akan berkedudukan sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak permulaan kehamilan itu terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang tidak sah. Oleh karena itu hukum Islam memandang kedudukan seorang anak sah atau tidak sah dilihat dari perkawinan orang tuanya dan tenggang masa mengandung. Kapan dan dimana anak itu dilahirkan.

Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, ditinjau dari segi hukum pidana adalah, bahwa yang dapat dihukum hanyalah hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristeri dan

252 Hilman Hadi Kusuma, Op.Cit, hal. 137. 253Zakariya Ahmad Al-Barry, Op.Cit,hal, 14-15.

mereka yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenal hukuman pidana.

Hukum Islam menetapkan bahwa hubungan seks di luar nikah baik yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun belum menikah, tetap dinamakan zina. Anak yang dilahirkan tidak mempunyai akibat hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya.254

Apabila ditinjau menurut hukum perdata yang tercantum dalam Burgerlijk Wetbook (BW), kita akan melihat adanya tiga tingkatan status hukum dari pada anak diluar perkawinan:255

1. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua

ibu bapaknya.

2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya.

3. Anak di luar perkawinan itu menajdi sah, sebagai akibat keuda orang tuanya melangsungkan perkawinan yang sah.256 Anak yang lahir diluar perkawinan, dinamakan “natuurlijk Kind” ia dapat diakui oleh ayah ibunya. Menurut sistem yang di anut oleh BW, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya.

254 Soedaryo Soimin, Op,Cit, hal. 40. 255 Ibid.

Barulah dengan pengakuan (Erkenning), lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga siayah atau si ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya bisa diletakkan dengan pengesahan anak (Wettiging), yang merupakan suatu langkah yang lebih lanjut lagi dari pada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua orang tua yang mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang dilakukan di hari pernikahan juga membawa pengesahan anak.257

Jikalau kedua orang tua yang telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum nikah. Pengesahan dapat dilakukan dengan surat-surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh kepala negara. Dalam hal ini presiden harus meminta pertimbang

Mahkamah Agung.258

Perlu diterangkan bahwa KUH Perdata tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain.259

Adapun mengenai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibatnya, terutama hak mewaris. Jadi, hampir sama dengan status

257 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , (Jakarta: PT.Intermasa, 1995), hal 50. 258 Ibid. hal. 53.

kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungan dengan ayahnya. Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata di samping dengan ibunya dan keluarga ibunya, juga mempunyai hubungan dengan bapaknya dan keluarga bapaknya.

4. Hak Waris Anak Incest Atas Harta yang Ditinggalkan

Oleh Orang tua dan Akibat Hukumnya

Salah satu dampak dari incest adalah rusaknya makna bapak, ibu, anak, saudara, paman, bibi dan seterusnya. Karena itu, tindakan ini bukan saja haram, sebagaimana haramnya perzinaan, tetapi juga merupakan tindakan yang sangat keji. Incest ini bukan saja terkena keharaman zina, melainkan juga keharaman hubungan seksual dengan mahram. 260Dengan kata lain, tindakan incest ini bisa dikatakan telah melakukan dua keharaman sekaligus yaitu keharaman zina dan keharaman menodai hubungan darah (mahram). Pertama:fakta incest ini adalah fakta zina, karena hubungan seksual tersebut dilakukan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Karena itu, dalil tentang keharaman incest adalah dalil yang menyatakan tentang keharaman zina. Dengan tegas, zina telah diharamkan oleh nash al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw.

Larangan Allah di dalam surat al-Isra’ ayat 32 ini disertai dengan qarînah jâzimah sehingga merupakan larangan yang tegas. Sebagaimana firman Allah SWT:

“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus dali deraan, dan janganlah rasa belas

kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman “(QS an-Nur : 2)”

Allah memberikan sanksi kepada pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cambukan (jild) jika mereka ghair muhshan (belum menikah), dan di-rajam (dilempari dengan batu hingga mati) jika mereka muhshan (sudah menikah).

Kedua: larangan menikahi mahram, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:

"Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian; ibu-ibumu yang menyusui kalian; saudara-saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kalian (mertua); anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu); dan mengumpulkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu (Jahiliah). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa’ : 22-23).

Jika Allah mengharamkan zhihâr, yaitu menganggap istri sama seperti ibu, padahal itu hanyalah anggapan, maka apa yang lebih dari sekadar anggapan, yaitu berhubungan badan dengan ibunya, jelas lebih diharamkan lagi. Kesimpulan ini

merupakan bentuk penarikan ias dari dalalah iltizam, yaitu tanbih adna ala

al-a’la.261

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status keharamnya incest ini. Hanya saja, tetap harus dibedakan, antara orang yang melakukan incest suka sama suka, dengan terpaksa. Bagi yang melakukannya suka sama suka, secara qath’I jelas haram. Adapun bagi yang melakukannya karena terpaksa, misalnya, anak perempuan dipaksa bapaknya, atau saudara lelakinya dengan disertai ancaman fisik dan kekerasan, maka status perempuan yang menjadi korban incest tersebut diberlakukan kepadanya hadis Nabi saw.: 262

“Sesungguhnya Allah telah meninggalkan (untuk tidak mencatat) dari umatku: kekhilafan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka

(HR Ibn Hibban)

Status pelaku incest yang terpaksa atau dipaksa ini, meskipun tetap haram, keharamannya diabaikan oleh Allah SWT karena dipaksa. Adapun status anak hasil incest dan perwaliannya maka statusnya sama dengan status anak zina. Nasab anak zina tidak dinisbatkan kepada pasangan zinanya, karena status nasab dikembalikan pada pernikahan, sebagaimana sabda Nabi saw.: “anak (statusnya) mengikuti tempat tidur (pernikahan), sementara orang yang berzina berhak

mendapatkan batu (dirajam sampai mati)”(HR al-Bukhari dan muslim).263

261 Lihat: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syyakhshiyyah al-Islamiyyah, (Dar al- Ummah, Beirut, Muktamadah, 2005), hal. 189

262 Ibid. 263 Ibid.

Anak hasil zina tidak dapat mewarisi dari ayah biologisnya namun dapat mewarisi dapat dari pihak ibunya, namun pada kasus menimpa RH yang beralamat di Jalan T. Iskandar Muda, Desa Meunasah Intan Kec. Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, dimana anak hasil hubungan sedarah (incest) juga menerima warisan dari ayah biologisnya, hal ini sangat bertentangan dengan hukum kewarisan Islam, dimana Dalam hukum Islam ada da faktor yang menyebabkan adanya pewarisan yaitu: 264

1. Adanya hubungan kekerabatan (Nasab).

2. Adanya perkawinan yang sah

Dalam hukum Islam anak zina disamakan dengan anak mula’anah yaitu anak hasil hubungan di luar perkawinan yang sah. Sedangkan anak mula’anah terjadi setelah adanya tuduh-menuduh zina diantara kedua suami.istri. mereka sama dinasabkan kepada ibunya. Masing-masing terputus hubungan nasabnya dengan ayahnya. Oleh karena itu mereka dapat mempustakai orang-orang tuanya dari pihak ibu, bukan dari pihak ayah.265

Sandaran para jumhur ulama dalam ketetapan tersebut, bahwa anak hasil zina mendapat warisan dari pihak ibu, yaitu dalam hadis:

َِ ا َرْ يِم ْمَلَس َو ِهْيَلَع ه ا ىَلَص ه ا ُل ْوُلُسَر َلَعَج

ِلَو ِهِ م ِا ِةَنَع َاُمْا ِنْب ا

َو

َاه ِدْعَ ب ْنِم َاهِتَثَر

artinya: Rasulullah SAW menjadikan hak waris anak mula’anah kepada ibunya dan ahli waris ibu.

264Ibid, Wawancara dengan Ust Munawar

Mereka juga dapat mempusakai ibunya dan kerabat ibunya dengan jalan fardh saja tidak dengan jalan lain. Demikian juga ibunya dan kerabat-kerabat ibunya dapat mewarisi harta peninggalannya dengan jalan faradh juga. Hal mereka untuk mempusakai dan dipusakai dengan jalan ‘ ushubah-nasabiyah.266

Anak incest tidak ada dalam hukum Islam karena dalam hukum Islam hanya mengenal anak sah dan anak zina, namun dalam hal ini anak incest disamakan dengan anak zina karena anak tersebut lahir di luar perkawinan267. Sebab Nabi Muhammad SAW:

ُرَُْْْ ا ِرَه اَعْلِل َو ، ِش ا َرَُْلِل َدَل َوْلا

( ر

و ا

ابااا ةعاَجا

ا د

نعدو

ِا

رَره

Artinya: “ Anak yang lahir adalah milik kasur (suami) dan perzinanya dihukum”

Selanjutnya di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 186. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya, jelas hal ini harus diikuti oleh masyarakat muslim yang ada di Indonesia.

Imam Hanafi maupun Syafii, sepakat bahwa anak incest tidak mewarisi harta pasangan zina ayahnya, dan garis bapak biologisnya, tetapi boleh mewarisi dan diwarisi ibunya, dan ahli waris yang segaris dengannya. Adapun hak perwaliannya, karena ibu dan garis dari ibu tidak menjadi wali, maka status perwaliannya disandarkan kepada iasm (wilayat al-hakim). 268

266 Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi-Syari’atil-Islamiyah, (Lajnatul-Bayan Al-Araby, Cet III, 1999), hal. 189.

267 Ibid wawancara dengan Ust Munawar, 20 November 2015.

268 Al-Kasani, Bada’I ash-Shana’I, (Dar al-Kitab al-’Arabi, Beirut, cet- ke dua 1996), hal. 466.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat di ketahui bahwa anak RH yaitu KY tidak berhak menerima warisan dari kakeknya SY, hal ini

berdasarkan beberapa pendapat para jumhur ulama. Anak incest tidak

mendapatkan warisan dari laki-laki yang menzinai. Hal ini juga disebutkan di dalam buku Al-Fiqhul Islami Wa Adillatih Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar’i269 Namun menurut Pendapat Geuchik Gampong Gue gajah Aceh Besar anak RH yaitu KY diberikan warisan yang sama dengan RH, karena ZB (Ibu kandung RH) menganggap KY sebagai anak, bukan cucu, sehingga ZB meminta agar pembagian warisan juga diberikan kepada KY dan pembagian warisan di lakukan secara kekeluargaan.270

Anak zina termasuk anak incest tidak memberikan hak mewaris, tetapi Undang-undang (Pasal 867 ayat (2) KUHPerdata) memberikan hak mereka hak untuk menuntut pemberian nafkah , hak atas nafkah tersebut tergantung dari besarnya kemampuan bapak atau ibunya dan keadaan para ahli waris sah, apakah mereka mampu atau miskin, hal tersebut turut menentukan besarnya hak nafkah yang akan diterima oleh anak incest.

269 Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (7-8)Tahun IX/1426/2005M. (Sukakarta: Yayasan Lajnah, 2005), hal, 7-8.

270Wawancara dengan Geucik Gampong Meunasah Intan Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar Tanggal 26 Nover 2015.

BAB V

Dokumen terkait