• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT PRINSIP KONSTITUSIONALISME

PRINSIP KONSTITUSIONALISME DAN PRINSIP DEMOKRAS

4.3. Aktivisme Yudisiil v Pembatasan Badan Peradilan

Dengan titik anjak originalisme dan non originalisme, dapat diketahui kecenderungan MK dalam menjalankan uji konstitusionalitas undang-undang, yakni apakah berwatak

111David Pozen, Judicial Elections as Popular Constitutionalism,Columbia Law Review, Vol. 110, pp. 2047-2134,

aktivisme yudisiil atau sebaliknya. Judicial activism, dalam bahasa Indonesia pada disertasi ini disebut aktivisme yudisiil dan judicial restraint atau dibahasakan

sebagai “pembatasan badan peradilan” merupakan satu konsep yang dipinjam dari perdebatan mengenai peran hakim dalam uji konstitusionalitas undang-undang yang dominan berkembang di Amerika Serikat dan kemudian negara-negara Eropa112. Sejak tahun 1990 an istilah "judicial activism" and "judicial activist" sudah dibahas pada 3,815 artikel dan review pada berbagai jurnal hukum113. Judicial activism dan

judicial restraint, berkaitan dengan “”how well they realize the judicial role of bridging the gap between law and society‘s changing reality and the role of protecting the constitution and its values.” Khasanah Indonesia mengenai hal ini terbilang baru, khususnya sejak diperkenalkannya MK dengan wewenang mahkota berupa pengujian undang-undang. Artinya, sejak pranata pengujian undang-undang hadir, muncul pula perdebatan mengenai aktivisme yudisiil dan pembatasan badan peradilan oleh MK. Umumnya, aktivisme yudisiil selalu dilekatkan dalam konteks di mana hakim membuat aturan hukum (judges making law) dalam putusannya. Galligan mendefinisikan judicial activism sebagai kontrol atau pengaruh oleh badan peradilan terhadap institusi politik dan atau terhadap administrasi pemerintahan. Kritik atau pandangan negatif terhadap aktivisme yudisiil adalah karena hakim

112Judicial activism atau judicial restraint merupakan “politik” hukum badan peradilan dalam uji konstitusionalitas

undang-undang yang dapat terjadi dalam berbagai sistem hukum, baik Common Law maupun Civil Law. Istilah, perdebatan dan perkembangannya memang banyak didominasi oleh praktik judicial review di Ameriak Serikat. Lihat , Cesare Pinelli, The Concept and Practice of Judicial Activism in the Experience of Some Western Constitutional Democracies, JURIDICA INTERNATIONAL XIII/2007. Pengalaman beberapa negara Eropa, Lihat Maartje De Visser, A Cautionary Tale: Some Insights Regarding Judicial Activism from the National Experience, Maastricht Working Paper, 2012.

113Keenan D. Kmiec, The Origin and Current Meanings of "Judicial Activism", California Law Review, Vol. 92,

dianggap menggunakan diskresi yudisialnya yang bertentangan dengan prinsip- prinsip umum, seperti prinsip bahwa hakim hanya menjalankan fungsi untuk menerapkan hukum yang dibuat oleh para legislator. Sebaliknya hakim memposisikan dirinya memberikan pertimbangan terhadap kebijakan politik, sosial, dan ekonomi bahkan menggantikan posisi legislator. Hakim memutus perkara atau sengketa hukum sehingga tetapi tidak menjadi pembuat kebijakan, karena “Judges are well versed in the law but they are "manifestly not the best equipped" to translate "community values into constitutional policies …”. Aktivisme yudisiil tidak selalu negatif atau mendapat kritik negative. Sebaliknya beberapa alasan berikut adalah pandangan positif terhadap judicial activism, antara lain : pertama, bahwa judicial activism merupakan manifestasi dari check and balance. Oleh karena itu badan peradilan tidak sekedar membatalkan tetapi juga memastikan bahwa produk badan pembentuk undang-undang sesuai dengan konstitusi. Kedua, aktivisme yudisiil penting dalam penegakan hak-hak asasi manusia.

Kebalikan dari aktivisme yudisiil adalah judicial restraint yang dapat disebut dalam bahasa Indonesia sebagai pembatasan badan peradilan. Pembatasan badan peradilan didefinisikan sebagai “the judicial tendency — conscious or unconscious — to achieve the proper balance between conflicting social values by preserving existing law rather than creating new law114.” Menurut Posner, pembatasan badan

114Aharon Barak, Op.cit

peradilan bertumpu pada prinsip deference, reticence, dan prudence115. “Deference” yang secara literal berarti “lega” dan “menghormati” berarti “avoiding contrasts with the decisions of other branches of government”, sedangkan reticence yang berarti diam didefinisikan sebagai “assumption that judges should not be making policy decisions”. Dua hal tersebut merupakan sikap atas dasar pertimbangan mengenai legitimasi putusan badan peradilan dalam sistem demokrasi. Adapun prudential berarti hakim “should avoid making decisions that may well impair their capacity to make other decisions”. Dalam konteks ajudikasi konstitusional, terdapat pembatasan konstitusional (constitutional restraint), dengan cara : (1) is motivated by notions of comparative institutional competence, (2) by respect for the elected branches of government, although that respect is sometimes based on a belief that legislatures do policy better than courts do, which is a form of judicial modesty.116 (1. dimotivasi oleh perbandingan mengenai wewenang institusi, 2. Dengan menghormati cabang-cabang kekuasaan pemerintahan, meskipun penghormatan dimaksud terkadang berdasarkan satu kepercayaan bahwa badan pembentuk undang- undang membuat kebijakan lebih baik daripada badan peradilan, sebagai bentuk dari badan peradilan yang “modest). Beranjak dari tiga prinsip yang mendasari

115 Richard A. Posner, The Federal Courts, Cambridge, MA: Harvard University Press 1996, h. 314.

116Di luar konteks pembatasan konstitusional, secara umum bentuk-bentuk dari pembatasan peradilan, Posner

menyebut tiga bentuk: (1) judges apply law, they don't make it (call this "legalism'"-though "formalism" is the commoner name-- or, better, "the law made me do it"); (2) judges defer to a very great extent to decisions by other officials-appellate judges defer to trial judges and administrative agencies, and all judges to legislative and executive decisions (call this "modesty," or "institutional competence," or "process jurisprudence"); (3) judges are highly reluctant to declare legislative or executive action unconstitutional-deference is at its zenith when action is challenged as unconstitutional (call this "constitutional restraint"). Lihat Richard A. Posner, The Rise and fall of Judicial Self-Restraint, California Law Review, Vol. 100, June No. 3, 2012, h. 520-521.

pembatasan badan peradilan, maka badan peradilan dianggap tidak akan memiliki legitimasi jika hakim-hakim menggunakan judicial review untuk menggantikan ide- ide tentang kebijakan dan kebajikan (moralitas) masyarakat yang telah ditetapkan oleh badan perwakilan rakyat yang telah dipilih oleh rakyat.

Dua kutub pendekatan dalam interpretasi konstitusi tersebut di atas memperoleh kritik secara relatif. Artinya tidak bisa secara dikhotomis ditarik pembatas yang ketat untuk menolak secara total salah satu diantaranya. Oleh karena itu yang paling penting dari judicial review adalah adanya “legal reasoning” yang memadai dari putusan dimaksud. Pada akhirnya“Countermajoritarian” barangkali tidak menjadi perdebatan ketika mandat konstitusional yang mengakui kedaulatan rakyat lantas memberikan fungsi pelaksanaan kedaulatan kepada badan perwakilan sebagai institusi representasi. Alasan ini juga akan memperoleh pembenar manakalah doktrin yang dianut adalah supremasi badan perwakilan atau supremasi parlemen. Namun dalam konteks UUD NRI 1945, konsep kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR, sehingga tidak dapat dikategorikan menganut supremasi majelis (assembly, parliament) tetapi dilaksanakan menurut UUD. Dengan konsep demikian, maka dalam pendekatan institusional, pelaksanaan kedaulatan dilakukan oleh semua organ konstitusional, termasuk organ kekuasaan kehakiman. Badan peradilan melaksanakan kedaulatan dalam hal menegakkan hukun dan keadilan. Maka dengan konsep demikian, tersedia alasan konstitusional bagi MK untuk berwatak aktivisme dalam pengujian undang-undang.