• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM YANG DIATUR DALAM “PERJANJIAN PERCERAIAN” ANTARA MISNO-NY. EKO SARYUNINGTYAS DAN

SUDARMAN SOH-DEWI

A. “Perjanjian Perceraian” Antara Misno Dengan Ny. Eko Suryaningtyas a. Kasus Posisi

Misno dengan Ny. Eko Suryaningtyas menikah pada 26 September 1983 di Karangrejo, Tulungagung. Kemudian pada pertengahan Tahun 1988, setidak-tidaknya sebelum bulan Oktober 1988, Misno berhasrat untuk melakukan perceraian dengan Ny. Eko Saryuningtyas, dengan alasan karena belum dikarunia anak seorangpun, sehingga berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan suami-isteri tersebut, namun Ny. Eko Saryuningtyas selalu menolak untuk diceraikan oleh Misno, karena Ny. Eko Saryuningtyas merasa tidak bersalah.

Oleh karena Ny. Eko Saryuningtyas keberatan untuk dicerai oleh Misno, maka terjadilah perundingan dan terjadilah kesepakatan antara Misno dengan Ny. Eko Saryuningtyas. Perundingan perdamaian untuk bercerai antara suami-isteri tersebut tercapai pada Oktober 1988, dengan menghasilkan kesepakatan, bahwa isterinya bersedia untuk diceraikan dengan tidak membantah terhadap gugatan perceraian yang akan diajukan oleh Misno, tetapi Misno bersedia untuk menyerahkan rumah yang didiami bersama tersebut kepada isterinya setelah perceraian dilaksanakan.

Kesepakatan antara suami-isteri (Misno dengan Ny. Eko Suryaningtyas) tersebut tertuang dalam “Surat Tanda Penyerahan Rumah” diatas kertas segel

bermaterai Rp. 1000,- (akta bawah tangan) yang ditanda tangani oleh suami-isteri yang sepakat akan bercerai tersebut dengan saksi RT pada tanggal 23 Oktober 1988.

Kemudian proses pengajuan perceraian dilakukan di Pengadilan Agama Surabaya pada Januari 1989. Terjadi “Ikrar Talak” dihadapan Pengadilan Agama Surabaya dan kemudian perceraian didaftarkan pada tanggal 1 Februari 1989.

b. “Perjanjian Perceraian” Yang Dibuat

“Perjanjian Perceraian” yang dibuat tertuang dalam “Surat Tanda Penyerahan Rumah” diatas kertas segel bermaterai Rp. 1000,- (akta bawah tangan) yang ditanda tangani oleh suami-isteri yang sepakat akan bercerai tersebut dengan saksi RT pada tanggal 23 Oktober 1988.,

Tujuan dari pembuatan “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny.Eko Saryuningtyas ini, yaitu sepakat untuk mengakhiri kehidupan perkawinan mereka walaupun tidak secara terang disebutkan didalam “Perjanjian Perceraian” tersebut, kemudian mengenai materi atau isi dari “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny.Eko Saryuningtyas ini, adalah mengatur mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian terkait dengan harta pribadi dari pihak suami (Misno).

Adapun materi atau isi dari “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas adalah :

“Misno Secara ikhlas lahir dan batin menyerahkan kepada Ny. Eko Saryuningtyas sebidang tanah dan rumah yang berdiri diatas tanah Yasan Petok Nomor 15/28 Persil Blok Nomor 44 yang terletak di Kotamadya Surabaya, Kecamatan Tandes, Kelurahan Simomulyo, setempat terkenal sebagai tanah/rumah Jalan Simorejo II/10 Surabaya, dengan batas-batas sebagai berikut :

Sebelah Timur : tanah milik Sdr. Sibin; Sebelah Selatan : tanah milik Sarono; Sebelah Barat : tanah milik Lamidi.

Luas tanahnya adalah 15 meter kali 8 meter (15 m x 8 m) = 120 m2, sedangkan luas bangunan rumah adalah 12,5 m x 7 m = 87,5 m2. ”

c. Analisis Kasus 1. Dari Segi Materiil

Perceraian baru muncul apabila ada perkawinan, tidak mungkin ada perceraian tanpa didahului dengan perkawinan sehingga harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa diantara Misno dengan Ny. Eko Saryuningtyas sudah pernah dilangsungkan perkawinan sebelumnya. Kejelasan mengenai perkawinan diantara kedua pihak tersebut, dilihat dalam Kutipan Akta Nikah dibuat di Karangrejo, tanggal 26-9-1983 oleh Pegawai Pencatat Nikah Karangrejo.99

Dengan demikian dalam perjanjian tersebut telah disebutkan dengan jelas bahwa Para Pihak telah melangsungkan perkawinan yang sah dan tercatat diantara keduanya. Dengan dibuktikannya telah terjadi perkawinan, baru bisa melakukan Perceraian karena tidak mungkin ada perceraian tanpa perkawinan sebelumnya.

Dapat kita lihat dari ulasan diatas, bahwa alasan Misno mengajukan gugatan untuk menceraikan Ny. Eko Saryuningtyas adalah tidak juga mempunyai anak selama perkawinan.

Pengaturan mengenai perceraian sendiri dapat dilihat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur dalam Bab VIII yang mengatur mengenai

Putusnya Perkawinan serta Akibatnya. Dalam Pasal 39 UU Perkawinan, disebutkan bahwa :

“Perkawinan dapat putus karena : 1. Kematian;

2. Perceraian;

3. Atas keputusan Pengadilan”.

Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa salah satu penyebab perkawinan putus adalah Perceraian. Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 39 UU Perkawinan, bahwa :

1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami-suami-isteri;

3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.

Berdasar pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab dari putusnya perkawinan adalah perceraian, dimana perceraian hanya boleh dilakukan apabila gugatan atau talak tersebut didepan sidang Pengadilan dan Pengadilan tersebut sudah berusaha tetapi tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak tersebut. Selain itu juga, perceraian hanya bisa dilakukan jika ada cukup alasan yang menyatakan bahwa antara suami-isteri tersebut tidak bisa lagi rukun sebagai suami dan isteri.

Alasan-alasan untuk mengajukan perceraian diatur secara limitatif dalam Pasal 39 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa alasan-alasan perceraian adalah :

“Perceraian dapat terjadi dengan alasan atau alasan-alasan sebagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

Kemudian, dalam Pasal 16 PP Perkawinan dikatakan bahwa Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 PP Perkawinan dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Akan tetapi pada praktiknya, tidak mempunyai anak dapat menjadi salah satu alasan suami-isteri bercerai. Sejak menikah pada 26 September 1983, sampai dengan si suami (Misno) mengajukan perceraian pada Januari 1989, pasangan suami-isteri ini belum juga dikaruniai anak. Hal ini berdampak pada tidak harmonisnya rumah tangga mereka yang pada awalnya rukun dan harmonis.

Walaupun pada dasarnya, belum juga mempunyai anak bukan merupakan alasan yang sah secara hukum bagi suami-isteri untuk melakukan perceraian. Tetapi pada praktiknya permasalahan “tidak juga mempunyai anak” dapat menjadi alasan

perceraian jika hal itu berdampak pada tidak harmonisnya rumah tangga dan terjadi pisah ranjang atau pisah rumah.

Alasan yang diajukan oleh Misno kepada Ny. Eko Saryuningtyas ini sesuai dengan alasan huruf (e) Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Antara suami-isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Dimana dikarenakan terjadinya pertengkaran yang terus menerus, maka tujuan dari diadakannya perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak akan tercapai dan ditakutkan malah akan menimbulkan efek negatif kepada salah satu pihak sehingga perceraian dianggap sebagai jalan terbaik bagi kedua belah pihak.

Mengenai kesepakatan antara Misno dan Ny. Eko Saryuningtyas dalam “Perjanjian Perceraian” yang tertuang dalam “Surat Tanda Penyerahan Rumah” ini memang unik, karena menyangkut sengketa mengenai akibat hukum perceraian terhadap harta benda dalam perkawinan yaitu terhadap harta pribadi suami.

Dalam penjelasan tentang duduknya perkara (terlampir) antara Misno (suami) dan Ny. Eko Saryuningtyas (isteri), dapat diketahui bahwa rumah/tanah yang menjadi objek sengketa merupakan harta bawaan Misno yang merupakan hasil pembeliannya sebelum Misno mengawini Ny. Eko Saryuningtyas sehingga harta tersebut merupakan Harta Pribadi Misno dan tidak termasuk pada kelompok harta bersama,

sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 35 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Apabila antara Misno maupun Ny. Eko Saryuningtyas tidak pernah terjadi hubungan hukum perkawinan, maka dapatlah kepada para pihak digunakan KUHPerdata sebagai dasar hukum dalam menangani perkara tersebut, namun ternyata antara Misno maupun Ny. Eko Suryaningtyas pernah terjadi hubungan hukum perkawinan. Oleh karena itu untuk penyelesaian sengketa mengenai harta benda tersebut haruslah digunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengingat Misno dan Ny. Eko Saryuningtyas sama-sama beragama Islam.

Berdasarkan Pasal 36 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dikatakan bahwa :

“Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.” Sehingga berdasarkan pasal tersebut, baik suami maupun isteri diberikan kebebasan untuk bertindak/melakukan suatu perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta benda miliknya sendiri. Perbuatan hukum yang dimaksud tentunya termasuk pula mengenai perjanjian, yaitu untuk menjanjikan pemberian harta benda tersebut kepada siapapun juga. Oleh karena itu Misno mempunyai hak untuk menjanjikan pemberian rumah/tanah yang menjadi objek sengketa kepada Ny. Eko Saryuningtyas. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku

(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), dan tentunya kelalaian dalam pelaksanaan perjanjian tersebut dapat digugat sebagi sebuah wanprestasi.

Agama Islam menggariskan, bahwa kehidupan rumah tangga, suami-isteri yang sudah tidak mampu lagi menegakkan nilai-nilai moral dan filosofis : sakinah, mawaddah, dan warahmah, maka hukum islam mengajarkan dan memberi kebolehan untuk merundingkan cara-cara penyelesaian perceraian (Surat Al-Baqarah : 130).

Menurut ajaran Islam, apabila ada perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui pendekatan “Islah” atau kompromis. Hal tersebut tertuang dalan Al-Quran Surat 49 Ayat 10 yang berbunyi sebagai berikut:100

“Sesungguhnya orang-orang yang mukmin berdasar satu dalam persaudaraan. Karena itu damaikanlah antara sesama saudaramu. Dan bertaqwalah kepada Allah, semoga kamu mendapat rahmat.”

Dikaitkan dengan ayat tersebut, dalam menangani perkara perceraian, ajaran Islam juga mengajarkan bahwa apabila seorang suami menceraikan isterinya hendaklah dengan cara yang patut(Au Sarihunna Bil Maruf).Ajaran tersebut termuat dalam Al-Quran Surat 2 Ayat 231 yang berbunyi sebagai berikut:101

“Dan bila kamu menceraikan isterimu, lalu masa iddahnya hampir berakhir, maka pilihlah salah satu dari dua perkara : merujuki mereka dengan cara yang baik atau menceraikan mereka dengan cara yang patut”.

Dalam “Perjanjian Perceraian” ini menyangkut mengenai alimentasi dalam bentuk suami (Misno) memberi jaminan keselamatan kepada isteri (Ny. Eko

100

Bachtiar Surin,Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Al-Quran Dalam Huruf Arab dan Latin Juz 26-30,Bandung: Penerbit Angkasa, 2002., hal. 226.

101Bachtiar Surin,Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Al-Quran Dalam Huruf Arab dan Latin Juz 1-5,Bandung: Penerbit Angkasa, 2002., hal. 146.

Saryuningtyas) berupa rumah tempat berlindung bekas isteri setelah terjadi perceraian. Sehingga dengan pemberian alimentasi ini, kehidupan bekas isteri setelah terjadi perceraian tidak lagi berada dalam keadaan Muallaqat (terkatung-katung seperti layang-layang yang putus tali) sebagaimana yang digambarkan Al-Quran Surat An Nisaa : 129.

Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa antara suami dan isteri dalam hal terjadi suatu perceraian, seyogyanya digunakan pendekatan secara “Islah” atau kompromis. Hal tersebut tentunya termasuk pengaturan mengenai akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian. Karena dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para pihak, maka tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Kedua pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah dan mereka dapat pulih kembali dalam suasana rukun dan persaudaraan.

Berdasarkan pandangan islam, perceraian seperti halnya perkawinan, harus didudukkan dalam konteks : moral, sosial, kemanusiaan, peradaban yang tinggi, jika perkawinan dibarengi dengan berbagai pendekatan musyawarah dan kata sepakat, maka perceraian pun sebaiknya dilakukan dengan pendekatan kompromis atau “Islah” sesuai dengan jiwa Sarihunna Bil Maruf.

Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, dikaitkan dengan penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dimungkinkan bagi suami-isteri untuk menyepakati

suatu kompromi tentang hal-hal yang berkenaan dengan pembagian harta, nafkah, alimentasi atau pemberian maupun imbalan, perwalian anak-anak, hak berkunjung sebelum Pengadilan menjatuhkan putusan perceraian.

Pada prinsipnya, perceraian tetap mutlak kewenangan pengadilan. Namun mendahului putusan pengadilan, nilai hukum, moral, kemanusiaan, peradaban, memberikan hak kepada suami-isteri untuk membuat kompromi (kesepakatan) atau Konsiliasi yang menyangkut akibat putusnya perkawinan karena perceraian.102

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dari segi materiil atau isi “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas diatas dapat disimpulkan bahwa materi atau isi dari “Perjanjian Perceraian” tersebut sudah sesuai dan mengikuti aturan-aturan mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Dari Segi Formil

Para Pihak setuju dan sepakat untuk mengatur mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian dimana bentuk kesepakatan ini dituangkan dalam “Surat Tanda Penyerahan Rumah” diatas kertas segel bermaterai Rp. 1000,- (akta bawah tangan) yang ditanda tangani oleh suami-isteri yang sepakat akan bercerai tersebut dengan saksi RT. Oleh karena itu dilakukan analisis apakah perjanjian yang dibuat para pihak telah memenuhi ketentuan sahnya perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Jika melihat ke dalam hukum perjanjian, terdapat asas-asas dalam perjanjian yang harus dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian, termasuk dalam “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas, yaitu :

1) Asas Kebebasan Berkontrak(freedom of contract)

Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Pasal ini mengandung asas kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian mengenai apa saja asal tidak melanggar hukum, kesusilaan dan juga ketertiban umum.

Berdasarkan asas ini diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dari sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang.

Dalam “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas yang isinya mengatur mengenai akibat-akibat yang akan muncul dari dilakukannya perceraian, yaitu Misno memberikan rumah yang merupakan harta bawaannya kepada Ny. Eko Saryuningtyas, dimana akibat-akibat tersebut mengandung kewajiban atau prestasi yang harus dipenuhi oleh Misno setelah terjadi perceraian. Kewajiban tersebut tidak boleh melanggar undang-undang, kesusilaan, maupun juga ketertiban umum. Sehingga dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini, “Perjanjian Perceraian” tidak melanggar atau dilarang menurut ketetuan hukum yang berlaku.

2) Asas Personalia

Asas personalia diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata, bahwa setiap orang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian atau perikatan dikarenakan kehendaknya sendiri, atas namanya sendiri, dan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Dalam “Perjanjian Perceraian” yang dibuat Misno dan Ny. Eko Saryuningtyas ini dapat dilihat dengan didahuluinya perundingan antara kedua pihak yang kemudian kesepakatan dari hasil perundingan tersebut dituangkan dalam akta dibawah tangan yang ditandatangani oleh suami-isteri tersebut dengan saksi dan aparat kelurahan setempat. Sehingga bisa diartikan bahwa para pihak telah setuju dan sepakat tanpa paksaan dari pihak manapun untuk kepentingan dirinya sendiri saling mengikatkan diri dalam “Perjanjian Perceraian” ini. Hal ini berarti telah memenuhi atau sesuai dengan asas personalia dalam suatu perjanjian.

3) Asas Konsensualisme(consensualism)

Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak, sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut.

Ketika para pihak yang terkait dalam perjanjian ini diawal telah menyatakan setuju dan sepakat untuk membuat “Perjanjian Perceraian” pada tanggal 23 Oktober 1988, berarti semenjak saat itu “Perjanjian Perceraian” tersebut berlaku

sebagai hukum dan mengikat kedua pihak yang membuat “Perjanjian Perceraian” tersebut.

4) AsasPacta Sunt Servanda

Asas ini terdapat didalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sehingga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka para pihak yang membuat perjanjian tersebut, bagi Hakim dan pihak ketiga juga menghormati perjanjian tersebut layaknya sebuah undang-undang.

Asas ini juga berlaku bagi “Perjanjian Perceraian” yang dibuat oleh pasangan suami-isteri, Misno dan Ny. Eko Saryuningtyas. Oleh karena itu sebelumnya harus dibuktikan terlebih dahulu apakah “Perjanjian Perceraian” yang dibuat oleh para pihak ini telah sesuai dan memenuhi syarat sahnya dari suatu perjanjian. Apabila perjanjian tersebut telah dibuktikan sesuai dan memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, maka “Perjanjian Perceraian” tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, bagi Hakim dan juga bagi pihak ketiga.

Selain 4 (empat) asas diatas, terdapat asas-asas lain dalam perjanjian, yaitu :103 1) Asas Itikad Baik(good faith)

Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata, yaitu : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Itikad baik ini ada bukan saat pada

saat pelaksanaan perjanjian tapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya suatu perjanjian.

Asas ini juga telah dipenuhi oleh “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas, bahwa para pihak berjanji akan melaksanakan perjanjian ini dengan itikad baik, dikarenakan maksud dan tujuan dari dibuatnya perjanjian ini adalah untuk kebaikan dan keuntungan masing-masing. Disini para pihak berniat dan beritikad baik untuk mencegah sengketa yang ditakutkan akan terjadi di kemudian hari mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian

2) Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat adanya asas kepercayaan yang melandasi perjanjian yang akan dibuat tersebut.

Kepercayaan dalam perjanjian ini dibuktikan dengan para pihak yang menandatangani perjanjian ini dengan dasar adanya kepercayaan terhadap pihak lain, bahwa masing pihak akan melaksanakan tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan dari perjanjian ini.

3) Asas Kekuatan Mengikat

Dalam suatu perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat dimana dengan adanya asas ini, maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang

diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral.104

Artinya bahwa para pihak yang terikat dalam “Perjanjian Perceraian” ini tidak semata-mata hanya terikat dengan apa yang diperjanjikan seperti yang tertuang dalam bagian isi dari “Perjanjian Perceraian” yang dilampirkan dalam karya ilmiah ini. Para pihak juga terikat terhadap unsur-unsur lain yang sehubungan dengan perceraian, sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan dan juga moral.

4) Asas Persamaan Hak – Asas Keseimbangan

Menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling menghormati.

Asas ini juga diterapkan dalam “Perjanjian Perceraian” dimana para pihak dalam perjanjian ini harus saling menghormati dan memiliki suatu semangat yang menghendaki agar masing-masing pihak dalam kontrak memenuhi dan melaksanakan “Perjanjian Perceraian” ini seperti yang telah disepakati. Asas persamaan hak menimbulkan asas keseimbangan dimana perjanjian dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara

104Mariam Darus Badrulzaman,Kompilasi Hukum Perikatan,Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001., hal. 88.

kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.

5) Asas Kepatutan

Pasal 1339 KUHPerdata :

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Maka dalam perjanjian para pihak diharuskan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada kesusilaan atau moral.

Bahwa “Perjanjian Perceraian” ini juga tidak hanya mengikat untuk hal-hal sehubungan dengan akibat perceraian yang secara tegas diatur dalam isi perjanjian, tetapi juga mengikat hal-hal yang berhubungan dengan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang sehubungan dengan perceraian.

6) Asas Kepastian Hukum

Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian hukum terlihat dari adanya kekuatan mengikat, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

Berdasarkan asas ini, “Perjanjian Perceraian” tidak hanya mengikat untuk hal yang secara tegas dalam perjanjian ini, yaitu mengenai akibat-akibat putusnya

Dokumen terkait