• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat hukum perbedaan penerapan testimonium de auditu dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus di

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama

Hakim Pengadilan Agama menilai saksi de auditu berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959. Kedua putusan Pengadilan Agama Hakim mengkonstruksikan kesaksian de auditu sebagai Persangkaan. Hakim juga mempertimbangkan bahwa kesaksian de auditu tersebut didapatkan dari Penggugat langsung, maka sangat beralasan untuk diterima. Akibat hukumnya Hakim menerima kesaksian de auditu tersebut, mengabulkan gugatan Penggugat dan menjatuhkan talak satu ba’in shugra Tergugat kepada Penggugat.

Hakim Pengadilan Negeri tidak menggunakan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan diterima atau tidaknya saksi de auditu seperti Hakim di Pengadilan Agama. Apa yang disampaikan oleh saksi tidak menunjukkan telah terjadi keretakan dalam rumah tangga kedua belah pihak, sebaliknya menunjukkan bahwa rumah tangga antara kedua belah pihak masih bisa rukun kembali. Akibat hukumnya Hakim menolak kesaksian de auditu tersebut dan menolak gugatan Penggugat.

Putusan Pengadilan Agama Nunukan Nomor 3/Pdt.G/2014/PA.Nnk memutus dengan putusan verstek. Verstek ialah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir meskipun ia menurut hukum acara harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan apabila tergugat kesemuanya tidak datang menghadap sidang pada sidang pertama, dan apabila perkara diundurkan sesuai Pasal 126 HIR, juga pihak-pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. Apabila tergugat pada sidang pertama hadir dan pada sidang berikutnya tidak hadir bahkan mungkin sampai putusan dijatuhkan maka perkara akan diperiksa menurut acara biasa dan putusan dijatuhkan secara contradictoir (Bambang Sugeng dan Sujayadi, 2012:32) Pengantar hukum acara perdata).

Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan gugatan diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan.

2. Tergugat atau para tergugat tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang sah untuk menghadap.

3. Tergugat atau para tergugat kesemuanya telah dipanggil dengan patut. 4. Petitum gugatan tidak melawan hak.

5. Petitum gugatan cukup beralasan.

Tergugat tidak pernah hadir di persidangan dari sidang pertama sampai dibacakannya putusan sekalipun telah dipanggil dengan patut dan resmi, tidak datang menghadap di muka sidang dan tidak datangnya itu disebabkan suatu halangan yang sah (verstek). Majelis Hakim berpendapat bahwa hak jawab dari Tergugat dinyatakan gugur dan Tergugat dianggap telah mengakui dan membenarkan dalil-dalil gugatan Penggugat. Hakim pada dasarnya dalam menjatuhkan putusan verstek tidak diperlukan pembuktian. Hakim hanya diperintahkan untuk melihat apakah gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan. Tergugat hadir dalam setiap persidangan di Pengadilan Negeri. Tergugat mengajukan jawaban Tergugat, duplik, bukti tertulis dan kesimpulan. Tergugat membantah dalil yang disampaikan oleh Penggugat. Tergugat membantah tuduhan yang disampaikan Penggugat bahwa ia bersikap tempramen,

Tergugat juga membantah tuduhan Penggugat bahwa Tergugat tidak peduli dengan keutuhan rumah tangga dan tidak memberikan nafkah lahir batin, hal tersebut diperkuat dengan keterangan saksi yang menyatakan bahwa anak-anak mereka ikut bersama Tergugat dan Tergugatlah yang membiayai seluruh kebutuhan anak-anak mereka. Tergugat membantah tuduhan bahwa ia mengancam Penggugat menggunakan pisau sehingga melukai bahu kiri Penggugat, hal tersebut diperkuat dengan keterangan saksi bahwa ia hanya mendengar cerita tersebut dari Penggugat dan ia tidak mengetahui ada bekas luka apapun. Sikap Tergugat tersebut menunjukkan bahwa Tergugat ingin mempertahankan rumah tangganya mengingat kedua anak Penggugat dan Tergugat masih membutuhkan pendampingan orang tua untuk kepentingan masa depan anak. Hakim menolak gugatan Penggugat.

Berdasarkan pasal 16 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970 jo. UU No 4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya, artinya apabila salah satu pihak yang berperkara mengajukan alat bukti saksi untuk menguatkan dalil-dalil positanya di pengadilan dan kemudian diketahui bahwa saksi tersebut atau salah satu yang diajukan tersebut memperoleh pengetahuannya tidak berdasar pada apa yang dilihat, didengar maupun dialami sendiri, melainkan merupakan hasil pendengaran atau keterangan dari orang lain (testimonium de auditu), maka Hakim tidak boleh menolak gugatan tersebut dikarenakan tidak tercukupinya alat bukti melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap memahami hukum, pencari keadilan datang kepadanya untuk mohon keadilan. Jika Hakim tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara.

Dalam hal menimbang nilai kesaksian, Hakim harus memperhatikan dengan seksama mengenai kesesuaian atau kecocokan antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari alat bukti lain atau

dari keterangan-keterangan lainnya atau dengan kelogisan. Juga perlu diperhatikan segi lainnya yang lebih meyakinkan, seperti cara saksi bersikap dan berbicara di depan sidang, cara hidup dan lingkungan kehidupan sehari-hari, kedudukan saksi di tengah masyarakatnya dan lain sebagainya. Hal semacam tersebut sulit didetailkan dan sepenuhnya diserahkan kepada intelegensia Hakim sebagai pertanggungjawaban kepada Tuhan dan negara. (Roihan Rasyid, 1991:162). Proses peradilan Hakim tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan meskipun Hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Karena hukum itu sendiri setidaknya harus mencakup tiga nilai identitas, yaitu keadilan hukum (gerectigheid), kemanfaatan hukum (zwechmatigheid/ doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechtmatigheid). Sehingga kerangka berfikir menganalisis fakta hukum dengan mengedepankan aspek filosofis dan sosiologis ketimbang aspek yuridis formalnya terkadang menjadi sebuah pilihan lain bagi seorang Hakim. Oleh karena itu dalam hal ini Hakim harus benar-benar memperhatikan dengan seksama mengenai kesaksian de auditu apakah sesuai dengan alat bukti lain dan tentunya sesuai dengan keyakinan Hakim.

Adanya perbedaan penerapan testimonium de aditu dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama maka Hakim patut mempertimbangkan kapan saatnya saksi de auditu dapat diterima dan digunakan sebagai alat bukti persangkaan atau bahkan alat bukti saksi itu sendiri. Karena persangkaan merupakan alat bukti yang bebas maka Hakim bebas untuk mengkostruksikan saksi de auditu sebagai persangkaan ataupun tidak. Saksi juga merupakan alat bukti bebas maka hakim juga bebas untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan saksi tersebut. Titik fokus utama dari dipakainya saksi de auditu sebagai alat bukti adalah sejauh mana dapat dipercaya ucapan saksi. Menurut Hakim ternyata keterangan saksi de auditu cukup reasonable untuk dapat dipercaya, maka keterangan saksi itu dikecualikan dari de auditu misalnya keterangan testimonium de auditu tersebut didapat dari pihak yang mengalami secara langsung/turun-temurun. Apabila ada alasan yang

kuat untuk mempercayai kebenaran dari saksi de auditu, misalnya keterangan tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok yang dikecualikan maka saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Sebaliknya jika kesaksian de auditu tidak memiliki hubungannya dengan perkara yang yang disengketakan dan keterangan saksi de auditu tersebut terkesan dibuat-buat serta penuh dengan kebohongan, maka Majelis Hakim patut untuk menolak kesaksian tersebut dengan tidak mempertimbangkan kesaksian itu dalam putusannya.

Dasar hukum kesaksian testimonium de auditu tidak diatur secara khusus. Oleh sebab itu, Hakim harus melihat pada keterangan yang diberikan saksi testimonium de auditu bersesuaian atau tidak dengan dalil-dalil gugatan yang telah diajukan. Hakim mengambil dasar dengan melihat pada keadaan kondisi rumah tangga para pihak sesuai dengan yurisprudensi Nomor 543/K/Pdt/1996 tanggal 18 Juni 1996 menyatakan bahwa “perceraian tidak perlu dilihat dari siapa percekcokan itu terjadi atau salah satu pihak telah meninggalkan pihak lain, tetapi juga perlu dilihat adalah perkawinan itu sendiri apakah perkawinan itu masih dapat dipertahankan atau tidak” dan yurisprudensi Nomor 379/K/Ag/1995 tanggal 26 Maret 1997 yang menyatakan bahwa “suami isteri yang tidak berdiam serumah lagi dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi/kembali maka rumah tangga tersebut telah terbukti retak dan pecah dan telah memenuhi alasan cerai Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 agar dapat memutus perkara yang telah diajukan”. Walaupun saksi sudah memberikan keterangan di persidangan di muka Hakim, Hakim tidak dapat dipaksa untuk mempercayai saksi, sebab mungkin saja suatu saksi palsu.

Kebebasan untuk menentukan penilaian Hakim terhadap kesaksian de auditu perlu diatur dalam sebuah aturan tertulis. Hal ini agar tidak terjadi disparitas putusan terhadap pembuktian dengan kesaksian de auditu. Sehingga dalam suatu proses persidangan, apabila para pihak tidak setuju dengan kesaksian de auditu, maka para pihak memiliki dasar dari penolakan tersebut dan Hakim tidak semena-mena dalam memutuskan perkara yang hanya berdasarkan kesaksian de auditu.

Dokumen terkait