• Tidak ada hasil yang ditemukan

13. Ekstrak kasar - penentuan suhu dan pH

optimum

- kestabilan panas - kestabilan panas pada kondisi optimum - IC50 - mekanisme penghambatan - penentuan bobot molekul protein

14. Hasil pengendapan dengan aseton - penentuan suhu dan pH

optimum

- kestabilan panas - kestabilan panas pada kondisi optimum - penentuan bobot molekul protein

15. Hasil pemurnian dengan filtrasi gel - penentuan suhu dan pH

optimum

- kestabilan panas - kestabilan panas pada kondisi optimum

- IC50

- pola penghambatan - penentuan bobot molekul protein

16. Hasil pemurnian dengan penukar ion - penentuan bobot molekul

Penelitian tahap I isolasi dan identifikasi bakteri serta pemilahan bakteri yang berasosiasi dengan spons sebagai penghasil inhibitor protease

Tahap I meliputi pengumpulan sampel, pemilahan dan pemurnian bakteri yang berasosiasi dengan spons, karakterisasi bakteri penghasil inhibitor protease, penentuan bakteri penghasilkan inhibitor protease dalam media marine broth

dengan aktivitas tertinggi dan identifikasi bakteri penghasil inhibitor protease. Pengumpulan sampel

Sampel spons diambil dari Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu sebanyak 10 jenis dan diambil pada kedalaman berbeda (4-12 m). Sampel disimpan dalam media marine broth : gliserol = 1 : 1. Lokasi pengambilan sampel spons disajikan pada Lampiran 3.

Pemilahan dan pemurnian bakteri yang berasosiasi dengan spons.

Masing-masing spons (1 gram) dihancurkan menggunakan mortar, lalu diencerkan 10 kali. Supernatan sebanyak 200 µl disebar pada marine agar dan diinkubasi pada suhu 30 oC selama 5 hari. Pemurnian dilakukan dengan cara menggoresnya berulang kali, sampai didapatkan koloni tunggal yang murni.

Pemilahan bakteri penghasil inhibitor protease yang berasosiasi dengan spons (Modifikasi Imada 1986)

Pemilahan dilakukan dengan menggunakan metode plate agar dua lapis. Lapisan bawah terdiri dari marine agar (MA), sedangkan lapisan atas terdiri dari luria bertani agar (LA) yang diberi skim 1,5 % (w/v). Isolat bakteri laut yang akan dipilah, ditusukkan pada lapisan bawah (MA), lalu diinkubasi 24, 48, dan 72 jam pada suhu 30 oC. Isolat yang tumbuh dibuang, kemudian diberi lapisan atas. Isolat bakteri patogen ditusukkan pada bagian atas lalu diinkubasi 24 jam pada suhu 37 oC. Isolat yang positif menghasilkan inhibitor protease menunjukkan tidak adanya zona bening di sekitar koloni bakteri patogen atau bakteri patogen tidak tumbuh.

Karakterisasi bakteri penghasil inhibitor protease

Isolat yang potensial menghasilkan inhibitor protease dikarakterisasi fisiologis (gram, spora, motilitas) dan biokimiawi.

Pewarnaan gram (Cappucino dan Shermna 1983).

Satu tetes kultur bakteri diletakkan pada gelas obyek dan difiksasi dengan panas. Olesan bakteri digenangi dengan larutan kristal violet selama 1 menit, kemudian dibilas dengan akuades, lalu ditiriskan. Olesan itu selanjutnya digenangi dengan larutan KI selama 2 menit, dibilas dengan akuades, kemudian ditiriskan. Tahap selanjutnya adalah pemucatan dengan alkohol 95 % (v/v) diikuti pembilasan menggunakan akuades, kemudian ditiriskan. Olesan bakteri tersebut digenangi

21

dengan safranin selama 30 detik, dibilas dengan akuades, dan ditiriskan. Kelebihan air diserap menggunakan kertas tisu. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop. Bila sel bakteri bakteri berwarna merah berarti bakteri tersebut termasuk golongan bakteri gram negatif, dan sebaliknya jika berwarna biru termasuk golongan bakteri gram positif.

Motilitas (Jenie dan Fardiaz 1989)

Uji ini dilakukan dengan menusukkan satu ose dalam media SIM 0.5 % (w/v), diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam. Bila koloni menyebar berarti bakteri mempunyai motilitas positif.

Morfologi sel (JEOL 1995)

Metode ini dilakukan menggunakan mikroskop elektron dan diperuntukkan khusus untuk isolat 6A3. Tahapannya adalah sebagai berikut: isolat 6A3 ditumbuhkan pada media marine broth hingga mencapai fase logaritmik (OD 0,8). Pelet diperoleh dengan cara memisahkannya dari media melalui sentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 15 menit. Pelet difiksasi dengan glutaraldehida 2,5 % (v/v) dalam 0,1 M bufer sodium cacodilat pH 7,2, dibiarkan selama 1,5 jam, dicuci dua kali dengan bufer cacodilat 0,05 M, pH 7,2 masing-masing selama 20 menit. Selanjutnya difiksasi dengan osmium tetraoksida 1 % (w/v) dalam bufer cacodilat 0,05 % (w/v), pH 7,2 selama 1-2 menit, lalu dicuci dengan akuabides sebanyak tiga kali, masing-masing selama 2 menit. Pelet yang sudah difiksasi dikeringkan dengan etanol pada berbagai konsentrasi secara bertahap, dimulai dari 25, 50, 75 kemudian 100 % (v/v) sebanyak tiga kali, masing-masing selama 10 menit. Pelet diambil dan dilewatkan melalui membran 0,2 µm untuk selanjutnya direkatkan pada stub aluminium dan dilapisi dengan emas melalui proses vakum (6-7 Pa) selama 20 menit, kemudian sampel diamati dibawah

scanning electron microscope (SEM) tipe JEOL 5310.

Pewarnaan spora (Lay 1994)

Pertama-tama disiapkan preparat ulas dari bakteri yang akan diuji. Preparat ulas yang sudah diberi warna hijau malasit dipanaskan dengan terlebih dahulu menempatkan kertas saring diatas preparat guna menghindari penguapan yang tidak merata. Setelah dingin warna hijau malakit akan terperangkap ke dalam spora. Kelebihan warna hijau malakit dibuang dengan cara membilas dengan akuades, setelah terlebih dahulu kertas saring dibuang. Dengan demikian warna hijau malasit yang tertinggal adalah yang ada di dalam spora. Untuk melihat sel vegetatif dilakukan pemberian safranin selama 60 detik, tanpa pemanasan. Kelebihan warna merah dibuang dengan akuades. Pengamatan dilakukan dengan

mikroskop. Warna merah merah menunjukkan sel vegetatif dan warna hijau menunjukkan adanya spora.

Penentuan kisaran suhu, pH, dan konsentrasi NaCl (%) pertumbuhan bakteri (isolat 6A3)

Kisaran suhu pertumbuhan ditentukan dengan cara menumbuhkan bakteri

pada suhu 10-40 oC. Kisaran pH pertumbuhan ditentukan dengan cara

menumbuhkan bakteri pada pH 3-10. Sedangkan kisaran pH pertumbuhan ditentukan dengan menumbuhkan bakteri pada konsentrasi NaCl 1-50 % (w/v). Semua uji tersebut dilakukan dalam media marine broth.

Uji biokimia (MVD)

Pengujian biokimiawi dilakukan menggunakan kit Microbact 12A dan 12B. Adapun yang diamati adalah lisina, ornitin, H2S, glukosa, manitol, xilosa, ortonitrofenil-ß-d-galaktopiranosida (ONPG), indol, urease, Voges Preskauer (VP), sitrat, dan triptofan deaminase (TDA) (Microbact Kit 12A), serta gelatin, malonat, inositol, sorbitol, ramnosa, sukrosa, laktosa, arabinosa, adonitol, rafinosa, salisina, dan arginina (Microbact Kit 12B).

Penentuan bakteri penghasil inhibitor protease tertinggi dalam media marine broth Media yang digunakan adalah marine broth. Tahap propagasi dilakukan pada suhu 30 oC dengan kecepatan 150 rpm hingga mencapai fase logaritmik. Setelah itu dilakukan kultivasi selama 52 jam pada kondisi yang sama. Pengamatan pada penentuan optimasi waktu produksi dilakukan tiap 4 jam sekali. Ekstrak kasar didapatkan dengan cara melakukan sentrifugasi terhadap sampel yang diambil pada kecepatan 8.000 rpm selama 15 menit. Analisis meliputi pH, OD (λ=660 nm), dan konsentrasi protein (metode Bradford), dan aktivitas inhibitor protease (Imada

et al. 1985c). Sebagai substrat digunakan protease dari E. coli, P. aeruginosa, dan

S. aureus yang diproduksi dengan metoda Baehaki (2004). Disamping itu juga dilakukan penentuan konsentrasi NaCl yang tepat untuk pertumbuhan isolat 6A3 dan produksi inhibitor protease dalam media fermentasi dengan perlakuan konsentrasi NaCl 1–4 % (w/v). Pertumbuhan terbaik isolat 6A3 ditentukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) sederhana 1 faktor, sedangkan uji lanjutnya menggunakan Uji Duncan (Steel dan Torrie 1980).

Identifikasi bakteri penghasil inhibitor protease tertinggi.

Identifikasi mikroba dilakukan dengan metode 16S rRNA (Santosa 2001). Beberapa tahap yang harus dilakukan untuk analisis ini adalah (a) isolasi DNA, (b) perbanyakan gen DNA menggunakan PCR, (c) sequencing DNA.

23

Isolasi DNA

DNA diisolasi dari bakteri dengan cara sebagai berikut: sebanyak 0,1 g sel bakteri dicampur dalam tabung mikro dengan 200 µl buffer TE, sampel dihomogenkan dengan tip pipet, kemudian ditambahkan 500 µl DAS-Iz. Sebanyak 500 µl kloroform-isoamilalkohol (24:1) ditambahkan ke dalam larutan, dicampur selama 1 menit, lalu disentrifugasi pada kecepatan 15.000 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dengan pipet dan pipet dicampur dengan 0,54 x volume isopropanol dingin, didiamkan pada suhu 4 oC selama 15 menit. Pellet dicuci dengan 70 % (v/v) alkohol, lalu disentrifugasi selama 2 menit. Pellet dikeringkan pada suhu kamar selama 10-15 menit dan dilarutkan dalam 200 ml buffer TE. 200µl DNA crude extract dicampur dengan 200 µl larutan DAS-IIz, disentrifugasi. Pellet dilarutkan dengan 200µl buffer TE, kemudian diekstrak dengan 200 µl fenol dan kloroform-isoamilalkohol. Larutan diendapkan dengan 0,7x volume isopropanol. Pellet dicuci dengan 70 % (v/v) alkohol dan dielusi dalam 10µl H2O.

Perbanyakan DNA menggunakan PCR

Tahap ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: pertama-tama disiapkan campuran reaksi yang terdiri atas 5 µl (10x buffer taq-polimerase), 10 µl dNTPs (masing-masing 2,5 mM), 30 µl H2O, dan primer 2,5 µl (12 mM). Sebanyak 10-500 pg DNA dan 2 U taq polymerase ditambahkan. Primer yang digunakan untuk analisis 16S rDNA adalah 16F27 dan 16R1492. Setelah itu dilakukan amplifikasi DNA menggunakan PCR, tahapannya yaitu: denaturasi pada suhu 94 oC selama 2 menit, dilanjutkan dengan 30 siklus denaturasi pada 94 oC selama 1 menit; annealing pada suhu 45 oC selama 1 menit, dan ekstensi pada suhu 72 oC selama 2 menit. Setelah itu dilanjutkan dengan siklus ekstensi pada 72 oC selama 10 menit.

Sequencing DNA

Sequencing DNA dilakukan dengan cara sebagai berikut: DNA diamplifikasi kembali menggunakan PCR dengan primer tunggal T7, dalam 20 µl campuran reaksi taq-polimerase, nukleotida berlabel, dan DMSO dengan kondisi seperti di atas; sebanyak 100 µl H2O ditambahkan ke larutan DNA yang akan diamplifikasi. Larutan yang diinginkan sebanyak 120 µl ke dalam tabung mikro baru, ditambahkan 18 µl 2 M sodium asetat, pH 5 dan 300 µl etanol. Larutan disentrifugasi selama 10 menit, supernatan dibuang secara hati-hati, disisakan 20-30 µl, kemudian dicuci dengan 70 % (v/v) alkohol, disentrifugasi kembali selama 2 menit, disisakan supernatan 20-30 µl, kemudian pellet dikeringkan menggunakan pompa vakum. DNA produk yang dihasilkan disekuens menggunakan automatic

DNA sequencer (ABI PRISM 377 DNA sequencer) dengan prosedur yang sesuai dengan instruksi di buku petunjuk. Hasil sekuens adalah berupa urutan basa DNA.

Hasil pengurutan DNA dibandingkan dengan data gen 16S rRNA dari

GenBank menggunakan program pencarian BLAST dari NCBI

(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST) guna memperoleh urutan dengan tingkat homologi yang tinggi dengan urutan nukleotida isolat 6A3. Sebanyak 16 untai urutan DNA dari GenBank termasuk sekuen DNA isolat 6A3 disusun dengan format FASTA3 untuk dilakukan analisis kemiripan menggunakan program ClustalW dari situs www.ebi.ec.uk/clustalW. Hasil yang diperoleh disimpan pada software

TreeConW, yang selanjutnya digunakan untuk membuat pohon filogenetik dalam format Phylip menggunakan program tersebut dengan replikasi bootstrap 100x. Jenis dan nomor akses urutan DNA yang digunakan untuk pembuatan pohon filogenetik disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis dan nomor akses bakteri yang digunakan untuk pembuatan pohon filogenetik

Jenis bakteri Nomor akses

Chromohalobacter canadiensis AJ295143

Chromohalobacter sp. 1A1-2 AB89308.1

Pseudomonas beijerinckii AB021386.1

Chromohalobacter nigriensis AJ277205

Chromohalobacter sarecenensis AB105069.1

Halomonas elongata AJ295147

Chromohalobacter MAN K24 AB166934.1

Chromohalobacter sp. Is-Chi AB189306.1

Isolat 6A3 DQ631801

Halomonas nitritophilus AJ309564.1

Deleya marina M93354.1

Cobetia marina AB167062.1

Pseudomonas sp. AB055789.1

Haererehalobacter ostenderiensis U78786.1

Halomonas sp. NT N110 AB167027.1

Staphylococcus aureus AY859409

Penelitian tahap II optimasi media yang digunakan untuk produksi inhibitor protease

Pada tahap ini dilakukan produksi protease dari bakteri patogen dan seleksi media produksi inhibitor protease.

Produksi protease (Baehaki 2004)

Bakteri patogen yang telah diremajakan, diinokulasi sebanyak 1-2 lup pada media Luria Bertani Broth (LB) sampai mencapai fase logaritmik (OD mencapai 0,8; λ=620 nm). Sebanyak 10 % (v/v) inokulum dipindahkan ke dalam 100 ml media produksi (LB), selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama waktu

25

tertentu (waktu optimum untuk guna mendapatkan enzim protease ekstraseluler), yaitu protease dari S. aureus 16 jam, E. coli 24 jam, P. aeruginosa 40 jam, Listeria

sp. 24 jam, Aeromonas hydrophilla 48 jam, dan S. epidermidis 48 jam. Untuk memisahkan sel dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 8.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 oC. Supernatan yang mengandung enzim (ekstrak kasar) diuji aktivitasnya menggunakan metode Walter (1984) pada substrat kasein (Sigma) dan kadar proteinnya menurut metode Bradford dalam Hammond dan Kruger (1988). Optimasi media produksi inhibitor protease

Optimasi dilakukan pada media marine broth yang ditambah dengan glukosa 0,1 % (w/v) dan konsentrasi yeast extract yang bervariasi (0,1; 0,5; dan 1,0 % w/v), dan pH media (7 dan 8) untuk isolat 6A3. Sebagai pembanding digunakan media marine broth yang ditambah glukosa 0,05 % (w/v). Selanjutnya dilakukan optimasi media pada media marine broth yang ditambah glukosa 0,05 % (w/v) dengan konsentrasi yeast extract 0,1; 0,2; 0,3 dan 0,4 % (w/v). Pengamatan dilakukan tiap 4 jam sekali. Sampel yang diambil disentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm selama 15 menit. Analisis yang dilakukan meliputi OD (λ=660 nm), pH, konsentrasi protein (metode Bradford), dan aktivitas inhibitor protease (Imada

et al.1985c).

Penelitian Tahap III pemurnian inhibitor protease

Tahap ini meliputi ekstraksi inhibitor protease dan pemurnian inhibitor protease menggunakan kolom kromatografi.

Ekstraksi inhibitor protease

Ekstrak kasar yang diproduksi menggunakan medium dan kondisi produksi optimum, selanjutnya diekstraksi menggunakan aseton dan ammonium sulfat (NH4)2SO4. Konsentrasi aseton yang ditambahkan 20-60 % (v/v), sedangkan konsentrasi ammonium sulfat yang ditambahkan adalah 50-80 % kejenuhan (w/v). Proses ekstraksi dilakukan pada suhu dibawah 4 oC. Ekstrak kasar yang sudah diendapkan dengan ketiga jenis bahan tersebut, selanjutnya disimpan selama 1 malam pada suhu 4 oC. Tahap selanjutnya adalah sentrifugasi pada suhu 4 oC, kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Pengamatan meliputi penentuan konsentrasi protein (mg/ml) dan aktivitas inhibitor protease (U/ml) (Imada, 1985c) baik pada supernatan maupun pada pelet.

Dialisis dan pengeringan beku

Dialisis berguna untuk membuang molekul-molekul yang berukuran lebih kecil dari molekul inhibitor, termasuk untuk membuang garam dan pelarut organik yang digunakan selama proses ekstraksi. Kantung dialisis yang digunakan

mempunyai cut off 12 kD. Proses dialisis dilakukan dengan waktu 4 jam dan semalam. Proses dialisis akan menyebabkan pengenceran terhadap inhibitor protease. Oleh karena itu dilanjutkan dengan pemekatan dengan pengering beku sampai mengalami pemekatan 100x.

Pemurnian dan produksi inhibitor protease

Sebelum dimurnikan, inhibitor protease terlebih dahulu dikering-bekukan. Tujuannya adalah untuk memekatkan bahan tersebut sehingga konsentrasi proteinnya memenuhi syarat untuk keperluan pemurnian.

Pemurnian dilakukan 2 tahap, tahap pertama menggunakan metode filtrasi gel dan tahap kedua menggunakan penukar ion. Pemurnian dengan filtrasi gel dilakukan dengan bahan pengelusi yaitu buffer TrisHCl pH 5, sedangkan matriknya adalah Sephadex G-75. Fraksi dikumpulkan dengan fraction collector. Masing-masing fraksi berisi 3 ml eluen. Fraksi dengan aktivitas tinggi dikumpulkan untuk selanjutnya dimurnikan dengan penukar ion. Konsentrasi NaCl yang digunakan adalah 0,6 M. Matrik yang digunakan Sephadex A-50. Masing-masing fraksi berisi 2 ml eluen. Masing-masing fraksi diuji konsentrasi protein (mg/ml) dengan metode Bradford dan aktivitasnya diuji dengan metode Imada et al. (1985c).

Setelah didapatkan metode pemurnian yang tepat, tahap selanjutnya adalah produksi inhibitor protease dengan metode terbaik untuk setiap tahapnya.

Penelitian tahap IV karakterisasi inhibitor protease

Karakterisasi inhibitor protease dilakukan terhadap ekstrak kasar, hasil pengendapan dengan aseton, dan hasil pemurnian dengan filtrasi gel. Karakterisasi meliputi penentuan suhu optimum, pH optimum, kestabilan panas, kestabilan panas pada kondisi optimum, serta penentuan bobot molekul. Khusus untuk ekstrak kasar, dilakukan karakteristik tambahan berupa penentuan IC50 dan mekanisme penghambatan inhibitor protease. Sedangkan pada inhibitor protease hasil filtrasi gel dilakukan karakteristik tambahan berupa penentuan penghambatan dengan metode zimogram, ketahanan pH, pengaruh berbagai substrat (protease) dan logam terhadap aktivitas inhibitor protease, serta IC50. Selain itu juga dilakukan penentuan model penghambatan inhibitor protease.

Penentuan suhu optimum

Tahap ini dilakukan dengan cara menginkubasi sampel yang diuji aktivitas inhibitornya pada suhu yang berbeda, yaitu 10-70 oC dengan interval 10 oC. Setelah itu diukur aktivitasnya sesuai prosedur Imada et al. (1985c)

27

Penentuan pH optimum

Penentuan pH optimum dilakukan dengan cara sebagai berikut: sampel yang akan diuji ditambahkan buffer dengan pH berbeda, yaitu berkisar 3-12, dengan interval 1. Setelah itu diukur aktivitasnya sesuai prosedur Imada et al. (1985c) dengan suhu inkubasi merupakan suhu optimum untuk inhibitor protease tersebut. Stabilitas panas

Uji ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: sampel disimpan pada suhu yang berbeda, yaitu antara 10-70 oC, dengan interval 10 oC selama 10 menit. Setelah itu sampel tersebut diukur aktivitasnya sesuai prosedur Imada et al. (1985c), menggunakan kondisi suhu dan pH optimum berdasarkan hasil analisa sebelumnya.

Stabilitas panas pada kondisi optimum

Sampel sebelumnya disimpan pada kondisi optimum (suhu dan pH optimum) selama 8 jam, dengan interval waktu 1 jam. Setelah itu sampel diukur aktivitasnya sesuai prosedur Imada et al. (1985c) pada kondisi optimum.

Penentuan IC50

Definisi IC50 adalah besarnya konsentrasi inhibitor protease yang dapat menghambat aktivitas protease sebesar 50 %. Analisa ini dilakukan menggunakan metode sumur. Ekstrak kasar dengan jumlah yang bervariasi (500, 1000, 1500, 2000, dan 2500 µl) ditambahkan ke dalam media marine agar. Untuk kontrol tidak

ditambahkan ekstrak kasar. Setelah dibuat sumur, bakteri patogen (E. coli, S. aureus, dan P. aeruginosa) dengan OD 0,8 dimasukkan ke dalam sumur sebanyak 2 µl. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Besarnya penghambatan (%) dihitung dengan cara sebagai berikut :

% penghambatan = 1 - A B

Keterangan : A= zona bening koloni yang mendapat penambahan inhibitor B= zona bening kontrol (tanpa penambahan inhibitor)

SDS PAGE dan zimogram

Penentuan bobot molekul dilakukan menggunakan SDS PAGE (Laemmli 1970). Konsentrasi akrilamid yang digunakan dalam analisis ini adalah 10 % (w/v). Pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan perak. Prosedurnya sebagai berikut: gel direndam dalam larutan fiksasi (25 % (v/v) metanol dan 12 % (v/v) asam asetat) selama 1 jam kemudian direndam dalam 50 % (v/v) etanol selama 20 menit, kemudian diganti dengan 30 % (v/v) etanol selama 2x20 menit, larutannya diganti dengan pengembang kemudian dicuci dengan akuabidestilata, setelah dicuci ditambahkan larutan perak nitrat selama 30 menit kemudian dicuci lagi dengan

akuabidestilata 2x20 detik dan ditambahkan larutan campuran Na2CO3 dan formaldehida dan terakhir dengan larutan fiksasi.

Zimogram yang digunakan untuk melihat penghambatan adalah menggunakan modifikasi metode Granelli-Pipemo dan Reich (1978). Perbedaan antara zimogram dengan SDS PAGE adalah pada gel akrilamid ditambah substrat kasein 2 % (w/v). Enzim protease direaksikan dengan inhibitor protease dengan berbagai konsentrasi. Reaksi berjalan selama waktu tertentu, yaitu 0,5 jam; 1 jam; dan 1,5 jam. Setelah itu sampel dirunning pada SDS PAGE. Elektroforesis berjalan pada voltage 100 V dan arus 50 mA. Running dinyatakan selesai bila penanda biru mencapai jarak 1 cm dari batas bawah. Setelah itu direndam dengan Triton X-100 2,5 % (v/v) selama 1 jam dan dilakukan inkubasi dalam buffer TrisHCl 10 mM, pH 8 selama 24 jam. Pewarna yang digunakan untuk keperluan ini adalah coomassie brilliant blue. Pereaksi yang digunakan untuk SDS PAGE dan zimogram disajikan pada Lampiran 4.

Ketahanan pH

Sampel disimpan pada pH 3-12 dengan interval 1 selama 1 jam pada suhu 30 oC. Sebelum diassay sampel dikembalikan pada kondisi pH optimum.

Pengaruh berbagai substrat

Pengujian aktivitas inhibitor protease dilakukan dengan menggunakan berbagai substrat, dalam hal ini berbagai protease. Sebagai substrat digunakan

beberapa protease bakteri patogen, seperti protease E. coli, S. aureus, S. epidermidis, A. hydrophilla, Listeria spp., dan P. aeruginosa.

Pengaruh ion logam

Untuk menguji pengaruh keberadaan ion logam terhadap aktivitas inhibitor protease, maka sebelum diukur, inhibitor protease direaksikan dengan berbagai ion logam dengan konsentrasi 1 mM dan 5 mM selama 12 menit pada suhu 30 oC. Setelah itu dilakukan pengukuran aktivitas inhibitor dengan metode Imada et al. (1985c). Ion logam yang digunakan berasal dari garam NaCl, KCl, CaCl2, MgCl2, ZnCl2, dan FeCl3.6H2O.

Penentuan model penghambatan

Model penghambatan aktivitas protease oleh inhibitor dapat ditentukan dengan melakukan variasi substrat (kasein), yaitu 0,75-3,0 % (w/v) dengan interval 0,25. Dengan melakukan plot antara 1/[S] dengan 1/v, maka akan didapatkan nilai Km dan Vmaks. Nilai ini akan menentukan model penghambatan inhibitor terhadap protease (Copeland 2005).

29

Mekanisme penghambatan

Penentuan mekanisme penghambatan inhibitor protease dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan bakteri P. aeruginosa dalam media LB yang ditambahkan inhibitor protease pada konsentrasi berbeda. Pada penentuan ini terdapat kontrol, yaitu dalam kultur bakteri tersebut tidak ditambahkan inhibitor protease. Pengamatan dilakukan 1 jam sekali sampai pengamatan kelima, selanjutnya diamati tiap 30 menit selama 9,5 jam. Analisa meliputi OD dan aktivitas protease.

Analisis

Analisis yang dilakukan meliputi aktivitas protease, konsentrasi protein, dan aktivitas inhibitor protease.

Aktivitas protease (Walter 1984)

Untuk setiap sampel yang dianalisis, harus disertai dengan blanko dan standar, dengan perincian seperti pada Tabel 7.

Tabel 7 Prosedur untuk mengukur aktivitas protease

Pereaksi Sampel (ml) Blanko (ml) Standar (ml)

Buffer Tris-HCl (0,2 M, pH 8) Substrat kasein 2 % (w/v), pH 8,0

Enzim dalam CaCl2 (2 mmol/l)

Tirosin standar Akuades 1,00 1,00 0,20 - - 1,00 1,00 - - 0,20 1,00 1,00 - 0,20 -

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 10 menit

TCA (0,2 M) Akuades

Enzim dalam CaCl2 (2 mmol/l)

2,00 0,20 - 2,00 - 0,20 2,00 - 0,20

Diinkubasi pada suhu 37 oC selama 10 menit, lalu disentrifugasi 10.000 rpm

selama 10 menit Filtrat Na2CO3 Pereaksi folin 1,50 5,00 1,00 1,50 5,00 1,00 1,50 5,00 1,00

Diinkubasi selama 20 menit suhu 37 oC

Diukur dengan spektrofotometer pada λ = 578 nm

Perhitungannya adalah : UA =

( )

(A A ) P T

A

A

bl st bl sp

1

×

×

dimana: UA = jumlah tirosin yang dihasilkan per ml enzim/ menit

Asp = nilai absorbansi sampel

Abl = nilai absorbansi blanko

Ast = nilai absorbansi standar

P = faktor pengencer

T = waktu inkubasi (10 menit)

Konsentrasi protein (Metode Bradford dalam Hammond dan Kruger 1988)

Analisa ini diawali dengan pembuatan larutan bradford dan larutan standar BSA. Larutan bradford dibuat dengan cara sebagai berikut : sebanyak 100 mg

coomassie brilliant blue G-250 dilarutkan dalam 50 ml etanol 95 % (v/v). Setelah itu 100 ml asam fosfat 85 % (w/v) ditambahkan. Terakhir larutan diencerkan dengan akuades sampai 1 liter. Larutan standar segar dibuat dengan menggunakan protein BSA. Sebanyak 100 mg BSA ditimbang dan ditambahkan 25 ml akuades. Larutan dikocok pelan-pelan, setelah larut diencerkan sampai 50 ml. Konsentrasi akhir larutan stok untuk standar ini adalah 2 mg/ml. Kemudian sederetan larutan standar dengan menggunakan larutan stock diatas. Konsentrasi Bradford dan kurva standar yang digunakan untuk menentukan konsentrasi protein disajikan pada Lampiran 5.

Setelah semua pereaksi siap, langkah selanjutnya adalah memipet masing-masing larutan dalam tiap tabung sebanyak 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lain yang bersih. Untuk metode makroassay, sebanyak 5 ml pereaksi Bradford ditambahkan ke dalam masing-masing tabung reaksi, sedangkan untuk mikroassay pereaksi Bradford yang ditambahkan sebanyak 1 ml. Blanko dibuat dengan cara mencampurkan 0,1 ml dan direaksikan dengan 5 ml (makroassay) atau 1 ml (mikroassay) pereaksi Bradford. Setelah sekitar 5 menit, masing-masing campuran reaksi diukur absorbansinya pada λ = 595 nm. Dari sini akan dapat dibuat kurva standar.

Aktivitas inhibitor protease (Imada et al. 1985c)

Aktivitas inhibitor protease diukur dengan menggunakan metode Anson yang dimodifikasi. Prosedur pengukuran inhibitor protease dapat dilihat pada Tabel 8 Contoh penentuan konsentrasi inhibitor yang digunakan untuk assay aktivitas inhibitor protease disajikan pada Lampiran 6.

31

Tabel 8 Prosedur pengukuran aktivitas inhibitor protease

No. Bahan kimia Inhibitor

(ml) Blanko Inhibitor (ml) Kontrol (ml) Blanko Kontrol (ml) 1. Enzim 0,5 0,5 0,5 0,5 2. Inhibitor 0,5 0,5 - - Diinkubasi 12 menit, 30oC 3. Kasein (1% w/v) 1 1 1 1 Diinkubasi 12 menit, 30oC Tidak diinkubasi Diinkubasi 12 menit, 30oC Tidak diinkubasi 4. TCA (5 % w/v) 2 2 2 2 Diinkubasi 20 menit, 30 oC

Disaring dengan kertas saring

Diukur dengan spektrofotometer UV (λ = 280 nm)

Persentase Penghambatan = 1 – (Inhibitor-Blanko inhibitor) x 100 % (Enzim – Blanko enzim)

Satu unit inhibitor protease adalah jumlah inhibitor protease yang mampu menghambat aktivitas protease 0,05 U/mg protein sebanyak 50 %.

Penelitian Tahap I Isolasi dan Identifikasi Bakteri serta Pemilahan Bakteri yang Berasosiasi dengan Spons sebagai Penghasil Inhibitor Protease

Tahap ini meliputi meliputi pengumpulan spons, pemilahan dan pemurnian bakteri yang berasosiasi dengan spons, pemilahan bakteri penghasil inhibitor protease, karakterisasi bakteri penghasil inhibitor protease, pemilahan bakteri

Dokumen terkait