• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Orang Tua Terhadap Anak Incest Menurut Hukum Islam Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Orang Tua Terhadap Anak Incest Menurut Hukum Islam Chapter III V"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK INCEST

BERDASARKAN HUKUM ISLAM

A. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak

Incest berdasarkan Hukum Islam

1. ... K

ewajiban Orang Tua terhadap anak incest

Rumah tangga yang aman dan damai, segala sesuatu yang menyangkut

kesejahteraan anak adalah di bawah pengamatan kedua orang tuanya suami

istri bahu membahu dan bekerja sama-sama memenuhi hidup semua keperluan

anak-anaknya, anakpun merasa tentram dalam pertumbuhan jasmaniah dan

rohaniahnya, semua orang sangat mengidam-idamkan hal yang demikian,

rumah tangga adalah istana baginya selama hayat di kandung badan.123

Menurut Hilman Hadikusuma tentang perkawinan dalam hukum Islam

mengatakan bahwa, dengan lahirnya anak baik anak yang sah maupun tidak

(2)

akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya.

Seorang ayah dibebani tugas kewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya. Sedangkan ibu bersifat membantu, ibu hanya berkewajiban menyusui

anak dan merawatnya.124

Kewajiban bapak dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas kepada

kemampuannya, sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an yang menyatakan :

ِهِتَعَس ْنِم ٍةَعَس وُذ ْقُِْنُ يِل

kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (Q.S. at- Thalaq: 7)125

Seorang ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang dia ditentukan

untuk itu, maksudnya tidak ada wanita lain yang akan mengambil alih tugas

itu dari padanya atau bayi itu tidak mau menyusu kecuali kepada ibunya saja.

Seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al- Baqarah:233

َِْْلِماَك َِْْلْوَح َنُهَد َاْوَأ َنْعِضْرُ َ ُتاَدِلاَوْلاَو

124 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia , (Bandung: Mandar Maju, cet ke-1 ke-1990), hal. ke-144.

125 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), hal. 115.

(3)

َنُج َاَف ٍرُواَشَتَو اََُهْ نِم ٍضاَرَ ت ْنَع ًااَصِف اَداَرَأ ْنِإَف

sempurna bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan bagi ayah diwajibkan memberikan nafkah kepada mereka. Dan pakaian mereka, dengan cara yang baik, satu jiwa tidak dibebani kecuali menurut kesanggupannya saja, tidak boleh si ibu disusahkan karena bayinya dan juga tidak boleh si ayah

disusahkan karena masalah anaknya” (Al-Baqarah :233).126

Selain dari beban yang wajib tersebut, di dalam Islam orang tua

dianjurkan untuk melaksanakan sunnah Nabi dalam membesarkan anak

sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.127 sebaliknya anak juga wajib

menghormati dan berbuat baik terhadap ayah, ibu, dan para anggota

kerabatnya.128

2. Hak-hak Keperdataan Anak Incest

Pada dasarnya, seorang anak incest berhak mendapatkan pemeriharaan,

perawatan dan pendidikan dari orang tuanya. Perawatan dan pemeliharaan

terhadap anak incest diwajibkan kepada ibu, sedangkan hak pendidikan

terhadap seorang anak diwajibkan kepada kedua orang tua. Hak dan kewajiban

ini diberatkan kepada masing-masing orang tua, baik anak tersebut dari hasil

perkawinan yang sah maupun anak diluar nikah.

126 Ibid. hal. 946.

127 Hilman Hadikusuma,Op.Cit, hal. 144.

(4)

Apabila seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya itu,

dikarenakan tidak ada atau karena dikenakan diskualifikasi, maka hukum Islam

menentukan beberapa anggota keluarganya yang perempuan ini tidak dapat

melakukan kewajibannya, maka kewajiban dan pemberian hak terhadap anak

itu berpindah kepada anggota keluarga yang laki-laki. Dimulai dari

bapaknya.129

Dalam hukum perdata, yang oleh hukum Islam dinamakan kewajiban

orang tua terhadap hak-hak seorang anak, kita melihat beberapa perbedaan.

Dalam hukum perdata, kuasa orang tua hanya jikalau kedua-duanya masih

hidup dan tidak bercerai (Pasal 299, 345 KUH Perdata). Sedangkan menurut

hukum Islam kewajiban itu tetap ada, sungguh pun kedua orang tua sudah

bercerai atau salah satu meninggal dunia, sebagaimana yang telah dijelaskan di

atas.130 Pasal 867 ayat (2) KUHPerdata memberikan hak kepada anak incest

untuk menuntut pemberian nafkah, hak atas nafkah tersebut tergantung dari

besarnya kemampuan bapak atau ibunya dan keadaan para ahli waris sah,

apakah mereka mampu atau miskin, hal tersebut turut menentukan besarnya

hak nafkah yang akan diterima oleh anak incest.

Setiap anak berhak mendapat kehidupan, pemeliharaan dan perawatan

dari orang tua yang melahirkannya, karena anak yang dilahirkan dari rahim

ibunya tidak menanggung dosa yang dilakukan oleh orangtuanya, anak incest

meskipun terlahir dari hubungan haram, tetap saja anak tersebut tidak dapat

dipersalahkan. oleh karena itu anak incest harus mempunyai hak yang sama

(5)

dengan anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Salah satu

tanggung jawab orang tua kepada anak incest yaitu tanggung jawab mengenai

hak asuh anak tersebut, pembahasan mengenai tanggung jawab orang tua

terhadap hak asuh anak incest akan dibahas dalam sub bab berikutnya.

B. Hak Asuh Anak Sebagai Tanggung Jawab kepada Korban incest

7. Pengertian, dan Dasar hukum Hak Asuh anak

Hak asuh anak dalam bahasa arabnya adalah Hadanah berasal dari kata

hidan yang berarti lambung. Seperti dalam kalimat “hadanah at-thairu

baidahu” burung itu mengempit telur dibawah sayapnya, begitu juga seorang

ibu yang membuat anaknya dalam pelukan atau lebih tetapnya hadanah ini

diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Dan hadanah dapat juga

diartikan sebagai hak asuh anak dengan jalan mendidik dan melindunginya.131

Istilah “hak asuh anak” secara hukum sesungguhnya merujuk pada

pengertian kekuasaan seseorang atau lembaga, berdasarkan putusan atau

penetapan pengadilan, untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan,

perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu

orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

Sedangkan pengertian istial “kuasa asuh” adalah kekuasaan orang tua untuk

mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan

(6)

menumbihkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan

kemampuan, bakat, serta minatnya.132

Dari pengertian istilah di atas, kiranya memang sulit untuk memahami

dan membedakan kedua istilah tersebut tetapi hal ini perlu dijelaskan karena

jika berbicara tentang hak asuh anak, artinya berbicara tentang anak yang

tidak memiliki jaminan untuk tumbuh kembang secara wajar karena orang

tuanya tidak mampu, baik secara ekonomi dan atau secara psikologis.133

Hak Asuh anak dalam Hukum Islam disebut juga dengan hadanah

secara etimologis, hadanah ini berarti di samping atau di bawah ketiak.

Sedangkan secara terminologisnya, hadanah merawat dan mendidik

seseornag yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya,

karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.134

Para ulama’ Fiqh mendefinisikan hadanah yaitu melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun

perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyedikan

sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang

menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar

mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggungjawab.135

132 Ibid.

133 Ibid.

134 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), hal. 415.

(7)

Jadi hadanah ini harus di jaga oleh orang tuanya sendiri supaya tidak terjadi

sesuatu hal yang tidak diinginkan oleh anak tersebut.136

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab

mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada

bahaya kebinasaan. Hadanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih

kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusan

dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibu yang

berkewajiban melakukan hadanah. Rasullah SAW bersabda yang artinya :

“Engkaulah (ibu) yang berhak terhadap anaknya.”137 Hak sepenuhnya dalam

pengertian di atas adalah hak sebagai ibu yang bisa menjaga anaknya

dengan sebaik-baiknya, agar dia bisa terhindar dari bahaya kebinasaan.138

Menurut wahbat Al-Zuhayly berpendapat bahwa hadanah adalah hak

bersyariat antara ibu, ayah dan anak. jika terjadi pertengkaran maka yang

didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak. akan tetapi Ulama’

Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hadanah itu menjadi hak

ibu sehingga ia dapat saja mengugurkan haknya.139

Dasar hukum mengenai hadanah adalah firman Allah dalam surat

Al-Baqarah ayat 233 yang artinya:

“para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan

cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar

kesanggipannya. Jangalnah seorang ibu menderita kesengsaraan karena

136 Ibid, hal 172.

137 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cetakan Ke-2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), hal. 217.

138 Ibid.

(8)

anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan kethuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.140”

Para Fuqaha’ berpendapat bahwa ayat tersebut di atas maksunya

adalah mewajibkan atas untuk memberikan nafkah kepada istri yang ditalaq

dalam menyusui disebabkan adanya anak. maka nafkah tersebut wajib atas

ayahnya, selagi anak itu masih kecil dan belum mencapai umur taqlif.141

8. Orang Yang Berhak Mengasuh Anak incest

Bila terjadi suatu sengketa dalam rumah tangga, baik ibu maupun bapak

tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata demi

kepentingan si anak meskipun anak tersebut anak yang lahir dari hasil

hubungan sedarah (incest).142 apabila sengketa terjadi antara suami istri

yang telah berturunan, yang berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah

istri, ibu anak-anak. Ibu lebih berhak merawat anak dasar Al- Baqarah ayat

233, kandungan Hadist:143

a. Ibu lebih berhak mengasuh anaknya selama anak berada dalam tarap

diasuh dan selama ibu belum kawin lagi. Jika ibu kawin lagi, maka tidak

ada hak untuk mengasuh lagi.

140 Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1971), hal. 80.

141 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Hukum, Jilid II, (Semarang: CV. Asy-

Syifa’, 1993), hal. 96.

142 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 295.

(9)

b. Ibu yang kawin lagi masih berhak mengasuh anaknya tanpa perselisihan

ulama.

Dalam kandungan hadist yang disahihkan oleh Tirmidzi/ Bulughul

Maram: 1189 memiliki kandungan:144

a. Anak yang sudah tidak memerlukan pemeliharaan dan asuhan berhak

memilih, ikut ibunya atau ayahnya.

b.Jika anak tidak menentukan pilihan, maka harus diundi. Ibnul Qayyim

berpendapat, bahwa yang diserahi anak adalah orang tua yang paling

maslahat bagi anak.

c. Menurut segolongan ulama’ batas umur anak tersebut ialah 7 (tujuh)

tahun.145

Dalam urutan siapa yang pemegang hadanah ada beberapa

pendapat, menurut yang dianut oleh kebanyakan ulamat yaitu bila

bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semuanya

memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan hadanah. Maka

urutan yang dianut oleh kebanyakan ulama yaitu:

a. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas, karena mereka menduduki

kedudukan ibu, kemudian.

b. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas, karena mereka

menduduki tempatnya ayah.

c. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas

d. Ibunya kakek melalui ayah, dan seterusnya ke atas.

144 Ibid, hal. 190.

(10)

e. Saudara-saudara perempuan ibu.

f. Saudara-saudara perempuan dari ayah.

Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai urutan-urutan

siapa saja yang berhak mengasuh anak, yaitu dalam Pasal 156 huruf

(a):146

Anak yang belum mumayiz berhak mendapat hadanah dari ibunya,

kecuali jika ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya

digantikan oleh:

a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu

b. Ayah

c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah

d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping dari ibu

f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Dan apabila tidak ada kerabat dekat perempuan seperti pengasuh

di atas, atau tidak ada yang memenuhi persyaratan sebagai pengasuh,

maka hak asuh tersebut berpindak ke ayah si anak, kemudia ayah dari

ayah (kakek), kemudian ke saudara laki-laki sekandung dari ayah, dan

seterusnya seperti urutan-uruatan para ahli waris dan yang dianggap

lebih menguntungkan bagi kepentingan si anak.147

Jika para wali sudah tidak ada atau ada tetapi ada suatu alasan

yang mencegah untuk untuk melakukan tugas hadanah ini, maka

(11)

berpindahlah ia ke tangan kerabat lainnya yang lebih dekat. Jika sudah

tidaka da satupun kerabatnya, maka Pengadilan (Hakim) bertanggung

jawab untuk menetapkan siapakah orang yang patut menangani

hadanah ini.148

Anak mendapat hak untuk memilih siapa yang pantas untuk

mengasuhnya ketika dia telah mumayiz dengan catatan:149

a. Kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh

sebagaimana akan dijelaskan setelah ini. Bila salah satu memenuhi

syarat dan yang satu lagi tidak, maka si anak di serahkan kepada

yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.

b. Si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila anak dalam keadaan idiot,

meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang lebih

berhak untuk mengasuh dan tidak ada hak pilih untuk anak.

Menurut Abdul Razak anak yang mempunyai hak-hak, yaitu:150

1. ... H

ak anak sebelum dan sesudah dilahirkan;

2. ... H

ak anak dalam kesucian dan keturunan;

3. ... H

ak anak dalam menerima pemberian nama yang baik;

148 Sayyid Sbiq Penerjemah Moh. Thalib, Fiqih Sunnah juz 8, (Bandung: PT, Al-Ma’arif, 1990), hal. 165.

149 Amir Syarifuddin, Op.Cit,hal. 334.

(12)

4. ... H

ak anak dalam menerima susuan;

5. ... H

ak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan

pemeliharaan;

6. ... H

ak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

9. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Pengasuhan Anak

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang

menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang

disebut hadin dan anak yang diasuh disebut mahdun. Kedua harus

memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan

itu. Dalam ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban

untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya

perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan atau ayah

berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.151

Ibu atau penggantinya yang dinyatakan lebih berhak mengasuh anak itu

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Berakal sehat152

b. Telah balig

151 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, Loc.Cit, hal. 328.

(13)

c. Mempu mendidik 153

d. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia

e. Beragama Islam

Hak mengasuh akan hilang karena si pengasuh kafir. Jika salah seorang

dari orang tuanya kafir, maka hilang haknya untuk mengasuh anaknya dan

hak itu pindah ke tangan orang tuanya yang beragama Islam.154

f. Belum kawin dengan laki-laki

Mengenai yang tersebut terakhir, ada pendapat yang mengatakan

bahwa apabila suami ibu anank (ayah tiri) yang baru adalah kerabat

mahram anak, misalnya pamannya yang cukup mempunyai perhatian

besar terhadap pendidikan kemenakan yang kemudian menjaadii anak

tirinya itu, maka hak ibu untuk mengasuh anak tidak menjadi gugur;

sebab paman termasuk yang mempunyai hak mengasuh juga. Berbeda

halnya apabila ibu anak kawin dengan laki-laki lain yang tidak

mempunyai hubungan kerabat dengan anak.155

Dalam hal yang akhir ini hak mengasuh anak terlepas dari ibu,

dipindahkan kepada ayah atau lainnya yang lebih mampu mendidik anak

bersangkutan. Tetapi inipun tidak mutlak, dimungkinkan juga suami

yang baru, ayah anak, justru menunjukan perhatian yang amat besar

153

154Muhammad Rawwas Qal’ahji, Penerjemah M. Abdul Mujieb, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin Khathab,, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 104.

(14)

untuk suksesnya pendidikan anak. apabila hal ini terjadi, maka hak ibu

mengasuh anak tetap ada.156

Keenam syarat tersebut Sayid Sabiq menambahkan syarat lagi yakni

merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan

urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk

mengasuh anak kecil.157 Sedangkan menurut Abd. Rahman Ghazaly

dalam memberikan syarat-syarat hadanah, syarat-syarat ialah:158

a. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia

tidak melakukan hadanah dengan baik.

b. Hendaklah hadanah seorang mukallaf, ayitu telah baliq,

berakal dan tidak terganggu ingatannya.

c. Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadanah.

d. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan

anak,terutama yang berhubungan dengan budi pekerti.

e. Hendaklah hadinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak

ada hubungan mahram dengan si anak, maka hadinah itu berhak

melaksanakan hadinah, seperti ia kawin dengan paman si anak dan

sebaginya.

f.Hadanah hendaklah orang yang tidak membenci si anak. jika hadinah

orang yang membenci si anak dikhawatirkan anak berada dalam

kesengsaraan.

156 Lihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

157 Sayyid Sabiq Penerjemah Moh. Thalib, Fiqh Sunnah juz 8, (Bandung: PT. Al’Arif, 1990), hal. 166.

(15)

10. ... Batas atau Jangka Waktu Pengasuhan Anak

Masa pengasuhan anak dalam Islam terhitung sejak anak masih dalam

kandungan, orang tua sudah memikirkan perkembangan anak dengan

menciptkan lingkungan fisik dan suasana batin dalam kekeluarga.159

Ketentuan yang jelas mengenai batas berakhirnya masa pengasuhan anak

(hadanah) tidak ada, hanya saja ukuran yang dipakai adalah mumayiz dan

kemampuan untuk berdiri sendiri. jika anak telah dapat membedakan mana

sebaliknya yang perlu perlu saya laksanakan dan mana yang tidak perlu

ditinggal, tidak membutuhkan pelayanan perempuan dan dapat memenuhi

kebutuhan pokoknya sendiri, maka masa pengasuhan anak adalah sudah

habis atau selesai.160

Para ahli fikih berselisih pendapat tentang batas umur bagi anak kecil

laki-laki tidak memerlukan hadanah. Sebagian mereka menetapkan 7 tahun.

Sebagian lagi 9 tahun. Sebagian lain menetapkan usia birahi (pubertas) 9

tahun, dan yang lain adalah 11 tahun. Kementrian Kehakiman berpendapat

bahwa kemaslahatan yang harus dijadikan pertimbangan bagi Hakim untuk

secara bebas menetapkan kepentingan anak laki-laki kecil sampai 7 tahun

dan anak perempuan kecil sampai 9 tahun. Jika hakim menganggap

kemaslahatan bagi anak-anak ini tetap tinggal dalam asuhan perempuan,

159 Fuaduddin TM., Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam, (Jakarta Selatan: Lembaga Kajian Jender, 1999), hal. 38.

(16)

maka bolehlah ia putuskan demikian sampai umur 9 tahun bagi anak

laki-laki dan 11 tahun bagi anak perempuan.161

11. ... Biaya Pengasuhan anak

Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadanah, sejak saat

menangani hadanahnya, seperti hanya perempuan penyusu yang bekerja

menyusui anak kecil dengan bayaran (upah). Seperti halnya ayah wajib

membayar upah penyusuan dan hadanah ia juga wajib membayar ongkos

sewa rumah atau pelengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah

sendiri sebagai tempat memgasuh anak kecilnya.162

Ayah berkewajiban membayar gaji pembantu rumah tangga atau

penyediaan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya dan ayah ada

kemampuan. Tetapi ini hanya wajib dikeluarkannya di saat hadinah

menangani asuhannya. Gaji (upah) ini menjadi hutang yang ditanggung oleh

ayah dan baru ia bisa terlepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau

dibebaskan.163

12. Analisis Hak Pengasuhan Anak Incest menurut Hukum Islam

Hak asuh anak incest Ulama’ Fiqh masih berselisih berpendapat dalam

menentukan siapa yang berhak atas hak asuh anak incest , apakah hak milik

wanita ibu atau yang mewakilinya atau hak yang diasuh tersebut. 164 Imam

Ahmad Ibu Hanbal berpendapat bahwa orang yang paling berhak atas hak asuh

incest adalah ibu, kemudian ibunya ibu dan seterusnya menurut garis lurus ke

161 Ibid, hal. 174.

162 Ibid.

163Ibid, hal. 186.

(17)

atas, setelah itu ayah dan seterusnya menurut garis lurus ke atas, lalu kakek,

ibunya kakek, saudara perempuan seayah dan seibu. Jika dari pihak ayah atau

ibu itu tidak ada maka yang menjadi hak asuh anak bagi mereka adalah dari

pihak pemerintah.165

Akibat dari perbedaan pendapat tentang hak asuh anak incest tersebut,

para ulama menyimpulkan bahwa:166

a. Apabila kedudukan ibu bapak enggan untuk mengasuh anaknya, maka

mereka bisa dipaksa selama tidak ada yang mewakili mereka mengasuh

anak tersebut. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama’.

b.Apabila ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, maka ibu

tidak boleh dipaksa. Hal ini juga disepakati oleh seluruh ulama’ karena

seseorang tidak boleh dipaksa untuk mempergunakan kewajibannya.

c. Menurut Ulama’ Madzhab Hanafi apabila Istri menuntut khuluk pada

suaminya dengan syarat anak itu dipelihara oleh suaminya, maka

khuluknya sah tetapi syaratnya batal karena pengasuhan anak merupakan

dari kewajiban dari ibu. Jumhur ulama’ tidak sependapat dengan

Madzhab Hanafi karena menurut mereka hak pengasuhan anak adalah

hak berserikat yang tidak bisa digugurkan. Apabila terjadi perpisahan

antara suami istri itu, boleh saja anak berada pada asuhan ibu, tetapi

biaya pengasuhan harus ditanggung ayah. Menurut mereka dalam kasus

seperti ini anak lebih berhak tinggal pada ibunya sampai ia cerdas dan

bisa memilih apakah akan tinggal dengan ayah atau ibunya.

165 Ibid.

(18)

d.Ulama’ Fiqh juga sepakat menyatakan bahwa ayah tidak bisa mengambil

anak dari ibunya apabila mereka bercerai, kecuali ada alasan syara’ yang

membolehkannya, seperti ibu itu dipenjara atau gila.

Pada contoh kasus yang menimpa RH dengan anaknya yaitu KY, hak

asuh KY diasuh oleh ZB ibu sekaligus nenek bagi RH dan KY, hak asuh anak

RH diasuh oleh ZB dengan alasan bahwa RH masih dibawah umur untuk

mengasuh anak dan RH harus tetap melanjutkan pendidikannya, sehingga

dengan alasan tersebut KY diasuh oleh ZB.167 Menurut Ust Munawar pada

dasarnya yang paling berhak mengasuh seorang anak baik anak sah maupun

tidak sah adalah ibu apabila ibu tidak memungkin ibunya baru kemudian

keluarga dari ibunya. Terkait dengan anak hasil hubungan sedarah (incest)

kadang-kadang ibunya korban tidak mampu untuk memberikan pemeliharaan,

perawatan, atau hak asuh kepada anak tersebut hal ini sebabkan orangtua anak

tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagai orang yang berhak mengasuh

anak menurut hukum Islam, hal ini bisa saja disebabkan ibu anak hasil

hubungan sedarah tersebut tidak baligh atau tidak berakal sehat. Karena alasan

tersebut membuat hak asuh seorang anak incest jatuh kepada keluarga

ibunya.168 Selain itu kasus incest tidak hanya terjadi di keluarga yang

ekonominya berkecukupan akan tetapi juga terjadi pada keluarga yang kurang

mampu. apabila terjadi pada keluarga yang tidak mampu menyebabkan

pengasuhan anak dengan seizin dari ibu dan keluarga ibu anak, maka ayah

sekaligus kakek sang anak hasil incest dimungkinkan untuk membiayai

167 Wawancara dengan keluarga korban yaitu ZB, tanggal 20 November 2015

(19)

pemeliharaan sang anak, karena seorang ayah sekaligus kakek tetap harus

bertanggung jawab atas pengasuhan dan pemeliharaan anak. 169

BAB IV

AKIBAT HUKUM KEWARISAN ANAK INCEST ATAS HARTA YANG

DITINGGALKAN OLEH ORANG TUANYA

E. Ketentuan Kewarisan Menurut Hukum Islam

6. Pengertian Hukum Waris

Kata waris merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab

warisa-yarisu-warsan yang artinya mewarisi.170 Jika dikaitkan dengan kondisi yang

berkembang di Masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai

suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan

seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.171

169 Ibid.

170 Ahmad Warson al Munawir, Kamus Al-Munawir, (Yogjakarta: Pondok Pesantren al Munawir, 1985), hal. 1665.

(20)

Pengertian hukum waris secara terminologi adalah hukum yang

mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak

mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara

pembagiannya.172 Dalam redaksi yang lain Muhammad Muhyiddin Abdul

Hamid mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur

tentang kepemilikan seseorang atas sesuatu setelah meninggalnya pewaris

karena adanya sebab dan syarat tertentu.173

Hukum waris sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak dari

هضيرف yang artinya bagian.174 Hal ini karena dalam Islam bagian-bagian

warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an.

Secara istilah, al- Syarbani mendefinisikan yang artinya sebagai berikut:175

“Ilmu fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pustaka, mengetahui

cara perhitungan yang dapat mengetahui bagian yang wajib diberikan kepada

orang yang berhak atas harta waris tersebut”176

Pengertian hukum waris dan faraid diatas, dapat diambil suatu titik temu

bahwa pada dasarnya hukum waris atau faraid merupakam suatu cabang ilmu

penegtahuan yang membahas permasalahan yang berkaiatan denagn

hubungan orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup

terhadap harta kekayaan maupun hak dan kewajiban yang ditinggalkannya.177

172 T.M.Hasby As-Shidiqy, Fiqh Mewaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. Ke-1, 1997), hal. 6.

173 Muhammad Muhyiddin, Abdul Hamid, Ahkam al-Mawaris fi al- Islamiyati, (Dar al Kitab al-‘ Araby, Cet. Ke -1, 1984), hal.5.

174 Ahmad Warson al-Munawir, Op.Cit, hal. 1124.

175 Muhammad Khatib al-Syarbani, Mugni al- Muhtaj, Juz III, (Beirut-Libanon: Dar Al- Fikr, t.th)hal. 3.

176 Ibid. 177 Ibid, hal.6.

(21)

7. Dalil Dasar Hukum Waris

Dasar hukum waris terdapat dalam beberapa sumber hukum Islam

diantaranya:178

a.... A

l-Qur’an

Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang kuat, yaitu

ayat-ayat Al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’al-wurud, juga

qath’i al-dalalah meskipun pada dataran tanfiz (aplikasi) sering

ketentuan baku Al- Qur’an tentang bagian-bagian waris mengalami

perubahan pada bagian nominalnya misalnya kasus radd,’aul dan

sebagainya.179

Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan dapat

dijumpai dalam beberapa surat dan ayat sebagai berikut:

1. ... A jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia

178 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3, 1989), hal. 374.

(22)

dengan mereka, maka berilah mereka

bagiannya”.180” (QS. Al- Nisa’: 33)

2. Al-Qur’an surat an-nisa Ayat 7 menyatakan bahwa

ahli waris laki-laki dan perempuan, masing-masing berhak menerima

warisan sesuai dengan bagian yang ditentukan

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit

atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.181

Ayat yang menerangkan secara rinci ketentuan bagi ahli waris (furud

al- muqoddaroh) terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 11,12 dan 176.

3. ... A

yat yang menegaskan pelaksanaan ketentuan ayat-ayat waris diatas,

yaitu surat An-Nisa’ ayat 13 dan 14, bahwa bagi orang yang

melaksanakan akan dimasukan surga selamanya dan bagi orang yang

sengaja mendurhakai hukum Allah maka bagi mereka akan

mendapat siksa di neraka.

b. Al-Hadist

Hukum kewarisan juga didasarkan kepada hadist Rasullah SAW. Adapun

hadist yang berhubungan dengan hukum kewarisan diantaranya:

180 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV.Toha Putra, 1989), hal. 122-123.

(23)

1... H

adist Nabi dari Ibnu Abbas riwayat Bukhari Muslim yang menyatakan

bahwa:182

Artinya: “kami telah diberi tahu oleh Ma’mar dari Ibn Thowus, dari bapaknya,

dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasullah SAW telah bersabda: “bagilah harta

waris diantara orang-orang yang berhak menerima bagian sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Jika masih ada tinggalan (sisa) maka yang lebih berhak adalah ahli waris laki-laki”

2... H Usaha Keluarga, t.t Juz, II), hal. 2.

183 Ibid.

(24)

ل ا ل اق هن ا ملس و هيلع ه ا ل وس ر نع ة رَ ره ى ا نع

لت اق

)هج ام نب ا اور( ِ رَ ا

Artinya : Dari Abu Hurairoh dari Rasulullah SAW bersabda seorang

pembunuh tidak berhak mewarisi. (HR.Ibnu Majah).

c. Ijma dan Ijtihad

Ijma’ dan ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan

mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil

sumbangannyaterhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum

dijelaskan oleh nash-nash shorih.185 Ijma dan Ijtihad disini adalah menerima

hukum warisan sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam

upaya mewujudkan keadilan masyarakat dan menjawab persoalan yang

muncul dalam pembagian warisan yaitu dengan cara menerapkan hukum,

bukan mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada.186

3. Prinsip- Prinsip Kewarisan.

a. Prinsip Ijbari

Peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada

yang masih hidup berlaku dengan sendirinya yang dalam pengertian

hukum Islam berlaku secara ijbari.187 Secara etimologi kata ijbari

mengandung arti paksaan yang maksudnya peralihan dengan

sendirinya dalam hukum waris berarti terjadinya peralihan harta

185 Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. AL Ma’arif, cet. Ke-2, 1981), hal. 33. 186 Ibid.

(25)

seseorang yang sudah meninggal kepada yang masih hidup dengan

sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan

dari Si pewaris. Dengan kata lain, dengan adanya kematian si Pewaris

secara Otomatis hartanya akan berlaku pada ahli warisnya (al-nisa’

ayat 11, 12, 33, dan ayat 176.).188

b. Prinsip Individual

Warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahliwarisnya untuk

dimiliki secara perorangan. Ahli waris berhak atas bagian dari warisan

tanpa terikat dengan ahli waris lainnya. Dasarnya Surat an-Nisa ayat 7,

bahwa setiap ahli waris laki-laki dan perempuan berhak menerima

warisan dari orang tua maupun kerabatnya. 189

Makna berhak atas warisan tidak berarti warisan harus

dibagi-bagikan apapun bentuknya, tetapi bisa saja tidak dibagi-bagikan

sepanjang itu atas kehendak bersama para ahliwarisnya, misalnya ahli

waris tidak berada di tempat, atau masih anak-anak. Tertundanya

pembagian warisan itu tidak menghilangkan hak masing-masing ahli

waris sesuai bagiannya masing-masing. Yang terlarang dalam al-Quran

(an-Nisa ayat 2) adalah mencampurkan harta anak yatim dengan harta

188 Ibid.

(26)

yang tidak baik atau menukarnya dengan harta yang tidak seimbang,

dan larangan memakan harta anak yatim bersama hartanya.190

Prinsip individual ini terdapat perbedaan mendasar dengan

sistem kew adat yang mengenal kewarisan kolektif yang tidak dibagi

kepada seluruh Ahli waris melainkan dimiliki bersama, yaitu harta

pusaka, tanah ulayat. 191

c. Prinsip Bilateral

Kedudukan yang sama antara antara Ahli waris laki-laki dan

perempuan keduanya dapat menerima warisan baik dari garis

kekerabatan laki-laki maupun dari garis kekerabatan perempuan. Jenis

kelamin bukanlah halangan kewarisan dalam waris Islam. Dasarnya

dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176 khusunya pada

ayat 7. Dapat ditegaskan bahwa prinsip bilateral berlaku baik garis ke

atas maupun ke samping. Atau dengan kata lain bahwa prinsip

Bilateral yang dimaksud dalam hukum-hukum Islam adalah bahwa

seseorang menerima hak warisan dari dua belah pihak garis kerabat,

yakni dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan

laki-laki.192

d. Prinsip Keadilan Berimbang

Yang dimaksud dengan keadilan berimbang hak kepada yang

berhak secara tepat dan ini bukan bagi persamaan hak, tetapi

190 Ibid.

191 Ibid.

(27)

tekanannya pada terpenuhinya hak dan kewajiban. Begitu pula

keseimbangan antara keperluan dan kegunaan dalam surat an-nisa’

ayat 2 dianut: bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari

bagian anak perempuan (al-Nisa’ ayat 11).193

e. Prinsip Kewarisan Hanya Karena Kematian

Peralihan harta warisan seseorang kepada yang lain dengan sebutan

kewarisan, berlaku setelah yang pemiliknya meninggal dunia. Tidak

ada pewarisan sepanjang masih hidup. Segala bentuk peralihan harta

pemilik semasa masih hidup tidak termasuk dalam hukum kewarisan

Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. 194

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta

hanya semata-mata disebabkan adanya kematian dengan kata lain harta

seseorang tidak beralih seandainya dia masih hidup, walaupun ia

berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya

sebatas keperluannya semasa ia masih hidup dan bukan penggunaan

harta tersebut sesudah ia meninggal dunia (al- Nisa’ ayat 12).195

Selain itu dalam hukum Waris Islam hanya mengenal satu bentuk

kewarisan hanyalah melalui kematian. Dalam KUHP dikenal

kewarisan secara ab intestato yang tidak juga mengenal kewarisan

secara wasiat yg dibuat pewaris se masa masih hidup. Hal relevan

dengan prinsip ijbari dimana seseorang dapat bertindak bebas atas

193 Suhrawardi. K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 41.

(28)

harta kekayaannya semasa masih hidup, tidak lagi setelah meninggal

dunia.Kata warasa menunjukkan bahwa proses kewarisan berlaku

setelah kematian (fi’il maadhi). Prinsip kematian ini agak berbeda

dalam kew adat, kewarisan dapat dimulai sejak pewaris masih hidup

196.Soepomo mengaskan bahwa : Hukum adat waris memuat

peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan

barang-barang harta benda dan barang yg tidak berwujud (immateriele

goeden) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.

Proses itu telah dimulai dalam waktu orang tua masih hidup. 197

4. Rukun dan Syarat Kewarisan

a. Rukun Kewarisan

Sebagaimana hukum lainnya, masalah warispun memiliki ketentuan

khusus (rukun-rukun) yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, hukum

waris, dipandang sah secara hukum Islam jika dalam proses penetapannya

dipenuhi tiga rukun, yaitu waris, muwaris dan maurutus.198

Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Sabiq, menurut beliau

pewarisan hanya dapat terwujud apabila terpenuhi 3 hal, yaitu:199

1. Al-waris, yaitu orang yang akan mewariskan harta peninggalan si

muwaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempustakai seperti

196 Ibid.

197 Ibid.

198 Allamah Abu Bakar Usman Bin Muhammad Syaththo al-Dimyati al-Bakry, I’anat al- Tholibin, juz III, (Bairut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, cet. Ke -1, 1995), hal. 383.

(29)

adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan

hak perwalian dengan si muwaris.

2. Al -muwarris, yaitu orang yang memberikan harta warisan. Dalam

ilmu waris, al-muwarris adalah orang yang meninggal dunia, lalu

hartanya dibagi-bagi kepada ahli waris. Harta yang dibagi waris

haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab

instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.

3. Al-Maurus, adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan,

baik berupa uang, tanah dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan

milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta

bersama milik suami sitri. Bila suami meninggal, maka harta tersebut

harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik

suami mana yang milik istri. barulah harta yang milik suami itu dibagi

waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi karena bukan

termasuk harta warisan.200

b. Syarat Kewarisan

Pusaka mempusakai adalah berfungsi sebagai menggantikan

kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah

meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya. Oleh karena itu

pusaka mempusakai memerlukan sayarat-syarat sebagai berikut:201

a. Matinya mawaris (orang yang mempusakakan). Meninggalnya

pewaris merupakan conditio sine quanon untuk terbukanya harta

200 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 22-23.

(30)

waris, karenanya meninggalnya pewaris harus nyata adanya. Apabila

tidak jelas kematiannya tetap menjadi miliknya yang utuh

sebagaimana dalam keadaan yang jelas hidupnya. Kematian pewaris

menurut doktrin fikih dapat dibedakan kepada tiga macam, yaitu:202

1. ... M

ati haqiqy artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan

dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia

2. ... M

ati Hukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui

keputusan hakim dinyatakan telah meninngal dunia. Ini bisa

terjadi seperti kasus seseorang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa

diketahui dimana dan bagaimana keadaannya, melalui keputusan

hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan

meninggal.

3. ... M

ati taqdiri yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia.

Misalnya karena ada ikut ke Medan perang atau tujuan lain yang

secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak di

ketahui kabar beritanya dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia

telah meninggal dunia, maka dapat dinyatakan bahwa ia

meninggal.203

202 Ibid.

(31)

b. Hidupnya waris (orang yang mempusakai) di saat kematian mwaris,

ketentuan ini merupakan syarat mutlak agar seseorang berhak

menerima warisan, sebab orang yang sudah meninggal dunia tidak

mampu lagi membelanjakan hartanya, baik yang diperoleh karena

pewaris maupun sebab-sebab lainnya.204 Hidupnya ahli waris itu baik

secara hakiki maupun secara taqdir hidup secara hakiki berarti

ketetapan tentang hidupnya ahli waris secara nayat dapat diketahui

dan dapat diterima menurut syara, sedangkan hidup secara taqdir

sebagaimana anak dalam kandungan, ia tetap berhak menerima harta

waris bila bapaknya meninggal.205

c. Tidak adanya penghalang-pengahalang mempusakai (mawani’ul

irsi). Dalam kitab I’anat al- Thalibin dijelaskan bahwa penghalang

mempusakai itu ada 3 macam yaitu pembunuhan, perbudakan dan

perbedaan agama.206

Dengan terpenuhinya syarat kewarisan seperti tersebut di atas, maka

harta waris yang tinggalkan oleh ahli waris dapat dibagikan kepada ahli

waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. namun demikian salah

satu syarat mendapat warisan adalah tidak adanya penghalang dalam

mempusakai maka dengan demikian anak yang lahir diluar perkawinan

dalam hal ini anak incest, anak incest tidak dapat mewarisi dari ayah

sekaligus kakek biologisnya, apabila dikaitkan dengan teori keadilan hal

204 Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, cet ke-1, 1999), hal. 46. 205 Muhammad Muhyyidin’ Abdul Hamid, Op.Cit, hal. 14-15.

(32)

ini sungguh tidak adil tidak meberikan hak kepada seorang yang tidak

bersalah. Anak incest tidak dapat dipersalahkan atas kesalahan yang

dilakukan oleh orangtunya.207

5. Sebab-sebab Mewarisi

Penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah

meninggal dunia menurut Al- Qur’an, Hadist Rasulullah, dan Kompilasi

Hukum Islam Pasal 174, ditemukan dua penyebab, yaitu, hubungan

kekerabatan (nasab), dan hubungan perkawinan. Kedua bentuk hubungan itu

adalah sebagai berikut:208

1) Hubungan kekerabatan

Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan

oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui

pada saat adanya kelahiran jika seseorang anak lahir dari seseorang ibu,

maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anakk yang dilahirkan.

Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapapun karena setiap anak yang lahir

dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah

antara seseorang anak dengan seorang ibu yang melahirkannya.

Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya maka

dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu

melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang

sah menyebabkan si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku

207 Ibid.

(33)

pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang menyebabkan

kelahirannya.209

Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan oleh adanya

akd nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan

melahirkan). Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan

anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya, dapat

pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu

dan seterusnya ke bawah, kepada anak beserta keturunannya, dan

hubungan kekerabatan ke samping, kepada saudara beserta keturunannya.

Dari hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur

kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seseorang meninggal dunia dan

meninggalkan harta warisan.210

2) Hubungan perkawinan

Hubungan perkawinan, dalam kaitannya dengan hukum kewarisan

Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut hukum Islam.

Apabila seseorang suami meninggal dan meninggalkan harta warisan,

maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya211

F. Kewajiban Ahli Waris Kepada Pewaris dan Faktor

Penghalang Ahli Waris Mendapat Warisan.

Sebelum harta dibagi, ahli waris mempunyai kewajiban terhadap

pewaris yang wafat sebagai berikut:212

209 Ibid.

210 Lihat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 7 dan ayat 11. 211 Lihat Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 12.

(34)

1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah

selesai;

2. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan,

perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;

3. Menyelesaikan wasiat pewaris;

4. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Ada 5 (lima faktor) yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan

warisan yaitu:213

1. Perbedaan Agama

Perbedaan agama merupakan menyebab hilangnya hak kewarisan

sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah daru Usamah bin

Zaid, diriwayatkan oleh Muslim.214

ا ل اق ملس و هيلع ىلص ينل ا ن ا دَ ز نب ةم اس ا نع

ِ رَ

ملسم ا رف اكل ا ا و رف اكل ا ملسم ا

2. Pembunuhan

Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan

dari pewaris yang dibunuhnya. Ini berdasarkan hadist Rasullah dar

Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

اق ملس و هيلع ىلص ه ا ل وس ر نع ة رَ ره ى ا نع

اقلا ل

ِ رَ ا لت

Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa pembunuhan

mengugurkan hak kewarisan bagi ahli waris.

213 Ibid.

(35)

3. Karena hilang tanpa berita

Seseorang yang hilang tanpa berita dan tidak tentu dimana alamat

dan tempat tinggalnya selama empat tahun atau lebih maka orang

tersebut dianggap mati dengan hukum hukmi (harus dengan

putusan hakim).215

4. Karena mati secara bersamaan antara pewaris dan ahli waris

Misalnya antara bapak dan anak mati secara bersamaan karena

tenggalam atau kebakaran, maka sudah jelas bapak tidak bisa

mewarisi dari anaknya dan sebaliknya. Tetapi kalau anak yang mati

secara bersamaan itu memiliki anak, maka anak tersebut yang

memiliki hak mewarisi sebagai (mawali).216

G. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya

1. Ahli Waris

Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima

warisan ada 17 orang, terdiri dari 10 orang laki-laki dan 7 orang

perempuan.217 Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang, 15 orang laki-laki

dan 10 orang perempuan.218 Dari jenis kelamin laki adalah; anak

215 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al- Ma’arif, 1981), hal. 79.

216 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002,) hal. 35.

217Abi Ishaq Ibrohim’ Ali bin Yusuf, al-muhadzdab, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, cet ke-1, 1995), hal. 406.

(36)

laki, cucu laki-laki dari anak laki, ke bawah, bapak, kakek hingga ke atas,

saudara kandung, saudara bapak, saudara seibu, anak laki-laki dari saudara

sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-laki dari paman

sekandung, anak laki-laki dari paman sebapak, suami dan orang laki-laki

yang memerdekakan hamba sahaya (mu’tiq)219

Sedangkan ahli waris dari jenis kelamin perempuan adalah : anak

perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, inu, nenek dari pihak ibu,

nenek dari pihak bapak, saudara perempuan seibu, isteri dan perempuan

yang memerdekakan hamba sahaya (mu’tiqoh).220

2. Macam-macam Ahli Waris

Berdasarkan tiga penyebab mewarisi yang disepakati oleh Ulama

fikih, maka Ahli waris dapat dibagi menjadi tiga macam:221

a. Ahli waris karena hubungan perkawinan (sababiyah), adalah

ahli waris yang berhubungan pewarisannya timbul karena hubungan

perkawinan.222

b. Ahli waris karena hubungan keturunan (nasabiyah) atau

kekerabatan (gharibah) adalah ahli waris yang pertalian

kekerabatannya kepada muwaris berdasarkan hubungan darah. Ahli

waris nasabiyah ini terdiri dari 13 orang laki-laki dan 8 orang

perempuan, seluruhnya 21 orang.223

219 Ibid.

220 Abdul Aziz Dahlan (et al), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, cet ke-1, 1997), hal. 309.

221Ibid.

(37)

Dari ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila dikelompokkan

menurut tingkatan kekerabatannya adalah sebagai berikut:224

1. ... f

uru’ al-waris, yaitu ahli waris anak keturunan si mati, atau

tersebut kelompok cabang (al-bunuwwah). Kelompok inilah yang

terdekat, dan mereka yang didahulukan menerima warisan. Ahli

waris kelompok ini adalah: anak perempaun, cucu perempuan

garis laki-laki, anak laki-laki dan cucu laki-laki garis laki-laki.

2. ... A

l-Hawasy, yaitu ahli waris kelompok saudara termasuk di

dalamnya paman dan keturunannya seluruhnya ada 12 orang

yaitu: saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah,

saudara perempuan seibu, saudara laki-laki sekandung, suadara

laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak saudara laki-laki

sekandung, maka saudara laki-laki seayah, paman sekandung,

paman seayah, anak paman sekandung dan anak paman seayah.

c. Ahli waris karena membebaskan hamba sahaya (wala’), yaitu

ahli waris yang hubungan pewarisnya timbul karena memerdekakan

hamba sahaya.225 Ahli waris wala’ hanya satu, yaitu mantan tuan

(yang memerdekakan), sedangkan hamba sahaya (yang

memerdekakan) bukan ahli waris bagi mantan tuannya.226

224 Ibid,hal. 51-52.

225 Ibid.hal. 53-54

(38)

Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima dapat dibedakan

kepada:

1. Ahli waris ashab al-furud, yaitu orang yang mempunyai

bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash Al-

Qur’an, al- Sunnah atau al- Ijma.227

2. Ahli waris ashabah, yaitu waris yang menerima bagian sisa

setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud.228 Sebagai

penerima bagian sisa, ahli waris ashabah, terkdang menerima sedikit,

tetapi terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan),

terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian

sama sekali, karena habis diambil ahli waris ashab al-furud.229

3. Ahli waris zawi al- arham, yaitu orang-orang yang

mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, tetapi

mereka tidak termasuk ke dalam golongan ashab al-furud dan tidak

pula ke dalam golongan ashabah.230 Kerabat yang termasuk dalam

golongan zawi al-arham ialah sebagaimana yang tersebut dalam kitab

I’anat al-tholibin jilid III:

“kemudian dzawil al-arham itu sebelas, yaitu cucu (laki-laki atau perempuan) dari garis perempuan, anak perempuan dari cucu perempuan, saudara perempuan, anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan paman, paman seibu, saudara (laki-laki atau perempuan) ibu, sudara perempuan bapak,

227 Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Op.Cit, hal. 54-55. 228 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 49.

229 Ibid,hal. 59

(39)

kakek dari pihak ibu, nenek dari pihak bapak, dan anak dari saudara laki-laki seibu.”231

Para ulama berbeda pendapat apakah mereka menerima warisan atau

tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang saling berlawanan yaitu:232

1. Pendapat yang mengatakan bahwa dzawi al arham itu tidak

dapat mempusakai sama sekali. Jadi, andakata ada seseorang

meninggal dunia dengan tidak meninggal ahli waris ashad al-furud

atau ashabiyah, maka harta peninggalannya diserahkan kepada bait

al-mal,biarpun ia meninggalkan ahli waris dzawi al-arham.

2. Pendapat yang mengatakan bahwa dzawi al-arham itu dapat

mempusakai harta peninggalan, bila ahli warisnya yang telah wafat

tidak meinggalkan ahli waris ashad al furud yang dapat menerima

radd atau ahli waris ashabah nasabiyah.

Kasus incest di Aceh besar dengan korban RH yang melahirkan

anak KY anak tersebut tidak berhak menerima warisan karena anak incest

tidak masuk golongan ahli waris yang berhak menerima warisan,

pembagian warisan kepada anak incest KY bertentangan dengan

pembagian warisan sebagaimana yang terdapat dalam Hukum Islam. Anak

incest tidak tergolong dalam ahli waris yang mendapat kan warisan, karena

anak incest bukanlah Ahli waris yang memiliki hubungan perkawinan dan

hubungan keturunan dengan ayahnya.

231 Allarah Abu Bkar Usman bin Muhammad Syaththo al- dimyatai al- Bakary, Op.Cit, hal. 386-387.

(40)

H. Akibat Hukum Terhadap Hak Kewarisan Anak Incest

Atas Harta yang Ditinggalkan Orang tuanya

3. Kedudukan Anak Incest

Hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologis merupakan fitrah

manusia tapi penyalurannya perlu diatur. Agama Islam telah mengatur

batas-batas yang boleh dilakukan, sehingga tidak terjadi penyelengan

hukum. Agama Islam telah menetapkan hal tersebut melalui jalur

perkawinan yang sah.233 Agama Islam juga memelihara keturunan agar

jangan sampai tersia-sia, jangan didustakan dan jangan dipalsukan karena

hal ini merupakan hak anak. 234

Anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar

yang mungkin akan menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak

hal-hal yang menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap

anaknya. Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya

dan keturunan anak cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau

dihubung-hubungkan dengan orang lain.235

Lahirnya seseorang anak menunjukan adanya bapak dan ibu dari si

anak itu. Dalam arti bahwa, sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari

seseorang laki-laki dan seorang wanita, maka si wanita akan melahirkan

233M. Ali Hasan, Masail Fiqhiah Al-Hadist Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo, 1998), hal. 79.

(41)

manusia lain yang dapat menyatakan bahwa seseorang laki-laki adalah

ayahnya dan seorang wanita adalah ibunya.236

Oleh karena itu, antara waktu bersetubuh dan waktu lahirnya si anak

ada tenggang waktu beberapa bulan, maka pada waktu anak itu lahir

tidak mungkin pada saat itu pula dapat ditentukan siapakah sebenarnya

ayah dari si anak itu. Dengan kenyataan inilah, maka perlu adanya suatu

perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki, yang dengan

bersetubuh akan menghasilkan seorang anak. hukum di manapun didunia

yang mengenal lembaga perkawinan mempunyai harapan bahwa seorang

suami atau isteri setelah kawin tidak akan bersetubuh dengan orang

ketiga.237

Apabila timbul suatu keragu-raguan dalam memastikan seorang

adalah betul-betul anak dari seorang laki-laki tersebut, maka menjadi

persoalan hukum, lalu apakah tidak mungkin diadakan penyelidikan yang

tepat dan seksama tentang keturunan seorang anak dari bapaknya,238

karena asal usul seorang anak merupakan dasar untuk menunjukan

hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya.239

Untuk membuktikan sah atau tidaknya seorang anak itu diperlukan

dua macam akta, yaitu:240

236 Ibid.

237 M. Ridwan Indra, Hukum Perkawinan di Indonesia , (Jakarta: Haji Masagung, 1994), hal. 48.

238 Ibid, hal. 56.

239 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga , (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 43.

(42)

a. Akta perkawinan orang tua yang membuktikan dengan siapa

ibu itu menikah.

b. Akta kelahiran yang membuktikan dari mana anak itu

dilahirkan dan kapan anak itu dilahirkan.241

Adapun isi pokok dari akta kelahiran atau surat lahir yang

dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, demikian sebagai bukti adanya

kelahiran seorang anak yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:242

1. Nomor akta;

2. Tempat, tanggal, bulan dan tahun anak tersebut dilahirkan

3. Nama anak yang bersangkutan

4. Jenis kelamin;

5. Nama kedua orang tuanya (dapat dibuktikan dengan salinan

akta nikah)

6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran

7. Nama dan tanda tangan penjabat kantor cacatan sipil yang

ditunjuk untuk itu atau dalam bentuk bentuk surat kenal lahir adalah

lurah atau kepala desa.

Dari akta kelahiran tersebut pihak yang bersangkutan diberikan

kutipannya. Demikian juga dalam bentuk surat kenal lahir atau surat

kelahiran dari lurah atau kepala desa dimana dan kapan dilahirkannya

anak tersebut.

241 R. Soetojo Prawirahamidjojo, Asis Sofioedin, Hukum Orang dan Keluarga , (Bandung: Alumi, 1986), hal. 135.

(43)

Manfaat lain dari adanya akta kelahiran atau yang sejenis, hal ini

merupakan indentitas resmi yang akan sering digunakan misalnya untuk

keperluan sekolah, pengurusan passport, dan lain-lain. Jadi, secara

internal akta kelahiran merupakan indentitas asal-usul seorang anak,

secara eksternal merupakan indentitas diri dari yang bersangkutan.243

Dengan adanya gugutan pengingkaran suami terhadap keabsahan

anak atau dengan kata lain pembuktian asal usul anak (keturunan). Hal

ini hanya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti permulaan berupa

surat-surat tertulis, bisa dibuktikan dengan keadaaan-keadaan nyata. Yang

dimaksud dengan keadaan yang nyata adalah. Yang telah menunjuk pada

praktek kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara mereka yang

bersangkutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 262 KUH Perdata

bahwa:244

1. Masyarakat menganggap atau memperlakukan seseorang

anak adalah anak sah dari keluarga.

2. Nama belakang dari anak itu selalu memakai nama bapak.

3. Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak si

bapak.

4. Bahwa saudara-saudaranya mengakui dia sebagai anak si

bapak.245

243 Ahmad Rofiq, Hukum Islammm di Indonesia, (Jakarta:PT. Grafindo Persada, 1998), hal. 220.

244Ibid.

(44)

Kalau kenyataan-kenyataan yang disebutkan di atas itu cocok

dengan isi akta kelahiran, maka kebenaran tersebut tidak boleh diganggu

gugat lagi (Pasal 263 KUH Perdata)

Hanya jika akta kelahiran atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada,

maka asal usul anak (keturunan) baru dapat dibuktikan dengan saksi-saksi,

tetapi dengan ketentuan harus sudah ada permulaan pembuktian tertulis

atau juga sudah adanya petunjuk-petunjuk yang sangat kuat (Pasal 264

KUH Perdata).246

Kekuatan mengenai adanya peristiwa hukum (rechteit) seperti nikah,

talak, rujuk, dan akibat hukumnya adalah penting, baik bagi yang

berkepentingan sendiri maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu

adanya pencatatan resmi dari pemerintah, yang tertuang dalam penjelasan

umum dinyatakan bahwa pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam

kehidupan seseorang misalnya dalam masalah kelahiran, kematian, yang

dinyatakann dengan surat-surat keterangan suatu akte resmi, yang juga

dimuat dalam daftar pencatatan.247

Dengan adanya pencatatan nikah tersebut, maka tidak mungkin akan

terjadi suatu perselisihan antara suami istri ketika mereka melahirkan

seorang anak. kecuali apabila sang istri sebelum nikah sudah terlanjur

hamil dahulu, dan hamilnya itu disembunyikan dari suaminya. Atau sang

suami selama dalam ikatan perkawinan tidak pernah merasa berkumpul

dan melakukan perselisihan yang sangat berkepanjangan. Dalam hal ini

(45)

untuk memastikan asal usul anak (keturunan) atau untuk memastikan sah

tidaknya seorang anak.248

Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum,

sehingga hasil dari perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi

sipelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain yang mengenai anak hasil

perbuatan zina.249

Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya

melaksanakan mu’amalat atau hubungan antar manusia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh syara’. Islam

menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui

sanak kerabat, tetangga. Dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin

gelap) dan setiap anak harus dikenal siapa bapak dan ibunya.250

Wiryono dalam bukunya “Hakekat Dalam Hukum Islam”

mengatakan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu

dan tidak mempunyai bapak. Jadi, status anak yang lahir di luar

perkawinan itu menurut hukum Islam itu adalah anak yang tidak sah yang

tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang

menurunkannya, namun tetap mempunyai hubungan dengan ibunya yaitu

wanita yang melahirkannya itu.251

248 Ahmad Rofiq, Op.Cit,hal. 225. 249 M. Ali Hasan, Loc.Cit.

(46)

Di dalam Islam terdapat peraturan yang termasuk dalam kategori

anak yang tidak sah antara lain:252

1. Anak yang lahir diluar perkawinan, yaitu anak yang

dilahirkan oleh seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan

dengan seorang laki-laki secara sah.

2. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah

tetapi terjadi kehamilan itu diluar perkawinannya, yaitu:

a. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tapi lahirnya 6

(enam) bulan sesudah perkawinan dan diketahui sudah hamil

sebelum perkawinan

b. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan

hamilnya kurang dari 6 (enam) bulan sejak perkawinannya.253

Berdasarkan uraian di atas, maka anak akan berkedudukan

sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak

permulaan kehamilan itu terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan

anak yang tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang

tidak sah. Oleh karena itu hukum Islam memandang kedudukan seorang

anak sah atau tidak sah dilihat dari perkawinan orang tuanya dan

tenggang masa mengandung. Kapan dan dimana anak itu dilahirkan.

Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, ditinjau dari segi

hukum pidana adalah, bahwa yang dapat dihukum hanyalah hubungan

seks yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristeri dan

(47)

mereka yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka

tidak dikenal hukuman pidana.

Hukum Islam menetapkan bahwa hubungan seks di luar nikah

baik yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun

dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah maupun belum

menikah, tetap dinamakan zina. Anak yang dilahirkan tidak mempunyai

akibat hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang

menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan

ibunya, atau perempuan yang melahirkannya.254

Apabila ditinjau menurut hukum perdata yang tercantum dalam

Burgerlijk Wetbook (BW), kita akan melihat adanya tiga tingkatan

status hukum dari pada anak diluar perkawinan:255

1. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua

ibu bapaknya.

2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu

atau kedua orang tuanya.

3. Anak di luar perkawinan itu menajdi sah, sebagai akibat

keuda orang tuanya melangsungkan perkawinan yang sah.256

Anak yang lahir diluar perkawinan, dinamakan “natuurlijk

Kind” ia dapat diakui oleh ayah ibunya. Menurut sistem yang di anut

oleh BW, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum

terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya.

254 Soedaryo Soimin, Op,Cit, hal. 40. 255 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan Rencana Kerja (Renja) Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah Dokumen Perencanaan Tahunan pada level Satuan Kerja Perangkat Daerah dan disusun sebagai penjabaran Rencana

Pada umumnya nilai kapasitansi dari komponen ini tidak akan berubah apabila dirancang di suatu sistem bila frekuensi yang melaluinya lebih kecil atau sama dengan

Untuk menjaga kelancaran kegiatan akademik di ketiga jenjang pendidikan tersebut, pimpinan PMA memberikan motivasi kepada staf akademik dengan cara memberikan

Security Consultative Committee (SCC) tahun 2013 menghasilkan pembaharuan yang terdiri dari penegasan komitmen Amerika Serikat untuk terus memberikan bantuan kepada

Hipotesis penelitian ini adalah: (1) terdapat perkembangan inti mikrospora yang berbeda pada berbagai ukuran bunga tanaman jeruk, (2) terdapat lama praperlakuan dingin

Johtaminen nähdään siis ennen kaikkea neuvotteluna, ei ennalta tietämisenä. Lisäksi johtaminen tekee tilaa yhdessä tekemiselle ja yhteistoiminnan johtamiseen kuuluukin

saham dan pergerakan jual beli suatu efek yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan yang terdaftar di Pasar saham Syariah Indonesia atau Indeks Saham.. Departemen

Penilaian terhadap materi ini dapat dilakukan sesuai kebutuhan guru yaitu dari pengamatan sikap, tes pengetahuan dan praktek/unjuk kerja sesuai dengan rubrik