• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur-Unsur Penyalahgunaan Keadaan Menurut Doktrin, Netherlands New Civil Code

2.3 Penyalahgunaan Keadaan

2.3.2 Unsur-Unsur Penyalahgunaan Keadaan Menurut Doktrin, Netherlands New Civil Code

101

tepat menyatakan perjanjian yang terjadi di bawah pengaruh penyalahgunaan keadaan akan selalu bertentangan dengan kebiasaan yang baik yang menyangkut dengan isi perjanjian itu sendiri (sebab yang halal).

Sehubungan dengan masalah itu, Setiawan mengungkapkan bahwa Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja dalam ceramah di Jakarta pada tanggal 21 November 1985 menyatakan bahwa penyalahgunaan (keadaan) sebagai faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua pihak.191 Penggolongan penyalahgunaan keadaan tersebut sebagai bentuk cacat kehendak dalam kesepakatan adalah lebih tepat.

2.3.2 Unsur-Unsur Penyalahgunaan Keadaan Menurut Doktrin, Netherlands New Civil Code

Penyalahgunaan keadaan mengandung dua unsur, yaitu:

a. unsur penyalahgunaan keadaan (kesempatan) oleh pihak lain; dan b. unsur kerugian bagi satu pihak

Van Dunne membedakan unsur petama tersebut menjadi dua, yaitu penyalahgunaan keunggulan ekonomis dan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan, yang diuraikan sebagai berikut192:

a. Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomis, yaitu:

1) satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain 2) pihak lain terpaksa dalam mengadakan perjanjian

191

Henry P. Panggabean, Op.cit, hal. 43. 192

Ibid, hal 44.

102

b. persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan kejiwaan:

1) salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami dan istri, dokter dan pasien, pendeta dan jemaat

2) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya.

Keunggulan ekonomis atau kekuasaan ekonomi (economish overwicht)193 pada salah satu pihak merupakan salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan sehingga dapat mengakibatkan tidak sahnya suatu kesepakatan dalam perjanjian (kehendak yang cacat). Menurut Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan.194 Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang.

Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Sebagai contoh, jika ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan,

193

Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, Jakarta, hal. 54.

194 Ibid.

103

maka hakim wajib memeriksa dan meneliti faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal,tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut195. Begitupula kalau nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang

positie), maka hakim wajib meneliti apakah terjadi penyalahgunaan kekuasaan

ekonomis.196 Selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak.197 Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis.198

Penyalahgunaan keadaan dalam Artikel 3.44.1 Nieuw Burgerlijke Wetboek (NBW) yang menentukan bahwa een rechtshandeling is vernietigbaar, wanneer

zij door bedreiging, door bedrog of door misbruik van omstandigheiden

(terjemahan bebas : perbuatan hukum dapat dibatalkan apabila karena adanya ancaman, karena penipuan, atau karena penyalahgunaan keadaan. Dengan demikian pasal ini mengenal 3 (tiga) macam cacat kehendak yaitu :

1. Ancaman (bedreiging); 2. Penipuan (bedrog); dan

3. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden).

Ancaman itu ada menurut Artikel 3.44.2 NBW Belanda, jika seseorang yang menyebabkan orang lain melakukan perbuatan hukum tertentu secara

195 Ibid. 196 Ibid. 197 Ibid. 198 Ibid.

104

melawan hukum mengancam dia atau pihak ketiga dengan melakukan kejahatan kepada dirinya atau harta bendanya, melakukan ancaman.

Kemudian menurut Artikel 3.44.3 NBW Belanda, penipuan itu terjadi manakala seseorang yang menyebabkan orang lain untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksudkan dengan sengaja memberikan informasi yang tidan benar, dengan sengaja menyembunyikan suatu fakta padahal yang bersangkutan harus menyampaikan fakta itu, atau dengan cara tipu muslihat lainnya.199

Berkenaan dengan penyalahgunaan keadaan, Artikel 3.44.4 NBW Belanda menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan terjadi jika seseorang mengetahui atau seharusnya mengetahui orang lain yang melakukan suatu perbuatan hukum sebagai akibat dari keadaan khusus, seperti keadaan darurat, ketergantungan, kecerobohan, keadaan jiwa yang tidak normal, atau tidak berpengalaman dan yang mendorong lahirnya perbuatan hukum, padahal ia mengetahui atau seharusnya mengetahui seharusnya tidak melakukan itu, melakukan suatu penyalahgunaan keadaan.

Cacat kehendak yang lain yakni kesesatan (dwaling) diatur dalam Buku 6 NBW Belanda. Artikel 6.228.1 NBW Belanda menentukan, een overeenkomst die

is tot stand gekomen onder invloed van dwaling en bij een juiste voorstelling van zaken niet zou zijn gesloten, is vernietigbaar (terjemahan bebas : suatu perjanjian

yang lahir (terjadi) karena pengaruh kesesatan dan apabila dia mendapat gambaran sebenarnya, maka perjanjian itu tidak akan dibuat, maka perjanjian itu dapat dibatalkan):200

199

Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90. 200

Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90.

105

1. Indien de dwaling is wijten is aan een inlichting van wederpartij, tenzij

deze mocht aannemen dat de overeenkomst ook zonder deze inlichting zou worden gesloten (terjemahan bebas : apabila kesesatan itu disebabkan oleh

penjelasan yang keliru dari kedua belah pihak, kecuali apabila perjanjian itu dapat diterima dan ditutup walaupun tanpa adanya penjelasan tersebut); 2. Inden de wederpartij in verband met hetgeen zij omtrent de dwaling wist of

behoorde te weten, de dwalende had behoren in te lichten (terjemahan

bebas : apabila kedua pihak mengetahui atau patut mengetahui adanya kesesatan itu, seharusnya mereka berupaya mendapatkan penjelasan terlebih dahulu);201

3. Indien de wederpartij bij het sluiten van de overeenkomst van dezelve

onjuiste veronderstelling als de dwalende is uitgegaan, tenzij ook bij een juiste voorstelling van zaken niet had behaeven te begrijpen dat de dwalende daardoor van het sluiten van de overeenkomst zou worden afgehouden (terjemahan bebas : apabila kedua belah pihak yang menutup

perjanjian mempunyai pandangan keliru yang menimbulkan kesesatan kecuali apabila dia tidak perlu mengetahui tentang pandangan yang sebenarnya itu bahwa kesesatan itu timbul dari perjanjian yang telah ditutup itu).202

Selanjutnya menurut Artikel 6.228.2 NBW Belanda, de vernietigbaar kan

niet worden gegrond op een dwaling die een uitsluitend toekimstige omstandigheid betreft of die verband met de aard van de overeenkomst, de I het

201

Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90. 202

Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90.

106

verkeer geldende opvatingen of de omstandigheiden van het geval rekening van de dwalende behoort te blijven (terjemahan bebas : pembatalan itu tidak dapat

didasarkan pada suatu kesesatan yang akan ditutup pada masa yang akan datang atau yang berhubungan dengan dasar perjanjian itu, yang mana keadaan yang keliru itu adalah merupakan tanggungjawab dari yang keliru itu).203

Dari kedua ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa hukum kontrak Belanda mengenal ada 4 (empat) macam cacat kehendak, yaitu:

1. Ancaman; 2. Penipuan;

3. Penyalahgunaan keadaan; dan 4. Kesesatan

Berkaitan dengan ancaman dan penipuan dalam konteks hukum Perdata Belanda, tidak hanya berhubungan dengan persoalan pembatalan kontrak (atau perbuatan hukum yang lain), tetapi juga berkaitan dengan orang yang bertanggungjawab dalam perbuatan melawan hukum.

Undue influence (penyalahgunaan keadaan juga diatur dalam The Netherlands New Civil Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda

yang Baru). Pengaturan penyalahgunaan keadaan tersebut diatur dalam Artikel 4.2

Netherlands New Civil Code tentang mistake and undue influence (kesalahan dan

penyalahgunaan keadaan).

Article 4.2 Netherlands New Civil Code menyatakan when a party buys

goods under the influence of a mistake (Art. 6:228 DCC), traditionally two options exist: either the party annuls the contract, or he does not use this remedy

203

Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90.

107

and leaves the contract as it is (terjemahan bebas : ketika sebuah pihak membeli

barangbarang di bawah pengaruh dari sebuah kesalahan (Pasal 6:228 KUHPdt Belanda), secara tradisional maka akan ada dua pilihan: apakah pihak tersebut membatalkan kontrak, atau ia tidak menggunakan langkah ini dan membiarkan kontrak seperti apa adanya).204

Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa perjanjian dapat dibatalkan atau tidak dibatalkan oleh pihak yang dirugikan melalui keputusan hakim. Sebagaimana ketentuan selanjutnya dalam Article 4.2 tersebut yang berbunyi

Moreover, there is an important new option: upon the demand of one of the parties, the judge may instead of pronouncing the annulment modify the effects of the contract to remove the prejudice of the party entitled to the annulment (Art. 6:230 (2) DCC) (terjemahan bebas : lebih lagi, ada pilihan baru yang penting: atas

permintaan dari salah satu pihak, hakim dapat ketimbang menyakatan pembatalan merubah efek dari kontrak untuk menghilangkan praduga dari pihak yang berhak atas pembatalan (Pasal 6:230 (2) KUHPdt Belanda)).205

Lebih lanjut Article 4.2 Netherlands New Civil Code mengatur regarding

one other vice of consent, the undue influence (abuse of circumstances), a similar provision is given (Art. 3:54 (2) DCC). The legislator is reluctant to expand this approach further to all vices of consent, or to all annullabilities though a number of scholars pleaded in favour of such an expansion. No one should against his will stay bound to someone else who threatened or deceived him, the legislator argues

204

Jaap Hijma dan Henk Snijders, 2010, The Netherlands New Civil Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang Baru), National Legal Reform Program, Jakarta, hal.16.

205 Ibid.

108

(terjemahan bebas : terkait dengan syarat kesepakatan lainnya, pengaruh buruk (penyalahgunaan keadaan), ketentuan serupa telah tersedia (Pasal 3:54 (2) KUHPdt Belanda). Legislator enggan untuk memperluas pendekatan ini lebih jauh untuk seluruh kesepakatan (vices of consent) atau seluruh pembatalan meskipun sejumlah ahli hukum meminta perluasan tersebut. Tidak seorangpun di luar keinginannya terikat pada orang lain yang mengancam atau menipunya, demikian argumentasi dari legislator).206

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa pengaturan mengenai penyalahgunaan keadaan telah diatur dalam Pasal 3.54 ayat (2) Netherlands New

Civil Code (KUHPdt Belanda), namun legislator atau pembuat undang-undang

kurang bersedia memperluas pengaturan penyalahgunaan keadaan dengan alasan bahwa tidak ada satu orangpun yang membuat perjanjian di luar kehendaknya apalagi jika orang tersebut merasa diancam/dipaksa atau melalui penipuan.207

Selanjutnya kekuasaan yuridis untuk mengadaptasi kontrak memiliki ketentuan ekstra yudisial yang paralel dalam Pasal 6:230 ayat (1) KUHPdt Belanda, yang menyatakan bahwa kekuasaan untuk membatalkan sebuah kontrak berdasarkan adanya kesalahan, ketika pihak lainnya mengajukan perubahan atas efek dari kontrak yang menghapuskan kerugian pihak yang berhak atas pembatalan kontrak tanpa interpensi hakim. Hal ini juga diatur dalam Article 4.2

Netherlands New Civil Code yang menyatakan the adaptation of the contract thus can be enforced without the interference of a judge. If the proposition of the other party adequately removes the prejudice, the mistaken party should accept this

206 Ibid. 207

Ibid.

109

proposition; if not, his power to annul the contract ends anyway (terjemahan

bebas : adaptasi dari kontrak dengan demikian dapat ditegakkan tanpa intervensi dari hakim. Jika penawaran dari pihak lainnya menghapuskan praduga, pihak yang merasa disalahi harus menerima tawaran ini; jika tidak, kekuasaannya untuk membatalkan kontrak pun tetap akan berakhir). Ketentuan serupa juga berlaku untuk kasus penyalahgunaan keadaan (Pasal 3:54 ayat (1) KUHPdt Belanda).208

Ketentuan dalam Article 4.2 Netherlands New Civil Code tersebut di atas dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Hal ini dipertegas lagi dalam Article 6.2 yang menyatakan : in various ways, the Code

aims to protect so-called weak(er) parties against so-called strong(er) parties. Apart from a number of traditional provisions like those on incapacity (art. 3:32 DCC), threat, deceit and undue influence (Art. 3:44 DCC), this trend especially shows in Books 7-7A regarding the various special contracts. Among the protected parties are the consumer (Title 7.1), the tenant (Title 7.4), the commercial agent (Title 7.7.3), the patient (Title 7.7.5), the traveller (Title 7.7A), the employee (Title 7.10) and the private surety (Title 7.14). The relevant provisions repeatedly derive from European Directives; consumer protection is one of the areas of civil law on which the European Union concentrates

(terjemahan bebas : dalam berbagai cara, kitab ini mengarah pada perlindungan apa yang kita sebut sebagai pihak yang (lebih) lemah dari pihak yang (lebih) kuat. Selain dari ketentuan tradisional seperti ketidakcakapan (Pasal 3:32 KUHPdt Belanda), ancaman, penipuan, dan penyalahgunaan keadaan (Pasal 3:44 KUHPdt Belanda). Tren ini terutama terlihat pada Buku 7-7A mengenai berbagai kontrak

208 Ibid.

110

khusus. Di antara pihak yang dilindungi adalah termasuk konsumen (Judul 7.1), penyewa (Judul 7.4), agen komersial (7.7.3), pasien (Judul 7.7.5), orang yang bepergian (Judul 7.7A), karyawan (Judul 7.10) dan hutang perusahaan (Judul 7.14). Ketentuan terkait kembali diambil dari European Directives; perlindungan konsumen adalah salah satu area dari hukum perdata yang merupakan perhatian dari Uni Eropa).209

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengaturan penyalahgunaan keadaan yang diatur dalam Article 4.2 Netherlands New Civil

Code dimaksudkan untuk memberi perlindungan pada pihak yang kedudukannya

lebih lemah di dalam suatu kontrak.

Dalam perkembangannya, penggunaan ajaran penyalahgunaan keadaan telah diterapkan dalam berbagai perkara yang masuk proses pengadilan. Hal ini menandakan bahwa ajaran penyalahgunaan keadaan telah dikenal dan bukan merupakan ajaran baru dalam bidang hukum perdata. Pada dasarnya, dalam pembuatan perjanjian yang terjadi dalam kondisi-kondisi tertentu, hal tersebut tidaklah mempunyai pengaruh terhadap sebab/causa perjanjian. Penyalahgunaan keadaan tidak hanya menyangkut prestasi yang tidak seimbang, namun menyangkut juga keadaan-keadaan yang mempengaruhi terjadinya perjanjian. Dalam terjadinya perjanjian, hal yang ingin dicapai oleh salah satu pihak ternyata merupakan hasil penyalahgunaan keadaan terhadap pihak lawan sehingga merugikan pihak lawan tersebut.

Eggens berpendapat bahwa penyalahgunaan keadaan harus dianggap sebagai cacat kehendak dan bahwa tidak ada halangan bagi hakim untuk

209 Ibid.

111

memutuskan demikian. Penyalahgunaan tersebut dianggap ada apabila orang yang mengetahui atau harus mengerti bahwa orang lain yang didorong karena keadaan istimewa, seperti keadaan darurat, keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman melakukan perbuatan hukum.210

Dalam Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Sudikno Mertokusumo, penyalahgunaan keadaan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:211

a. Penyalahgunaan keunggulan ekonomis; b. penyalahgunaan keunggulan kejiwaan; dan c. penyalahgunaan keadaan darurat.

Keadaan darurat yang dimaksud di atas memiliki arti yang luas. Keadaan tersebut tidak hanya meliputi adanya bahwa yang mengancam kesehatan, jiwa, kehormatan, atau kebebasan, melainkan juga kerugian yang mengancam milik maupun reputasi pribadi dan/atau kebendaan. Penyalahgunaan pada keadaan ini berupa sikap tindak untuk memperoleh keuntungan tertentu dengan memanfaatkan keadaan bahaya dari pihak lain. Namun pada dasarnya, penyalahgunaan keadaan darurat ini digolongkan ke dalam kategori penyalahgunaan keunggulan ekonomis.

Secara historis, penyalahgunaan keunggulan ekonomis lebih sering digunakan oleh hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan. Dalam penyalahgunaan keunggulan ekonomis, terdapat kerugian yang jelas dan konkret

210

Henry P. Panggabean, Op.cit, hal. 27. 211

Sudikno Metrokusumo, 1987, “Dewan Kerjasama Ilmu Hokum Belanda Dengan Indonesia’, Proyek Hukum Pedata, Medan, Hal.27

112

yang dialami salah satu pihak. Hingga sekarang, dalam beberapa perjanjian dapat dilihat adanya keunggulan ekonomis dari salah satu pihak. Sehingga, untuk mendapatkan prestasi tertentu yang sangat dibutuhkan, suatu pihak terkadang harus menerima klausul dalam perjanjian yang merugikan dirinya.212

Inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis terletak pada adanya inequality

of bargaining power yang harus dihadapi oleh pihak yang lemah dan tidak dapat

dihindari. Pihak yang kedudukan ekonominya kuat dapat memaksakan suatu klausul mengingat ketidak seimbangan kondisi yang terjadi. Adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengadakan perjanjian dengan pihak yang memiliki keunggulan ekonomi membuat pihak yang lemah terpaksa membuat perjanjian dan menerima syarat yang diperlukan, tanpa adanya alternatif lain. Dalam Module 3 Interconnection oleh ITU, dikatakan bahwa: “... most of the bargaining power

in negotiations lies with incumbent”.213

Penyalahgunaan keunggulan ekonomis tidaklah semata-mata hanya karena adanya keunggulan salah satu pihak. Perlu diperhatikan kondisi-kondisi lain yang ada pada pembuatan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keunggulan ekonomis. Kondisi-kondisi tersebut yaitu klausul dalam perjanjian, beban dan resiko para pihak, adanya ketergantungan, dan kemungkinan kerugian yang dapat diderita pihak yang lemah.214

Faktor kerugian merupakan faktor yang berkaitan dengan adanya penyalahgunaan keadaan. Dalam pandangan modern, terdapat dua ajaran

212

Gunawan, Johannes, Op.cit, hal.48. 213

Hank Intven McCarthy Tetrault, 2010, Telecommunications Regulation Handbook, InfoDev, Washington, hal.3-1.

214

Muhammad Arifin, 2011, “Penyalahgunaan Keadaan sebagai Faktor Pembatas Kebebasan Berkontrak,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol.14, No.2, hal.288.

113

mengenai kerugian, yaitu kerugian obyektif dan kerugian subyektif. Kerugian obyektif yang dimaksud adalah kerugian ekonomis/finansial, materil, atau kerugian yang nyata/terwujud. Kerugian obyektif terjadi jika dalam suatu perbuatan hukum menimbulkan beban finansial pada salah satu pihak yang diakibatkan misalnya karena ketidak seimbangan prestasi.215

Kerugian subyektif sendiri merupakan segala sesuatu yang menyebabkan orang lain berada dalam posisi yang tidak menguntungkan tanpa dapat dinyatakan secara materi. Kerugian ini cenderung berkaitan dengan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan, sedangkan kerugian obyektif lebih berkaitan dengan penyalahgunaan keunggulan ekonomis.216

Berkembangnya ajaran penyalahgunaan tidak terlepas dari asas iustum

pretium. Asas ini memiliki makna bahwa suatu perjanjian yang mengakibatkan

adanya kerugian ekonomi atau finansial dari salah satu pihak adalah harus dibatalkan, dan kerugian tersebut disebabkan adanya penyalahgunaan keadaan. Hal ini menandakan adanya hubungan erat antara asas iustum pretium dengan penyalahgunaan keadaan.217

Meskipun demikian, ada dua hal yang menyebabkan asas iustum pretium berbeda dengan penyalahgunaan keadaan, yaitu:

a. Pembatalan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan tidak disyaratkan adanya bentuk atau tindakan yang menyebabkan kerugian. Asas iustum pretium sendiri justru menekankan pada adanya kerugian ekonomi yang bertolak dari ketidak seimbangan prestasi para pihak. Penyalahgunaan keadaan dapat dijadikan dasar pembatalan

215

Kim Min Soo, 2005, “Penyalahgunaan Keadaan (undue influence) dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Ditinjau dari Hukum Perjanjian Indonesia”, Disertasi, Universitas Indonesia, hal. 97-98.

216 Ibid. 217

Ibid.

114

perjanjian timbal balik dan juga perbuatan hukum lainnya. Sedangkan asas

iustum pretium digunakan terbatas pada perjanjian saja, mengingat adanya

ketidakseimbangan prestasi dan juga unsur kerugian materi.

b. Demikian halnya dengan dalam suatu tuntutan atau gugatan. Dalam suatu tuntutan atas penyalahgunaan keadaan, pihak yang dirugikan harus dapat menunjukan bahwa pihak lawan menyalahgunakan keadaannya. Sehingga, dasar tuntutan dalam hal ini ditekankan pada adanya penyalahgunaan, bukan adanya kerugian yang ditimbulkan.218

Berdasarkan uraian di atas, saya berpendapat asas iustum pretium secara tidak langsung telah diterapkan dalam hukum Indonesia. Dikaitkan dengan kerugian, iustum pretium tersebut bersifat obyektif. Namun penggunaan iustum

pretium pada dasarnya mengacu pada sebab yang tidak halal dari suatu perjanjian,

karena menekankan pada adanya kerugian yang diderita. Ajaran penyalahgunaan keadaan juga telah diterapkan dalam hukum Indonesia, terbukti dengan adanya putusan-putusan yang didasarkan adanya ajaran ini. Ajaran ini melindungi pihak-pihak tertentu dari penyalahgunaan keadaan pihak-pihak lain yang menyebabkan mereka tidak memberi persetujuan dengan bebas. Sehingga, penekanan ajaran ini terletak pada kehendak yang cacat, bukan causa atau sebab dari suatu perjanjian. Meskipun demikian, ajaran penyalahgunaan keadaan dan asas iustum pretium dapat digunakan secara beriringan.