• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEABSAHAN “PERJANJIAN PERCERAIAN” SELAMA

A. Tinjauan Mengenai “Perjanjian Perceraian”

Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan interaksi satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan antara individu-individu yang merupakan subjek hukum maupun antara badan hukum seringkali merupakan suatu hubungan hukum yang tentu dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan hukum. Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang muncul untuk mengakomodasikan kepentingan-kepentingan tertentu dari anggota masyarakat.

Pasal 1338 Ayat1 KUHPerdata menyatakan bahwa, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal 1338 KUHPerdata ini mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya,isinya, dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi tentang apa saja dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang yang telah disepakati antara pembuat perjanjian tersebut.

Pengelompokkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai Perjanjian Bernama atau benoemde contracten atau nominaat contracten. Wirjono Prodjodikoro menyatakan sistem BW (Burgerlijk Wetboek) memungkinkan untuk

para pihak mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW, WvK atau undang-undang lain. Untuk persetujuan-persetujuan ini dapat berlaku BW didalam buku ke-III Title I-IV.52

“Perjanjian Perceraian” adalah Kesepakatan yang dibuat oleh suami dan isteri selama berlangsungnya perkawinan terkait dengan hal-hal perceraian dan akibat hukum dari perceraian terhadap harta dan anak.

“Perjanjian Perceraian” yang dalam penelitian ini berbentuk Surat Tanda Penyerahan Rumah dan Surat Pernyataan dan Perjanjian. Perjanjian jenis ini disebut PerjanjianInnominaat,yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.53; perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus didalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat didalam masyarakat.54 Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian ataupartij otonomiyang berlaku dalam hukum perjanjian.55

J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan Perjanjian Innominat atau Perjanjian Tidak Bernama, adalah :56

52Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

Bandung : Sumur Bandung, 1964., hal.10.

53Putro Wicaksono,Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama,Seventeen Miracle, http://iyudkidd02street17.blogspot.com/2012/11/perjanjian-bernama-dan-perjanjian-tidak.html, diakses pada 18 Juli 2013.

54Macam-Macam Perjanjian dan Syaratnya, www.adipedia.com/2011/05/macam-macam-perjanjian-dan-syaratnya.html, diakses pada 18 Juli 2013.

55

Boraamelia’s Blog, Perjanjian (Kontrak), boraamelia.wordpress.com/2012/06/11/ perjanjian-kontrak/, diakses pada 18 Juli 2013.

“Perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus didalam undang-undang. Oleh karena itulah tidak diatur dalam undang-undang, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), keduanya didasarkan pada praktek sehari-hari dan putusan pengadilan(yurisprudensi).

Tentang Perjanjian Tidak Bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi :

“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”

Menurut Pasal 208 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :

“Perceraian suatu perkawinan sekali-kali tak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak”

Dimana pasal ini memberi arti bahwa tidak boleh diadakan kesepakatan diantara para pihak yang telah menikah untuk bercerai. Perceraian bukanlah sesuatu hal yang bisa diperjanjikan. Apabila terbukti bahwa perceraian tersebut.dilakukan dengan ada perjanjian atau kesepakatan untuk bercerai sebelumnya, apalagi disaat para pihak belum menikah, maka perceraian tersebut harus dibatalkan dan dianggap tidak sah dikarenakan melanggar Pasal 208 KUHPerdata.

“Perjanjian Perceraian” disini mengatur mengenai kesepakatan suami-isteri mengenai akibat-akibat yang akan terjadi dari suatu perceraian (akibat perceraian). “Perjanjian Perceraian” belum diatur secara khusus baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun KUHPerdata. Pengaturan dan keberlakuan “Perjanjian Perceraian” inilah yang akan dibahas secara khusus dalam karya ilmiah ini.

Di Indonesia sendiri, dengan adanya unifikasi hukum dan juga ditambah adanya asasLex Specialis Lex Generalis, Hukum Perkawinan diatur secara terperinci menggunakan aturan yang diatur dalam Buku I tentang orang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Meskipun menurut unifikasi hukum dan juga menurut asas Lex Specialis Lex Generalis, pengaturan mengenai perkawinan harus mengikuti aturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa :57

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini,maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”58

Sehingga dengan adanya ketentuan ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan dasar hukum dan landasan dari ketentuan hukum yang mengatur mengenai Perkawinan menyatakan bahwa apabila ada ketentuan-ketentuan yang sebelumnya telah diatur dalam KUHPerdata, Ordonanasi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan juga peraturan lain sehubungan dengan perkawinan, dan kemudian diatur kembali atau diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka

57

Hilman Hadikusuma, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Medan : CV. Zahi Trading Co, 2004., hal.5.

ketentuan yang dipakai adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak lagi ketentuan yang terdapat dalam peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya.59

Akan tetapi, ketentuan ini juga bisa bermakna lain dimana ketentuan ini juga bisa berarti bahwa apabila ada hal-hal mengenai Perkawinan yang ketentuannya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi dalam kenyataan sudah sering dipraktekkan sehingga membutuhkan dasar hukum untuk melindunginya, maka pengaturan mengenai hal tersebut bisa kembali mengacu kepada peraturan-peraturan yang sebelumnya telah ada dan mengatur mengenai perkawinan seperti KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan juga Peraturan Perkawinan Campuran serta peraturan lainnya.60

Pasal inilah yang kemudian menjadi dasar atau acuan dari pembahasan “Perjanjian Perceraian” dalam karya ilmiah ini dimana ketentuan dasar hukum dari “Perjanjian Perceraian” tidak atau belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga pembahasan pengaturan mengenai “Perjanjian Perceraian” ini bisa kembali mengacu kepada KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan juga Peraturan Perkawinan Campuran serta peraturan lainnya. Tetapi meskipun belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pembahasan mengenai “Perjanjian Perceraian” ini harus tetap

59Wahyono Darmabrata,SH,MH, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta UU dan Peraturan Pelaksanaannya,Jakarta : FHUI, 1997., hal 4.

memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai peraturan dasar dari pelaksanaan perkawinan di Indonesia.

Meskipun tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata yang secara jelas mengatur mengenai “Perjanjian Perceraian”, tetapi dikarenakan para pihak mengikatkan diri dalam perjanjian, maka perjanjian yang dibuat ini jelas harus mengikuti ketentuan-ketentuan mengenai mengenai suatu perjanjian pada umumnya, yaitu sebagai berikut :

a. Pengertian Perikatan dan Perjanjian

Perikatan dan Perjanjian merupakan satu hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dimana pandangan masyarakat umum mengenai perikatan dan perjanjian adalah suatu perikatan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, hanya dapat dibayangkan dalam alam pikiran kita. Berbeda dengan perjanjian, dimana perjanjian dapat dilihat dengan kasat mata dan didengar juga. Sehingga dapat dikatakan bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret.61

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.62 Berdasar pada pengertian ini, di dalam suatu perikatan terdapat hak di satu pihak dan juga kewajiban di pihak yang lain, dimana hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat dari

61Sri Soesilowati Mahdi, SH; Surini Ahlan Sjarif, SH., MH dan Akhmad Budi Cahyono, SH., MH,Op. Cit.,hal. 129.

hubungan hukum. Hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban tersebut terjadi diantara dua pihak. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau di berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang. Kreditur dan Debitur inilah yang disebut dengan subyek perikatan.63

Obyek Perikatan yang merupakan hak kreditur dan kewajiban debitur dinamakan prestasi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi ini dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Istilah “sesuatu” disini bergantung kepada maksud dan tujuan para pihak yang mengadakan hubungan hukum, apa yang diberikan, yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat. “Sesuatu” tersebut bisa dalam bentuk materiil (berwujud) dan bisa juga dalam bentuk immaterial (tidak berwujud). Prestasi dari suatu perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan juga kesusilaan (Pasal 1335 KUHPerdata dan Pasal 1337 KUHPerdata) serta harus terang dan jelas (Pasal 1320 Ayat 3 KUHPerdata dan Pasal 1333 KUHPerdata).64

Dengan demikian, unsur-unsur dari perikatan dapat dijelaskan sebagai berikut :65

1. Adanya suatu ikatan hukum, yaitu suatu hubungan yang oleh hukum diletakkan sanksi;

63Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Edisi Revisi, Bandung : Alumni, 2006., hal. 196.

64Ibid.,hal. 197-198.

65J.Z Loudoe, S. Riwoe Loupatty,Ajaran Umum Perikatan dan Persetujuan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Surabaya : Kasnendra Suminar, 1983., hal. 1-3.

2. Hubungan tersebut harus mengenai hukum kekayaan karena kewajiban orang tua atau wali, misalnya dalam hal memelihara anak-anaknya tidak termasuk dalamnya terkecuali :

1) Hapusnya jangka waktu mengenai kewajiban memelihara menurut Pasal 107, 225, 246 dan 321 KUHPerdata;

2) Kewajiban ganti rugi oleh suami karena salah urus (wanbeheer) kekayaan isteri (Pasal 160 Ayat 3 KUHPerdata), oleh orang tua karena salah urus kekayaan anak (Pasal 307-308 KUHPerdata) atau oleh pengampu karena salah urus kekayaan anak dalam pengampuan (Pasal 385 dan 391 KUHPerdata); 3) Hubungan tersebut adalah hubungan antara orang dengan orang berbeda

dengan hukum kebendaan yang mengatur tentang hubungan antara orang dengan barang. Hak yang timbul karena perikatan adalah hak terhadap orang (persoonlijk recht, ius in personam) berbeda dengan hak atas barang(zakelijk recht ius in re). Hak terhadap orang hanya berlaku terhadap debitur, sedangkan hak atas barang berlaku terhadap setiap orang;

3. Isi daripada perikatan adalah di satu pihak melakukan suatu prestasi atau lebih sedangkan di pihak lain menerima prestasi tersebut (Pasal 1234 KUHPerdata), prestasi disebut juga obyek daripada perikatan;

4. Pihak kreditur berhak atas prestasi. Ia dapat menuntutnya melalui pengadilan jika pihak debitur enggan memenuhi kewajibannya secara sukarela;

5. Pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pada umumnya juga bertanggung jawab atasnya dengan seluruh kekayaan bukan hanya yang ada pada waktu diadakan perikatan tetapi juga yang akan datang (Pasal 1131 KUHPerdata); 6. Prestasi harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :

1) Harus tertentu setidak-tidaknya dapat ditentukan;

2) Harus melekat suatu kepentingan tertentu baik untuk kreditur maupun untuk pihak ketiga dalam hal-hal tertentu (Pasal 1318 KUHPerdata);

3) Harus yang halal, maksudnya tidak halal adalah bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan;

4) Harus dapat dilaksanakan.

Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, perikatan bersumber baik dari perjanjian maupun Undang-Undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak sesuai dengan apa yang mereka sepakati, sedangkan akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari undang-undang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga para pihak yang terikat berdasarkan ketentuan undang-undang suka atau tidak mereka harus menerimanya.66

b. Pengertian Hukum Perjanjian Pada Umumnya

Jika kita membicarakan tentang perjanjian, maka pertama-tama harus diketahui pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang berbunyi :

66Sri Soesilowati Mahdi, SH; Surini Ahlan Sjarif, SH., MH dan Akhmad Budi Cahyono, SH., MH,Op. Cit.,hal. 135.

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”

R. Subekti menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.67

Abdul Kadir Mohammad merumuskan definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.68

R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa: “Perjanjian adalah perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji/dianggap berjanji melakukan sesuatu hak, sedang pihak lain berhak menuntut”.69

Dari perjanjian inilah maka timbul suatu hubungan antara dua pihak yang dikenal dengan istilah perikatan. Perjanjian menimbulkan perikatan diantara dua pihak yang membuatnya.

c. Unsur-Unsur Perjanjian Unsur pokok perjanjian :70 1. Unsur Esensalia

67Subekti (1),Hukum Perjanjian,Jakarta : PT.Intermasa, 1985., hal 1. 68

Abdul Kadir Mohammad,Hukum Perikatan,Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1992., hal. 78. 69

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur Bandung, 1973., hal. 19.

Unsur esensalia merupakan sifat yang harus ada dalam suatu perjanjian, dikarenakan sifat dari unsur esensalia ini merupakan sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel).71 Oleh karena itu unsur ini dapat dianggap penting keberadaannya karena bertujuan agar para pihak dapat membuat dan menyelenggarakan sesuai dan sejalan dengan kehendak semula. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur ini adalah condition sine quanon dari suatu perjanjian, dimana tanpa keberadaan unsur ini perjanjian itu menjadi tidak ada atau dapat batal demi hukum.

2. Unsur Naturalia

Unsur naturalia berbeda dengan unsur esensalia, dimana bila suatu perjanjian tidak mengandung unsur naturalia, maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi tidak mengikat. Hal ini dikarenakan unsur naturalia berbentuk ketentuan hukum umum yang merupakan syarat yang biasanya dicantumkan kemudian, ternyata tidak dimuat atau tidak diatur dalam perjanjian, sehingga undang-undang akan berperan untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan sifat hukum perjanjian yang accessoir atau sebagai optional law.

3. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Pada perjanjian, unsur ini adalah unsur ini adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian.

71Mariam Darus Badrulzaman,Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001., hal. 24.

Unsur perjanjian antara lain :72

1. Ada pihak-pihak (subyek), sedikitnya dua pihak; 2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap;

3. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak; 4. Ada prestasi yang dilaksanakan;

5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;

6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. d. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Pada hukum perjanjian, berlaku beberapa asas yang merupakan dasar keberlakuan hukum perjanjian, yaitu :73

1. Asas Kebebasan Berkontrak(freedom of contract)

Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidajk melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

“Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum, kesusilaan dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).

72Titik Triwulan Tutik, SH., MH,Op.Cit.,hal. 244.

73Suharnoko,Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Prenada Media, 2004., hal 4-5.

2. Asas Personalia

Asas personalia sebagaimana diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata yaitu : “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu suatu janji daripada untuk dirinya sendiri” dan Pasal 1340 KUHPerdata, yaitu : “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Sehingga pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.

Namun terdapat pengecualian pada Pasal 1317 KUHPerdata dimana seorang selain mengatur perjanjian untuk diri sendiri juga untuk kepentingan ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak darinya.

3. Asas Konsensualisme(consensualism)

Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak. Sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut.

4. AsasPacta Sunt Servanda

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sehingga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Bagi

Hakim dan pihak ketiga juga menghormati perjanjian tersebut layaknya sebuah undang-undang.

Selain 4 (empat) asas diatas, terdapat asas-asas lain dalam perjanjian, yaitu :74 1. Asas Itikad Baik(good faith)

Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata, yaitu : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Itikad baik ini ada bukan saat pada saat pelaksanaan perjanjian tapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya suatu perjanjian.

2. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat adanya asas kepercayaan yang melandasi perjanjian yang akan dibuat tersebut.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam suatu perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat dimana dengan adanya asas ini, maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral.

4. Asas Persamaan Hak

Menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling menghormati.

5. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hak. Pada asas ini dijelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara seimbang dan tidak ada unsur paksaan. Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, hal ini berarti janji yang dibuat antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.

6. Asas Kepatutan

Pasal 1339 KUHPerdata :

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Maka dalam perjanjian para pihak diharuskan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada kesusilaan atau moral.

7. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian

hukum terlihat dari adanya kekuatan mengikat, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

e. Syarat Sah Perjanjian

Suatu kontrak atau perjanjian untuk dapat dikatakan mengikat dan berlaku harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan oleh hukum, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.75

4 (empat) syarat sahnya dan berlakunya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian;

Kesepakatan merupakan penyesuaian pernyataan kehendak antara para pihak dimana kesesuaian tersebut adalah pernyataan yang dapat diketahui, dilihat oleh pihak lainnya.76

Perjanjian yang dilahirkan dapat mengalami kecacatan yang dimungkinkan untuk kemudian dimintakan pembatalan. Seperti yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata bahwa tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan kerana kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Diatur juga dalam Pasal 1449 KUHPerdata bahwa perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.77 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

75

Ahmadi Miru,Hukum Kontrak : Perancang Kontrak,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007., hal.14.

76Ibid.

Di antara syarat ini yang harus dipenuhi adalah para pihak dalam keadaan telah dewasa dan tidak sedang berada dalam pengampuan. Kecakapan (bekwaam) untuk mengikatkan diri , didasarkan atas pengertian bahwa orang tersebut pada saat membuat perjanjian harus dewasa atau berumur minimal 21 tahun (Pasal 330 KUH Perdata).78Dalam hal ini undang- undang beranggapan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan (perjanjian) apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.79

Dalam hukum, seorang dianggap tidak cakap untuk melakukan suatu

Dokumen terkait