BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG BILYET GIRO
B. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Penggunaan Bilyet Giro Sebagai
Simalingkar
Di dalam setiap pekerjaan timbal-balik selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum, yang masing-masing subjek hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal balik dalam melaksanakan perjanjian yang mereka perbuat.
Di dalam suatu perjanjian ada kemungkinan salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, atau lebih jelas apa yang merupakan kewajiban menurut perjanjian yang mereka perbuat, maka dikatakan bahwa pihak tersebut wanprestasi, yang artinya tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian.
Wirjono Prodjodikoro, mengatakan: “ Wanprestasi adalah berarti ketiadaan suatu prestasi dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi”.41
41
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1991, hal. 44.
Lebih tegas Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa: “Apabila dalam suatu perikatan si debitur karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan debitur itu wanprestasi”.42
a. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian
Dari uraian tersebut di atas, jelas kita dapat mengerti apa sebenarnya yang dimaksud dengan wanprestasi itu. Untuk menentukan apakah seorang (debitur) itu bersalah karena telah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seseorang itu dikatakan lalai atau alpa tidak memenuhi prestasi.
Sebagaimana biasanya akibat tidak dilakukannya suatu prestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian, maka pihak lain akan mengalami kerugian. Tentu saja hal ini sama sekali tidak diinginkan oleh pihak yang menderita kerugian, namun kalau sudah terjadi, para pihak hanya dapat berusaha supaya kerugian yang terjadi ditekan sekecil mungkin.
Dalam hal terjadinya wanprestasi, maka pihak lain sebagai pihak yang menderita kerugian dapat memilih antar beberapa kemungkinan, yaitu :
b. Pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi
c. Pihak yang dirugikan menuntut pelaksanaan perjanjian disertai ganti rugi d. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian
e. Pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Dari beberapa kemungkinan penuntutan dari pihak yang dirugikan tersebut di atas bagi suatu perjanjian timbal-balik oleh ketentuan pasal 1266 KUH Perdata
42
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 33.
diisyaratkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada hakim.
Dengan demikian berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata, apabila satu pihak wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum dengan menuntut pembatalan perjanjian kepada hakim.
Ada berbagai model bagai para pihak yang tidak memenuhi prestasinya walaupun sebelumnya sudah setuju untuk dilaksanakannya. Model-model wanprestasi tersebut menurut Munir Fuadi adalah sebagai berikut:
a. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi b. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi.
c. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.43
Subekti mengemukakan bahwa: Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan c. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat
d. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilaksanakannya.44
Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi, dalam ilmu hukum perjanjian dikenal dengan suatu doktrin yang disebut dengan doktrin pemenuhan prestasi substansial, yaitu suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun
43
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 89.
44
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 23.
satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia disebut tidak melaksanakan perjanjian secara material.
Berdasarkan hal tersebut, jika telah dilaksanakan substansial performance
terhadap perjanjian yang bersangkutan, tidaklah berlaku lagi doktrin exceptio
non adimpleti contractus, yakni doktrin yang mengajarkan bahwa apabila satu
pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga tidak melaksanakan prestasinya.
Demikian juga halnya dalam penggunaan Bilyet Giro sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli terkadang ditemukan wanprestasi seperti bilyet giro yang dipakai ternyata kosong. Pada kapasitas ini diketahui debitur membayar harga barang yang dibelinya dengan bilyet giro, kenyataan tatkala penjual akan mencairkan bilyet giro tersebut ternyata bilyet giro tersebut tidak ada nominalnya atau kosong. Maka pada kapasitas ini penjual mengalami kerugian disebabkan uang yang seharusnya diterima dengan cara mencairkan bilyet giro tidak ada nominalnya.45
Perjanjian yang dibuat oleh pihak pembeli dan penjual menimbulkan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak yang membuatnya. Pada prinsipnya setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi kewajibannya secara timbal balik. Dengan kata sepakat untuk mengadakan suatu
45
Hasil Wawancara Dengan Bapak M. Asral Nasution, Selaku Devisi Daya Manusia Bank Sumut KCP. Simalingkar, tanggal 14 Juni 2014.
perjanjian, maka kedua pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri bentuk perjanjian. Hal ini sesuai dengan sistem terbuka yang dianut dalam KUH Perdata.
Dalam perjanjian jual beli masyarakat juga sering menggunakan tata cara pembayaran tidak dengan uang tunai tetapi dengan cara lain seperti menggunakan surat berharga yang dalam kapasitas ini dalam bentuk gilyet giro. Hal tersebut juga dilakukan atas dasar kepercayaan dan sepakat untuk menyerahkan sejumlah sejumlah barang yang diperjual belikan kepada pembeli dan pembeli membayarnya barang tersebut kepada penjual dengan bilyet giro. Para pihak yang mengadakan perjanjian terikat untuk patuh terhadap perjanjian yang dibuat sesuai asas pacta sunt servanda dan segala hal yang telah disepakati tersebut berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak dalam perjanjian. Akan tetapi perjanjian yang dibuat dalam bentuk lisan mengandung banyak resiko jika dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat secara tertulis.
Perjanjian jual beli dengan pembayaran memakai bilyet giro pada kebiasannya dilakukan secara lisan dimana diadakan atas dasar kepercayaan tanpa ada bukti tertulis. Hal ini dilakukan dengan maksud efisiensi agar peristiwa jual beli tersebut dapat terlaksana secara cepat.
Perbuatan seorang pembeli yang melakukan perjanjian jual beli dengan penggunaan bilyet giro kosong tentunya merupakan suatu bentuk wanprestasi dimana wanprestasi tersebut merupakan suatu bentuk kelalaian dari pihak pembeli suatu barang karena pembeli tidak menyediakan sejumlah uang dibank pembayar atas penerbitan bilyet giro yang dijadikan sebagai alat bayar.
Wanprestasi dalam penggunaan bilyet giro sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli tentunya memiliki akibat hukum. Adapun akibat hukum tersebut meliputi:
1. Membayar Kerugian46
46
Ravi Vendra's Blog, Op.Cit.
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga.
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contohnya jika seorang penjual sudah mengeluarkan suatu ongkos tertentu untuk mengirim barang yang dibeli pembeli yang membayar dengan menggunakan bilyet giro. Ongkos tersebut tersebut menjadi kerugian tatkala bilyet giro yang dibayarkan oleh pembeli kepada penjual adalah bilyet giro kosong.
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya kerugian diterima penjual tatkala ada kekosongan bilyet giro yang dijadikan alat bayar oleh pembeli, sementara barang sudah diambil pembeli.
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang yang dibayar melalui bilyet giro, penjual sudah harus mendapatkan keuntungan tatkala barang sudah dibeli. Tetapi sewaktu mencairkan bilyet giro ternyata bilyet giro kosong maka hal ini mengakibatkan kerugian bagi penjual.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et
interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas,
sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan. Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.
Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”. Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya,
ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.
2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.
Pembatalan perjanjian jual beli yang dibayarkan degan bilyet giro dengan sebab wanprestasi juga dapat dilakukan, dimana pihak pembeli mengembalikan semua barang yang dibeli kepada penjual.47
47 Ibid.
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam Pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut Pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”. 48
Menurut Pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si 3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan resiko dapat digambarkan demikian:
48 Ibid.
penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut Pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan:
a. Pemenuhan perjanjian.
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi. c. Ganti rugi saja.
d. Pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.
Selain wanprestasi maka sanksi terhadap pihak-pihak tertentu yang memakai bilyet giro sebagai alat pembayaran tetapi ternyata kosong maka pembeli dapat dikenakan sanksi administratif. Mengenai sanksi terhadap penerbitan bilyet giro kosong secara khusus telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.12/8 UPPB tanggal 19 Agustus 1979 pada ketentuan angka II tentang penutupan rekening dan angka IV tentang daftar hitam, dan tata caranya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia no. 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong.49
49
Hasil Wawancara Dengan Bapak M. Asral Nasution, Selaku Devisi Daya Manusia Bank Sumut KCP. Simalingkar, tanggal 14 Juni 2014.
1. Surat peringatan dan penutupan rekening
Apabila penerbit mengajukan bilyet giro kosong kepada bank tertarik, bank ini wajib menolaknya dengan alasan dana yang tersedia tidak mencukupi (kosong) dan penolakan tersebut harus disertai dengan Surat Keterangan Penolakan (SKP). Jika seorang nasabah (penerbit) menerbitkan bilyet giro kosong pada bank tiga kali dalam waktu enam bulan, maka bank tertarik wajib menutup rekening nasabah (penerbit) tersebut. Untuk itu agar nasabah (penerbit) mengetahui atau menyadari akan hal ini, maka setiap kali terjadi penolakan bilye giro kosong, bank wajib memperingatkan nasabah yang bersangkutan dengan surat, yaitu:
a. Untuk pelanggaran penerbitan bilyet giro kosong pertama, diberikan surat peringatan I (SP I) yang memuat pernyataan agar nasabah (penerbit) yang bersangkutan tidak menerbitkan bilyet giro kosong lagi.
b. Untuk pelanggaran penerbitan bilyet giro kosong kedua diberikan surat peringatan II (SP II) yang memuat ancaman penutupan rekening dan pencantuman namanya dalam daftar hitam jika terjadi pelanggaran untuk ketiga kalinya. Surat peringatan II bagi nasabah yang menerbitkan bilyet giro kososng tersebut dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
c. Untuk pelanggaran penerbitan bilyet giro kosong yang ketiga kali, kepada nasabah (penerbit) tersebut langsung diberitahukan dengan surat bahwa rekeningnya telah ditutup. Dalam surat pemberitahuan penutupan rekening (SPR) dicantumkan pula syarat-syarat rehabilitasi yang harus dipenuhi.50 2. Pencantuman Nama nasabah (penerbit) dalam daftar hitam. Nama-nama
50
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 186-187.
nasabah yang telah dikenakan penutupan rekening oleh Bank Indonesia dimasukkan dalam daftar hitam penarik bilyet giro kosong. Nama-nama nasabah yang dimasukkan dalam daftar hitam adalah:
a. Nama perorangan, termasuk usaha-usaha seperti toko, bengkel, restauran, warung dan kongsi.
b. Nama perusahaan yang berbentuk firma, CV, PT dan koperasi/yayasan/perkumpulan berikut nama penarik (penandatangan) bilyet giro kosong yang bersangkutan (contoh: CV Makmur, Penarik: Hasan)
c. Badan usaha/yayasan yang dimiliki/didirikan oleh pemerintah d. Bank-bank dan lembaga keuangan bukan bank.
Khusus terhadap instansi pemerintah/lembaga negara yang menarik bilyet giro kosong tiga kali dalam enam bulan, namanya tidak dicantumkan dalam daftar hitam walaupun rekeningnya ditutup oleh bank. Apabila nama nasabah (penerbit) tercantum dalam daftar hitam, maka semua bank:
1. Segera menutup rekening nasabah (penerbit) tersebut dan melaporkan penutupan rekening tersebut kepada Bank Indonesia setempat
2. Dilarang mengadakan hubungan rekening dengan nasabah (penerbit) tersebut kecuali dalam bentuk rekening khusus.51
Rekening khusus adalah rekening tabungan atau rekening lain yang khusus disediakan oleh bank tertarik kepada pemilik rekening yang rekeningnya ditutup karena melakukan penarikan bilyet giro kosong yang memenuhi kriteria untuk
51
Hasil Wawancara Dengan Bapak M. Asral Nasution, Selaku Devisi Daya Manusia Bank Sumut KCP. Simalingkar, tanggal 14 Juni 2014.
dimasukkan dalam daftar hitam atau namanya tercantum dalam daftar hitam yang berlaku guna menampung pembayaran bilyet giro yang masih beredar.
Daftar hitam yang dikeluarkan Bank Indonesia ini bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan untuk keperluan intern bank-bank. Dengan demikian nama-nama yang tercantum dalam daftar hitam tidak diperkenankan untuk diumumkan kepada pihak ketiga bukan bank.
C. Penyelesaian Sengketa Penggunaan Bilyet Giro Sebagai Alat Pembayaran