• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Penyalahgunaan Keadaan

2.3.3 Akibat Penyalahgunaan Keadaan

114

perjanjian timbal balik dan juga perbuatan hukum lainnya. Sedangkan asas

iustum pretium digunakan terbatas pada perjanjian saja, mengingat adanya

ketidakseimbangan prestasi dan juga unsur kerugian materi.

b. Demikian halnya dengan dalam suatu tuntutan atau gugatan. Dalam suatu tuntutan atas penyalahgunaan keadaan, pihak yang dirugikan harus dapat menunjukan bahwa pihak lawan menyalahgunakan keadaannya. Sehingga, dasar tuntutan dalam hal ini ditekankan pada adanya penyalahgunaan, bukan adanya kerugian yang ditimbulkan.218

Berdasarkan uraian di atas, saya berpendapat asas iustum pretium secara tidak langsung telah diterapkan dalam hukum Indonesia. Dikaitkan dengan kerugian, iustum pretium tersebut bersifat obyektif. Namun penggunaan iustum

pretium pada dasarnya mengacu pada sebab yang tidak halal dari suatu perjanjian,

karena menekankan pada adanya kerugian yang diderita. Ajaran penyalahgunaan keadaan juga telah diterapkan dalam hukum Indonesia, terbukti dengan adanya putusan-putusan yang didasarkan adanya ajaran ini. Ajaran ini melindungi pihak-pihak tertentu dari penyalahgunaan keadaan pihak-pihak lain yang menyebabkan mereka tidak memberi persetujuan dengan bebas. Sehingga, penekanan ajaran ini terletak pada kehendak yang cacat, bukan causa atau sebab dari suatu perjanjian. Meskipun demikian, ajaran penyalahgunaan keadaan dan asas iustum pretium dapat digunakan secara beriringan.

2.3.3 Akibat Penyalahgunaan Keadaan

Penyalahgunaan keadaan (undue influence) terjadi pada awal perjanjian terkait dengan syarat subyektif kesepakatan : kesepakatan yang terjadi karena adanya penyalahgunaan keadaan dapat dikategorikan sebagai kesepakatan semua dikarenakan adanya cacat kehendak. Oleh adanya penyalahgunaan keadaan ini maka perjanjian dapat dibatalkan (vaidable atau vernietiabaar).

218 Ibid.

115

Di pengadilan, banyak diketemukan kasus pembatalan perjanjian yang alasan gugatannya bukan berdasarkan dwaling, dwang ataupun bedrog. Dibutukan bantuan hakim yang adil dan dapat dipercaya untuk memeriksa dan memperbaiki kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan karena undang undang yang tidak sempurna. Pokok pertimbangan hukum bagi hakim, bisa bersumber dari undang-undang, yurisprudensi, doktrin, kebiasaan, dan lain-lain. Diharapkan putusan hakim ini dapat menjadi pedoman bagi hakim lain dalam mengambil keputusan.

Sehubungan dengan alasan pembatal perjanjian, selain ancaman (bedreiging), penipuan (bedrog), dan kesesatan (dwaling), Nederland sebagai Negara yang dasar hukumnya diadopsi oleh Indonesia, telah mencantumkan suatu ajaran baru yaitu “misbruik vanomstandigheden” atau penyalahgunaan keadaan kedalam ketentuan undang-undang di dalam Nieuw Burgerlijke Wetboek (untuk selanjutnya disingkat NBW), diatur dalam artikel 3:44 lid 1 NBW. Karena alasan pembatalan perjanjian dalam NBW yaitu ancaman, penipuan, dan kesesatan (khilaf) hampir sama dengan alasan pembatalan perjanjian dalam KUHPer, maka saya hanya membahas mengenai penyalahgunaan keadaan sebagai sumber hukum dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan perkara hukum perjanjian di Indonesia.

Terbentuknya alasan penyalahgunaan keadaan kedalam NBW dilatarbelakangi pertimbangan hukum dalam berbagai putusan hakim. Terbentuknya ajaran ini disebabkan belum adanya (pada waktu itu) ketentuan dalam Burgerlijke Wetboek (Belanda) yang mengatur hal ini. Ternyata pertimbangan-pertimbangan hakim tidaklah didasarkan pada salah satu alasan

116

pembatalan perjanjian, yaitu cacat kehendak klasik (pasal1321 KUHPer) berupa kesesatan, paksaan, dan penipuan.219

Ajaran penyalahgunaan keadaan sebenarnya bukan hal yang baru ditemukan dalam penyelesaian perkara di bidang hukum perjanjian Indonesia. Sejak 1 Januari 1992, mulai diberlakukannya aliran Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) ke dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW. KUH Perdatanya Belanda) yang dalam praktek peradilan di Indonesia pun sudah menerapkan aliran ini, tetapi belum dirumuskan dalam perundang-undangan Indonesia, hanya termasuk dalam doktrin atau pendapat para sarjana hukum, tempat hakim menemukan hukumnya. Umumnya pembatalan perjanjian dengan kategori penyalahgunaan keadaan yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pertimbangan bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan kepatutan, keadilan, itikad baik, dan lain-lain. Dalam hal ini, kekuasaan hakim untuk mencampuri isi perjanjian dalam perkara pembatalan perjanjian sangat berperan.

Karena masih merupakan doktrin, penyalahgunaan keadaan belum mendapat perhatian khusus dalam praktek hukum di Indonesia. Masih banyak yang berpendapat bahwa doktrin kurang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai hukum dibandingkan dengan undang-undang. Hal ini disebabkan karena Indonesia menganut system kodifikasi, yang adalah hukum tertulis. Sifat tertulisnya perundang-undangan kodifikasi itu menghalang-halangi prosedur penyesuaiannya oleh hakim terhadap tuntutan masyarakat.220

219

Henry.P. Panggabean, 1991, “Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) sebagai alasan baru untuk pembatalan perjanjian,” Varia Peradilan No.70 tahun VI, (selanjutnya disingkat Henry.P. PanggabeanII), hal. 133.

220

H.R. Sardjono, 1991, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, Ind Hill-Co, Jakarta, hal. 49.

117

Akibat adanya penyalahgunaan keadaan dalam suatu perjanjian, selain perjanjian dapat dibatalkan karena adanya cacat kehendak, akibat lainnya justru sebaliknya yaitu penetapan terhadap perjanjian yang dapat dibatalkan tersebut. Kedua hukum ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang Membuatnya

Unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.221

Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat sehingga terancam kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328 sebagai berikut.

Pasal 1321: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Pasal 1322: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan”. Pasal 1324: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila

221

Dian Fitriana, “Pembatalan Perjanjian Suatu Perbandingan antara Sistem Indonesia dengan Sistem Common Law, Media Soerjo, Vol.4, No.1, hal.3.

118

perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan”.

Pasal 1323: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”.

Pasal 1325: “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah”.

Pasal 1328: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira melainkan harus dibuktikan”.

Subekti menjelaskan bahwa kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Mariam Darus Badrulzaman menguraikan bahwa kekhilafan dapat terjadi mengenai orang yang dinamakan error in persona, dan kekhilafan atau kesesatan mengenai hakikat barangnya yang disebut error in substantia. Lebih lanjut, menurut Herlien Budiono, kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan itu dapat bersifat sebenarnya dan dapat pula bersifat semu. Kekeliruan yang sebenarnya terjadi dalam hal antara kehendak dan pernyataan para pihak saling berkesesuaian, namun kehendak salah satu pihak atau kedua pihak terbentuk secara cacat. Artinya, perjanjian memang telah terbentuk namun terjadinya perjanjian itu berada di bawah pengaruh kekeliruan atau

119

kesesatan sehingga bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya maka tidak akan terbentuk perjanjian.222 Subekti juga menyebutkan bahwa “kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.” Dalam kekeliruan yang bersifat semu, menurut Herlien Budiono, sebenarnya tidak terbentuk perjanjian sebab pada situasi seperti itu belum terbentuk kata sepakat di antara para pihak sehingga belum memenuhi unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian.

Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam perjanjian tersebut, hal ini terlihat dari Pasal 1323 KUH Perdata.223

Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik orang tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan

222 Ibid. 223

Subekti III, Op.cit. hal. 20

120

milik pihak ketiga.224 Hal ini tampak dari ketentuan dalam Pasal 1325. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa pembuat undang-undang membedakan antara paksaan yang membuat perjanjian mengandung unsur cacat kehendak dari pihak yang membuatnya sehingga terancam pembatalan, dengan rasa takut karena hormat kepada anggota keluarga dalam garis lurus ke atas. Hal ini tampak dari bunyi Pasal 1326, yaitu bahwa “Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis lurus ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan”. Alat atau sarana yang dipakai untuk mengancam dapat berupa sarana yang tergolong legal ataupun illegal, misalnya senjata tajam atau pistol, sedangkan sarana yang legal, misalnya ancaman penyitaan harta benda ataupun ancaman kepailitan.225

Penipuan terjadi bila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu atau tidak benar disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan pihak lawan.226 Herlien Budiono juga menjelaskan bahwa penipuan terjadi tidak saja jika suatu fakta tertentu dengan sengaja disembunyikan atau tidak diungkap, tetapi juga bila suatu informasi yang keliru sengaja diberikan, atau bisa juga terjadi dengan tipu daya lainnya.227 Dalam hal penipuan ini, jarang terjadi bahwa si pelaku hanya melakukan kebohongan suatu hal, 224

Herlien Budiono I, Op.cit. hal. 97. 225

Herlien Budiono I, Op.cit. hal. 98 226

Subekti III, Op.cit, hal. 22. 227

Herlien Budiono III, Op.cit hal. 99.

121

melainkan ia melakukan suatu rangkaian kebohongan. Hal ini tampak dari pilihan frasa dalam pasal di atas, yaitu ‘tipu muslihat’. Untuk menetapkan dan membuktikan adanya hubungan kausalitas antara penipuan dan dilakukannya perbuatan hukum berupa membuat persetujuan, harus dapat ditunjukkan bahwa tanpa adanya penipuan itu, persetujuan untuk membuat perjanjian tidak akan pernah dilakukan.

Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya”. Kalimat terakhir pasal itu, yaitu ‘menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya’ menunjukkan bahwa perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya tidak otomatis batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, tetapi menjadi batal apabila ada penuntutan untuk membatalkannya.

Subekti mengatakan bahwa ketidakbebasan seseorang dalam memberikan persetujuan pada sebuah perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak bebas dalam menyatakan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjian.228 Lebih lanjut, disebutkan bahwa “dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang tersebut tidak boleh minta pembatalan itu; hak meminta pembatalan hanya

228

Subekti III, Op.cit, hal. 23.

122

ada pada satu pihak, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan tersebut”.229

Pihak-pihak yang tidak memiliki kehendak bebas ketika membuat perjanjian karena ada paksaan, atau kekeliruan/kekhilafan, atau penipuan, dapat menuntut pembatalan terhadap perjanjian tersebut dalam kurun waktu tidak lebih dari 5 tahun terhitung sejak hari ketika paksaan itu berhenti, atau dalam hal kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Batas waktu penuntutan pembatalan perjanjian ini dapat lebih pendek apabila hal ini diatur demikian oleh undang-undang.230 Norma hukum ini ditemukan dalam Pasal 1454 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi “Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan UU khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai berlaku ... dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal penyesatan atau penipuan sejak hari diketahuinya penyesatan atau penipuan itu”.

Pihak-pihak yang ketika membuat perjanjian tidak memiliki kecakapan hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dapat menuntut pembatalan perjanjian yang dibuatnya itu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1331 KUH Perdata sebagai berikut “... orang yang tidak cakap membuat persetujuan boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat...”. Pihak ini, dalam hal seorang anak yang belum dewasa, adalah 229

Subekti III, Op.cit, hal. 23-24. 230

Fauzan Ali Warman, 2010, Hukum Perikatan, Pustaka Abadi, Jakarta, hal.23.

123

sang anak itu sendiri apabila ia sudah mencapai usia dewasa atau orang tua atau walinya. Apabila pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum tersebut adalah orang yang berada di bawah pengampuan, pihak yang berhak meminta pembatalan perikatan adalah sang pengampunya.231

Kemudian, Pasal 1450 KUH Perdata juga menyebutkan bahwa “Dengan alasan telah dirugikan, orang-orang dewasa, dan juga anak-anak yang belum dewasa bila mereka dapat dianggap sebagai orang dewasa, hanyalah dapat menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal-hal khusus yang ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan kata lain, menurut Subekti, perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif berupa kecakapan melakukan tindakan hukum dari si pembuat perjanjian, tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.232

Pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat menuntut pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya dalam jangka waktu maksimum 5 tahun, terhitung sejak tanggal kedewasaan dalam hal pihak tersebut belum dewasa ketika membuat perjanjian, atau sejak tanggal pencabutan pengampuan dalam hal pihak tersebut berada dalam pengampuan ketika membuat perjanjian. Norma ini ditemukan dalam Pasal 1454 KUH Perdata yang berbunyi “Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan

231 Ibid. 232

Ketut Artadi dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, hal. 61-65.

124

UU khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai berlaku dalam hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaan, dalam hal pengampuan sejak hari pencabutan pengampuan ... dstnya”.233

Walaupun pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya, hal ini tidak berlaku apabila perikatan itu ternyata diterbitkan dari suatu kejahatan atau pelanggaran atau yang telah menerbitkan kerugian bagi orang lain. Hal ini ditemukan dalam ketentuan Pasal 1447 KUH Perdata yang berbunyi “Ketentuan pasal yang lalu tidak berlaku untuk perikatan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran atau dari suatu perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Begitu juga kebelumdewasaan tidak dapat diajukan sebagai alasan untuk melawan perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa dalam perjanjian perkawinan dengan mengindahkan ketentuan Pasal 151, atau dalam persetujuan perburuhan dengan mengingat ketentuan Pasal 1601 g, atau persetujuan perburuhan yang tunduk pada ketentuan Pasal 1601 h”.234

Harus diperhatikan pula bahwa batas waktu 5 tahun yang ditetapkan dalam Pasal 1454 KUH Perdata hanya berlaku untuk penuntutan pembatalan, dan tidak berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan di depan hakim sebagai pembelaan atau tangkisan. Untuk hal

233

Abdul Khakim, 2003, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.151.

234 Ibid.

125

terakhir ini, dapat dilakukan kapan saja. Artinya, terbuka 2 cara untuk meminta pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian.235 Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif bertindak sebagai penggugat agar perjanjian tersebut dibatalkan. Kedua, pihak yang berkepentingan menunggu sampai ia digugat di muka hakim untuk memenuhi isi perjanjian tersebut. Pada saat itulah, dia di depan hakim dapat mengemukakan bahwa ketika membuat perjanjian itu, ia belum cakap hukum, atau dia memberi persetujuan karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan sehingga kemudian dia meminta agar perjanjian tersebut dibatalkan oleh hakim.236 Dalam situasi terakhir inilah tidak berlaku batas waktu 5 tahun tersebut. Norma hukum ini tampak dalam Pasal 1454 ayat (2) KUH Perdata yang menyebutkan: “Waktu tersebut di atas, yaitu waktu yang ditetapkan untuk mengajukan tuntutan, tidak berlaku terhadap kebatalan yang diajukan sebagai pembelaan atau tangkisan yang selalu dapat dikemukakan”.

b. Penguatan/Penetapan Perjanjian ‘Yang Dapat Dibatalkan’

Apabila jangka waktu lima tahun dalam Pasal 1454 terlewati, namun mereka yang berada dalam keadaan paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, tidak mengajukan pembatalan perjanjian, akibatnya perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak walau tidak memenuhi unsur subjektif sahnya perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1327 KUH Perdata yang

235

Subekti III, Op.cit. hal. 24. 236

Ridwan Khairandy II, Op.cit. hal. 223

126

menyatakan bahwa “Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi bila setelah paksaan berhenti persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh UU untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya”.237

Demikian pula bila setelah paksaan atau kekhilafan atau penipuan itu berakhir pihak yang berada di bawah paksaan, kekhilafan atau penipuan tersebut kemudian membenarkan persetujuan yang telah diberikannya, baik secara tegas ataupun diam-diam maka penuntutan pembatalan perjanjian menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diatur dalam Pasal 1456 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan, gugur jika perikatan itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam, sebagai berikut ... oleh orang yang mengajukan alasan adanya paksaan, penyesatan atau penipuan, setelah paksaan itu berhenti atau setelah penyesatan atau penipuan itu diketahuinya.”238

Hal yang sama juga berlaku untuk perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Apabila perjanjian seperti ini dikuatkan sendiri secara tegas ataupun diam-diam oleh mereka yang tidak cakap hukum itu, perjanjian tersebut menjadi tetap berlaku dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak cakap hukum yang melakukan penegasan/penguatan/penetapan perjanjian tersebut adalah (a) bila ketika 237

Agoeng Karsajiwa, 2006, “Perlindungan Hukum Bagi Debitur dalam Pelaksanaan Perjanjian Standar di Bandar Lampung,” Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, hal.26.

238

Ketut Artadi, Op.cit, hal. 63

127

membuat perjanjian dia adalah anak-anak maka penegasan tersebut dilakukan ketika dia dewasa; (b) bila ketika membuat perjanjian dia berada di bawah pengampuan maka penegasan dilakukan setelah pengampuannya dihapuskan.239

Penegasan atas perjanjian yang dapat dibatalkan ini dapat dilakukan secara tegas melalui pembuatan akta pengesahan ataupun akta penguatan sebagaimana diharuskan oleh KUH Perdata. Hal ini diatur dalam Pasal 1892 KUH Perdata yang berbunyi “(1) Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya dapat menjadi dasar tuntutan tersebut; (2) Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah; (3) Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela dalam bentuk dan pada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga”.240

239

Agoeng Karsajiwa, Op.cit, hal.26. 240

Herlien Budiono, 2012, “Perwakilan, Kuasa dan Pemberian Kuasa”, Makalah, disampaikan pada Kongres XXI Ikatan Notaris Indonesia, Yogyakarta, hal.180 (selanjutnya disebut Herlien Budiono II).

128

Jadi, menurut Pasal 1892, perbuatan hukum yang dapat dibatalkan karena adanya cacat yang tidak berakibat batal demi hukum, masih dapat disahkan melalui penetapan ataupun penguatan dengan akta yang bentuknya diharuskan oleh undang-undang. Akta penetapan atau akta penguatan harus mencantumkan isi pokok perbuatan dan alasan yang menyebabkan dapat dituntutnya pembatalan serta maksud untuk memperbaiki cacat yang sedianya menjadi dasar tuntutan pembatalan.241 Akta semacam itu mengakibatkan dilepaskannya hak untuk membatalkan