• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Alpukat Terhadap Beberapa Mikroba Patogen Secara In Vitro

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Alpukat Terhadap Beberapa Mikroba Patogen Secara In Vitro

Pengujian antimikroba ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat dilakukan terhadap 4 jenis mikroba patogen, yaitu Candida albicans, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Salmonella thypii. Dasar pemilihan keempat jenis mikroba uji ini adalah mewakili masing-masing jenis mikroba yaitu mewakili bakteri dari kelompok Gram positif, Gram negatif, dan khamir patogen.

Hasil uji antimikroba ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat dengan antibiotik pembanding yaitu kloramfenikol 30 µg dan nistatin 10 µg menunjukkan bahwa masing-masing ekstrak mampu menghambat pertumbuhan yaitu Candida albicans, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Salmonella thypii dengan kemampuan yang bervariasi. Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antimikroba dapat diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona

penghambatan pertumbuhan mikroba (Gambar 4.2.1). Bentuk zona hambat tersebut berupa cerukan penipisan elevasi koloni bakteri uji.

Gambar 4.2.1 Uji antagonis antara ekstrak metanol biji alpukat terhadap (A) C. albicans (B) E. coli (C) S. aureus, (D) S. typhii.

Terbentuknya zona hambat menunjukkan bahwa kandungan senyawa aktif pada ekstrak metanol, etil-asetat dan n-heksana mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Zona hambat yang terbentuk dapat diamati mulai hari kedua sampai hari keempat setelah masa inkubasi. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi dan pelarut yang digunakan. Perbedaan nilai zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat disajikan pada Tabel 4.2.1 berikut ini.

A

Tabel 4.2.1 Besar zona hambat (mm) yang dibentuk oleh masing-masing ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat

Mikroba uji Konsentrasi ekstrak (%)

Rata-rata diameter zona hambat (mm)

Metanol n-heksana Etil

Asetat Antibiotik C. albicans 5 10,48 10,67 10,01 10 9,58 11,58 9,35 15 11,86 11,68 10,83 20 17,56 12,72 11,16 Nistatin 10 μg 12,63 E. coli 5 7,50 10,22 8,52 10 7,88 11,18 9,20 15 8,49 11,65 7,62 20 9,65 13,52 8,39 Kloramfenikol 30 μg 29,34 S. aureus 5 12,14 11,72 11,14 10 13,03 12,73 15,21 15 11,39 12,57 14,05 20 14,04 15,8 17,40 Kloramfenikol 30 μg 29,64 S. typhii 5 13 9,08 7,38 10 13,08 8,67 7,99 15 14,32 9,83 7,06 20 16,86 10,63 6,93 Kloramfenikol 30 μg 20,65

Adanya zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak terhadap mikroba uji kemungkinan disebabkan karena ekstrak tersebut memiliki aktifitas antimikroba yang bisa saja menyebabkan perusakan sel dengan cara menghambat pembentukan dinding dan membran sel yang dapat mengganggu permeabilitas sel atau mungkin menghambat sintesis protein dan asam nukleat sehingga sel tidak dapat lagi melangsungkan hidupnya karena proses utama dalam hidupnya sudah dirusak oleh ekstrak tersebut (Ruzin et al, 2003; Berdy 2005). Ukuran zona hambat dapat juga dipengaruhi oleh sensitivitas organisme uji, kemampuan difusi bahan antimikroba ke dalam media dan interaksinya dengan mikroba uji, dan jumlah mikroba yang diujikan (Cappucino & Sherman 1996).

Pada konsentrasi 20% nilai zona hambat terbesar ditunjukkan oleh ekstrak metanol biji alpukat terhadap C. albicans, E. coli, S. aureus dan S. typhii masing-masing sebesar 17,56 mm, 9,65 mm, 14,04 mm dan 16,86 mm. Ekstrak metanol biji alpukat dengan konsentrasi 5% menunjukkan zona hambat terbesar terhadap bakteri S. thypii yaitu 13 mm. Sedangkan ekstrak etil asetat dan n-heksana biji alpukat dengan konsentrasi 5% menunjukkan zona hambat terbesar terhadap bakteri S. aureus masing- masing sebesar 11,4 dan 11,72 mm. Kemampuan daya hambat ekstrak metanol, n- heksana dan etil asetat biji alpukat dalam menghambat pertumbuhan C. albicans pada konsentrasi 5% tidak berbeda jauh masing-masing sebesar 10,48 mm, 10,67 mm dan 10,01 mm. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, nilai zona hambat yang terbentuk semakin besar.

Diameter zona hambat yang terbentuk memperlihatkan variasi zona. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain besarnya inokulum, waktu inkubasi, konsentrasi ekstrak, dan daya antibakteri zat berkhasiat. Makin besar inokulum maka semakin kecil daya hambatnya sehingga semakin kecil zona yang terbentuk. Konsentrasi ekstrak mempengaruhi kecepatan difusi zat berkhasiat. Makin besar konsentrasi ekstrak makin cepat difusi akibatnya makin besar daya antibakteri dan makin luas diameter zona hambat yang terbentuk (Kumala et al. 2008)

Ekstrak metanol biji alpukat menunjukkan rata-rata nilai penghambatan yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan n-heksana. Metanol merupakan pelarut yang baik digunakan dalam metode ekstraksi suatu bahan, metanol juga menghasilkan rendemen yang lebih besar jumlahnya dibandingkan pelarut lain (Ahameethunisa & Hopper 2010; Khyade & Vaikos 2009). Ekstrak biji alpukat fraksi petroleum eter juga diketahui mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus sp. pada konsentrasi 2,5% dengan zona hambat sebesar 9,06 mm (Susilowati et al. 1997).

Penggunaan metanol pada saat maserasi juga akan menyebabkan pH ekstra sel menurun dan akan meningkatkan konsentrasi proton di dalam. Konsekuensinya terjadi akumulasi proton di dalam sel yang dapat menyebabkan lisisnya sel sehingga senyawa metabolit yang ada berdifusi ke pelarut dan memperbesar kemungkinan ekstrak yang diperoleh lebih banyak sel (Purwoko 2007).

Dari hasil keseluruhan dapat dilihat bahwa ekstrak bakteri dengan menggunakan ketiga pelarut tersebut lebih aktif terhadap bakteri bakteri Gram positif, kemudian diikuti oleh bakteri Gram negatif, sedangkan terhadap khamir ekstrak biji alpukat menghasilkan zona hambat yang lebih besar. Hal ini mungkin disebabkan karena senyawa metabolit sekunder yang aktif dalam menghambat C. albicans dapat ditarik dengan baik oleh semua pelarut. Oleh karena penggunaan pelarut yang berbeda, senyawa metabolit yang dapat ditarik pun berbeda jenis dan sifatnya sehingga menunjukkan aktifitas yang berbeda terhadap mikroba uji.

Dari semua mikroba uji yang digunakan, S. aureus merupakan mikroba yang paling rentan terhadap ekstrak biji alpukat dan antibiotik. Perbedaan efektifitas ekstrak dalam menghambat mikroba uji kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa aktif ketiga jenis pelarut. Oleh sebab itu aktifitas penghambatan juga berbeda. Dinding sel S. aureus (bakteri Gram positif) memiliki struktur dinding sel dengan banyak lapisan peptidoglikan dan relatif sedikit lipid sedangkan E. coli (bakteri Gram negatif) mempunyai struktur lebih kompleks, terdapat membran luar yang melindungi peptidoglikan yakni fosfolipid (lapisan dalam) dan lipopolisakarida (lapisan luar) Hal ini mengakibatkan kemampuan yang berbeda-beda antara ekstrak terhadap mikroba uji (Pratiwi 2008).

Ekstrak etanol biji alpukat menunjukkan bahwa biji alpukat mengandung polifenol, flavonoid, terpenoid dan fenolik. Aktivitas antibakteri dapat disebabkan adanya kandungan senyawa kimia yaitu tanin dan flavonoida. Tanin dan flavonoida merupakan golongan senyawa fenol. Golongan fenol diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang bersifat bakterisidal namun tidak bersifat sporisidal (Marlinda et al,

2012). Senyawa fenol bekerja dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak dinding sel bakteri sehingga bakteri mati, juga dapat mempresipitasikan protein secara aktif dan merusak lipid pada membran sel melalui mekanisme penurunan tegangan permukaan membran sel (Pratiwi 2008).

Kemampuan antimikroba ekstrak biji alpukat dibandingkan dengan antibiotik komersial yang sudah banyak digunakan terhadap bakteri dan khamir patogen yaitu kloramfenikol 30 µg untuk bakteri dan nistatin 10 µg untuk jamur. Kloramfenikol 30 µg dengan konsentrasi 20% untuk ekstak metanol menunjukkan penghambatan terbesar terhadap S. aureus yaitu 29,64 mm. Zona hambat yang dibentuk nistatin 10µg terhadap Candida albicans sebesar 12,63 mm (Gambar 4.2.2). Pelarut DMSO digunakan sebagai control (-) tidak menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan mikroba patogen.

Gambar 4.2.2 Besarnya zona hambat yang dibentuk oleh antibiotik nistatin terhadap (A) C. albicans dan kloramfenikol terhadap (B) E. coli (C) S. aureus dan (D) S. thypii.

Antibiotik menghambat mikroba melalui beberapa mekanisme yang berbeda yaitu, antibiotik menghambat sintesis dinding sel mikroba, antibiotik mengganggu membran sel mikroba, antibiotik menghambat sintesis protein dan asam nukleat mikroba, dan antibiotik mengganggu metabolisme sel mikroba. Antibiotik menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara bakteriostatik atau bakterisida. Hambatan ini terjadi sebagai akibat gangguan reaksi yang esensial untuk pertumbuhan. Reaksi mungkin merupakan satu-satunya jalan untuk mensintesis makromolekul seperti protein atau

Antibiotik tertentu dapat menghambat beberapa reaksi. Reaksi tersebut ada yang esensial untuk pertumbuhan dan ada yang kurang esensial. Penghambatan pada beberapa reaksi dapat terjadi secara langsung yaitu antibiotik langsung memblokir beberapa reaksi tersebut, namun masing-masing reaksi memerlukan konsentrasi antibiotik yang berbeda. Ketergantungan pada konsentrasi ini menggambarkan perbedaan kepekaan reaksi tersebut terhadap antibiotik (Suwandi 1992).

4.3 Uji Toksisitas dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test

Uji toksisitas dilakukan terhadap ketiga ekstrak biji alpukat dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan konsentrasi sampel yang digunakan adalah 10, 100 dan 1000 ppm. Angka konsentrasi ini diambil dengan pertimbangan bahwa masing- masing angka tersebut memiliki range yang cukup luas, sehingga memudahkan dalam menghitung harga LC50.

Uji toksisitas dilakukan terhadap ketiga ekstrak biji alpukat (ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana) dengan metode BSLT dengan konsentrasi sampel yang digunakan adalah 10, 100 dan 1000 ppm. Angka konsentrasi ini diambil dengan pertimbangan bahwa masing-masing angka tersebut memiliki kisaran konsentrasi yang cukup luas (Juniarti et al 2009), sehingga memudahkan dalam menghitung harga LC50. LC50 adalah konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan percobaan, selama waktu tertentu.

Penelitian Carballo et al.( 2002) menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara toksisitas dan letalitas Brine shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BSLT dapat dipercaya untuk menguji aktivitas farmakologis dari bahan-bahan alami. Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC50 dengan metode BSLT, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat anti kanker

Hasil dari uji tersebut membuktikan bahwa harga LC50 dibawah 10 μg/mL, ini terbukti bahwa harga LC50 yang diperoleh untuk ekstrak metanol adalah 5,6 ppm etil asetat adalah 2,6 ppm dan n-heksana adalah 3,7 ppm (Tabel 4.3.1). Dari Tabel 4.2.1 terlihat ketiga ekstrak dari biji alpukat memiliki toksisitas yang sangat tinggi dan ekstrak etil asetat merupakan yang paling toksik. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji alpukat bersifat toksik dan berpotensi sebagai antikanker.

Tabel 4.3.1 Nilai LC50 (ppm) Ekstrak Biji Alpukat

Ekstrak LC50 (ppm)

Metanol 5,6

N-heksana 3,7 Etil Asetat 2,6

Pada metode BSLT, sampel uji dikatakan aktif jika LC50 kecil dari 1000 ppm (Juniarti et al 2009). Sejauh ini metode penentuan LC50 ada 3 macam, yaitu metode kurva, metode Farmakope Indonesia dan metode Finney. Ketiga metode ini berdasarkan pengukuran persentase individu yang responsitif pada kisaran dosis atau konsentrasi tertentu (Meyer et al. 1982). Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa asam lemak yang memiliki ikatan terkonjugasi dapat berperan sebagai senyawa aktif antikanker. Fraksi yang memiliki harga LC50 antara 0-30 ppm berpotensi sebagai antikanker, LC50 antara 30-200 ppm berpotensi sebagai antibakteri, sedangkan LC50 antara 200-1000 ppm berpotensi sebagai pestisida. Dari hasil penelitian Mu’nim et al. (2006) bahwa sari buah merah mampu menghambat pertumbuhan kanker pada paru-paru tikus. Kandungan asam lemak yang cukup dominan dari ekstrak buah merah juga berpotensi untuk menghambat pertumbuhan kanker.

BAB 5

Dokumen terkait