• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.5. Aktivitas Peroksidase

Nomor Judul Halaman Gambar

3.4.3. Biakan Colletotrichum sp. pada media GYB 13 4.1. Pengaruh lama penyinaran daya UV terhadap rata-rata tinggi 17

Terung belanda

4.2. Sel akar terung belanda (Solanum betaceum Cav) perbesaran 18 1000X dengan pewarna asetokarmin

4.3. Pengaruh daya UV terhadap rata-rata intensitas serangan 20

Colletotrichum sp. pada daun terung belanda

4.4. Pengaruh daya UV terhadap rata-rata kadar protein daun terung 21 belanda

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran

1. Alur Kerja Persiapan dan Penanaman Biji Terung Belanda 30 2. Alur Kerja Perlakuan Terung Belanda dengan Filtrat 30

Colletotrichum Sp.

3. Alur Kerja Pengamatan Kromosom 31

4. Alur Kerja Pembuatan Kurva Standard BSA 32

5. Alur Kerja Ekstraksi Daun 33

6. Alur Kerja Determinasi Protein 33 7. Alur Kerja Penentuan Aktivitas Peroksidase (PO) 34 8. Alur Kerja Penentuan Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO) 34 9. Data Mentah Morfologi Tanaman 35 10. Data Tinggi Tanaman Pada Minggu Terakhir 39 11. Data Jumlah Daun Minggu Terakhir 40 12. Data Intensitas Serangan Pada Daun Setelah Penyemprotan 41

125 ppm (%)

13. Data Kadar Protein 42

14. Kurva Standard dan Persamaan Garis Regresi Kurva BSA 43 (Bovine Serum Albumine)

15. Kurva Standard dan Persamaan Garis Regresi Kurva Pyrogallol 44 16. Data Pengukuran Aktivitas Peroksidase dengan Spektrofotometer 45

Pada Panjang Gelombang 420 nm

17. Data Pengukuran Aktivitas Polifenol Oksidase dengan 46 Spektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm

18. Data Kadar Protein 47

19. Data Nilai Aktivitas Enzim PO dan PPO 47 20. Kariotipe Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) 49 21. Indeks Sentromer (IS) Kromosom Setiap Perlakuan 51

ABSTRAK

Ketahanan tanaman terung belanda (Solanum betaceum Cav) setelah diinduksi dengan UV terhadap Colletotrichum sp. telah dilakukan dari Februari sampai Desember 2012 di Departemen Biologi FMIPA dan rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu faktor daya UV (0, 10, 20, dan 30 watt) dan faktor lama penyinaran UV (30, 60, dan 90 detik). Induksi UV dilakukan dengan penyinaran UV pada kecambah Solanum betaceum Cav dengan kombinasi daya UV dan lama penyinaran UV. Analisis kromosom dilakukan dengan metode pencet. Hasil pengamatan terhadap kariotipe Solanum

betaceum Cav tidak berpengaruh terhadap jumlah kromosom (12n) tetapi

beberapa kromosom mengalami perubahan dari metasentrik menjadi submeta sentrik. Hasil penelitian terhadap morfologi, kadar protein total dan intensitas serangan secara statistika berbeda nyata tetapi tidak berbeda nyata terhadap aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase.

Kata kunci: Terung belanda, UV, kromosom, peroksidase, dan polifenol oksidase.

RESISTANCE OF TAMARILLO (Solanum betaceum Cav) AFTER UV INDUCTION TO Colletotrichum sp.

ABSTRACT

The of resistance of tamarillo (Solanum betaceum Cav) after UV induction to

Colletotrichum sp. has been done from February to December 2012 at Biology

Departement, Faculty of Mathematic and Natural Science and Greenhouse Agriculture Faculty, Sumatera Utara University, Medan. This research used complete factorial randomized design with two factors, which are UV power (0, 10, 20 and 30 watt) and length of UV induction (30, 60 and 90 second). The induction was done by UV light power combined with length of UV exposure to the sp.rout. Chromosome analysis was observed used squash method. The results indicate that the power and duration of UV light had no effect on the number of chromosomes (12n), but some chromosomes are deformed from metacentric to submetacentric. Statistical analysis showed that plant morphology, protein standart content and onset intensity were significantly different while peroxidase and polyphenoloxidase activities were not significant.

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Terung belanda mempunyai aspek fungsional yang tinggi sebagai antioksidan karena mengandung vitamin A, C, E dan B6 (Kumalaningsih & Suprayogi, 2006). Terung belanda juga mengandung mineral penting seperti potassium, fosfor dan magnesium berguna menjaga dan memelihara kesehatan. Terung belanda dimanfaatkan untuk pembuatan sirup, jus, selai hiasan es krim dan acar (Zeladmin, 2012).

Pentingnya peranan terung belanda untuk dikomsumsi maka produksinya harus ditingkatkan. Tanaman ini dapat diserang berbagai jamur seperti Fusarium sp., Colletotrichum sp. dan lain-lain. Sementara itu, tanaman yang tumbuh di Berastagi sebagian besar terserang penyakit terutama antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. Jamur ini sangat berbahaya karena dapat menyerang daun menyebabkan nekrosis. Jamur ini juga menyerang buah mentah dan tinggal dorman selama 3 bulan. Tanaman terung belanda seragam dan rentan terhadap penyakit tersebut sehingga perlu mutan untuk memperoleh tanaman yang tahan. Tanaman mutan diperoleh dengan induksi UV.

Keberhasilan induksi mutasi pada tanaman tergantung jenis mutagen, konsentrasi mutagen, lama perlakuan mutagen, umur dan organ yang diperlakukan (Yanti, 2011). Mutagen fisik adalah berbagai tipe radiasi (contoh sinar-X, gamma, ultraviolet) (Nasir, 2002). Sinar UV dapat menyebabkan terbentuknya ikatan kovalen antara dua molekul timin yang menghasilkan dimer timin. Sinar UV ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kelangsungan dan keefektifan transformasi DNA dari suatu spesies (Setiawan, 2012). Terganggunya aktivitas

2

DNA berakibat pada perubahan pada kromosom dan sintesis protein terganggu. Supriharti et al. (2007) menyatakan penyusunan kromosom dilakukan berdasarkan ukuran dan tipe/bentuknya disebut kariotipe. Ginting (2010) menyatakan peningkatan energi lampu UV sampai 60 watt seiring dengan peningkatan waktu penyinaran sampai 4 jam menyebabkan penurunan tinggi tanaman.

Elimasni (2010 Laporan Penelitian) menyatakan secara in vitro telah dilakukan penelitian pengaruh UV terhadap aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase menggunakan daya UV 10, 20, 30 watt dan lama penyinaran UV 30, 60, 90 detik. Aktivitas enzim PO tertinggi terdapat pada perlakuan U1T3 dan U2T2. Sedangkan aktivitas enzim PPO tertinggi terdapat pada perlakuan U2T3. Agrios (2005) dan Purnama (2009) menyatakan induksi mutasi dan patogen pada tanaman dapat meningkatkan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase. Enzim ini berperan dalam ketahanan pada tanaman. Pada tanaman yang tahan terjadi peningkatan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase. Oleh karena itu, perlu dilakukan induksi UV untuk mengetahui aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase terung belanda yang tahan terhadap Colletotrichum sp.

1.2Permasalahan

Terung belanda mempunyai banyak manfaat karena kandungan nutrisinya yang tinggi, namun perhatian terhadap kualitas dan kuantitasnya masih kurang. Sampai saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas terung belanda misalnya dengan menggunakan kolkisin dan UV namun belum didapat mutan yang tahan terhadap Colletotrichum sp. Oleh karena itu, peneliti mencoba dengan menginduksi biji terung belanda dengan UV untuk mendapatkan mutan yang tahan terhadap penyakit tersebut.

1.3Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui kariotipe dan pertumbuhan terung belanda (Solanum

betaceum Cav) setelah diinduksi UV.

b. Untuk mengetahui aktivitas enzim PO dan PPO terung belanda (Solanum

betaceum Cav) mutan yang tahan terhadap Colletotrichum sp.

1.4 Hipotesis

a. Perbedaan daya dan lama penyinaran lampu UV berpengaruh terhadap kariotipe dan pertumbuhan terung belanda.

b. Inokulasi filtrat Colletotrichum sp. berpengaruh terhadap intensitas serangan, aktivitas enzim PO dan PPO.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Dengan penelitian ini diharapkan memperoleh terung belanda yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang lebih baik.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terung Belanda (Solanum betaceum Cav)

Buah Tamarillo atau terung belanda sangat popular di New Zealand. Tanaman ini berasal dari Peru dan masuk ke Indonesia dikembangkan antara lain di Bali, Jawa Barat, dan Tanah Karo Sumatera Utara (Kumalaningsih & Suprayogi, 2006). Menurut Tjitrosoepomo (2003), klasifikasi terung belanda sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Division : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Solanum

Spesies : Solanum betaceum Cav

Terung belanda dapat bertahan hidup pada ketinggian 1000-2000 m dpl, jika suhu bulanan rata-ratanya tetap diatas 10oC. Di dataran rendah, terung belanda tidak mampu berbunga, sedangkan udara sejuk malam dapat mendorong pembungaan. Tanaman ini berbuah matang pada suhu dingin di daerah subtropik, dan jika ditanam di daerah tropik buah matang sesudah terjadi udara dingin. Buah berasa lebih manis pada musim kemarau yang panas dibandingkan pada musim dingin di dataran tinggi. Terung belanda tumbuh baik di tanah yang baik drainasenya dengan bahan organik dan kelembaban sedang, tetapi tidak tahan terhadap genangan walaupun hanya untuk 1-2 hari. Tanaman ini berakar dangkal sehingga mudah roboh. Cabang mudah patah jika berbuah lebat (Sinaga, 2009).

Terung belanda berupa perdu yang rapuh, tingginya 2-3 m, pangkal batangnya pendek, percabangannya lebat. Daunnya bulat, berselang-seling, berbulu, bunga muncul dalam rangkaian kecil dari ketiak daun, berwarna merah jambu hingga biru muda, berbau harum. Buahnya berbentuk buah buni bulat lonjong dengan meruncing ke ujung. Daging buahnya mengandung sari buah, agak asam, berwarna kuning kehitaman. Bijinya pipih dan tipis (Tubagus, 2007).

2.2 Kromosom Terung Belanda (Solanum betaceum Cav)

Kromosom terung belanda berjumlah 24 (n= 12). Kromosom ini mepunyai dua tipe yaitu metasentrik dan submetasentrik. Penyusunan kromosom dilakukan berdasarkan ukuran dan tipe/bentuknya disebut kariotipe (Supriharti et al, 2007). Metode yang digunakan dalam pengamatan kromosom ini adalah metode pencet dengan pewarna asetokarmin.

Pengamatan kromosom dilakukan pada stadium metaphase, sebab pada stadium ini kromosom tampak jelas karena mengalami kondensasi, yaitu kromatin menggumpal karena menggulung dan melipat rapat. Bagian kromosom yang mengalami kondensasi dan menyempitan disebut sentromer. Sentromer dapat terletak di tengah dan di ujung kromosom. Pada saat pembelahan, benang sitoplasmik dari sentriol menempel pada sentromer dan tertarik kearah kutub pembelahan. Dengan adanya sentromer maka kromosom terbagi menjadi dua bagian, masing-masing bagian tersebut dinamakan lengan kromosom. Jumlah kromosom pada suatu organisme tetap, tetapi ada variasi dalam jumlah dan jenis pola garis kromosomnya (Irawan, 2008).

2.3 Mutasi UV

Mutasi berasal dari kata mutatus (bahasa latin) yaitu perubahan. Mutasi didefinisikan sebagai perubahan genetik (DNA) yang diwariskan pada keturunan.

6

Istilah mutasi pertama kali digunakan oleh Hugo de Vries, untuk mengemukakan perubahan fenotip mendadak pada bunga Oenothera lamarckiana dan bersifat menurun. Ternyata perubahan tersebut terjadi karena penyimpangan kromosom. Mutasi adalah perubahan materi genetik suatu makhluk yang terjadi secara tiba-tiba, acak dan merupakan dasar sumber variasi organisme hidup. Mutasi ada dua macam yaitu mutasi gen dan mutasi genom. Peristiwa terjadinya mutasi disebut mutagenesis. Makhluk hidup yang mengalami mutasi disebut mutan dan faktor penyebab mutasi disebut mutagen (Warianto, 2011).

Mutagen digunakan untuk induksi mutasi pada tanaman tingkat tinggi. Secara umum mutagen dikelompokkan dalam mutagen kimia dan fisik. Mutagen kimia adalah berbagai senyawa kimia (contoh kolkisin, EMS). Mutagen fisik adalah berbagai tipe radiasi (contoh sinar-X, gamma, ultraviolet) (Nasir, 2002). Sinar ultraviolet (UV) adalah tipe radiasi elektromagnetik yang digunakan untuk induksi mutasi. Secara umum, tiga kelas radiasi UV yaitu; UV-A ( = 320-400 nm), UV-B ( = 280-320 nm) dan UV-C ( = 250-290 nm). UV-A dan UV-B ada pada cahaya matahari dan UV-C pada lapisan ozon. Gelombang pendek UV-C digunakan sebagai agen mutagen. Panjang gelombang UV-C 254 merupakan penyerapan maksimal asam nukleat (DNA) (Harten, 1998).

Sinar UV dapat menyebabkan terbentuknya ikatan kovalen antara dua molekul timin yang menghasilkan dimer timin. Sinar UV ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kelangsungan dan keefektifan transformasi DNA dari suatu spesies (Setiawan, 2012). Terganggunya aktivitas DNA berakibat pada perubahan pada kromosom dan sintesis protein terganggu. Daryono (1998) menyatakan variasi jumlah dan pola garis kromosom terjadi apabila ada pengaruh dari luar seperti penyinaran radioaktif, dan zat mutagenik.

Mutagenesis dengan UV pada Kluyveromyces masxianus menyebabkan penurunan persentase sel hidup, peningkatan pertumbuhan diameter koloni mutan, aktivitas spesifik inulinase ekstraselular, dan penambahan berat kering sel (Zul et al, 2003). Menurut Ginting (2010), peningkatan energi lampu UV sampai 60 watt

seiring dengan peningkatan waktu penyinaran sampai 4 jam menyebabkan penurunan tinggi tanaman, panjang dan lebar daun, berat basah dan berat kering tanaman, tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah daun dan berpengaruh terhadap peningkatan kadar klorofil. Menurut Purnama (2009), pemberian mutagen seperti EMS berpengaruh terhadap aktivitas enzim seperti PO dan PPO.

2.4 Enzim

Enzim adalah protein yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi yang berlangsung di dalamnya (Martoharsono, 1998). Enzim juga disebut katalisator untuk reaksi-reaksi kimia di dalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator reaksi-spesifik karena semua reaksi biokimia perlu dikatalisis oleh enzim. Hampir setiap senyawa organik terdapat satu enzim pada beberapa organisme hidup mampu bereaksi dan mengkatalisis beberapa perubahan kimia (Indah, 2004).

Dalam suatu organisme suatu reaksi tertentu tidak harus dikatalisis oleh satu enzim saja. Suatu sel mengandung enzim-enzim yang strukturnya mirip dan menggunakan mekanisme katalisis yang sama tetapi parameter kinetik berbeda untuk memenuhi kebutuhan sel. Enzim seperti ini disebut isoenzim atau isozim (McGilvery & Goldstein, 1996). Isozim merupakan bentuk enzim berbeda yang mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Isozim ini berasal dari duplikasi gen. Isozim dapat memperlihatkan perbedaan ringan dalam sifat sensivitas terhadap faktor regulatorik tertentu atau afinitas substrak yang mengadaptasikan isozim kejaringan atau lingkungan tertentu (Santoso, 2010).

Pada beberapa enzim yang mengkatalisis reaksi kimia tertentu berada dalam bentuk multiple di dalam organisme. Bentuk multiple isozim ini disusun oleh beberapa macam polipeptida (Shahib, 1992). Suatu organisme mempunyai isozim yang berbeda untuk mengakatalisis reaksi yang sama karena faktor

8

lingkungan. Jika lingkungan berubah, isozim paling aktif melaksanakan fungsinya dan membantu organisme bertahan hidup. Disamping itu, satu isozim sering terdapat pada satu jaringan atau organ dan yang lain pada jaringan atau organ yang berbeda dengan fungsi berbeda. Isozim yang berbeda kadang dijumpai pada sel yang sama. Setiap isozim terpajan pada lingkungan kimia yang berbeda di dalam sel, dan masing-masing berperan dalam urutan reaksi (lintasan metabolik) yang berlainan. Jadi, didalam tiap organel, sel atau jaringan setiap organisme, keberadaan lebih dari satu isozim berguna untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan (Salisbury & Ross, 1995).

Penggunaan penanda isozim seperti PO dan PPO mempunyai kelebihan karena diatur oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisan, bersegregasi secara normal menurut nisbah Mendel, kolinier dengan gen dan merupakan produk gen. Penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman sampai bereproduksi (Cahyarini et al., 2004).

2.4.1 Peroksidase (PO)

Peroksidase termasuk anggota enzim oksidoreduktase. Enzim peroksidase mudah dideteksi karena aktivitasnya yang tinggi dan dapat menggunakan sejumlah substrak sebagai donor hidrogen. Peroksidase pada tanaman merupakan isoenzim yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan pertahanan (Cahyarini et al., 2004). Menurut Gaspar (1984) dalam Yanti (2011), peroksidase terdapat di vakuola atau ruang interseluler dan dinding sel dengan berat molekulnya 40 kDa.

Peroksidase berfungsi mengoksidasi fenol dan meningkatkan laju polimerisasi senyawa-senyawa seperti lignin yang terdeposit dalam dinding sel dan papila serta mengganggu pertumbuhan dan perkembangan patogen (Agrios, 1996). Aktivitas enzim ini akan meningkat apabila ada cekaman kekeringan,

patogen dan induksi mutagen. Tanaman tahan penyakit memiliki aktivitas enzim peroksidase yang tinggi. Menurut Gaston dan Davies (1970), mekanisme tanaman mengahadapi cekaman karena serangan patogen adalah dengan pembentukan dinding sel baru yang tidak tembus air dan pembentukan fitoaleksin melalui aktivitas peroksidase.

2.4.2 Polifenol Oksidase (PPO)

Enzim polifenol oksidase (PPO) adalah enzim oksidoreduktase yang mengandung tembaga (Cu) yang berperan dalam proses melanisasi pada hewan dan pencoklatan pada tanaman. Enzim PPO tersebar luas di alam, mempunyai berat molekul 128 kDa dalam keadaan murni, tidak berwarna, dan stabil pada pH netral. Konsentrasi enzim yang tinggi ditemukan pada umbi kentang, apel, pisang, alpukat, daun teh, biji kopi dan daun tembakau. Selain pada tanaman, enzim PPO juga ditemukan pada bakteri dan mamalia. Enzim polifenol oksidase atau PPO dalam tanaman berperan terhadap sistem ketahanan dan penyembuhan jaringan yang terluka. Peningkatan aktivitas PPO dalam jaringan tanaman terserang penyakit sejalan dengan bertambah luasnya serangan, makin parah serangan maka jumlah sel yang terangsang menghasilkan PPO akan semakin banyak (Julhasratman, 2012).

Banyak penyakit berkaitan dengan pengaruh enzim seperti kekurangan jumlah dan aktivitas PO dan PPO. Hal ini disebabkan karena kelainan genetik, kekurangan gizi atau toksin. Biosintesis enzim merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan proses di inti sel dan sitoplasma. Adanya gangguan pada biosintesis tersebut mengakibatkan perubahan efektifitas dalam pembentukan enzim yang berdampak pada jumlah enzim (Santoso, 2010). Enzim PO dan PPO berperan dalam mengkatalisis berbagai proses oksidatif pada reaksi perubahan warna, cita rasa, dan pembentukan senyawa toksin sebagai reaksi atas serangan patogen atau luka pada jaringan tanaman (Gardjito et al., 2006).

10

Beberapa senyawa fenolik (fenol) dan hasil oksidasi enzimnya (quinon) menghasilkan ketahanan terhadap penyakit melalui reaksi penghambatan terhadap enzim pektinolitik dan enzim patogen lain, tetapi bukan terhadap patogen itu sendiri. Pada beberapa penyakit pada jaringan yang lebih tahan, kandungan fenolnya lebih tinggi dan fenol tersebut tidak menghambat pertumbuhan patogen. Fenol tersebut menghambat enzim pektinolitik dan memberi peranan dalam ketahanan terhadap patogen (Agrios, 1996).

2.5 Jamur Collectotrichum sp.

Colletotrichum merupakan jamur yang bersifat kosmopolitan, sehingga jamur ini

dapat menyebabkan penyakit pada beberapa jenis tanaman. Menurut Wahyuni (2011), pengamatan mikrokropis koloni Colletotrichum sp. memperlihatkan hifa bersepta tipis, konidiofor pendek tidak bercabang, konidium bersel satu, jorong memanjang, tidak bersekat, dan terbentuk pada ujung konidiofor.

Penyakit Colletotrichum atau antraknosa menunjukkan simpton pada daun, batang, dan buah. Penyakit ini menyebabkan nekrosis pada daun. Gejala ini yang disebut sebagai hawar daun (leaf blight). Daun muda yang sakit dapat juga membentuk bintik-bintik kecil dan biasanya rontok. Pada daun dewasa, bercak-bercak nekrosis tidak teratur. Bercak-bercak-bercak ini dapat menjadi lubang (Semangun, 2000). Serangan lebih berat pada musim hujan. Pada serangan berat, batang dan buah terserang juga (Tjahjadi, 1989). Cuaca yang sangat lembap membantu jamur membentuk banyak spora pada bagian tanaman yang sakit. Pada bagian-bagian bunga terjadi bintik-bintik kecil berwarna hitam dan akan menyebabkan sebagian atau seluruh kuncup bunga rontok (Semangun, 1996).

Penyakit antraknosa tersebar melalui biji atau benih, angin dan sisa tanaman yang terserang. Pengendalian dilakukan dengan pemusnahan bagian tanaman yang terserang, pergiliran tanaman dan penyemprotan fungisida yang disesuaikan dengan tempat penanaman varietas yang terserang (Tjahjadi, 1989).

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Desember 2012 di Laboratorium sentral, Mikrobiologi, Genetika, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah cawan petri, gelas benda, gelas penutup, mikroskop, kamera digital, polibag, gelas ukur, corong, Erlenmeyer, gelas beker, tabung reaksi, rak tabung reaksi, spatula, tangkai pengaduk, neraca analitik, pinset, pisau, lampu spiritus, oven, inkubator, autoklaf, kulkas, silet, vortex, gunting, pipet volume, mikro pipet, pipet serologi, pensil, penggaris, mortar, semprot tangan, aluminium poil, thermos, spektrofotometer dan sentrifus.

Bahan yang digunakan adalah biji terung belanda (Solanum betaceum Cav) varietas berastagi, media kompos : pasir : humus (1:1:1), sinar UV, kertas saring, akuades, gliserin, asetokarmin, HCl 1N, asam asetat, filtrat Colletotrichum sp., media PDA, media GYB, alkohol 70%, H2SO4 5%, H2O2, Triton X 100 0,15 %, nitrogen cair, buffer fosfat , buffer Tris-HCl, BSA, Quick Strat Bradford, dan pyrogallol.

12

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktorial dengan dua faktor yaitu:

1. Faktor Daya UV (U) U0 = tanpa penyinaran U1 = 10 watt

U2 = 20 watt U3 = 30 watt

2. Faktor Lama Penyinaran (T) T1 = 30 detik

T2 = 60 detik T3 = 90 detik

Banyak perlakuan adalah kombinasi kedua faktor yaitu intensitas lampu UV dan lama penyinaran yaitu 4x3 = 12 perlakuan, dengan 3 ulangan. Unit percobaan berjumlah 36. Penelitian dibuat sebanyak 2 set yaitu satu set untuk pengamatan kromosom dan satu set lainnya untuk mengevaluasi aktivitas enzim PO dan PPO.

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Persiapan dan Penanaman Biji Terung Belanda

Biji terung belanda diambil dari buah yang masak, dikering anginkan dan dipilih biji yang baik secara visual. Biji direndam di dalam air kemudian dikecambahkan dengan media kertas saring di dalam cawan petri sampai didapatkan kecambah yang berumur 1 minggu. Kecambah diperlakukan dengan UV sesuai dengan uraian metode penelitian. Setelah penyinaran, kecambah di tanam dalam polibag dengan media kompos : pasir : humus (1:1:1) (Nainggolan, 2008).

3.4.2 Pengamatan Kromosom

Setelah kecambah berumur 2 minggu, preparat dibuat dari bagian ujung akar untuk mengamati kromosom. Pembuatan preparat untuk mengamati kromosom menggunakan ujung akar meristematis dengan metode pencet (Suntoro, 1983).

Ujung akar difiksasi dengan asam asetat 45% dan dimasukkan pada lemari pendingin selama 15 menit. Ujung akar yang telah difiksasi dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali dan didiamkan selama 30 detik didalam HCl 1N pada suhu 500 C. Ujung akar dimasukkan pada larutan pewarna asetokarmin dan dibiarkan selama 30 menit. Ujung akar diambil, diletakkan diatas objek gelas, ditetesi dengan gliserin dan ditutup dengan gelas penutup. Ujung akar dipencet hingga hancur. Preparat diamati dibawah mikroskop, difoto dengan perbesaran 1000X dan hasil foto diolah dengan photoshop CS3. Kromosom disusun membentuk kariotipe Solanum betaceum Cav (Lampiran 3, hal. 30).

3.4.3 Isolasi dan Pembuatan Filtrat Colletotrichum sp.

Isolat Colletotrichum sp. diisolasi dari akar, batang dan daun terung belanda. Disterilisasi dengan alkohol 70% dan ditumbuhkan pada media PDA. Jamur yang tumbuh dimurnikan dan diidentifikasi menurut Alexopoulus (1972).

Gambar 3.4.3 Biakan Colletotrichum sp pada media GYB (a), filtrat Colletotrichum sp. (b), konidia Colletotrichum sp. (c)

Isolat Colletotrichum sp. ditumbuhkan di dalam media GYB dan diinkubasi ±2 minggu. Kerapatan konidia dihitung sampai 108 sel/ml. Filtrat

c b

14

Colletotricum sp. dibuat dengan memsentrifius media GYB yang berisi

Colletotrichum sp. dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 menit sehingga

terbentuk endapan dan supernatan. Supernatan diambil dan disaring. Supernatan digunakan sebagai filtrat. Konsentrasi filtrat yang terbentuk dianggap 1000 ppm (Komunikasi pribadi, Elimasni, 2012). Dari stok filtrat dibuat pengenceran 0,025,

Dokumen terkait