• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.9. Keterbukaan Informasi Publik

2.9.1. Keterkaitan antara Good Governance dengan Informas

2.9.1.3. Akuntabilitas dalam Pengelolaan Informasi Publik

Implikasi utama yang diharapkan atas berjalannya transparansi dan partisipasiyang dilindungi dengan adanya kepastian hukum di badan publik adalah timbulnyaakuntabilitas pada aparat badan publik. Akuntabilitas menuntut dua hal, yaitukemampuan menjawab (answerability) dan konsekuensi (consequences). Komponenpertama istilah yang bermula dari responsibilitas adalah berhubungan dengan tuntutanbagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yangberhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemanasumberdaya telah dipergunakan dan apa yang telah dicapai dengan menggunakansumberdaya tersebut.

Partodihardjo(2009: 107) mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihakyang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat.Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan

menciptakan pengawasan melaluidistribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangipenumpukan kekuasaan sekaligus dan menciptakan kondisi yang saling mengawasi(check and balances system). Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwasetiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secaraterbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan.

Elwood dalamPasolong (2007: 81) menjelaskan 4 dimensiakuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi publik, yaitu:

a. Akuntabilitas kejujuran dan hukum (accountability for probity and legality). Akuntabilitas terkait dengan penghindaran penyalahgunaan wewenang (abuse ofpower), sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhanterhadap hukum dan peraturan lain dalam penggunaan dana publik. b. Akuntabilitas proses (process accountability)

Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalampelaksanaan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasiakuntansi, sistem informasi manajemen dan prosedur administrasi. Akuntabilitasproses tercermin dalam pemberian pelayanan publik yang cepat, responsif danmurah biaya.

c. Akuntabilitas program (program accountability)

Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkandapat mencapai atau tidak dan apakah telah mempertimbangkan alternatif programyang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal.

Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah ataskebijakan yang diambil kepada legislatif dan masyarakat.

Dengan demikian, kebebasan informasi diharapkan menjadi spirit demokratisasi yang menawarkan kebebasan sekaligus tanggung jawab secara bersamaan. Kebebasan informasi, di satu sisi harus mendorong akses publik terhadap informasi secara luas. Sementara di sisi yang lain, kebebasan informasi juga sekaligus dapat membantu memberikan pilihan langkah yang jelas bagi pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan secara strategis. Hadirnya Undang- Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan tonggak penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Sebagai sebuah bentuk freedom of information act, undang-undang ini mengatur pemenuhan kebutuhan informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Kehadiran UU KIP sekaligus memberikan penegasan bahwa keterbukaan informasi publik bukan saja merupakan bagian dari hak asasi manusia secara universal, namun juga merupakan constitutional rights sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28F UUD NRI 1945 bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Banyak pihak berharap, hadirnya UU KIP mampu mendorong iklim keterbukaan yang luas di berbagai level. Keterbukaan informasi publik diyakini dapat menjadi sarana penting untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara maupun aktivitas badan publik lainnya yang mengurusi

kepentingan publik. Salah seorang perumus Undang-Undang Dasar Amerika, James Madison pernah menyebutkan bahwa keterbukaan informasi merupakan syarat mutlak untuk demokrasi yang berarti pula perwujudan kekuasaan yang terbatas dan berada dalam kontrol publik.

Keterbukaan informasi memberi peluang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam berbagai kebijakan publik. Kondisi ini sekaligus dapat mendorong terciptanya clean and good governance karena pemerintah dan badan-badan publik dituntut untuk menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakannya secara terbuka, transparan dan akuntabel.Lay (2006:9) bahwa berbagai studi pembangunan politik di negara-negara yang sudah menikmati stabilitas politik dan harmoni sosial menunjukkan bahwa kebebasan informasi dan hak rakyat untuk mendapatkan informasi memainkan peranan sentral dalam keseluruhan proses politik. Tidak ada satu pun negara yang mampu menjamin stabilitas politik dan tertib sosial secara berkesinambingan, kecuali sistem tersebut difasilitasi dengan jaminan kebebasan informasi.

Melihat penjelasan di atas, maka jelas bahwa setiap badan publik harus memberikan informasi terkait hal-hal yang dilakukan dalam upaya merangsang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Adanya ketimpangan antara harapan dan kenyataan (das sollen das sein) membutuhkan suatu upaya dalam rangka mengefektifkan implementasi UU KIP sehingga dapat tercipta good governance yang ditandai dengan keterbukaan informasi publik

Menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu keniscayaan apabila seluruh asas-asas penyelenggaraan negara dapat dilaksanakan secara profesional dan proporsional. Keterbukaan informasi

publik sebagai wujud good governance harus dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga perjalanan demokrasi sebagai amanat reformasi dapat mengantarkan demokrasi semu menjadi demokrasi yang hakiki. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan jawaban adanya perlindungan hukum terselenggaraanya transparansi dan akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat sebagai pengguna kebijakan publik

2.10. Citra

Konsep citra (image) dikembangkan oleh para ilmuwan sosial dalam membahas variabel psikologis manusia dalam mensinkronkan dengan lingkungannya, mereka beranggapan bahwa suatu citra timbul dari interaksi berbagai sikap dan asumsi yang dikembangkan seseorang dalam mempelajari lingkungannya (Moore, 2004: 56). Hubungan antara kecenderungan dan kegiatan dengan cara yang akan membantu memahami bagian peran kegiatan diplomasi suatu negara dalam mengungkapkan nila-nilai pendekatan politik ataupun budaya dan bidang lainnya ditandai dengan citra yang dibentuk. Pencitraan membantu memberikan alasan yang dapat diterima secara subjektif tentang mengapa segala sesuatu hadir sebagaimana tampaknya tentang preferensi politik ataupun yang lainnya yang tidak hanya bersifat politis.

Pencitraan berasal dari kata dasar citra. Citra dari suatu hal tidak selamanya mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya karena citra semata-mata terbentuk berdasarkan informasi yang tersedia. Oleh karena itu, informasi yang benar, akurat, tidak memihak, lengkap dan memadai itu benar-benar penting bagi munculnya citra yang tepat (Jefkins, 1992: 16).

Citra adalah gambaran yang dimiliki setiap orang mengenai pribadi perusahaan, organisasi atau produk (Poerwadarminta,2007:32). Citra adalah tujuan utama dan sekaligus merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai oleh dunia. Pengertian citra itu abstrak dan tidak dapat diukur secara matematis tetapi dapat dirasakan dari hasil penelitian baik atau buruk seperti penerimaan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari masyarakat luas (Ruslan, 2003:62).

Citra pemerintah adalah citra dari suatu institusi pemerintah secara keseluruhan, jadi bukan hanya citra pada pelayanannya (Jefkins dan Yadin, 2004:19). Sedangkan hal-hal positif yang meningkatkan citra lebih dikenal dan diterima publiknya adalah sejarah atau riwayat hidup lembaga yang gemilang, kualitas pelayanannya, keberhasilan dalam bidang pelayanan dan hingga berkaitan dengan tanggung jawab sosial (Ruslan, 2003:66). Secara logika, jika pemerintah sudah mengalami krisis kepercayaan dari publik atau masyarakat umum maka akan membawa dampak negatif terhadap citranya, bahkan akan terjadi penurunan citra sampai pada titik yang paling rendah.

Menciptakan citra yang positif terhadap pemerintah merupakan tujuan utama bagi seorang Public Relations. Citra merupakan suatu penilaian yang sifatnya abstrak yang hanya bisa dirasakan oleh lembaga atau organisasi dan pihak-pihak yang terikat. Citra yang ideal merupakan impresi yang benar, yang sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya (Soemirat dan Ardianto, 2004: 17)

Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek, dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Solomon, (Soemirat dan Ardianto,

2004:15)menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi - informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingukungan.

Untuk mengukur citra suatu lembaga, baik citra positif maupun negatif diperlukan alat ukur untuk mengetahui citra lembaga tersebut. Ada empat hal yang digunakan sebagai alat pengukur pembentukan citra suatu lembaga (Ruslan, 2003: 25), yaitu:

1. Kepercayaan: Merupakan kesan dan pendapat atau penilaian positif khalayak terhadap suatu lembaga.

2. Realitas: Menggambarkan suatu yang realitas, jelas terwujud, dapat diukurdan hasilnya dapat dirasakan dipertanggung jawabkan dengan perencanaan yang matang dan sistematis bagi responden.

3. Terciptanya kerjasama yang saling menguntungkan: Menggambarkan keadaan yang saling menguntungkan antara lembaga dan publiknya.

4. Kesadaran: Adanya kesadaran khalayak tentang lembaga dan perhatian terhadap produk yang dihasilkan.

Citra mencerminkan apa yang dipikirkan, emosi dan persepsi individu. Walaupun orang melihat hal yang sama, tapi pandangan mereka bisa berbeda. Persepsi inilah yang membentuk citra dari sebuah organisasi (Alifahmi, 2005: 56). Citra adalah kesan, perasaan, gambaran dari publik terhadap perusahaan atau organisasi; kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau

organisasi (Sukatendel, dalam Soemirat dan Ardianto, 2004: 22). Esensi tujuan humas di dunia pemerintahan adalah membuat berbagai program pemerintah yang dapat membentuk, meningkatkan dan memelihara citra positif dan reputasi baik agar dapat memperoleh opini publik yang menguntungkan, serta dukungan dan simpati rakyat atau publik.

Citra suatu lembaga tidak muncul degan sendirinya. Akan tetapi citra harus diupayakan dengan berbagai cara agar selalu terpelihara. Pada kenyataan dalam pergaulan/proses hubungan kerjasama terjadi kejadian yang menimbulkan citra positif dan negatif. Citra positif suatu organisasi akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat/publik terhadap produk yang dihasilkan, sehingga masyarakat yakin jika ikut bergabung dalam organisai atau memakai produk organisasi tersebut akan mendapat atau merasakan manfaat (Alifahmi, 2005: 57).

Setiap orang/masyarakat akan mempunyai kesan sendiri-sendiri terhadap organisasi/intitusi tertetu. Kesan tersebut tumbuh atau semakin dalam karena kehadiran orgnisasi itu telah memberikan manfaat atau bisa diharapkan membawa suatu perubahan menuju ke tercapainya kesejahtraan. Akan tetapi tidak semuanya kehadiran suatu organisasi bisa membawa perubahan ke arah yang positif, bahkan ada organisasi sepak terjangnya selalu meresahkan masyarakat. Sehingga organisasi tersebut mempunyai kesan yang buruh di mata masyarakat. Keadan demikian bisa jadi oganisasi tersebut dijauhi oleh masyarakat atau kehadirannya tidak dibutuhkan lagi, dan tak ada yang mau menjadi anggota atau menjadi langganan jika itu organisasi perusahaan pada akhirnya bubar (Alifahmi, 2005: 58).

Citra organisasi publik memang tidak jatuh begitu saja dari langit. Namun citra organisasi/lembaga harus diciptakan. Citra lembaga harus terus diurus agar bisa tertanam dibenak masyarakat dan dapat tumbuh berkembang sepanjang masa. Pada realitanya citra suatu lembaga ada yang positif dan ada juga yang negatif, keadaan yang demikian tidak mingkin dapat dihindari. Jalan satu-satunya adalah mengelola citra itu sendiri. Citra buruk tidak mungkin bisa dihapus, namun bisa ditutupi dengan citra positif (Alifahmi, 2005: 59).

Kegiatan yang menyumbang citra positif adalah prestasi. Prestasi yang baik akan manimbulkan suatu kebanggaan/simpati bagi anggota atau masyarakat yang pro terhadap organisasi. Sehingga prestasi yang baik harus selalu dikomunikasikan terhadap masyarakat/publiknya. Dengan memikian citra positif organisasi/ lembaga akan selalu terjaga (Alifahmi, 2005: 59).

Menurut Jefkins, (1992: 16), ada beberapa jenis dari citra, yaitu citra bayangan (mirror image), citra yang berlaku (current image), citra yang diharapkan (wish image), citra perusahaan (corporate image) serta citra majemuk (multiple image). Citra bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar terhadap organisasi. Citra yang berlaku merupakan suatu citra atau pandangan yang melekat pada pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Berbeda dengan citra bayangan dan citra yang berlaku, citra yang diharapkan adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen. Biasanya citra yang diharapkan lebih baik atau lebih menyenangkan dari pada citra yang ada, walaupun dalam keadaan tertentu citra yang terlalu baik juga bisa merepotkan. Citra lembagaadalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan. Sedangkan citra majemuk merupakan citra yang dimunculkan oleh orang-orang atau komponen-komponen yang ada dalam suatu organisasi atau perusahaan. Oleh

karena itu, citra yang dimiliki oleh suatu perusahaan bisa dikatakan sama banyaknya dengan jumlah pegawai yang dimilikinya (Jefkins, 1992: 17-19).

Citra yang diharapkan merupakan jenis citra yang diharapkan oleh semua institusi, termasuk pemerintah daerah. Untuk mengetahui bagaimana ‘citra yang diharapkan’ ini muncul di masyarakat, dapat dilihat dari pendapat masyarakat tentang pemerintah daerah. Masyarakat akan memberikan persepsi terhadap pemerintah daerah tersebut berdasarkan informasi serta realitas yang dibangun oleh media massa dan pengamatan secara langsung. Cara dan penilaian masyarakat terhadap pemerintah daerah itu, menjadi tolok ukur bagaimana masyarakat mempersepsi pemerintah daerah tersebut. Dalam konteks inilah citra tentang pemerintah daerah itu terbentuk dalam benak masyarakat.

Pada tataran ini, pencitraan terhadap pemerintah daerah merupakan hal yang sangat penting. Melihat citra buruk pemerintah selama ini dan pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh masyarakat terhadap pemerintah selama ini. Penanganannya sesegera mungkin. Sayangnya, penanganan pemerintah daerah untuk memperbaiki citranya di masyarakat masih kurang tepat. Pemerintah memiliki kecenderungan untuk berbuat terlebih dahulu, baru melihat reaksinya. Sangat terkesan bahwa pemerintah kurang memperdulikan proses komunikasi atau strategi Public Relations. Tidak jarang pendekatan legal formal lebih dikedepankan dibandingkan dengan pendekatan komunikasi.

Untuk membangun citra positif di masyarakat, biasanya pemerintah daerah akan melakukan proses pencitraan baik melalui iklan maupun melalui cara-cara yang lain. Hanya saja, selama ini pemerintah daerah cenderung menggunakan proses pencitraan yang hanya menekankan pada konteks membangun reputasi baik dan memperbaiki reputasi buruk. Penekanan ini sebetulnya tidak salah, tetapi

tidak jarang justru menggeser tujuan utama dari kegiatan Public Relations. Dalam konteks ini, kegiatan public relationscenderung hanya ditekankan pada ‘kulit luarnya’ saja yang penting masyarakat melihat institusi kita memiliki citra yang bagus, sekalipun pencitraan ini hanya bersifat sementara.

Proses pencitraan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini adalah proses pencitraan yang hanya menekankan pada ‘keberhasilan dan keindahan’ saja. Tampilan luar merupakan fokusnya, dengan proses pencitraan cepat dan waktu yang sangat singkat. Tidak jarang proses pencitraan justru dilakukan setelah program itu dilakukan, artinya proses pencitraan tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelum suatu program itu dilakukan. Proses pencitraan dilakukan seketika dan pada saat itu juga, tidak ada konsep edukasi pada proses pencitraan ini.

Proses pencitraan ini seringkali terjadi karena prinsip waktu pendek yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pejabat pemerintah. Selain itu prinsip ganti pemimpin ganti kebijakan yang seringkali dilakukan oleh pemerintah daerah, juga menjadi akar permasalahan sehingga proses pencitraan tidak bisa dilakukan dalam proses waktu yang panjang. Permasalahan lainnya adalah banyak pemimpin dan pejabat yang ada di pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan untuk berproses secara panjang. Masih sangat sedikit pejabat di pemerintah daerah yang memiliki orientasi program untuk memajukan masyarakat dan memiliki ketahanan untuk melakukan proses edukasi dengan tujuan jangka panjang. Karena permasalahan-permasalahan diatas, maka proses pencitraan seringkali hanya dilakukan dengan menggunakan proses yang pendek dengan waktu yang relatif cepat. Iklan menjadi satu cara yang paling sering dipakai dalam proses pencitraan ini.

Dokumen terkait