• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tatacara Pengangkatan Anak Pada Keluarga Tionghoa

1. Akta Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang

83Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1995, hal. 113

berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Pengangkatan anak di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:85 a. Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia (Domestic Adoption),

yang terdiri dari:

1) Pengangkatan anak bagi mereka golongan yang tunduk pada hukum adat. Pengaturan mengenai pengangkatan anak berdasarkan hukum adat yang berlaku di daerah masing-masing. Pengangkatan anak dalam hukum adat dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu:

(a) Golongan pertama, pengangkatan anak dilakukan dengan memakai upacara-upacara adat (kontan konkrit), yang menyebabkan putusnya hubungan kekeluargaan dengan orang tua kandungnya, sehingga anak angkat berkedudukan sama dengan anak kandung serta hanya mempunyai hubungan kekeluargaan dari orang tua angkat dan berhak mendapat hak waris dari orang tua angkatnya yang merupakan bagian dari harta gono-gini. Contoh: Di daerah Bali dan sebagian besar Kalimantan.

(b) Golongan kedua, yaitu pengangkatan anak (tidak kontan konkrit), di mana pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya hubungan

85Makalah yang dibawakan oleh Tim Delegasi Mahasiswa Notariat Universitas Padjadjaran Bandung Tentang Kewenangan Notaris Terhadap Pembuatan Akta Pengangkatan Anak

kekeluargaan dengan orang tua kandungnya serta status dari anak angkat tersebut seperti anak pelihara saja, sehingga selain ia mendapat hak waris dari orang tua angkat yang merupakan bagian dari harta gono-gini, ia berhak pula mendapat warisan dari orang tua kandungnya yang merupakan bagian dari harta asal maupun harta gono-gini setelah mendapat pengakuan dari orang tua kandungnya (meminum air dari dua sumber). Contoh : Di daerah Jawa Barat. 2) Pengangkatan anak bagi mereka (golongan Timur Asing Tionghoa), di

mana mereka tunduk pada KUHPerdata yang menunjuk Stbl. 1917 No. 129 yang mengatur tentang pengangkatan anak.

Pada awalnya pengangkatan anak hanya diperbolehkan bagi mereka yang mengangkat anak laki-laki saja, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang diperbolehkan oleh syarat-syarat tertentu. Tetapi melihat kepentingan anak dan kemajuan zaman, maka melalui yurisprudensi pemerintah melakukan beberapa perubahan yaitu memperbolehkan pengangkatan anak perempuan dan pengangkatan anak bagi wanita yang belum pernah menikah. Pengangkatan anak menurut Stbl. 1917 No. 129 dengan ancaman batal jika tidak memakai akta Notaris. Tetapi dengan dikeluarkan SEMA No. 2 tahun 1979 yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak, bahwa

pengangkatan anak harus dengan putusan atau penetapan Pengadilan Negeri setempat.

b. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia dengan Warga negara Asing (Inter Country Adoption, meliputi pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh WNI dan dilakukan melalui putusan Pengadilan. Syarat-syarat pengangkatan anak WNI dengan WNA disebutkan di dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaa Perizinan Pengangkatan Anak. Dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1979 dapat dilakukan apabila negara asing tersebut mengenal adanya pengangkatan anak, karena tidak semua Negara di dunia mengenal pengangkatan anak.

Salah satu unsur dalam perbuatan hukum pengangkatan anak adalah adanya kesepakatan antara orang tua anak yang akan di angkat dengan orang tua yang akan mengangkat anak.86 Apabila suatu kesepakan untuk melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian, maka untuk itu berlaku ketentuan dalam KUHPerdata, yaitu ketentuan dalam Pasal 1313 yang menyebutkan : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan untuk syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320, yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri. 86Edison,Op.Cit, hal. 4

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3) Suatu hal tertentu.

4) Suatu sebab yang halal.

Peran Notaris dalam pembuatan perjanjian akta pengangkatan anak dengan dasar hukum ketentuan Stbl. 1917 No. 129 tentang Pengangkatan Anak, yaitu dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1), yang berisikan bahwa “pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan adanya akta Notaris”. Peraturan ini berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa saja (Pasal 6 Stbl. 1917 No. 129), sehingga pengangkatan anak di luar peraturan ini tidak dibenarkan.

Berkaitan dengan peran Notaris tersebut, dalam ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang menjadi acuan bagi Notaris untuk membuat akta pengangkatan anak, yaitu pada Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi : “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.87

Prosedur yang harus dijalankan oleh Notaris dan proses pembuatan akta adalah meminta dokumen-dokuman atau surat-menyurat yang diperlukan untuk

dituangkan di dalam akta. Dokumen yang wajib diminta oleh Notaris untuk dilekatkan fotocopinya dalam Minuta Akta (asli Akta Notaris ) adalah tanda pengenal atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Notaris harus memastikan penghadap sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam akta yang akan dibuat.

Notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab Notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/ penghadap.88

Sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) Notaris berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya:89

a. Tanggung jawab Notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan 88Herman, Sanksi Hukum terhadap Akta Otentik Yang Memuat Keterangan Palsu, http://herman-notary.blogspot.com/2009/03/sanksi-hukum-terhadap-akta-otentik-yang.html, diakses pada tanggal 21 Desember 2013.

kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut:

1) Melanggar hak orang lain;

2) Bertentangan dengan aturan hukum; 3) Bertentangan dengan kesusilaan

4) Bertentangan dengan kepatutuan dalam memperhatikan kepetingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari

b. Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Unsur-unsur dalam perbuatan pidana meliputi:

1) Perbuatan manusia;

2) Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam undang-undang);

3) Bersifat melawan hukum.

4) Tanggung jawab Notaris berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN).

5) Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 UUJN tentang sumpah jabatan Notaris.

Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266

ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.90

Keterangan palsu yang tercantum dalam akta Notaris tersebut membutuhkan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang (Polri), apakah bersumber dari para penghadap yang memberikan keterangan tidak lengkap/tidak jujur, atau memberikan dokumen palsu kepada Notaris yang mengakibatkan lahirnya akta yang cacat hukum. Apabila kesalahan yang terjadi pada pembuatan akta otentik tersebut berasal dari para penghadap dengan memberikan keterangan yang tidak lengkap/tidak jujur dan memberikan dokumen palsu kepada Notaris, maka para penghadaplah yang dikenakan tuntutan pidana oleh pihak lain yang merasa dirugikan dengan terbitnya akta yang mengandung cacat hukum tersebut.91

Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu

90Herman,Op.Cit

91 Edwin Syah Putra, Pertanggung Jawaban Notaris Terhadap Akta Yang Berindikasi

oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu dibuat.92

Menurut hasil wawancara dengan Mohamad Abror SH.MKn, hal-hal yang perlu diperhatikan pada akta pengangkatan anak yang dibuat oleh Notaris pada umumnya antara lain:93

1. Kartu Identitas dan Kartu Keluarga orang tua kandung serta Akta Kelahiran anak.

2. Pernyataan kesediaan dari orang tua kandung bahwa akan menyerahkan anaknya kepada orang tua yang akan mengangkat dan melepaskan segala hak dan kewajiban orang tua yang melekat pada anaknya.

3. Pernyataan kesediaan orang tua angkat yang menyatakan bahwa anak yang akan diangkat tersebut dianggap sebagai anak sendiri yang sah dan oleh karena itu terhadap anak tersebut akan mendapat pendidikan dan pemeliharaan sebagaimana layaknya, dan juga mempunyai hak untuk mewaris dari orang tua yang mengangkat sebagai orang tuanya sendiri.

4. Dan bagi WNI keturunan Tionghoa yang menggunakan sistem kekerabatan patrilineal, yaitu garis keturunan laki-laki, maka nama anak yang diangkat akan dirubah dengan memakai nama kekerabatan dari bapak yang mengangkat.

Hal yang perlu diperhatikan juga, tentang pilihan hukum (choice of law)

terhadap akibat hukum pengangkatan anak sehubungan dengan hak waris yang akan diterima oleh anak angkat, mengingat sistem hukum waris yang ada di negara kita

92Herman,Op,Cit.

93Wawancara dengan Mohamad Abror SH.MKn, Notaris di Kabupaten Serang, tanggal 24 Oktober 2013.

beraneka ragam (pluralisme), yaitu apakah orang tua yang mengangkat anak akan tunduk pada hukum waris KUHPerdata, hukum waris Islam atau hukum waris Adat.94 Acara Temu Ilmiah Badan Kerja Sama Organisasi Notariat Se-Indonesia dalam suatu makalah Tentang Kewenangan Notaris Terhadap Pembuatan Akta Pengangkatan Anak yang dibawakan oleh Tim Delegasi Mahasiswa Notariat Universitas Diponegoro Semarang, pada kesimpulannya (Bab III) memberikan pendapat:

1. Kewenangan Notaris dalam pengangkatan anak di dalam prakteknya masih menimbulkan beberapa persepsi di kalangan para Notaris, di satu pihak Notaris menolak membuat akta pengangkatan anak, karena menunjuk pada SEMA No. 6 tahun 1983, di lain pihak masih ada Notaris yang membuat akta tersebut atas permintaan klien, dan ternyata oleh Pengadilan Negeri akta tersebut diberikan pengesahannya.

2. Prosedur pengangkatan anak sudah cukup jelas diatur dalam SEMA No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No. 2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak dan dilengkapi dengan keputusan Menteri Sosial RI. No. 41/HUK/Kep/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perijinan Pengangkatan Anak.

3. Dengan adanya pengangkatan anak, baik menurut Stbl. 1917 No. 129 atau hukum adat, menimbulkan hak kewarisan bagi anak yang diangkat tersebut, walaupun proporsinya berbeda.95

Dokumen terkait