• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Perbanditan Sosial di Klaten Tahun 1870-1900

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Aktivitas Perbanditan Sosial di Klaten Tahun 1870-1900

Para bandit mempunyai kedudukan yang istimewa di masyarakat baik karena kebaikannya maupun kejahatannya, suatu campuran antara pemenuhan kewajiban kesejahteraan sosial dan religio-mistisnya dengan perampokan dan pemerasan yang mereka lakukan. Pada jaman penjajahan umumnya para bandit disegani oleh rakyat sebab tindakannya tidak mengganggu rakyat, yang diganggu adalah aparat Belanda dan para tuan tanah. Kadang-kadang seorang bandit mempelajari silat dari pesantren, dan kembali ke desanya dengan sedikit pengetahuan tentang kata-kata Arab. Di mata masyarakat para bandit mempunyai pengetahuan keagamaan yang tinggi dan ilmu kanuragan, sehingga badannya kebal terhadap senjata dan berilmu siluman, yaitu ilmu kepandaian seseorang untuk memasuki dan meninggalkan rumahnya tanpa di ketahui oleh orang lain (Nurdiyanto. Dkk, 2004: 43).

Dalam dunia perbanditan terdapat cara untuk mengecohkan penguasa dan korbannya. Bandit mengirimkan surat kepada calon korban yang isinya pada hari tertentu korban di suatu desa akan kedatangan “tamu”. Setelah ditunggu ternyata

commit to user

tamunya tidak datang dan yang didatangi adalah korban lain yang tidak mendapatkan surat booding (Suhartono, 1995: 113-115).

Komunikasi para bandit dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi atau rahasia sehingga keberadaan para bandit sulit terlacak oleh kepolisian. Anggota kelompok bandit juga dituntut memiliki loyalitas yang tinggi terhadap kelompoknya guna menghindari terbongkarnya identitas kelompoknya maka para bandit memberikan informasi tentang kelompoknya dengan cara berbohong, menipu, menjebak, dll. Anggota bandit tidak akan memberikan informasi sedikitpun tentang hal-hal yang membahayakan kelompoknya. Komunikasi yang dilakukan menggunakan sandi-sandi tertentu dan sering diubah agar jejaknya tidak terlacak (Julianto Ibrahim, 2004: 222).

Antara penguasa desa dengan bandit sering terjadi komunikasi agar mereka mematuhi perjanjian untuk tidak saling mengganggu. Penguasa dan bandit tinggal dalam satu desa sehingga mereka saling mengenal. Para penguasa sudah mengetahui hal ikhwal perbanditan sehingga setiap kali terjadi kasus perbanditan hampir dapat dipastikan para penguasa desa mengetahui pelaku dan rencananya. Sebaliknya, sebelum melakukan perbanditan para bandit sudah memberitahukan kepada para penguasa desa. Pengangkatan penguasa desa sering didasarkan pada kemampuannya mengamankan desa dari gangguan para bandit. Banyak diantara penguasa desa yang berasal dari para benggol. Dengan kata lain penguasa-penguasa desa hidup dalam dua dunia dan dapat diibaratkan sebagai ular berkepala dua (Suhartono, 1991: 155).

1. Sasaran Tindakan Perbanditan

Sasaran dalam perbanditan sosial ada dua bagian yaitu: pertama, bangunan dan lahan antara lain gedung, gudang, kebun, barak, bedeng dan saluran irigasi. Kedua, person atau orang-orang, baik orang asing maupun pribumi yang melakukan eksploitasi dan membantu orang asing. Sasaran peranditan antara lain: para tuan tanah partikelir (lendheer), penyewa tanah (landbuurder), rentenir dan pechter Cina serta para kepala desa: demang, rangga, ngabehi, petinggi, bekel, petani kaya dan pedagang kaya (Suhartono, 1995: 111).

commit to user

Pelaku perbanditan tidak hanya berasal dari para petani yang mengalami beberapa tekanan tetapi juga berasal dari para bangsawan. Para bangsawan keraton yang melakukan perbanditan merupakan suatu akibat dari kerugian yang ditanggung oleh para bangsawan karena Pemerintah Kolonial telah ikut campur dalam permasalahan pemerintahan dan kedudukan kaum bangsawan di istana. Selain itu kebijakan Pemerintah Kolonial dalam penghapusan sistem apanage membawa dampak buruk terhadap perekonomian kaum bangsawan. Kaum bangsawan tidak lagi sebagai pemegang kekuasaan atas tanah. Bangsawan tidak lagi berperan sebagai penerima pajak penghasilan dari rakyat akan tetapi kaum bangsawan bergeser kedudukannya sebagai tangan panjang Pemerintah Kolonial dalam menerima pajak. Bangsawan menerima gaji sebagai upahnya. Kondisi tersebut membuat perekonomian kaum bangsawan semakin merosot. Untuk menambah penghasilan, banyak bangsawan yang berdagang batik, di samping itu ada bangsawan yang mencukupi kebutuhan hidupnya dengan melakukan perbanditan. Tindakan perbanditan yang dilakukan para bangsawan bertujuan menghimpun kekuatan untuk mengalahkan dominasi pemerintah kolonial yang terlalu jauh mencampuri urusan dalam keraton (Sollewijkn Gelpke, 1918: 96).

2. Kasus-Kasus Perbanditan di Surakarta dan Hubungannya dengan Perbanditan Sosial

Kecu dan koyok merupakan fenomena tersendiri dalam sejarah kriminalitas di Surakarta. Laporan Politik Surakarta tahun 1872 menyebutkan bahwa pada tahun itu telah terjadi 24 kasus. Kasus pengkecuan tersebut banyak terjadi di wilayah Surakarta bagian barat daya (Klaten). Perampok pada umumnya menggunakan lampu obor dengan persenjataan yang kurang lengkap. Berdasarkan hasil penelitian polisi, alasan dari tindakan perkecuan adalah kekurangan pangan (Wasino, 2008: 324).

Gangguan keamanan khususnya kecu semakin meluas dan semakin sering terjadi di pedesaan Surakarta. Tindakan perbanditan yang dilakukan oleh bangsawan yaitu perbanditan yang menimpa J. Moser seorang tuan tanah di Solo pada tahun 1842. Menurut Residen Solo J.H. Tobias dalam laporan politiknya untuk tahun 1870, diantara orang-orang yang bertanggung jawab atas tindakan

commit to user

perbanditan tersebut adalah sejumlah anggota kerajaan pribumi dari kalangan berpangkat rendahan. Para bandit memperkaya diri dengan mengorbankan residen-residen kaya, dan menentang penguasa-penguasa Belanda dengan mengirimkan surat ancaman. Para bandit mengancam akan merampok orang-orang Cina jika tidak memberikan uang dan barang-barang tertentu dengan sukarela. Alasan munculnya perbanditan ini adalah adanya proses perubahan sosial yang menguntungkan beberapa kelompok, tetapi merugikan kelompok lain (Vincent J.H. Houben, 2002: 442).

Pada tanggal 24 Juli 1843 di kampung Ceper, Klaten, rumah J. Jozes didatangi segerombolan bandit pada waktu malam hari, ia dibunuh dan harta miliknya dibawa kabur. Perbanditan atau pengkecuan ini dilakukan oleh empat puluh orang yang dipimpin oleh Bagus Jedhik (Darsiti Soeratman, 1989: 41).

Kejadian pengkecuan terjadi di desa Kretek di daerah Sragen yaitu pada tanggal 15 November 1873, pengkecuan atau perampokan tersebut terjadi di rumah seorang bekel dan dilakukan oleh dua puluh pelaku yang berhasil membawa kabur uang senilai 108,84 Gulden, 11 ekor kerbau dan beberapa pikul padi (Suhartono, 1991: 156-161).

Pada tanggal 9 Januari 1875 terjadi kasus pengkecuan terhadap seorang bekel yang bernama Sumowedono di desa Onggopatran, Klaten. Pelaku pengkecuan tersebut berhasil membawa lari harta senilai 1117,50 Gulden. Kamidin dan Pak Tumpuk yang tidur di rumahnya dilukai. Setelah diusut ternyata bandit tersebut berasal dari Yogyakarta, dan seorang penduduk desa diduga sebagai penunjuk jalan (Suhartono, 1991: 156).

Kasus-kasus pengkecuan tersebut semakin meresahkan masyarakat karena disamping terjadi hampir setiap malam juga karena para pelaku pengkecuan tersebut bertindak kejam. Berikut ini adalah tabel pengkecuan yang terjadi antara tahun 1885 hingga tahun 1900.

commit to user

Tabel. 4.3. Data Perbaditan di wilayah Surakarta tahun 1885-1900

Kabupaten 1885 1887 1892 1895 1898 1900 Jumlah Surakarta Klaten Boyolali Sragen Wonogiri 8 2 - 10 5 - 8 1 - 3 1 11 1 1 - 3 2 1 1 - 1 - 6 2 - 2 - 4 2 - 15 23 13 16 8 Jumlah 25 12 14 7 9 8 75

Sumber: Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel. Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta: 158.

Tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kasus-kasus perbanditan banyak terjadi di daerah perkebunan terutama daerah perkebunan tebu, yaitu di Klaten. Para pelaku perbanditan melakukan aksinya karena terdesak oleh perluasan perkebunan yang telah menggeser kehidupan pertanian. Tindakan perbanditan merupakan suatu bentuk protes yang dilakukan oleh para petani dan pihak-pihak yang telah dirugikan oleh pengusaha perkebunan maupun pemerintah kolonial Belanda. Adanya sifat kebersamaan yang dimiliki oleh masyarakat agraris menciptakan satu sikap sama rasa sama rata. Maka dari itu para pelaku perbanditan yang melakukan aksinya tidak menggunakan harta hasil rampokannya sendiri melainkan dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin yang mempunyai nasib sama.

Dokumen terkait