• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK PADA WARGA TIONGHOA DI KOTA MEDAN A. Kedudukan Hukum Anak Dalam Hukum Keluarga - Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK PADA WARGA TIONGHOA DI KOTA MEDAN A. Kedudukan Hukum Anak Dalam Hukum Keluarga - Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK PADA WARGA TIONGHOA DI KOTA MEDAN

A. Kedudukan Hukum Anak Dalam Hukum Keluarga

Menurut M. Yahya Harahap yang dikutip oleh Denilah Shofa Nasution bahwa dari defenisi perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditemui beberapa pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu :

1) Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

2) Ikatan lahir batin dan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera.

3) Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.47

Dari pengertian di atas jelas terlihat bahwa perkawinan itu bukanlah semata-mata sekedar hubungan keperdataan, akan tetapi merupakan ikatan yang suci yang melibatkan agama dan sosial sebagai suatu indikator keabsahan suatu perkawinan. Hal ini juga dapat diperhatikan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa :

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai

47Denilah Shofa Nasution,Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya (Kajian Pada Etnis Tionghoa di Kota Medan),Tesis Program

(2)

peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familie recht (Belanda) ataulaw of family(Inggris). Ali Afandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.48

Sedangkan menurut Algra, dkk, yang dikutip oleh Salim HS, menyebutkan bahwa hukum keluarga adalah mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga. Yang termasuk dalam hukum keluarga ialah peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian.49

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 298 disebutkan bahwa: tiap-tiap anak dalam umur berapa pun juga, wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap Bapak dan Ibunya. Si Bapak dan si Ibu keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 45 sampai dengan Pasal 49, mengatur tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak, sebagai berikut:

1. Pasal 45 mengatakan “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak-anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri”.

48Ali Afandi,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,Rieneka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 93.

(3)

2. Pasal 46 mengatakan “anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik dan jika telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya”.

3. Pasal 47 mengatakan “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya dan orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

4. Pasal 48 mengatakan “orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya.

(4)

B. Pengangkatan Anak Angkat

Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”50.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan :

“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan Pengadilan”.

Hukum adat mengenal 2 (dua) macam pengangkatan anak, yaitu51:

1. Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap keluarga, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibatnya hubungan hukum antara anak dengan orang tua biologisnya putus.

2. Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat.

50Muderis Zaini,Adopsi (Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum),Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 32

51Suci Wulansari,Pengangakatan Anak,

(5)

Pengangkatan anak model ini, akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya. Oleh karena itu ia mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dari orang tua asli atau orang tua biologisnya dan orang tua angkatnya. Pelaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam lazimnya dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.52

Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, hubungan anak tersebut dengan orang tua biologisnya putus dan ia masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya.

Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi.

1. Pengertian secara etimologi, pengangkatan anak merupakan terjemahan dari kata “adoptie” (bahasa Belanda) atau “adopt” (bahasa Inggris). Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. Sedangkan dalam bahasa Inggris berarti pengangkatan anak dalam keluarga.

2. Pengertian secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa

(6)

pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.53 Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah “suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.54

Berdasarkan tuntutan masyarakat dan karena dalam KUHPerdata tidak ada aturan tentang pengangkatan anak, sedang pengangkatan anak itu sendiri sangat lazim terjadi di masyarakat, maka pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang pengangkatan anak.

Pada tahun 1917, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. No. 129, khusus Pasal 5 sampai 15 mengatur masalah pengangkatan anak untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak saat itulah Stbl. 1917 No. 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing.55

Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum yang termasuk perbuatan hukum di bidang hukum perdata dan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, bagaimanapun juga lembaga pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan.

Pengangkatan anak dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu pengangkatan anak dari aspek kepastian hukum status anak yang diangkat dan aspek kesejahteraan sosial, yaitu meningkatkan kesejahteraan anak.

Adapun ketentuan hukum tentang pengangkatan anak yang dapat dikategorikan berlaku bagi anak angkat golongan WNI keturunan Tionghoa adalah:

53WJS. Poerwadarmina,Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1998,, hal. 4

(7)

1. Stbl. 1917 No. 129.

Pengangkatan anak yang khusus berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa (istilah yang digunakan untuk pengangkatan anak dalam ketentuan ini adalah

“adoptie”). Menurut ketentuan ini yang dapat mengangkat anak adalah seorang laki-laki atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya.56

Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 disebutkan bahwa yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain. Orang yang diangkat harus paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling sedikitnya 15 tahun lebih muda dari pada si isteri atau janda yang mengangkatnya.57

Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputus hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak bagi orang-orang golongan Warga Negara Indonesia

56Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5.

(8)

keturunan Tionghoa sebagaimana diatur dalam Stbl. 1917 No. 129 adalah untuk meneruskan atau melanjutkan keturunan dalam garis laki-laki.58

Namun ketentuan-ketentuan dalam Staatsblaad 1917 telah mengalami perubahan dan perkembangan antara lain dengan adanya putusan dari beberapa Pengadilan Negeri seperti yang dikemukakan dalam media ‘PROJUSTITIA’ yang antara lain disebutkan:59

a. Pada tahun 1963 telah terjadi pengangkatan anak perempuan yang dilakukan oleh Pengadilan Negei Istimewa Jakarta dalam putusannya tanggal 29 Mei 1963 Nomor 907/1963;

b. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 Nomor 588/1963 G, yang sering disebut Jurisprudensi untuk pengangkatan anak perempuan;

c. Penetapan Pengadilan Negeri Bandung dalam penetapannya tanggal 26 Pebruari 1970 Nomor 32/1970 mengenai pengangkatan anak perempuan oleh seorang wanita yang tidak menikah, dengan pertimbangan sebagai berikut:

“menimbang, bahwa menurut hemat kami yang harus dipertimbangkan lebih dari segalanya adalah kepentingan dari pada si anak dan seterusnya” 2. UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam ketentuan UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan jelas disebutkan bahwa motif pengangkatan anak yang dikehendaki dalam

58 Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya, Bandung, 2000, hal. 18

(9)

pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu demi kepentingan kesejahteraan anak. Dapat diketahui dari perumusan ketentuan Pasal 12 yang selengkapnya berbunyi:

(a)Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

(b)Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

(c)Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.60

Sedangkan yang dimaksud dengan kesejahteraan anak dalam UU ini adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.61 3. UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih banyak kita jumpai anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat.

60Pasal 12 UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

(10)

Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Yang mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.

Dalam Bab VIII bagian kedua ketentuan UU ini, yaitu yang mengatur tentang pengangkatan anak. Dalam Pasal 39 disebutkan bahwa:

(a) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(b) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

(c) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

(d) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

(e) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.62

(11)

Sedangkan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak diatur dalam ketentuan Pasal 41 yang berbunyi:

(a)Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

(b)Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah).

4. Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan No. JHA 1/1/2 tanggal 24 Pebruari 1978 tentang Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia oleh Orang Asing.

Berdasarkan Surat Edaran tersebut, pengangkatan anak Warganegara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta Notaris yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri.63 Selanjutnya dalam Surat Edaran tersebut ditentukan pula syarat-syarat permohonan pengangkatan anak WNI oleh orang asing dan ditentukan bahwa: a. Permohonan itu harus diajukan di Pengadilan Negeri di Indonesia (di mana

anak yang akan diangkat berdiam).

b. Pemohon harus berdiam atau berada di Indonesia, dan pemohon beserta isteri harus menghadap sendiri dihadapan hakim, agar hakim memperoleh keyakinan bahwa pemohon betul-betul cakap dan mampu untuk menjadi orang tua angkat.

(12)

c. Pemohon beserta isteri berdasarkan peraturan perundang-undangan negaranya mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.64

Surat Edaran ini ditujukan kepada semua Notaris, wakil Notaris sementara dan Notaris pengganti di seluruh Indonesia serta berdasarkan alasan karena pada saat itu jumlah pengangkatan anak WNI oleh orang asing ternyata makin meningkat.

5. SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak.

Dalam Surat Edaran ini ditentukan antara lain tentang syarat-syarat permohonan pengesahan/ pengangkatan anak antara WNI oleh orang tua angkat WNA (inter country adoption), pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption) dan juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang Warga Negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption).65

Surat Edaran tersebut ditujukan kepada semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim-hakim Pengadilan Tinggi dan semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim-Hakim-hakim Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.

Surat Edaran ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung yang menghasilkan kesimpulan bahwa

64Ibid, hal. 30

(13)

permohonan pengesahan pengangkatan anak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak semakin hari semakin bertambah baik yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun yang merupakan permohonan khusus pengesahan pengangkatan anak. Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum untuk itu hanya didapat setelah memperoleh suatu keputusan Pengadilan.66

6. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak.

Surat Keputusan Menteri Sosial yang mengatur tentang petunjuk pelaksanaan perizinan pengangkatan anak ini dirasa perlu untuk melengkapi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983.

Dalam Bab II, lampiran Keputusan Menteri tersebut menyebutkan bahwa petunjuk pelaksanaan ini merupakan suatu pedoman dalam rangka pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat adanya kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.67

Pengangkatan anak dalam petunjuk pelaksanaan ini meliputi:

66Husnah,Pelaksanaan Pengangkatan Anak (adopsi) yang Dilakukan oleh Warga Masyarakat di Indonesia,Skripsi Universitas Indonesia,Depok, 2009

(14)

d. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia khusus yang berada dalam asuhan organisasi sosial.

e. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing. f. Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia. 7. SEMA RI No. 4 tahun 1989, tentang Pengangkatan Anak.

Dalam SEMA ini, menyebutkan bahwa mengulang-tegaskan kepada seluruh Pengadilan Negeri untuk mengirimkan salinan putusan/penetapan Pengadilan Negeri mengenai pengangkatan anak kepada instansi terkait dan satu salinan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.68

Dalam SEMA ini juga menyebutkan bahwa sehubungan dengan pengangkatan anak, yaitu untuk lebih mengetahui dan meneliti keadaan para pemohon, anak yang akan diangkat dan orang tua kandung beserta kelengkapan dan kebenaran surat-surat bukti yang harus dipenuhi, maka dalam hal menerima, memeriksa dan mengadili permohonan/pengesahan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption), harus disertai surat keterangan/ laporan sosial atas dasar penelitian petugas/pejabat social setempat dari pemohon/calon orang tua angkat WNI, anak yang akan diangkat dan orang tua kandung WNI sebagai salah satu alat/surat bukti.69

(15)

C. Prosedur dan Syarat-Syarat Pengangkatan Anak.

Di negara Indonesia belum ada ketentuan hukum tentang pengangkatan anak yang bersifat nasional. Sedangkan dalam praktek, prosedur pengangkatan anak dilakukan dengan dua cara yaitu melalui:

1) Prosedur formal, yaitu dengan adanya penetapan dari PN. 2) Prosedur informal, yaitu menurut adat/kebiasaan masyarakat.

Pengangkatan anak secara informal sering menimbulkan sengketa di kemudian hari dalam penetapan apakah anak angkat tersebut menjadi ahli waris atau bukan dari subjek yang mengangkat (adoptan) karena tidak adanya bukti tertulis.

Pengangkatan anak WNI keturunan Tionghoa menggunakan prosedur pengangkatan anak secara formal, yaitu melalui penetapan dari Pengadilan Negeri.70

Prosedur formal pengangkatan anak bagi WNI golongan Tionghoa sebelum dikeluarkan SEMA No. 2 tahun 1979, yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak, yang berwenang melakukan pengangkatan anak adalah Notaris.71 Dalam Stbl. 1917 nomor 129, Bab II Pasal 10 ayat (1), diatur tentang pengangkatan anak, yang berisikan bahwa pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan adanya akta Notaris dan Pasal 10 ayat (4) Stbl. 1917 No. 129 menentukan bahwa “Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada akta kelahiran orang yang diangkat, pada sisi akta itu dicantumkan tentang pengangkatan anak itu”.

70Edison,Op.Cit, hal. 5.

(16)

Penetapan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak adalah salah satu dokumen hukum pengangkatan anak yang sangat penting, karena dengan ditetapkannya seorang anak menjadi anak angkat dari suatu pasangan suami isteri sebagai orang tua angkatnya, maka dapat dipandang bahwa anak angkat tersebut seolah-olah sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga itu, dengan segala hak dan kewajibannya yang dipersamakan dengan anak kandung.72

Setelah dibuatnya akta Notaris mengenai pengangkatan anak, akta tersebut di daftarkan di Kantor Catatan Sipil dan di Kantor Catatan Sipil akta tersebut di catat pada margin/pinggir akta lahir anak tersebut, kemudian akan dikeluarkan petikan akta kelahiran yang baru yang menyebutkan bahwa anak tersebut adalah anak dari orang tua angkat yang mengangkatnya.73

Dalam hal terjadinya pemalsuan pada Akta Kelahiran misalnya merubah tempat kelahiran dan tahun kelahiran, dapat dikategorikan sebagai perbuatan memasukan sebuah keterangan yang tidak benar atau palsu ke dalam akta otentik, dimana akta lahir anak tersebut berisi keterangan yang tidak benar dapat diancam dengan ancaman pidana Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Namun hal penting yang harus diingat disini ialah, Akta kelahiran yang dikeluarkan tersebut harus tetap dianggap benar isinya sampai ada putusan

72Rahmat Jhowanda,Op.Cit,hal. 42.

(17)

pengadilan lainnya yang sudah berkekuatan hukum tetap, membatalkan Akta kelahiran tersebut atau menyatakan sebaliknya.

Setelah dikeluarkannya SEMA No. 2 tahun 1979 yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak, terdapat perubahan yang mendasar, di mana untuk sahnya pengangkatan anak bukan diharuskan dengan adanya akta Notaris, tetapi adanya putusan atau penetapan dari Pengadilan Negeri di mana anak tersebut berdomisili.74Sehingga bagi golongan WNI keturunan Tionghoa berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal untuk sahnya pengangkatan anak, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.

Adapun prosedur pengangkatan dan syarat-syarat pengangkatan anak ditentukan sebagai berikut:75

1. Syarat dan bentuk surat permohonan a. Surat permohonan bersifatvoluntair.

b. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undang.

c. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.

d. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh pemohon sendiri atau oleh kuasa hukumnya

74Soedharyo Soimin,Op.Cit, hal. 70

(18)

e. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama.

2. Isi surat permohonan pengangkatan anak

a. Dalam bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak

b. Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.

c. Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon “agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B.” tanpa ditambah permintaan lain seperti “agar anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari si B.”

Syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar WNI yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut:76

1. Syarat bagi calon orang tua angkat (pemohon):

a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat(private adoption)diperbolehkan.

(19)

b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua yang berstatus kawin dan kurang lebih sudah menikah 5 tahun

c. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah(single parent adoption)diperbolehkan. d. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua tunggal (duda/ janda).

Tetapi bagi janda yang ditinggal mati suaminya dan terdapat wasiat dari suami yang tidak menginginkan untuk mengadopsi anak, maka janda tersebut tidak bisa melakukan adopsi anak (posthumous adoptie). Harus mendapat persetujuan dari keluarga sedarah dalam garis laki-laki dari pihak mendiang suaminya.

2. Syarat bagi calon anak yang diangkat:

a. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak.

b. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

(20)

tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan di dalam tambahan itu disebutkan pula nama orang tua angkatnya.77

D. Perlindungan Hak Waris Anak Angkat.

Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.78 Sebagai akibat dari pengangkatan anak menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan WNI keturunan Tionghoa, menyebabkan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya.

Hukum waris mengatur tentang cara hak-hak dan kewajiban-kewajiban atas harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia akan beralih kepada orang-orang lain yang masih hidup.79Ketentuan mengenai pengangkatan anak termasuk hak waris anak angkat WNI keturunan Tionghoa tidak di atur dalam BW, begitu juga dalam UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974).

Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata, ahli waris karena hukum memiliki barang-barang, hak-hak, dan segala piutang dari orang yang meninggal dunia. Hal ini disebut, mereka (ahli waris) mempunyai “saisine”. Kata itu di ambil dari bahasa

77Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta, Adopsi Anak : Tata Cara dan Akibat Hukumnya, http://www.lbh-apik.or.id/adopsi.htm, diakses pada tanggal 21 Desember 2013.

(21)

Prancis: “le mort saisit le vif”, artinya yang mati di anggap digantikan oleh yang hidup.80

Cara untuk mendapatkan warisan, yaitu sebagai berikut:81 1. Mewaris menurut Undang-undang (ab intestato)

a. Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigenhoofde)

Dilakukan berdasarkan kedudukan masing-masing ahli waris yang berhak mendapatkan warisan menurut golongan-golongan yang sudah ditentukan di dalam KUHPerdata.

b. Mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling)

Dilakukan dengan jalan penggantian tempat terhadap ahli waris yang berhak mendapatkan, namun oleh karena sesuatu hal, maka hak ahli waris tersebut digantikan oleh ahli waris yang lain pada kedudukan yang lebih dengan ahli waris yang berhak mendapatkan harta waris. Para ahli waris pengganti ini dapat ditempati oleh saudara kandung, orang tua, cucu, anak luar kawin. 2. Pewarisan berdasarkan wasiat (testament)– Pasal 874 KUHPerdata

Adanya akta autentik yang berisi pernyataan sepihak untuk menyatakan kehendak si pewaris.

Ahli waris, dalam KUHPerdata digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:

80Soetojo Prawirohamidjojo,Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 6

(22)

1. Anak atau keturunannya dan isteri (suami) yang masih hidup 2. Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara pewaris

3. Kakek dan nenek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas (Pasal 853 KUHPerdata)

4. Sanak keluarga dalam garis kesamping sampai derajat ke enam (Pasal 861 ayat (1) KUHPerdata).

Golongan ahli waris ini ditetapkan secara berurutan, artinya jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewaris semua harta peninggalan pewaris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan kedualah yang berhak sebagai ahli waris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan kedua, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan ketigalah yang berhak mewaris. Jika semua golongan ini tidak ada barulah mereka yang termasuk dalam golongan ke empat secara bertingkat berhak mewaris. Jika semua golongan ini sudah tidak ada, maka negaralah yang mewaris semua harta peninggalan pewaris.82

Para ahli waris dalam garis baik kebawah maupun ke atas, berhak atas suatu “legitieme portie”, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan, dengan kata lain mereka itu tidak dapat “onterfd”. Hak atas legitieme portie, barulah timbul bila seseorang dalam

(23)

keadaan sungguh-sungguh tampil ke muka sebagai ahli waris menurut Undang-undang.83

Apabila para ahli waris menurut Undang-undang tersebut ternyata dikesampingkan (onterfd), mereka mempunyai hak untuk menuntut atas hak waris tersebut. Vollmar mengatakan bahwa “mereka yang dapat mengemukakan hak untuk memperoleh bagian warisan menurut Undang-undang, yaitu yang disebut para

legitimaris,mereka itu hanyalah para kerabat sedarah dalam garis lurus”.84Mengenai hak untuk menuntut secara hukum untuk memperoleh harta warisan dikenal dengan istilah (asas) Hereditatis Petitio yang di atur dalam ketentuan Pasal 834 dan 835 KUHPerdata.

E. Tatacara Pengangkatan Anak Pada Keluarga Tionghoa

Tata cara pengangkatan anak dalam warga Tionghoa dapat dilakukan dengan akta Notaris dan penetapan Pengadilan.

1. Akta Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang

83Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1995, hal. 113

(24)

berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Pengangkatan anak di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:85 a. Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia (Domestic Adoption),

yang terdiri dari:

1) Pengangkatan anak bagi mereka golongan yang tunduk pada hukum adat. Pengaturan mengenai pengangkatan anak berdasarkan hukum adat yang berlaku di daerah masing-masing. Pengangkatan anak dalam hukum adat dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu:

(a) Golongan pertama, pengangkatan anak dilakukan dengan memakai upacara-upacara adat (kontan konkrit), yang menyebabkan putusnya hubungan kekeluargaan dengan orang tua kandungnya, sehingga anak angkat berkedudukan sama dengan anak kandung serta hanya mempunyai hubungan kekeluargaan dari orang tua angkat dan berhak mendapat hak waris dari orang tua angkatnya yang merupakan bagian dari harta gono-gini. Contoh: Di daerah Bali dan sebagian besar Kalimantan.

(b) Golongan kedua, yaitu pengangkatan anak (tidak kontan konkrit), di mana pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya hubungan

(25)

kekeluargaan dengan orang tua kandungnya serta status dari anak angkat tersebut seperti anak pelihara saja, sehingga selain ia mendapat hak waris dari orang tua angkat yang merupakan bagian dari harta gono-gini, ia berhak pula mendapat warisan dari orang tua kandungnya yang merupakan bagian dari harta asal maupun harta gono-gini setelah mendapat pengakuan dari orang tua kandungnya (meminum air dari dua sumber). Contoh : Di daerah Jawa Barat. 2) Pengangkatan anak bagi mereka (golongan Timur Asing Tionghoa), di

mana mereka tunduk pada KUHPerdata yang menunjuk Stbl. 1917 No. 129 yang mengatur tentang pengangkatan anak.

(26)

pengangkatan anak harus dengan putusan atau penetapan Pengadilan Negeri setempat.

b. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia dengan Warga negara Asing (Inter Country Adoption, meliputi pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh WNI dan dilakukan melalui putusan Pengadilan. Syarat-syarat pengangkatan anak WNI dengan WNA disebutkan di dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaa Perizinan Pengangkatan Anak. Dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1979 dapat dilakukan apabila negara asing tersebut mengenal adanya pengangkatan anak, karena tidak semua Negara di dunia mengenal pengangkatan anak.

Salah satu unsur dalam perbuatan hukum pengangkatan anak adalah adanya kesepakatan antara orang tua anak yang akan di angkat dengan orang tua yang akan mengangkat anak.86 Apabila suatu kesepakan untuk melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian, maka untuk itu berlaku ketentuan dalam KUHPerdata, yaitu ketentuan dalam Pasal 1313 yang menyebutkan : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan untuk syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320, yaitu:

(27)

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3) Suatu hal tertentu.

4) Suatu sebab yang halal.

Peran Notaris dalam pembuatan perjanjian akta pengangkatan anak dengan dasar hukum ketentuan Stbl. 1917 No. 129 tentang Pengangkatan Anak, yaitu dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1), yang berisikan bahwa “pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan adanya akta Notaris”. Peraturan ini berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa saja (Pasal 6 Stbl. 1917 No. 129), sehingga pengangkatan anak di luar peraturan ini tidak dibenarkan.

Berkaitan dengan peran Notaris tersebut, dalam ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang menjadi acuan bagi Notaris untuk membuat akta pengangkatan anak, yaitu pada Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi : “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.87

Prosedur yang harus dijalankan oleh Notaris dan proses pembuatan akta adalah meminta dokumen-dokuman atau surat-menyurat yang diperlukan untuk

(28)

dituangkan di dalam akta. Dokumen yang wajib diminta oleh Notaris untuk dilekatkan fotocopinya dalam Minuta Akta (asli Akta Notaris ) adalah tanda pengenal atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Notaris harus memastikan penghadap sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam akta yang akan dibuat.

Notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab Notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/ penghadap.88

Sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) Notaris berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya:89

a. Tanggung jawab Notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan

88Herman, Sanksi Hukum terhadap Akta Otentik Yang Memuat Keterangan Palsu, http://herman-notary.blogspot.com/2009/03/sanksi-hukum-terhadap-akta-otentik-yang.html, diakses pada tanggal 21 Desember 2013.

(29)

kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut:

1) Melanggar hak orang lain;

2) Bertentangan dengan aturan hukum; 3) Bertentangan dengan kesusilaan

4) Bertentangan dengan kepatutuan dalam memperhatikan kepetingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari

b. Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Unsur-unsur dalam perbuatan pidana meliputi:

1) Perbuatan manusia;

2) Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam undang-undang);

3) Bersifat melawan hukum.

4) Tanggung jawab Notaris berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN).

5) Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 UUJN tentang sumpah jabatan Notaris.

(30)

ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.90

Keterangan palsu yang tercantum dalam akta Notaris tersebut membutuhkan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang (Polri), apakah bersumber dari para penghadap yang memberikan keterangan tidak lengkap/tidak jujur, atau memberikan dokumen palsu kepada Notaris yang mengakibatkan lahirnya akta yang cacat hukum. Apabila kesalahan yang terjadi pada pembuatan akta otentik tersebut berasal dari para penghadap dengan memberikan keterangan yang tidak lengkap/tidak jujur dan memberikan dokumen palsu kepada Notaris, maka para penghadaplah yang dikenakan tuntutan pidana oleh pihak lain yang merasa dirugikan dengan terbitnya akta yang mengandung cacat hukum tersebut.91

Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu

90Herman,Op.Cit

91 Edwin Syah Putra, Pertanggung Jawaban Notaris Terhadap Akta Yang Berindikasi

(31)

oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu dibuat.92

Menurut hasil wawancara dengan Mohamad Abror SH.MKn, hal-hal yang perlu diperhatikan pada akta pengangkatan anak yang dibuat oleh Notaris pada umumnya antara lain:93

1. Kartu Identitas dan Kartu Keluarga orang tua kandung serta Akta Kelahiran anak.

2. Pernyataan kesediaan dari orang tua kandung bahwa akan menyerahkan anaknya kepada orang tua yang akan mengangkat dan melepaskan segala hak dan kewajiban orang tua yang melekat pada anaknya.

3. Pernyataan kesediaan orang tua angkat yang menyatakan bahwa anak yang akan diangkat tersebut dianggap sebagai anak sendiri yang sah dan oleh karena itu terhadap anak tersebut akan mendapat pendidikan dan pemeliharaan sebagaimana layaknya, dan juga mempunyai hak untuk mewaris dari orang tua yang mengangkat sebagai orang tuanya sendiri.

4. Dan bagi WNI keturunan Tionghoa yang menggunakan sistem kekerabatan patrilineal, yaitu garis keturunan laki-laki, maka nama anak yang diangkat akan dirubah dengan memakai nama kekerabatan dari bapak yang mengangkat.

Hal yang perlu diperhatikan juga, tentang pilihan hukum (choice of law)

terhadap akibat hukum pengangkatan anak sehubungan dengan hak waris yang akan diterima oleh anak angkat, mengingat sistem hukum waris yang ada di negara kita

92Herman,Op,Cit.

(32)

beraneka ragam (pluralisme), yaitu apakah orang tua yang mengangkat anak akan tunduk pada hukum waris KUHPerdata, hukum waris Islam atau hukum waris Adat.94 Acara Temu Ilmiah Badan Kerja Sama Organisasi Notariat Se-Indonesia dalam suatu makalah Tentang Kewenangan Notaris Terhadap Pembuatan Akta Pengangkatan Anak yang dibawakan oleh Tim Delegasi Mahasiswa Notariat Universitas Diponegoro Semarang, pada kesimpulannya (Bab III) memberikan pendapat:

1. Kewenangan Notaris dalam pengangkatan anak di dalam prakteknya masih menimbulkan beberapa persepsi di kalangan para Notaris, di satu pihak Notaris menolak membuat akta pengangkatan anak, karena menunjuk pada SEMA No. 6 tahun 1983, di lain pihak masih ada Notaris yang membuat akta tersebut atas permintaan klien, dan ternyata oleh Pengadilan Negeri akta tersebut diberikan pengesahannya.

2. Prosedur pengangkatan anak sudah cukup jelas diatur dalam SEMA No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No. 2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak dan dilengkapi dengan keputusan Menteri Sosial RI. No. 41/HUK/Kep/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perijinan Pengangkatan Anak.

(33)

3. Dengan adanya pengangkatan anak, baik menurut Stbl. 1917 No. 129 atau hukum adat, menimbulkan hak kewarisan bagi anak yang diangkat tersebut, walaupun proporsinya berbeda.95

2. Penetapan Pengadilan

Secara khusus belum ada Undang-undang yang mengatur tentang pengangkatan anak ini. Para hakim di Pengadilan Negeri dalam hal pengangkatan anak masih mempedomani Stbl. 1917 No. 129, yang semula hanya berlaku di lingkungan golongan Tionghoa yang belum memperoleh anak laki-laki, serta SEMA No. 2 tahun 1979, jo. No. 6 tahun 1983 jo. No. 4 tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak, Kep. Men. Sos. RI No. 41/Huk/Kep/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak yang juga memberi peluang kepada seseorang yang belum berkeluarga untuk mengajukan diri sebagai orang tua angkat.

SEMA No. 6 tahun 1983 (Penyempurnaan SEMA No. 2 tahun 1979) Tentang Pengangkatan Anak, dalam angka I bagian Umum menyebutkan:

a. Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan/pengangkatan anak diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian bertambah. Baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak. Yang terakhir ini menunjukkan adanya perubahan/pergeseran/ variasi-variasi pada motif dasarnya.

b. Keadaan tersebut merupakan gambaran, bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk

(34)

memperoleh jaminan kepastian hukum itu hanya didapat setelah memperoleh suatu putusan Pengadilan.

Pada prinsipnya prosedur pengangkatan anak dapat dibagi menjadi :96 1) Prosedur Teknis

Prosedur teknis merupakan prosedur rutin hingga diperolehnya salinan penetapan atau putusan pengangkatan anak oleh para pihak yang mengajukan permohonan pengangkatan anak

2) Prosedur Non Teknis

Prosedur non teknis sehubungan dengan substansi pengangkatan anak belum diatur dalam suatu perundang-undangan, maka Hakim hanya berdasarkan SEMA-RI tersebut dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan mengikuti perkembangan praktek di Pengadilan dengan suatu batasan prinsip kehati-hatian dan sebagai landasannya adalah dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi masa depan si anak barulah permohonan tersebut dapat dikabulkan.

Sun Basana Hutagalung mengatakan bahwa prosedur pengangkatan anak masih tetap mengacu pada SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, yaitu antara lain:97 1) Anak yang akan diangkat masih di bawah 12 tahun

2) Umur orang tua angkat 35 tahun sampai 53 tahun 3) Memiliki anak kandung tidak lebih dari 2 orang

4) Anak yang akan diangkat harus mempunyai akta kelahiran

96 Tetty Ruslie Naulibasa, Peranan Notaris Pada Lembaga Pengangkatan Anak, Jurnal, Medan : Universitas Sumatera Utara, Magister Kenotariatan, hal 22.

(35)

5) Surat berkelakuan baik

6) Surat keterangan berbadan sehat 7) Surat keterangan dari dinas sosial

8) Surat pernyataan penyerahan anak dari orang tua kandung

9) Surat pernyataan calon orang tua angkat yang menyatakan bahwa tujuan dari pengangkatan anak ini adalah demi kepentingan anak angkat

10) Surat keterangan slip gaji/ penghasilan

Anak yang telah mendapat pengesahan dari Pengadilan berhak mendapatkan kehidupan yang layak, pendidikan, kasih sayang dan berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya dan berkedudukan sama seperti anak kandung. Dan anak yang diangkat hanya melalui proses adat, tidak diakui dimata hukum, sehingga apabila dikemudian hari terdapat tuntutan (dalam hal ini atas warisan keturunan Tionghoa), maka anak tersebut tidak berhak atas warisan orang tua angkatnya.98

Pada dasarnya suatu putusan hakim harus bermanfaat, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat. Hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada peraturan perundang-undangan, tetapi harus juga memperhatikan asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Jadi hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.99 Dengan demikian hukum ditujukan untuk tercapainya sebesar-besar manfaat, keuntungan/kebahagiaan bagi masyarakat.

98Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Dari hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap lengkapnya dari

Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Adapun data hasil penelitian pada siklus II adalah seperti yang terlihat pada tabel

2.4 HIRARC (Hazard Identification Risk Assessment And Risk Control) Menurut (Ramli, 2010) HIRARC ( Hazard Identification, Risk Assessment dan Risk Control ) adalah

Berda- sarkan uraian tersebut, dapat disim- pulkan bahwa kemampuan komu- nikasi matematis siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi

tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai

Dengan demikian, sebenarnya UU 7 Tahun 2017 tentang pemilu dari sisi penegakan hukum dalam tindak pidana pemilu relatif lebih baik dan maju, karena memberikan

10,5 g/ha memiliki daya kendali yang berbeda dengan herbisida paraquat 900 g/ha dan penyiangan mekanis sehingga dapat diketahui bahwa herbisida 1,8-cineole tidak mampu menyamai

dengan nilai perusahaan, efek pemoderasi dari laba dalam relasi antara luas pengungkapan sustainability reporting dengan nilai perusahaan, efek pemoderasi dari Corporate