BAB III : PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT PRINSIP KONSTITUSIONALISME
PRINSIP KONSTITUSIONALISME DAN DEMOKRASI SEBAGAI LANDASAN DALAM KONTROL ATURAN HUKUM
2.3. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
2.3.1. Konstitusionalisme Dalam Lintasan Konstitusi di Indonesia
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, Konstitusi Indonesia telah mengalami perubahan formal beberapa kali.
Pertama, masa UUD 1945 18 Agustus 1945. Secara ringkas, konsep mengenai konstitusi yang ditelusuri melalui proses pembuatan UUD 1945 dapat dibedakan dalam subtansi perdebatan mengenai dasar negara dan rancangan isi undang-undang dasar. Adapun mengenai materi muatan dalam UUD 1945, pada akhirnya UUD 1945 berisi hanya 37 Pasal. Penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa Undang-undang Dasar bersifat singkat dan supel. Bersifat singkat dan supel karena Undang-undang dasar hanya memuat 37 pasal54 selain ketentuan mengenai peralihan dan tambahan. Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan sosial55. Konteks UUD
54Mengenai singkatnya isi UUD, Soepomo menjelaskan "… Rancangan UUD pada dasarnya hanya memuat 35
pasal. Pasal-pasal lainnya hanya memuat peralihan dan tambahan. Maka rancangan ini sangat singkat jika dibanding dengan UUD Filipina, akan tetapi sebagai UUD singkat, sama sifatnya dengan misalnya UUD Dai Nippon, malahan lebih singkat...” Lihat R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, h. 354
55Penjelasan UUD 1945 menambahkan “ ....Sebaliknya meskipun Undang-undang Dasar tidak sempurna, akan
tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya Negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan dinamis. Berhubung dengan itu, hanya aturanaturan pokok saja harus ditetapkan dalam Undang-undang Dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada undang-undang.” Soepomo juga menggarisbawahi bahwa “soepel” itu tidak akan ketinggalan zaman. Ia mengatakan “..Saya insaf sedalam-dalamnya, bahwa rancangan panitia itu jauh dari sempurna, memang kita hanya manusia belaka dan bukan ahli. Oleh karena itu kami mengakui betul-betul, bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang undang-undang dasar yang
bersifat ‘soepel’. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan jaman …”.Ibid. h. 361.
yang singkat secara historis dapat dipahami sebagai penegasan yang disampaikan Soekarno karena momentum dan suasana kebangsaan saat itu.
Penjelasan mengenai gagasan konstitusionalisme pada akhirnya lebih nampak dalam penjelasan UUD, yang sebelumnya bukan merupakan bagian dari UUD 1945 yang disahkah oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusionalisme yang tercermin dalam:
a. Indonesia, ialah Negara yang berdasar atas Hukum (Rechsstaat). Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
b. Sistim Konstitusionil. Pemerintah berdasar atas sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
c. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(die gezamte Staatsgewalt liegt allein beider Majelis) Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama "Majelis Permusyawaratan Rakyat", sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (vertretungsorgan des Willens der Staatsvolkes).
d. Kekuasaan kepala Negara tidak tak terbatas. Meskipun Kepala Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Di atas telah ditegaskan, bahwa ia
bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.
e. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistim parlementair).
Dengan merujuk pada penjelasan UUD 1945, konstitusionalisme menjadi prinsip yang mendasari penyelenggaraan Negara56. Namun oleh karena hal ini
ditemukan dalam penjelasan, yang dibuat setelah UUD 1945 berlaku, hal demikian cukup menjadi gambaran mengenai suasana kebatinan mengenai komitmen bahwa kekuasaan negara harus didasarkan pada hukum. meskipun pada kenyataanya kemudian pasal-pasal dalam UUD 1945 justru menjadi sumber permasalahan dalam mengelola kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia57. Aspek lain dari
konstitusionalisme adalah perlindungan hak asasi. UUD 1945 yang lahir sebelum Universal Declaration of Human Rights, merupakan kemajuan yang boleh dikatakan sebagai bagian dari pemikiran Hatta.
56Jimly Ashiddiqie menguraikan, bahwa konsensus yang menjaga tegaknya konstitusionalisme Indonesia adalah
lima prinsip dasar Pancasila, yang berfungsi sebagai landasan filosofis-ideologis dalam mencapai dan mewujudkan empat tujuan negara. Kelima prinsip dasar tersebut adalah: (1) ke-Tuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; dan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, op. cit. h. 26-27
57Ekspresi evaluatif atas kelemahan UUD 1945 disampaikan Asnawi Latif dari Fraksi Daulat Ummat (F-PDU)
dalam siding MPR dalam rangka amandemen UUD 1945 : “Dengan tidak mengurangi rasa hormat kita kepada founding fathers dan founding mothers harus kita akui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengandung begitu banyak ketidakjelasan, ketidaktegasan, kerancuan, kelemahan serta kekosongan pengaturan untuk membagun sebuh negara hukum yang demokratis yang mengatur mekanisme checks and balances antara kekuasaan legislative dan eksekutif, pembagian dan pemisahan kekuasaan antara fungsi-fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif..” Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses
dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuan 1945, Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, h. 620.
Kedua, masa Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Prinsip dasar dalam Konstitusi RIS tersebut menarik untuk dibandingkan dengan UUD 1945, yakni penegasan mengenai negara hukum yang secara eksplisit dirumuskan dalam mukaddimah dan pasal, sementara UUD 1945 menegaskan prinsip tersebut dalam Penjelasan. Mengenai aspek kekuasaan, Pasal 34 menguraikan lebih lanjut bahwa
“Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam
pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia
ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”. Adapun
sistem pemerintahan negara yang dianut adalah sistem pemerintahan Kabinet Parlementer. Dalam sistem ini, Kabinet bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan apabila pertanggungjawaban itu tidak dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dapat membubarkan Kabinet, atau Menteri yang bersangkutan yang kebijaksanaannya tidak dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sebaliknya, apabila Pemerintah tidak dapat menerima kebijaksanaan Dewan Perwakilan Rakyat dan menganggap Dewan Perwakilan Rakyat tidak representative, Pemerintah dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat; dan pembubaran ini diikuti dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru. Konstitusionalisme dalam aspek jaminan hak asasi manusia, diatur lebih terinci dalam Konstitusi RIS daripada UUD 1945. Pada Bagian Lima, dengan judul Hak dan Kebebasan Dasar Manusia, hak-hak dasar dengan diatur mulai Pasal 7 sampai dengan Pasal 33. Pengaturan mengenai HAM sebagai jaminan konstitusional
dalam Konstitusi RIS mengalami perkembangan yang ditandai dengan pengaturan lebih detil dan lengkap, dibandingkan dengan UUD 1945. Tidak terlalu banyak hal yang bisa dinarasikan dari analisa mengenai materi muatan UUDS 1950, karena subtansi pokoknya merupakan materi muatan Konstitusi RIS.
Berdasarkan uraian mengenai konstitusionalisme dalam lintasan konstitusi Indonesia, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950, dapat disimpulkan beberapa hal : pertama, prinsip negara hukum sejak awal merupakan prinsip yang dianut guna menegaskan pembatasan kekuasaan. Hanya saja dalam UUD 1945 hal ini tidak diekspresikan secara jelas dan lugas sebagai ketentuan dalam pembukaan dan batang tubuh. UUD 1945 juga memandang bahwa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan perlu dipercayakan kepada penyelenggaranya guna mendinamisasi UUD sebagai konsekuensi sifat singkat dan supel. Pada satu titik ini terdapat paradox, pada satu sisi menyadari bangunan Republik disusun bukan atas dasar kekuasaan belaka, tetapi dengan prinsi negara hukum, tetapi pada sisi lain UUD 1945 sendiri gagal memberikan pembatasan yang memadai. Terlalu memberikan kepercayaan kepada penyelenggara negara dengan basis konstitusi yang supel dikemudian hari terbukti menjadikan kekuasaan Presiden sulit untuk diawasi dan dikontrol. Kedua, dianutnya demokrasi sebagai prinsip yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, hanya berbeda dalam konsepsi mengenai bagaimana hal tersebut dilaksanakan. Semua konstitusi yang berlaku menganut prinsip kedaulatan di tangan rakyat. Ketiga, jaminan hak-hak dasar dalam konstitusi merupakan suatu pengaturan yang
banyak memperoleh perhatian dalam penyusunan hukum dasar. Konstitusi RIS mengatur aspek HAM lebih detil dan lengkap daripada UUD 1945, namun pengaturan dalam UUD 1945 merupakan kemajuan luar biasa dibandingkan lahirnya UDHR 3 tahun setelah UUD 1945. Keempat, sebagai negara republik dengan menempatkan kedaulatan rakyat, kelembagaan penyelenggaraan negara sebenarnya telah diatur menurut konstitusi modern, yakni dengan menganut pemisahan atau pembagian kekuasaan. Artinya terdapat pengaturan mengenai lembaga-lembaga negara dengan masing-masing kekuasaan. Hanya saja gagasan untuk menganut pemisahan kekuasaan secara sempurna tidak terjadi dalam UUD 1945 karena Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara menjadi pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.